03 Oktober 2003

Perang Melawan Korupsi

Kesadaran bahwa korupsi adalah penyakit berbahaya sebenarnya sudah lama tumbuh dalam diri kita. Kita sadar betul bahwa korupsi adalah praktik yang bukan saja tidak produktif, melainkan terutama berwatak destruktif. Sendi-sendi kehidupan sosial, ekonomi, ataupun politik bisa rontok dan hancur gara-gara digerogoti praktik korupsi ini. Banyak pelajaran dalam sejarah yang bisa kita petik tentang itu.

Karena itu, nurani kita tak pernah menyetujui praktik korupsi. Nurani kita yang paling dalam bahkan mencela praktik tersebut. Kita juga sadar betul bahwa fenomena korupsi adalah najis yang harus kita singkirkan jauh-jauh -- karena tak akan pernah membawa kita menjadi bangsa yang makmur, kuat, dan maju.

Tetapi kesadaran itu lebih banyak sekadar menjadi kesadaran. Dalam praktik keseharian, selama ini kita seolah kurang peduli. Kita tak pernah konsisten dan konsekuen menghindari ataupun mengenyahkan praktik korupsi. Bahkan acap kali kita -- langsung ataupun tidak -- turut terlibat dalam praktik tersebut. Paling tidak, sering kali kita terkondisi -- tanpa daya dan tanpa peduli -- menjadi bulan-bulanan atau obyek tindak korupsi.

Justru itu, korupsi pun begitu marak dalam kehidupan keseharian kita. Bahkan korupsi ini nyaris sudah menjadi bagian kehidupan kita. Saking parahnya, dalam berbagai dimensi, korupsi hadir tanpa malu-malu lagi. Praktik korupsi sudah begitu terang-benderang. Kita semua seolah sudah benar-benar tak berdaya menghadapi kenyataan itu. Dengan sedikit nyinyir bercampur getir kita seperti dipaksa membenarkan pendapat Bung Hatta dulu: bahwa korupsi di tengah kehidupan kita sudah membudaya ...

Itu pula, barangkali, yang membuat setiap gugatan terhadap fenomena korupsi ini selalu menjadi seolah hanya angin lalu. Sejenak gugatan itu memang membuat kita terperangah -- bahkan bereaksi positif. Tapi sejurus kemudian, kita kembali larut dalam ketidakpedulian atau ketidakberdayaan oleh berbagai tindak korupsi di sekeliling kita. Praktik korupsi di negeri kita akhirnya sekadar menjadi wacana mengasyikkan dalam berbagai forum diskusi, seminar, atau talk show di layar televisi.

Apakah kenyataan seperti itu pula yang akan terjadi setelah dunia usaha nasional yang tergabung dalam wadah Kadin Indonesia menyatakan perang terhadap praktik suap? Entahlah. Hanya perjalanan waktu yang akan memberi jawaban tentang itu.

Tetapi pernyataan Kadin ini sungguh menjanjikan -- karena tegas-tegas menunjukkan sikap perlawanan terhadap praktik suap yang notabene merupakan wujud lain tindak korupsi. Terlebih perlawanan itu terasa begitu heroik karena langsung dicanangkan dalam bentuk kampanye nasional antisuap yang ditandai oleh penandatanganan sebuah pakta -- Pakta Antisuap Dunia Usaha. Pakta ini tak hanya ditandatangani oleh pentolan-pentolan Kadin, melainkan juga diteken oleh 45 wakil pengusaha, asosiasi dan himpunan pengusaha, lembaga pendidikan, koperasi, usaha kecil menengah, dan media massa nasional.

Kita layak menaruh harapan terhadap tekad yang dicanangkan Kadin ini. Diakui ataupun tidak, dunia usaha adalah salah satu pihak yang selama ini telah menumbuhsuburkan praktik suap bin korupsi ini. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dunia usaha kita lazim menjadikan suap, sogok, upeti, atau apa pun istilahnya sebagai senjata andalan untuk melicinkan kegiatan bisnis. Justru itu, suap dalam dunia usaha nasional selama ini praktis sudah menjadi bagian integral kegiatan produksi.

Tetapi sikap-tindak korupsi yang semakin parah dan merambah ke mana-mana telah membuat suap kian menjadi beban. Rata-rata nilai nominal yang harus dikeluarkan dunia usaha untuk keperluan suap ini semakin hari semakin membengkak. Sampai-sampai kegiatan dunia usaha secara keseluruhan menjadi tak efisien lagi. Dunia usaha kita digayuti ekonomi biaya tinggi. Daya saing produk barang maupun jasa yang mereka hasilkan pun terus-menerus melorot.

Dengan kata lain, bagi dunia usaha nasional, praktik suap sekarang telah menjadi bumerang yang mematikan. Itu pula yang kemudian melahirkan sikap dan tekad mereka melakukan perlawanan dengan mencanangkan kampanye nasional antisuap sebagai langkah perlawanan dalam jangka pendek (2003-2004) dan perlawanan dalam jangka panjang lewat gerakan nasional antisuap (2005-2015).

Justru karena selama ini merupakan kelompok yang turut menumbuhsuburkan praktik suap, perlawanan dunia usaha nasional terhadap fenomena itu tentu bisa diharapkan membuatkan hasil nyata. Memang, hasil tersebut tak bisa segera. Bagaimanapun, praktik suap baru benar-benar bisa tersapu bersih setelah perlawanan dilakukan tanpa henti dan berpijak pada langkah aksi yang benar-benar nyata.

Itu berarti, segenap dunia usaha nasional dituntut konsisten dan konsekuen dalam memerangi praktik suap ini. Jika tidak, perlawanan mereka hanya akan menjadi sekadar deklarasi yang segera sirna dihembus angin.***
Jakarta, 3 Oktober 2003

Tidak ada komentar: