01 Juni 2014

Persaingan Dua Kubu

Kampanye pemilu presiden baru bergulir mulai 4 Juni dan berlangsung hingga 5 Juli mendatang. Tetapi persaingan kedua kubu pasangan capres-cawapres sudah merebak sejak jauh hari. Terutama sejak peserta pemilu presiden kali ini beroleh kepastian hanya diikuti dua pasangan capres-cawapres.

Awalnya, aroma persaingan sebatas pernyataan atau klaim dukungan parpol-parol serta berbagai elemen lain masyarakat kepada masing-masing pasangan capres-cawapres. Tetapi belakangan, persaingan itu melebar sampai ke tengah masyarakat. Sedemikian sengit, sampai-sampai tokoh sekaliber Amien Rais pun melukiskan persaingan antarkubu pendukung capres-cawapres itu sebagai Perang Badar.

Apa pun istilah yang digunakan -- entah Perang Badar atau Perang Bharatayudha --, persaingan itu sungguh telah membuat masyarakat boleh dikatakan terpolarisai antara kubu Prabowo-Hatta di satu pihak dan kubu Jokowi-Jusuf Kalla di pihak lain. Persaingan kedua kubu saat ini sudah memasuki tahap memprihatinkan.

Memprihatinkan, karena masing-masing kubu saling serang dengan semangat saling menghancurkan citra pasangan capres-cawapres jagoan masing-masing. Kedua kubu cenderung tidak menonjolkan keunggulan pasangan capres-cawapres yang masing-masing dukung dalam perspektif kepemimpinan nasional ke depan ini.

Untuk itu, serangan masing-masing kubu bukan saja kental bersifat negatif, melainkan juga beraroma kampanye hitam: sarat rekayasa, dusta, juga fitnah. Masing-masing kubu seolah  lupa bahwa persaingan di antara mereka seharusnya tetap mengindahkan etika atau norma kepatutan.

Artinya, mengumbar keburukan sosok capres dan cawapres yang didukung pihak lain sudah tidak dipandang sebagai tindakan nista. Bahkan mengobral fitnah pun dianggap sah-sah saja. Walhasil, isu-isu yang tersaji di tengah masyarakat nyaris melulu seputar keburukan kedua pasangan capres-cawapres.

Seiring putaran kampanye selama sebulan penuh yang resmi bergulir mulai 4 Juni, persaingan itu bisa menjurus ke arah kondisi yang mencemaskan. Jika masing-masing pihak tidak menahan diri alias terus saling serang secara brutal dengan isu-isu negatif atau bahkan fitnah, bibit perpecahan di masyarakat dikhawatirkan jadi tersemai dan tumbuh subur.

Dalam kondisi seperti itu, gesekan sosial pun tiap saat bisa meletus di berbagai tempat. Sejumlah kasus tentang itu bahkan sudah mulai meletup. Sebut saja, sebagai contoh, kasus pembakaran posko pemenangan salah satu pasangan capres-cawapres di beberapa tempat entah oleh siapa. Pihak yang dirugikan pun serta-merta menuding tindakan itu dilakukan oleh pihak lain yang menjadi lawan mereka.

Bara seperti itu sungguh sangat meriskankan karena amat gampang dimanfaatkan pihak lain yang sengaja mengail di air keruh, sehingga perpecahan itu bisa menjadi tak terhindarkan lagi. Tentu ini tak boleh sampai terjadi. Bagaimanapun, persatuan dalam berbagai tingkatan dan bentuk harus terus terpelihara.

Untuk itu, masing-masing pihak harus menempatkan persaingan dalam konteks pemilu presiden sekarang ini secara proporsional dan objektif. Segala kebencian atau fitnah harus disingkirkan. Semangat persaingan tak boleh diselewengkan menjadi bara permusuhan yang saling menghancurkan.

Dengan kata lain, persaingan itu harus bersifat positif. Kampanye dalam rangka pemilu presiden harus menumbuhkan harapan dan semangat ke arah Indonesia yang lebih sejahtera, adil, dan demokratis. Untuk itu, persaingan kedua kubu capres-cawapres sekadar bersifat saling menakar dan menguji masa depan yang dijanjikan jagoan masing-masing -- bukan saling menghancurkan.***

1 Juni 2014