22 April 2003

OPEC Sudah Sulit Efektif

Hasil pertemuan para menteri perminyakan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) di Wina, Kamis lusa ini, sungguh ditunggu banyak pihak. Mungkinkah hasil pertemuan itu perlahan-lahan mampu mengangkat kembali harga minyak di pasar internasional ke tingkat yang tidak mengkhawatirkan? Ataukan harga minyak dunia justru makin terseret lebih jeblok lagi?

Memang, sekarang ini harga minyak dunia cenderung terus meluncur ke level tak menguntungkan. Itu terutama karena produksi minyak dunia telanjur berlebih. Ada yang menyebut, kelebihan produksi itu berkisar antara 1,5 juta hingga 2 juta barel per hari. Kelebihan produksi itu sendiri diduga kuat justru terjadi karena ulah kalangan anggota OPEC sendiri. Entah negara mana, belakangan ini mereka memacu ladang minyak mereka melampui pagu produksi yang digariskan OPEC.

Karena itu pula, Indonesia dan Iran mengusulkan agar dalam pertemuan di Wina itu OPEC menyepakati pemangkasan produksi antara 1,5 juta hingga 2 juta barel per hari. Ini berarti, tiap negara anggota OPEC harus mengurangi produksi masing-masing. Padahal, sebenarnya, itu bukan faktor utama yang telah membuat harga minyak belakangan ini tergelincir turun. Faktor utama itu adalah ketidakpatuhan sejumlah negara terhadap kuota produksi masing-masing yang dicatu OPEC.

Dengan kata lain, pengurangan produksi minyak tiap anggota OPEC ini -- kalaupun itu menjadi kesepakatan dalam pertemuan Kamis lusa di Wina -- belum tentu efektif menjawab masalah. Selama keputusan tentang itu tak dipatuhi, harga minyak akan tetap cenderung tertekan di level tak menguntungkan.

Tapi kalaupun penurunan pagu produksi tiap anggota OPEC yang menjadi keputusan pertemuan di Wina ini, sekali lagi selama komitmen tentang itu tak dipatuhi, tren harga minyak dunia tetap saja akan mengundang sesal: terus cenderung tertekan alias sulit diharapkan beranjak naik ke level menguntungkan dan aman bagi konteks ekonomi global.

Asumsi itu sekaligus mengindikasikan bahwa kebersamaan di tubuh OPEC ini sesungguhnya rapuh. Bahkan, memang, sudah berulang kali terjadi bahwa kesepakatan mengenai pagu produksi tiap anggota OPEC hanya di atas kertas. Negara-negara tertentu selalu saja menemukan alasan untuk tidak mematuhi kesepakatan itu.

Dalam konteks sekarang ini, alasan beberapa anggota OPEC memacu produksi minyak jauh di atas kuota mereka adalah dalam rangka mengantisipasi kekurangan pasok minyak di pasar internasional. Sepintas, alasan tersebut memang masuk akal: ladang-ladang minyak Irak tak lagi berproduksi -- karena telanjur rusak terkena gempuran pasukan AS saat menyerbu Irak. Padahal selama ini produksi rata-rata minyak Irak ini lumayan signifikan: sekitar 4 juta barel per hari.

Namun berapa pun volume minyak Irak yang masuk ke pasar internasional, jelas itu berpengaruh terhadap perkembangan harga minyak dunia. Justru itu, ketika negara tersebut untuk sementara ini tak lagi menghasilkan minyak, masuk akal jika serta-merta muncul asumsi bahwa pasokan minyak ke pasar internasional jadi berkurang.

Karena itu, sekali lagi, sejumlah negara anggota OPEC -- sejauh ini belum terungkap jelas negara mana saja -- terpancing memacu produksi minyak mereka melampaui pagu produksi yang digariskan OPEC. Padahal stok minyak di kalangan negara konsumen relatif masih berlimpah. Mereka sudah melakukan penyimpanan stok untuk jangka waktu relatif lama sejak sebelum AS menginvasi Irak.

Tetapi, memang, kapan ladang-ladang minyak Irak berproduksi kembali sungguh tidak jelas. Kecuali AS selaku "penguasa" Irak sekarang ini, tak ada yang bisa memastikan soal itu. Jangankan benar bahwa upaya perbaikan ladang-ladang itu membutuhkan waktu lama, bahkan andai renovasi itu cuma satu-dua hari saja pun AS bisa berbuat sesuka mereka mengenai kegiatan produksi minyak Irak ini. Dalam konteks ini, AS jelas mengemban kepentingan mereka sendiri.

Walhasil, peta perminyakan dunia sekarang ini sungguh amat mengundang spekulasi -- Bahkan kalau saja ladang-ladang minyak Irak sudah berproduksi kembali. Suka ataupun tidak, kartu truf tentang peta bisnis perminyakan dunia itu kini memang berada dalam genggaman AS. Paman Sam jelas amat menikmati posisi tersebut. Terlebih selama ini mereka acap dibuat jengkel dan dirugikan oleh langkah-langkah OPEC -- manakala wadah tersebut benar-benar solid.

Dengan memainkan "kartu" Irak yang amat strategis itu, mereka kini amat leluasa membalik keadaan: menjadi penentu perkembangan harga minyak dunia. Tapi arah perkembangan itu sendiri gampang ditebak: harga minyak dunia cenderung menapak lada level yang terbilang rendah.

Karena itu, apa pun keputusan yang tertoreh dalam sidang menteri-menteri perminyakan OPEC di Wina pada Kamis lusa, tampaknya sulit bisa efektif mengangkat harga minyak dunia ke level yang menguntungkan. Bahkan, boleh jadi, sidang-sidang lain atau apa pun langkah OPEC ke depan ini susah bisa memperbaiki keadaan. Dengan tampilnya AS sebagai "penguasa" Irak, bagaimanapun peran dan fungsi OPEC jadi tumpul. Terlebih jika memperhitungkan bahwa kalangan anggota OPEC ini acap tergoda melanggar kesepakatan yang turut mereka lahirkan.***

Jakarta, 22 April 2003

11 April 2003

Keengganan Bank

Mungkin benar bahwa perbankan nasional -- tak terkecuali bank BUMN dan bank-bank yang dikuasai pemerintah -- memang kurang memiliki kepedulian terhadap sektor riil. Lelang t-bodns (surat utang negara berjangka panjang) yang dilakukan Bank Indonesia, Selasa lalu, gamblang menggambarkan kecenderungan itu.

Lelang t-bonds senilai Rp 2,7 triliun itu diikuti 42 bidder. Ternyata, 33 bidder (78,4 persen) adalah kalangan perbankan nasional dan asing. Enam bidder lain adalah perusahaan pialang pasar uang rupiah dan valuta asing serta tiga perusahaan efek.

Itu menunjukkan bahwa jajaran perbankan nasional sangat bernafsu membeli surat utang negara. Tak heran bahwa lelang t-bonds ini sampai mengalami kelebihan permintaan (over subscribe) sebanyak 298 persen.

Hasil lelang itu sendiri menunjukkan bahwa kalangan perbankan menyerap 92,3 persen t-bonds senilai total Rp 2,7 triliun itu. Kenyataan tersebut sekaligus menegaskan kenyataan bahwa kalangan perbankan nasional ini sekarang sedang menyimpan likuiditas tinggi.

Tapi bersamaan dengan itu, kian gamblang terkuakkan bahwa kalangan perbankan nasional ini kurang memiliki kepedulian terhadap sektor riil. Mereka terkesan kurang merasa tergerak menyalurkan dana di tangan mereka sebagai kredit. Mereka lebih merasa aman dan nyaman memanfaatkan dana itu dengan membeli surat utang atau Sertifikat Bank Indonesia (SBI) ketimbang mengguyurkannya ke sektor riil dalam bentuk pinjaman.

Bagi perbankan nasional, investasi dalam surat berharga kini memang relatif aman serta memberikan keuntungan lumayan besar berupa penerimaan bunga. Tetapi itu mestinya tak mengabaikan fungsi intermediasi. Bagaimanapun sebagian dana masyarakat yang berhasil mereka himpun sepatutnya juga disalurkan kembali sebagai pinjaman alias kredit dalam jumlah relatif signifikan. Dengan demikian, sektor riil bisa bergerak. Itu, pada gilirannya, bisa menjadi penyelamat kehidupan ekonomi nasional secara keseluruhan dari kebekuan sekarang ini.

Memang, dalam menyalurkan kredit ini jajaran perbankan dituntut bersikap hati-hati (prudent). Tetapi kecenderungan yang diperlihatkan perbankan nasional sekarang ini agaknya sudah bukan lagi cerminan sikap prudent. Tampaknya, kecenderungan itu lebih merupakan gambaran bahwa idealisme dan militansi mereka dalam menumbuhgerakkan ekonomi nasional terbilang lembek. Mereka lebih memikirkan keuntungan sendiri secara maksimal lewat cara paling aman.
Karena itu, bagi mereka, surat utang ataupun SNI kini jadi pilihan utama dalam memanfaatkan likuiditas di tangan mereka. Sementara soal penyaluran pinjaman entah jadi prioritas ke berapa.

Betul, secara nominal kredit yang disalurkan perbankan nasional ini menunjukkan grafik menaik. Selama periode Oktober 2002 hingga Februari 2003, misalnya, data di Bank Indonesia memperlihatkan bahwa penyaluran dana oleh perbankan nasional naik Rp 30 triliun. Namun penyaluran dana ke SBI meningkat Rp 22,2 triliun dan ke surat berharga naik Rp 5,3 triliun. Sementara kenaikan penyaluran kredit hanya Rp 17 triliun.

Itu pula yang menorehkan fakta bahwa rasio pinjaman terhadap dana masyarakat (LDR) di kalangan perbankan nasional ini, seperti kata Menneg Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Kwik Kian Gie, tak pernah lebih dari 37 persen.

Boleh jadi, krisis perbankan pada 1998 merupakan pangkal penyebab sikap perbankan nasional sekarang ini -- cenderung enggan menyalurkan pinjaman dalam jumlah signifikan. Mungkin mereka trauma oleh risiko kredit macet yang telah membuat sejumlah bank dibekukan, dilikuidasi, atau diambil-alih pemerintah.

Mereka agaknya tak ingin terperosok ke lubang yang sama. Mereka amat tak menghendaki kalau-kalau rasio kecukupan modal (CAR) lantas melorot lagi gara-gara menyalurkan kredit dalam jumlah relatif banyak. Padahal untuk bisa mencapai tingkat CAR minimal yang dipatok Bank Indonesia amat tidak mudah dan sangat mahal. Terlebih Bank Indonesia sendiri kini menggariskan bahwa tingkat CAR minimal perbankan nasional ini harus memperhitungkan pula risiko pasar.

Tapi kalau berpijak pada perspektif lain, kecenderungan perbankan kita enggan menyalurkan kredit ke sektor riil ini merupakan cerminan tentang kerapuhan diri mereka sendiri menghadapi risiko. Sebab, selama tetap dalam melangkah koridor prudential, mengguyurkan pinjaman ke sektor riil niscaya tak mesti melahirkan bencana. Lagi pula, bukankah sudah gamblang bahwa krisis perbankan 1998 lebih merupakan akibat salah urus manajemen -- terutama jor-joran menyalurkan kredit ke kelompok usaha sendiri?

Selebihnya, mungkin benar keengganan menyalurkan kredit itu juga karena idealisme perbankan kita untuk menumbuhgerakkan sektor riil sudah sangat tipis.***

Jakarta, 11 April 2003

08 April 2003

UU Bioterorisme

UU Keamanan Kesehatan Masyarakat -- lazim dikenal sebagai UU Bioterorisme -- yang segera diberlakukan pemerintah AS mulai Desember 2003, sesungguhnya merupakan kebijakan hambatan nontarif. Tapi itu terasa sah-sah saja karena masih dalam koridor Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

UU Bioterorisme merupakan perangkat yang dirumuskan pemerintah AS untuk menangkal risiko aksi terorisme melalui produk-produk pertanian. Untuk itu, undang-undang tersebut memberikan otoritas baru kepada Sekretariat Kesehatan dan Pelayanan Masyarakat untuk melakukan aksi perlindungan atas keamanan persediaan pangan nasional AS dari ancaman kontaminasi yang disengaja.

Ketentuan yang termuat dalam undang-undang itu akan diterapkan pada semua produk pangan dan produk pakan ternak yang diatur oleh Food and Drug Administration (FDA), termasuk suplemen pangan, formula bayi, minuman, dan feed additive -- kecuali daging nonunggas, daging ayam, dan produk telur olahan yang diatur oleh US Department of Agriculture (USDA).

Berbagai peraturan itu antara lain registrasi fasilitas (pabrik) pangan. Semua industri pangan -- baik domestik maupun asing -- yang memroduksi, memroses, mengemas, atau menyimpan pangan untuk konsumsi di dalam negeri AS harus diregistrasi oleh paling lambat 12 Desember 2003. Registrasi terdiri atas penyediaan informasi yang mencakup nama perusahaan, alamat, dan aspek-aspek lain yang terkait.

Itu berarti, UU Bioterorisme niscaya membuat ekspor komoditas pertanian kita ke AS -- juga ke negara-negara lain kalau mereka menempuh langkah serupa -- akan menjadi amat sulit. Volume maupun nilai ekspor kita ke AS terancam. Paling tidak, komoditas ekspor kita menjadi lebih mahal -- karena berbagai persyaratan yang digariskan undang-undang itu -- niscaya memaksa kita mengeluarkan ongkos tambahan dalam jumlah lumayan. Sebut saja, salah satu draf pelaksanaan UU Bioterorisme ini mengharuskan eksportir memiliki agen di AS yang bertindak sebagai pihak yang melaporkan masuknya barang impor. Itu jelas akan menimbulkan biaya-biaya bagi eksportir.

Karena itu, kita menghargai langkah pemerintah yang resmi mengajukan penolakan terhadap dua draf pertama pelaksanaan UU Bioterorisme oleh pemerintah AS. Kedua draf tersebut mengatur soal pemberitahuan awal atas pengapalan/pengiriman produk (section 307) dan pendaftaran fasilitas produk makanan (section 305). Penolakan tersebut dinyatakan pemerintah Indonesia dalam position paper yang disampaikan kepada FDA pada 1 April 2003.
Tentu kita berharap penolakan itu membuahkan hasil. Dengan demikian, dari segi biaya, penerapan UU Bioterorisme oleh pemerintah AS ini tak membuat kinerja ekspor kita jadi tergerogoti.

Tapi di sisi lain, UU Bioterorisme ini seyogyanya membuat kita lebih tergerak membenahi sektor pertanian kita. Pembenahan di berbagai segi dan lini memang harus dilakukan. Komoditas ekspor kita di sektor pertanian ini bukan saja harus makin efisien dari segi proses produksi, aman dan higienis dari segi konsumsi, melainkan juga kian bernilai tambah.

Itu berarti, kegiatan agribisnis kita harus bisa makin jauh menyentuh ke hilir. Kita tak boleh puas hanya oleh capaian yang sekarang ini sudah kita rengkuh.

Terus-terang, dalam konteks itu kita masih prihatin. Agribisnis kita belum jauh menyeruak hingga ke hilir. Agribisnis kita masih relatif dangkal. Bahkan dalam kasus tertentu, kita tak tergerak mengolah komoditas tertentu menjadi produk agribisnis. Kayu manis, misalnya, sejauh ini masih kita ekspor dalam bentuk bahan mentah. Sentuhan agribisnis yang kita lakukan sebatas berupa pemilahan produk menurut jenis atau ukuran.

Padahal kita tahu, makin jauh kegiatan agribisnis ini menyeruak ke hilir, nilai tambah yang bisa kita nikmati justru makin tinggi. Kembali ke contoh kasus kayu manis tadi. Di luar negeri -- notabene merupakan pasar ekspor kayu manis kita --, komoditas itu diolah menjadi aneka rupa produk yang amat digandrungi konsumen. Masing-masing produk bernilai jauh berlipat dibanding saat masih berupa bahan mentah.

Begitu juga, sebagai contoh lain, komoditas kelapa sawit. Sejauh ini, hasil perkebunan kelapa sawit ini baru kita olah menjadi minyak sawit mentah (CPO). Padahal produk tersebut masih bisa dikembangkan lagi menjadi beraneka produk turunan.

Kita belum tahu persis, kenapa kehidupan agribisnis kita terkesan serba tanggung alias tidak total masuk jauh ke hilir. Kita hanya menangkap kesan bahwa itu terkait dengan faktor mental yang cenderung cepat puas diri -- di kalangan pengusaha maupun di jajaran pengambil kebijakan. Mengapa? Pertanyaan ini sungguh menuntut jawaban jujur dan terbuka. Jadi, hanya pihak-pihak bersangkutan yang layak memberi jawaban.***

Jakarta, 8 April 2003

04 April 2003

Nilai Tukar Dolar

Apakah kedigjayaan dolar AS sebagai mata uang yang digunakan dalam transaksi internasional segera berakhir? Entahlah. Yang pasti, belakangan ini nilai tukar dolar terhadap euro memang terus terpuruk. Awal pekan ini, misalnya, di New York dolar AS melemah lagi ke posisi 1,0828 dolar per euro dari posisi penutupan perdagangan Jumat pekan lalu sebesar 1,0778 dolar per euro. Di sisi lain, terhadap yen, nilai tukar dolar AS ini juga melemah ke posisi 119,55 yen dari semula 119,89 yen per dolar.

Banyak kalangan memperkirakan bahwa depresiasi dolar AS terhadap euro ini masih akan berlangsung. Ahli Strategi Mata Uang di Sydney at Westpac Banking Corp, Robert Rennie, misalnya, berani menyebutkan bahwa nilai tukar dolar terhadap euro akan terus melemah hingga paling tidak mencapai 1,1 dolar AS per euro. Tentang itu, seperti juga sejumlah kalangan lain, Rennie menunjuk perang AS-Irak sebagai faktor penekan. "Situasi di Irak yang makin parah dengan adanya aksi bom bunuh diri menambah risiko penurunan nilai tukar dolar AS berlanjut," katanya, Senin lalu.

Lalu apakah setelah kelak perang AS-Irak berakhir, kurs dolar ini -- khususnya terhadap euro -- serta-merta beranjak pulih lagi? Tampaknya sulit. Perang yang sudah berakhir belum tentu otomatis cepat-cepat mengangkat kembali nilai tukar dolar AS. Terlebih bila perang itu berlangsung lama. Bagaimanapun, ongkos perang harus dibayar. Ongkos tersebut terutama berupa resesi ekonomi global.

Dalam konteks itu, ekonomi AS kemungkinan termasuk paling parah dan menderita. Sebagai pihak yang begitu bernafsu menggempur Irak, AS jelas habis-habisan mengeluarkan ongkos. Tak pelak lagi, ekonomi mereka pun -- notabene sejak George W Bush tampil jadi Presiden AS tak terbilang bagus -- pasti babak-belur. Dihadapkan pada kondisi dunia yang terjebak resesi, kondisi itu tampaknya sungguh sangat tidak kondusif bagi pemulihan nilai tukar dolar AS yang telanjur terpuruk.

Kenyataan itu bisa lebih mungkin lagi jika dikaitkan dengan kecenderungan yang sekarang mulai diperlihatkan sejumlah negara: enggan menjadikan dolar AS sebagai jangkar cadangan devisa maupun sebagai mata uang dalam melakukan transaksi internasional. Mereka beralih ke euro. Iran, misalnya, disebut-sebut sudah mulai mengikuti langkah Irak: mengganti cadangan devisa dari dolar AS ke euro. Juga dalam transaksi penjualan minyak.

Malaysia juga sudah memperlihatkan gelagat ke arah itu. Dalam forum Asia-Europe Meeting (Asem), tahun lalu, PM Mahathir Mohammad melontarkan gagasan yang membuat panas pihak AS: negara-negara Asia perlu mengganti dolar AS dengan euro sebagai cadangan devisa. Mahathir beralasan, nilai tukar euro cenderung lebih kuat dan lebih stabil dibanding dolar AS.

Belum terungkap, negara mana saja yang terpengaruh gagasan Mahathir ini. Bahkan, memang, Malaysia sendiri belum ketahuan apakah sudah mulai mempraktikkan gagasan itu. Namun sudah pasti, dalam skala mikro, gagasan tersebut mulai ramai disambut positif sejumlah kalangan. Di dalam negeri saja, Pertamina sudah tandas menyatakan bahwa transaksi ekspor minyak kini bisa dilakukan dalam euro. Begitu juga kalangan industri persepatuan: mereka bertekad mengubah transaksi ekspor dari dolar ke euro.

Kalau saja tren pengalihan transaksi internasional dari dolar ke euro ini terus membesar dan menggelombang, nilai tukar AS niscaya tertekan. Terlebih bila itu bukan lagi ramai dilakukan orang sekadar di level mikro, melainkan sudah merupakan gerakan yang dilakukan banyak negara: kurs dolar AS terhadap euro niscaya rontok. Fakta sudah gamblang menunjukkan: bahkan hanya dilakukan sebuah negara sekelas Irak saja pada 2000, langkah itu sudah langsung membuat kurs dolar AS tersodok. Tindakan pemerintahan Saddam Hussein itu pula -- mengonversi cadangan devisa Irak ke euro -- yang belakangan terbukti menjadi tonggak awal depresiasi dolar AS ini.

Karena itu, bisa dibayangkan jika langkah serupa ramai-ramai dilakukan banyak negara lain. Bahkan jika dilakukan sebuah negara bernama RRC saja, nilai tukar dolar AS pasti makin amblas hancur-hancuran -- maklum karena RRC merupakan negara yang paling banyak memiliki devisa. Kalau sudah begitu, kedigjayaan dolar AS sebagai mata uang dunia ini praktis berakhir sudah.

Kemungkinan itu jelas harus kita cermati dan kita antisipasi. Paling tidak, cadangan devisa kita jangan lagi melulu didominasi oleh dolar AS. Dengan demikian, manakala nilai tukar dolar AS makin terpuruk dan sulit bangkit lagi, kita tak ikut bonyok.

Memang, kita harus jernih dan obyektif mengambil sikap tentang nasib kurs dolar terhadap euro ini. Kita tak boleh emosional. Tak tak bijak juga kalau kita lantas tenang-tenang saja di tengah tren yang sudah gamblang terhampar.***

Jakarta, 4 April 2003