Kinerja DPR belum
juga membaik. Tetap mengecewakan. Bahkan tak kurang Ketua DPR Marzuki Alie
sendiri yang menyatakan kinerja DPR ini bukan lagi sekadar mengecewakan,
melainkan sudah tergolong memprihatinkan.
Kinerja yang memprihatinkan itu
ditunjukkan oleh hasil proses legislasi yang sangat rendah. Dalam masa sidang
III tahun 2011-2012 ini, DPR hanya mampu menyelesaikan dua undang-undang dari
12 rancangan undang-undang yang ditargetkan tuntas dibahas.
Tahun lalu, DPR juga hanya mampu
menyelesaikan 11 undang-undang dari keseluruhan 70 RUU yang harus dibahas.
Tahun-tahun sebelumnya, kinerja DPR menyangkut proses legislasi ini juga kurang
lebih sami mawon. Sama-sama memble.
Padahal legislasi
adalah satu satu tugas pokok yang diemban DPR.
Boleh jadi, buruknya kinerja DPR dalam
menyelesaikan proses legislasi ini karena faktor target yang kelewat muluk
alias tidak realistis. Target program legislasi nasional (prolegnas) sepertinya
mengabaikan tingkat kesanggupan DPR sendiri.
Tapi boleh jadi juga, kinerja buruk itu
lebih karena faktor kesungguhan DPR sendiri. Artinya, secara potensial DPR
sebenarnya mampu menuntaskan target-target prolegnas. Namun karena kesungguhan
mengejar target itu minim, terang saja proses legislasi pun menjadi kedodoran.
Ujung-ujungnya, jumlah undang-undang yang dapat disahkan pun relatif kecil
dibanding target keseluruhan prolegnas.
Soal kesungguhhan itu kelewat
terang-benderang untuk dikatakan tidak memprihatinkan. Sudah menjadi rahasia
umum bahwa kalangan anggota DPR malas mengikusi rapat-rapat, termasuk
rapat-rapat dalam rangka proses legislasi di tingkat panja maupun di tingkat
pansus. Juga rapat di tingkat paripurna yang menjadi forum pengesahan produk
DPR.
Kemalasan itu menjadi faktor krusial yang
acap menghambat penyelesaian proses legislasi. Sudah sering terjadi, pengesahan
sebuah rancangan undang-undang menjadi undang-undang tertunda karena kehadiran
anggota DPR tak memenuhi kuorum. Padahal proses legislasi sendiri di tingkat
panja dan pansus sudah berlarut-larut akibat kentalnya tarik-menarik
kepentingan.
Seperti kata Marzuki Alie, kenyataan itu
jelas memprihatinkan. Bukan cuma karena legislasi adalah tugas utama DPR,
melainkan juga karena DPR menikmati aneka tunjangan dan fasilitas kelas wahid.
Fasilitas-fasilitas itu tak lain dimaksudkan untuk menjamin kelancaran DPR
dalam mengemban tugas-tugas, termasuk menyangkut legislasi.
Jadi, tak seharusnya anggota DPR malas
mengikuti rapat-rapat. Juga tak semestinya anggota DPR tak sungguh-sungguh
dalam melakukan pembahasan rancangan undang-undang sehingga proses legislasi
secara keseluruhan menjadi kedodoran. Berbagai tunjangan dan fasilitas yang
mereka nikmati sepatutnya melecut mereka untuk bekerja lebih serius dan
bertanggung jawab.
Kinerja buruk DPR sebagaimana tecermin
dari hasil proses legislasi yang terbilang memprihatinkan jelas merupakan
pertanda bahwa mereka yang duduk di lembaga itu tidak serius membahas masalah
rakyat. Mereka lebih asyik dengan kepentingan mereka sendiri.
Karena itu, jangan salahkan jika muncul
sinisme di masyarakat bahwa keanggotaan DPR bukan terutama untuk memperjuangkan
masalah rakyat, melainkan sekadar memuaskan hasrat menggapai status terhormat
-- dan selebihnya menikmati aneka fasilitas kelas wahid. Ironisnya, semua itu
diberikan negara atas nama rakyat dan untuk kepentingan rakyat!***
Jakarta, 13 Juli
2012