Koruptor harus
dihukum berat. Tak cuma wajib dijebloskan ke dalam penjara, koruptor juga
selayaknya dimiskinkan. Selain harta miliknya yang merupakan hasil korupsi
disita untuk negara, koruptor juga dikenai denda material secara signifikan.
Kalau bisa,
seperti di beberapa negara lain, koruptor bahkan layak dihukum mati. Hukuman
mati patut dijatuhkan terhadap koruptor, di samping dikenai denda besar dan
harta kekayaannya yang terbukti hasil korupsi disita, karena korupsi sangat berbahaya.
Daya rusak korupsi terhadap kehidupan bangsa sungguh dahsyat.
Jadi, koruptor
tak patut dihukum ringan. Terlebih hukuman ringan itu berupa hukuman percobaan
sebagaimana putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan putusan hakim
Pengadilan Negeri Probolinggo terhadap Agus Siyadi, Sekretaris Desa Gili
Ketapang, Probolinggo.
Agus Siyadi
adalah terpidana kasus korupsi sebesar Rp 5 juta. Pengadilan Negeri Probolinggo
maupun Pengadilan Tinggi Surabaya mengganjar lelaki itu dengan hukuman satu
tahun penjara dan denda Rp 50 juta plus uang pengganti sebesar uang yang dia
korupsi.
Dengan putusan
MA, Agus Siyadi tak harus meringkuk dalam penjara. Meski MA mnjatuhkan vonis
pidana dua bulan, toh Agus tidak harus menjalaninya -- kecuali di kemudian hari selama empat bulan
dia dipersalahkan lagi.
Putusan tersebut
serta-merta mencuatkan kesan bahwa korupsi bernilai relatif kecil tidak harus
dihukum berat. Seolah-oleh koruptor kelas ecek-ecek tak mesti dijebloskan ke
dalam penjara.
Hukuman terhadap
koruptor jelas tak layak melulu disandarkan kepada nominal uang yang dikorupsi.
Besar-kecilnya nilai uang yang dikorupsi sangat tak patut dikorelasikan dengan
kadar hukuman. Tak patut, karena tindakan itu bisa berimplikasi mereduksi
perbuatan korup. Seolah-olah korupsi yang terbilang kecil atau ringan tidak
berbahaya.
Hukuman ringan
bagi koruptor juga bukan hanya tidak menimbulkan efek jera, melainkan terutama
sangat tidak adil. Tidak adil, karena koruptor telah merampok kesejahteraan
orang banyak. Khalayak luas tidak bisa menikmati perbaikan kesejahteraan karena
uang untuk itu menguap oleh korupsi.
Putusan yang
membuat koruptor tidak dihukum berat, khususnya tidak dijembloskan ke penjara,
juga dikawatirkan menjadi preseden buruk. Bukan tidak mungkin, putusan MA
terhadap Agus Siyadi kemudian menjadi rujukan pengadilan dalam menangani
kasus-kasus korupsi.
Dalam konteks
itu, koruptor kelas ecek-ecek lantas bisa tetap menjalani kehidupan nyaman di
luar jeruji besi. Padahal koruptor tetap koruptor. Entah korupsinya berjumlah
besar ataupun kecil, koruptor seharusnya tetap dihukum maksimal -- termasuk
mendekam dalam penjara.
Jadi, hukuman
ringan bagi koruptor bukan hanya menggugah rasa keadilan masyarakat. Lebih dari
itu, juga berbahaya terhadap gerakan pemberantasan korupsi secara keseluruhan.
Padahal di negara yang sudah kronis dililit praktik korupsi seperti Indonesia
ini, gerakan tersebut wajib tetap bergelora.***
Jakarta, 17 Juli
2012