22 Oktober 2003

KTT APEC Di Bangkok

Dalam konteks ekonomi, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Bangkok, yang berakhir kemarin, tak menorehkan keputusan monumental-strategis. Apa yang tertoreh dalam pertemuan puncak di Bangkok ini sekadar berupa semangat dan komitmen para pemimpin ekonomi APEC untuk menggulirkan kembali perundingan tentang perdagangan multiletaral di bawah Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Memang, keputusan itu juga penting: mencairkan kembali kebekuan mengenai pembicaraan tentang sistem perdagangan dunia, menyusul gagalnya konferensi tingkat menteri WTO di Cancun (Meksiko), September lalu. Semangat dan komitmen para pemimpim ekonomi APEC ini memberikan harapan ke arah sistem perdagangan dunia yang bebas dan fair.

Konferensi tingkat menteri WTO di Cancun sendiri gagal justru karena perundingan-perundingan yang berlangsung terkesan menafikan faktor fairness ini. Kenyataan itu terjadi karena kelompok negara maju berkukuh mendesakkan kepentingan mereka yang justru merugikan kelompok negara berkembang, khususnya menyangkut perdagangan komoditas pertanian.

Meski begitu, apa yang dihasilkan KTT APEC di Bangkok tetap terasa kurang greget. Perhelatan tersebut makin meneguhkan kesan bahwa APEC sudah tidak fokus pada soal perdagangan, investasi, dan isu-isu ekonomi. Isu-isu tersebut tenggelam oleh isu politik-keamanan yang didesakkan AS. Karena itu pula, APEC seperti kian mengabaikan misi awal saat didirikan pada tahun 1989: mendorong Asia Pasifik menjadi kawasan perdagangan bebas dan membebaskan aliran investasi investasi dari berbagai hambatan.

Dengan kata lain, sekali lagi, keputusan yang dihasilkan dalam pertemuan puncak di Bangkok ini tak memiliki makna strategis-fenomenal seperti KTT APEC di Bogor pada 1994, misalnya, yang menghasilkan Deklarasi Bogor. Melalui deklarasi itu, APEC dicanangkan menjadi kawasan bebas perdagangan dan arus investasi pada tahun 2010 untuk anggota maju dan tahun 2020 untuk anggota dengan perekonomian terbelakang.

Deklarasi Bogor sendiri kini seperti tinggal sekadar manuskrip sejarah -- karena tak lagi ditindaklanjuti ke level langkah-langkah implementasi. Akibat dominasi pengaruh AS, patut kita akui, masing-masing pemimpin APEC seolah dipaksa melupakan semangat menggulirkan peraturan-peraturan yang mengikat tiap anggota membuat APEC terhampar mulus sebagai kawasan perdagangan bebas. Pembicaraan-pembicaraan dalam KTT APEC di Bangkok justru lebih intens masuk ke isu-isu politik dan terorisme.

Justru itu, APEC sulit diharapkan mampu mewujudkan cita-cita atau sasaran semula: menjadi kekuatan raksasa yang amat menentukan hitam-putih ekonomi dunia. Selama tidak segera kembali ke "khittah", APEC tidak lebih sekadar kumpulan ekonomi yang tidak sinergis. Justru itu, pamor APEC sebagai raksasa ekonomi yang harus diperhitungkan pun pelan-pelan bisa tenggelam.

Semula kita berharap pertemuan puncak di Bangkok ini mampu membawa APEC kembali ke rel semula: fokus pada semangat liberalisasi perdagangan dan investasi. Tetapi dominasi AS yang begitu bersemangat menggiring APEC ke wilayah politik demikian kukuh. Tak heran jika gagasan pihak Thailand untuk memercepat liberalisasi bagi ekonomi berkembang dari 2020 menjadi 2013 pun seperti menguap begitu saja.
Bagi Indonesia sendiri, KTT APEC di Bangkok itu seharusnya amat strategis: merupakan wahana untuk memerjuangkan kepentingan nasional agar tidak serta-merta luruh tergusur semangat liberalisasi yang digulirkan negara-negara lain. Maklum, memang, karena kita sebenarnya belum benar-benar siap memasuki liberalisasi perdagangan dan investasi ini. Bahkan banyak aturan dalam WTO sendiri yang sulit kita terapkan.
Karena itu, mestinya, isu-isu dalam kerangka liberalisasi perdagangan dan investasi dibicarakan intens dalam KTT APEC di Bangkok ini. Tetapi, itu tadi, pembicaraan-pembicaraan dalam pertemuan puncak tersebut melenceng ke isu-isu politik. Dalam konteks ini pula, PM Malaysia Mahathir Mohammad menyatakan bahwa AS telah menyelewengkan APEC dari semula forum ekonomi menjadi forum politik.

Sayang, memang, pemimpin ekonomi yang memiliki keberanian dan rasa percaya diri bersikap berseberangan dengan AS ini hanya terlihat pada diri seorang Mahathir. Lebih sayang lagi, karena Mahathir segera lengser dari tampuk kekuasaan di negerinya. Sementara pemimpin-pemimpin ekonomi lain belum terlihat siap bersikap penuh percaya diri seperti Mahathir. Seperti dalam KTT APEC di Bangkok ini, mereka amat terkesan luruh dan manut-manut saja terhadap agenda yang didiktekan George W Bush selaku pemimpin ekonomi AS.

Karena itu, tampaknya APEC masih tetap akan melupakan misi awal: menjadi forum ekonomi. Pembicaraan-pembicaraan dalam keragka APEC ke depan ini, boleh jadi, masih tetap lebih banyak menapak pada isu-isu politik yang menjadi kepentingan AS. Padahal begitu banyak isu dan aspek strategis yang mendesak dibahas menjelang liberalisasi perdagangan dan investasi sesuai Deklarasi Bogor.***
Jakarta, 22 Oktober 2003

Tidak ada komentar: