Insiden
pelemparan granat ke rumah seorang pengusaha di Tamansari Bali View, Pisangan,
Tangerang Selatan, Banten, kemarin, kian menegaskan bahwa gangguan keamanan
kini semakin merisaukan. Semakin membuat miris.
Terlepas dari soal
motif yang melatari aksinya, insiden pelemparan granat itu menjadi petunjuk
gamblang bahwa gangguan keamanan kini sudah memasuki tahap kronis. Bahkan boleh
dikatakan, gangguan keamanan kini secara keseluruhan sudah merupakan teror.
Teror itu entah berupa
tindak kriminalitas, konflik sosial, juga aksi-aksi yang memang merupakan murni
teror. Tindak kriminalitas berefek teror bukan saja karena secara kuantitatif
cenderung kian marak, melainkan juga lantaran secara kualitatif makin sarat
kekerasan dan kekejian pelaku.
Demikian juga
konflik sosial. Terutama bagi korban, konflik sosial -- karena kadar kekerasan
yang menyertainya -- jelas menimbulkan efek teror. Efek tersebut muncul karena
luka psikis dan luka sosial yang ditimbulkan demikian dalam dan mengiris.
Di sisi lain,
aksi-aksi yang murni teror jelas memang dimaksudkan untuk menimbulkan efek yang
mengiris hati. Teror dirancang untuk membuat efek miris sehingga orang menjadi
merasa tidak nyaman dan tidak aman.
Tapi yang sangat
merisaukan, teror gangguan keamanan ini sekarang bukan lagi sekadar melanda
khalayak luas. Bahkan institusi kepolisian pun kini tak terkecuali menjadi
korban gangguan keamanan ini. Kemarin, misalnya, pos polisi di Kaliwage,
Semarang, diledakkan orang tak dikenal.
Sebelum itu,
kepolisian di sejumlah tempat juga sudah mengalami serangkaian aksi serupa.
Bahkan seperti kasus di Jakarta dan Tangerang, anggota polisi tewas menjadi
korban kebrutalan pelaku kejahatan atau teror.
Di masyarakat
luas sendiri, korban tewas akibat gangguan keamanan ini jelas jauh lebih
banyak. Boleh dikatakan, sekarang ini praktis tiada lagi hari tanpa orang tewas
akibat menjadi korban gangguan keamanan -- khususnya tindak kriminalitas.
Di sisi lain,
jumlah korban yang sekadar menderita luka fisik dan atau luka psikis akibat
ganggun keamanan ini tentu bisa tak terhitung dan tak ternilai.
Karena itu, wajar
jika gangguan keamanan sekarang ini sudah membuat khalayak luas merasa miris
dan tertekan. Orang dihantui oleh kemungkinan menjadi korban tindak kriminal --
entah di rumah, di jalan raya, atau di mana pun. Orang juga dicekam waswas:
jangan-jangan menjadi korban aksi teror -- atau juga korban konflik sosial.
Orang makin tidak
yakin oleh keamanan di sekeliling, karena polisi sendiri menjadi sasaran
aksi-aksi teror. Terlebih dalam menangani aksi-aksi tersebut, polisi
terkesankan keteteran.
Kenyataan itu
sungguh pertanda tidak sehat. Masyarakat menjadi paranoid. Sebagai gejala
psikologis, paranoid yang berkembang luas melanda masyarakat ini adalah
penyakit berbahaya. Kehidupan sosial bisa tidak normal karena kehilangan
gairah.
Tak bisa tidak,
karena itu, kepolisian sangat diharapkan
bekerja ekstra
keras meredakan gangguan sosial. Polisi harus segera bisa mengembalikan tertib
sosial ke kondisi tentram, hangat, dan bergairah. Gangguan sosial tak boleh
kian menggejala sebagai teror. Gangguan sosial harus bisa ditekan menjadi
sekadar riak-riak kecil -- karena toh mustahil gangguan sosial bisa dihilankan
sama sekali.***
Jakarta, 28
September 2013