Pernyataan
Kapolri Jenderal Polisi Timur Pradopo, bahwa gangguan keamanan selama tahun
2011 meningkat dibanding tahun lalu, tak mengagetkan. Ya, karena rasa aman di
masyarakat sekarang ini terasa benar makin terkikis. Ketenteraman dalam
kehidupan bersama kian hari kian meranggas. Tindak kejahatan seolah terus
mengintai kita di setiap sudut ruang dan waktu.
Secara statistik, seperti penjelasan
Kapolri, gangguan keamanan ini meningkat 6,3 persen: dari 298.988 kasus pada
tahun lalu menjadi 317.016 kasus selama hampir sepanjang tahun ini. Data
tersebut menjadi penjelasan bahwa aksi kejahatan kini merupakan ancaman serius
dalam kehidupan kita bermasyarakat. Risiko tindak kejahatan begitu nyata
mengintai di banyak tempat dan di setiap waktu. Setiap saat keamanan di sekitar
kita bisa terkoyak oleh aksi kejahatan ini.
Di sisi lain, secara psikologis, gangguan
keamanan ini bahkan jauh lebih memprihatinkan. Memprihatinkan karena
menimbulkan efek dahsyat terhadap kehidupan masyarakat. Efek tersebut, itu
tadi, adalah terkikisnya rasa tenteram dan rasa aman orang banyak.
Itu bisa terjadi karena tindak kejahatan
bukan saja meningkat secara kuantitatif, melainkan karena secara kualitatif
juga cenderung semakin mengerikan. Betapa tidak, karena aksi kejahatan kian
berani dan kian sadistis. Tindak kejahatan yang sebelumnya tak pernah
terbayangkan pun, kini sudah tergelar sebagai sebuah kenyataan.
Tengok saja: aksi perkosaan seksual di
dalam angkutan kota, misalnya, kini seperti bukan lagi cerita dalam film
ataupun novel-novel murahan. Kasus perkosaan wanita di dalam angkutan kota
bahkan juga seperti menjadi "gaya hidup" -- karena kasus terdahulu
menginspirasi orang untuk berbuat serupa.
Begitu pula aksi mutilasi orang, sebagai
contoh lain, kini sudah bukan lagi peristiwa luar biasa -- dalam pengertian
telah banyak terjadi. Aksi mutilasi orang seolah menjadi model sekaligus modus
pelaku kejahatan untuk menghilangkan jejak.
Sementara itu, tindak kejahatan yang
tergolong klasik pun -- perampokan -- kini sudah jauh berkembang dan
memperlihatkan bentuk yang kian mencengangkan. Aksi-aksi perampokan terkesan
kian terencana matang sekaligus kian berani. Modal gertak sambal tampaknya
sudah tak pernah lagi digunakan pelaku. Mereka tak segan melukai atau bahkan
merenggut nyawa korban semata untuk memastikan keberhasilan aksi jahat mereka.
Tentu, kenyataan seperti itu merupakan
tantangan serius bagi aparat kepolisian. Mereka dituntut mampu menegakkan rasa
aman di masyarakat yang telanjur terkikis ini. Segenap jajaran kepolisian amat
diharapkan tampil sebagai penegak ketertiban dan keamanan masyarakat.
Langkah ke arah itu tentu harus dilakukan
kepolisian dengan berupaya ekstra keras menekan berbagai bentuk gangguan keamanan
di masyarakat. Polisi tak boleh kalah pintar ataupun kalah trengginas oleh
pelaku aksi-aksi kejahatan. Dengan demikian, dinamika masyarakat yang kian
tinggi dan kompleks tak lantas disertai dengan peningkatan gangguan keamanan.
Di sisi lain, kepolisian juga dituntut
memulihkan kepercayaan masyarakat: bahwa polisi adalah aparat pelindung dan tak
pernah berpihak kecuali kepada kebenaran. Masyarakat juga harus bisa dibuat
merasa nyaman dan aman berhubungan dengan polisi -- bukan sebaliknya seperti psikologi
masyarakat sekarang ini.
Untuk itu, sikap-tindak polisi harus bisa
membuat masyarakat yakin bahwa mereka bukan centeng pihak-pihak berduit. Juga
bukan pengabdi setia pihak penguasa.***
Jakarta, 22
Desember 2011