26 September 2003

Kerahasiaan Bank

Pajak memang kian diandalkan sebagai sumber penerimaan negara. Kita tak mungkin lagi mengandalkan pinjaman sebagai sumber utama pembiayaan pembangunan nasional seperti di masa lalu. Utang kita sudah begitu bertumpuk-tumpuk. Sampai-sampai sekitar sepertiga penerimaan pajak kini terserap untuk mencicil utang ini.

Tapi kita paham betul bahwa upaya menarik pajak bukan pekerjaan mudah. Kalangan wajib pajak, dalam konteks ini, selalu berupaya menghindari kewajiban mereka. Paling tidak, mereka berupaya agar beban pajak mereka tak terlampau tinggi. Berbagai siasat pun mereka lakukan untuk itu -- termasuk bermain mata dengan oknum aparat pajak sendiri.

Mungkin itu merupakan bukti bahwa kesadaran wajib pajak kita amat rendah. Atau mungkin juga itu adalah cerminan bahwa patriotisme kita mulai luntur. Yang pasti, sejauh ini tax ratio kita masih terbilang rendah: hanya 13-an persen. Itu jauh di bawah rata-rata tax ratio kebanyakan negara lain sebesar 20 persen. Rendahnya angka tax ratio kita ini merupakan petunjuk nyata bahwa potensi pajak kita masih banyak lolos tak terjaring.

Karena itu, di tengah tuntutan kondisional yang menempatkan pajak kian jadi andalan penerimaan negara, pemerintah dituntut kerja ekstra keras. Berbagai kendala yang menghadang jelas harus bisa mereka siasati. Semangat pantang menyerah merupakan prasyarat untuk itu, di samping kaya gagasan mengenai langkah terobosan.

Tetapi kita sungguh kaget ketika diberitakan bahwa Panitia Anggaran DPR dan pemerintah yang diwakili Menkeu Boediono menyepakati perlunya pelonggaran kerahasiaan bank.
Kita tidak tahu persis ihwal pelonggaran yang dimaksud. Hanya, kita dibuat kaget karena kesepakatan tentang itu seperti menyederhanakan masalah. Bahwa selama ini prinsip kerahasiaan bank -- notabene diatur UU Perbankan -- amat terasa mengganjal upaya aparat pajak memaksimalkan penerimaan pajak, itu kita akui. Bahwa potensi penerimaan pajak di kalangan nasabah bank ini sekarang banyak tak bisa dijaring gara-gara tersekat kerahasiaan bank, itu juga betul.

Cuma, bagaimanapun, kerahasiaan bank sungguh amat prinsip dan sensitif. Justru itu, langkah pelonggaran prinsip kerahasiaan bank jelas berisiko: kenyamanan pemilik dana di perbankan nasional bisa terusik. Itu amat mungkin mendorong pelarian modal ke luar negeri (capital flight). Karena itu pula, bukan mustahil industri perbankan nasional pun jadi rontok.

Karena itu, pelonggaran kerahasiaan bank sungguh tak akan produktif. Tax ratio kita tak bakal serta-merta melonjak drastis. Sementara di lain pihak industri perbankan nasional hancur karena ditinggalkan nasabah.

Karena itu pula, kita tak habis pikir: bagaimana mungkin Menkeu Boediono bisa menyepakati ihwal pelonggaran kerahasiaan bank ini. Kita juga tak bisa paham bahwa wakil-wakil rakyat di Senayan bisa punya pikiran tentang itu. Apakah mereka tidak menyadari bahwa pelonggaran kerahasiaan bank akan menjadi blunder yang konyol bagi industri perbankan kita -- bahkan bagi ekonomi nasional secara keseluruhan?

Kita tidak tahu persis bagaimana sesungguhnya perdebatan dalam forum Raker Menkeu dengan Panitia Anggaran DPR hingga kemudian keluar rekomendasi tentang perlunya pelonggaran kerahasiaan bank ini. Yang jelas, Menkeu Boediono sendiri kemudian seolah meralat kesepakatan pemerintah dan Panitia Anggaran DPR itu. Boediono menyatakan bahwa pelonggaran kerahasiaan bank tidak mungkin dilakukan -- antara lain karena bisa berdampak negatif terhadap stabilitas moneter.

Lepas dari kesan bahwa sikap Menkeu mencla-mencle, kita gembira dan mendukung pendirian pemerintah tentang kerahasiaan bank ini. Pemerintah memang seyogyanya tegas berkukuh bahwa kerahasiaan bank adalah harga mati. Prinsip kerahasiaan bank adalah pertaruhan bagi nasib ekonomi nasional. Kita tentu tak ingin lagi menelan kepahitan dan kegetiran amat mendalam akibat kepercayaan masyarakat terhadap perbankan kita ambrol.

Namun, jelas, sejalan dengan itu kita juga perlu terus mencari strategi dan langkah terobosan -- termasuk pembenahan di berbagai lini dan aspek -- yang bisa mendongkrak angka tax ratio kita ke level ideal. Yakni level yang memberi indikasi bahwa potensi penerimaan pajak kita relatif tergarap baik alias tak banyak lolos. Dengan demikian, sesuai tuntutan kondisional, pajak benar-benar bisa menjadi andalan penerimaan negara.

Di samping itu, tak kalah mendasar dan amat mendesak dipikirkan adalah perbaikan tingkat penggunaan anggaran negara. Bukankah berbagai kalangan sudah sering mengingatkan bahwa sejauh ini penggunaan anggaran negara kita belum juga efisien? Bukankah praktik mark-up proyek sebagai sumber utama korupsi tetap saja meraja-lela -- bahkan makin menggila?

Kalau saja penggunaan anggaran negara ini bisa benar-benar efisien, hasil pajak yang relatif masih kecil dibanding potensi di lapangan tentu bisa memberi manfaat lebih luas dan lebih optimal bagi kehidupan kita bersama sebagai bangsa.***
Jakarta, 26 September 2003

Tidak ada komentar: