16 September 2003

Daftar Hitam FATF

Proses amandemen UU No 15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang tampaknya bisa rampung sebelum Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering menggelar sidang pleno di Swedia, awal 3 Oktober 2003. Sidang tersebut bagi kita sungguh kritis karena antara lain membahas keseriusan kita membangun rezim antipencucian uang. Kalau saja sidang pleno FATF menilai positif hasil amandemen UU No 15/2002 ini, kita boleh berharap urung dikenai sanksi mematikan: aktivitas ekonomi bisnis kita dengan dunia internasional diisolasi.

Hasil pembahasan amandemen UU No 15/2002 itu sendiri tinggal menunggu keputusan sidang peripurna DPR, Selasa ini. Kita berkeyakinan bahwa forum tersebut tak bakal menjadi batu sandungan. Artinya, sidang pleno DPR hampir pasti menyetujui hasil pembahasan amandemen yang dilakukan Komisi II DPR bersama pemerintah yang diwakili Depkeh/HAM itu.

Secara garis besar, hasil pembahasan amandemen UU No 15/2002 ini mencatat sejumlah klausul mendasar yang bisa diharapkan membuat dunia internasional -- khususnya sidang pleno FATF -- tak lagi menilai kita tidak serius membangun rezim antipencucian uang. Sebut saja cakupan tentang pengertian penyedia jasa keuangan diperluas. Begitu juga klausul tentang pengertian transaksi keuangan yang mencurigakan. Sementara klausul tentang jumlah hasil tindak pidana tak lagi dibatasi.

Di sisi lain, klausul tentang cakupan tindak pidana itu sendiri diperluas. Sedangkan jangka waktu penyampaian laporan transaksi keuangan yang mencurigakan dipersingkat.

Hasil pembahasan amandemen UU No 15/2002 ini juga menambah ketentuan baru yang menjamin kerahasiaan penyusunan dan penyampaian laporan transaksi keuangan mencurigakan yang disampaikan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) atau penyidik. Kemudian ketentuan tentang kerja sama bantuan timbal balik di bidang hukum juga dipertegas.

Yang menarik, klausul denda minimum untuk tindak pidana pencucian uang ditetapkan Rp 100 juta, sedangkan maksimal Rp 15 miliar.

Melihat klausul-klausul seperti itu, tak beralasan lagi bagi FATF tetap menilai kita kurang serius dalam membangun rezim antipencucian uang ini. Justru itu, kita layak optimis bahwa sidang pleno FATF di Swedia pada awal Oktober ini urung menjatuhkan sanksi mematikan (counter measures) bagi kita. Hubungan perbankan nasional dengan bank-bank koresponden di mancanegara, misalnya, diputus total sehingga kita praktis terkucil dari komunitas ekonomi-bisnis dunia.

FATF memang berkepentingan agar berbagai negara mengadopsi semangat maupun aturan internasional yang mampu mencegah, mendeteksi, dan memberi sanksi terhadap segala tindak pencucian uang. Untuk itu, sidang pleno FATF akan mengkaji langkah-langkah nyata tiap negara dalam memerangi tindak pencucian uang ini. Lebih khusus lagi, FATF mengevaluasi kemajuan-kemajuan yang dilakukan sejumlah negara tertentu dalam mengatasi kelemahan peraturan dan kebijakan berkaitan dengan pembangunan rezim anti-money laundering.

Kita termasuk negara yang akan memperoleh evaluasi khusus itu. Maklum karena kita masuk daftar hitam negara tidak kooperatif (non-cooperative countries and territories/NCCTs) terhadap semangat dan aturan internasional memerangi tindak pencucian uang. Kita masuk daftar tersebut sejak tiga tahun lalu. Selama ini, FATF masih memberikan toleransi hingga kita tak terkena counter measures. Tapi jika dalam sidang pleno FATF mendatang ini kita masih saja dinilai tak serius membangun rezim antipencucian uang, toleransi itu sungguh tak bakal bisa kita nikmati lagi. FATF niscaya bertindak tegas menjatuhkan counter measures terhadap kita.

Karena itu, amandemen UU No 15/2002 -- notabene selama ini dinilai FATF masih banyak mengandung celah yang seolah memberi angin bagi tindak pencucian uang -- sungguh menentukan. Namun demikian, hasil amandemen itu sendiri boleh jadi tidak serta-merta membuat kita dikeluarkan dari daftar NCCTs.

Bercermin pada pengalaman beberapa negara, amat boleh jadi kita masih akan bercokol dalam daftar NCCTs. Dalam konteks ini, FATF sangat mungkin masih merasa perlu melihat langkah-langkah kita mengimplementasikan ketentuan perundangan tentang tindak pidana pencucian uang ini. Itu bisa berlangsung setengah tahun, setahun, atau mungkin lebih lama lagi -- tergantung hasil penilaian FATF sendiri.

Tetapi, memang, soal implementasi jauh lebih penting ketimbang aturan main. Terlebih, patut kita akui, dalam soal itu kita memang amat lemah. Kita acap membuat peraturan atau kebijakan yang begitu indah dan hebat. Namun pada tahap implementasi, peraturan itu menjadi sekadar omong kosong.

Karena itu, kemungkinan FATF tak serta-merta mencabut kita dari daftar NCCTs selepas kita mengamandemen UU No 15/2002 tak perlu membuat kita kehilangan semangat membangun rezim antipencucian uang. Bahkan sebaliknya, kemungkinan itu justru harus memacu kita lebih serius serta benar-benar konsisten dan konsekuen menerapkan UU No 15/2002 hasil amandemen. Dengan begitu, kita bisa berharap bahwa dalam tempo tak terlalu lama FATF mencabut kita dari daftar NCCTs.***
Jakarta, 16 September 2003

Tidak ada komentar: