10 Oktober 2003

Integrasi Ekonomi ASEAN

Sejauh kesan yang kita tangkap, semangat para pemimpin ASEAN menyangkut integrasi ekonomi ASEAN amat menggebu-gebu. Tak heran jika pembicaraan tentang rencana pembentukan Komunitas Ekonomi ASEAN (AEC) dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-9 ASEAN di Bali, beberapa hari lalu, pun begitu mulus. Masing-masing segera bisa bersepakat bahwa AEC -- notabene menjadi sebagai salah satu pilar Bali Concord II yang ditandatangani ke-10 pemimpin anggota ASEAN dalam KTT ASEAN di Bali itu -- sudah terbentuk paling lambat pada 2020.

Bahkan dalam rangka integrasi ekonomi ini, forum ekonomi ASEAN menyepakati bahwa pasar bersama ASEAN -- khususnya meliputi 11 komoditas -- dipercepat dari tahun 2020 menjadi tahun 2010. Lebih menakjubkan lagi, para pemimpin negara ASEAN ini malah sudah sampai pada konsep Pasar Bersama ASEAN yang dimulai 3 tahun mendatang.

Memang, integrasi ekonomi ASEAN akan menciptakan pasar yang demikian luas dan amat menjanjikan. Dengan populasi penduduk yang sekarang ini saja sudah mencapai 500 juta jiwa dan nilai perdagangan 720 miliar dolar AS, ASEAN adalah sebuah pasar raksasa.

Karena itu, pasar bersama ASEAN niscaya membuat volume ataupun nilai perdagangan antarnegara ASEAN bisa meningkat berlipat-lipat. Selama ini, volume perdagangan intra-ASEAN hanya mencapai 21 persen dari total perdagangan ASEAN ke seluruh dunia. Dalam pasar bersama, volume perdagangan intra-ASEAN ini niscaya bisa meningkat menjadi 60 atau 70 persen sebagaimana dialami Uni Eropa yang telah lebih dulu mengintegrasikan ekonomi mereka.

Bagi sejumlah negara anggota ASEAN seperti Singapura, Thailand, atau Malaysia, semangat menggebu itu mungkin amat beralasan. Bahkan bagi mereka, integrasi ekonomi ASEAN tampaknya memang bukan lagi merupakan tantangan, melainkan sudah menjadi peluang yang niscaya harus bisa diraih -- karena infrastruktur ekonomi maupun pelaku bisnis mereka sudah siap bersaing. Peluang itu sendiri, bagi mereka, semakin menggiurkan karena perjanjian dagang internasional dalam kerangka Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dalam status quo, menyusul kegagalan perundingan di Cancun (Meksiko), baru-baru ini.

Lalu bagaimana dengan kesiapan kita sendiri? Patut diakui, kesiapan kita menghadapi integrasi ekonomi ASEAN ini masih kedodoran. Infrastruktur ekonomi ataupun pelaku bisnis kita sulit bisa diandalkan mampu menghadapi persaingan dalam konteks integrasi ekonomi ASEAN ini. Kadin Indonesia, misalnya, terus-terang menyatakan bahwa sekitrar 33 persen produk yang kita hasilkan masih membutuhkan proteksi pemerintah.

Dengan kata lain, masih cukup banyak komoditas kita belum siap digiring masuk ke pasar bebas ASEAN. Sebut saja produk otomotif: kesiapan kita di sektor bersangkutan jauh di bawah Thailand atau Malaysia. Tapi dalam forum ekonomi ASEAN di Bali, perdagangan produk otomotif ini justru disepakati termasuk salah satu obyek yang dipercepat dalam bingkai Pasar Bersama ASEAN 2010. Lucunya, dalam konteks itu, Indonesia sendiri ditunjuk menjadi koordinator percepatan jalur (fast track) perdagangan.

Tampaknya, dalam menghadapi integrasi ekonomi ASEAN ini, kita memang amat percaya diri. Namun terkesan kuat bahwa sikap itu kurang melihat pada realitas obyektif di lapangan. Jika tidak begitu, bagaimana mungkin seorang pejabat tinggi kita bisa mengaku optimis bahwa dalam konteks integrasi ekonomi ASEAN ini Indonesia paling siap dalam menjaring investasi.

Bagaimanapun, pernyataan seperti itu mengabaikan atau bahkan memanipulasi kenyataan obektif sekarang ini: iklim investasi kita amat tidak kondusif -- dan karena itu sulit bisa dikatakan kompetitif dalam menarik investor. Bukankah selama tiga tahun terakhir ini kita mencatat bahwa capital outflow jauh lebih besar daripada capital inflow? Artinya, investor asing yang hengkang ke luar jauh lebih banyak ketimbang mereka yang masuk menanam modal di sini. Jadi, bagaimana mungkin bisa dikatakan bahwa kita paling siap dalam menjaring investasi?

Karena itu, sepertinya kita terlampau percaya diri (over confidence) dalam menghadapi integrasi ekonomi ASEAN ini. Kita tidak tahu kenapa itu bisa terjadi. Yang pasti, kesepakatan tentang integrasi ekonomi ASEAN ini sudah ditandatangani menjadi perjanjian. Atinya, kita terikat untuk melaksanakan perjanjian tersebut.

Justru itu, berbagai pembenahan mendasar amat mendesak kita lakukan. Kita harus bisa segera membuat daftar inventarisasi masalah sekaligus merumuskan serta melaksanakan langkah-langkah yang membuat ekonomi kita benar-benar efisien dan berdaya saing.

Dalam konteks itu, kita dituntut amat konsisten dan konsekuen. Betapapun pahitnya langkah pembenahan yang harus kita lakukan, itu tetap kita tempuh. Jika saja kita tak konsisten dan tak konsekuen, integrasi ekonomi ASEAN niscaya malah menjadi malapetaka buat kita: dalam AEC, kita menjadi pihak yang tersingkir sebagai pemain -- dan karena itu kita cuma menjadi pasar bagi negara-negara anggota lain ASEAN.***
Jakarta, 10 Oktober 2003

Tidak ada komentar: