Meski Ramadhan
1433 H belum dimulai, Pemkot DKI Jakarta sudah menggariskan dispensasi ibadah
puasa bagi pegawai negeri sipil (PNS) selama bulan suci umat Islam itu.
Dispensasi itu berupa pengurangan jam kerja setiap hari selama 90 menit.
Untuk itu,
sebagaimana tertuang dalam Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 1073/2012, jam
masuk kantor dimundurkan 30 menit menjadi pukul 08.00 WIB dibanding hari-hari
kerja di luar Ramadhan. Sementara jam pulang dimajukan 60 menit menjadi pukul
15.00 WIB.
Sangat boleh
jadi, seperti tahun-tahun lalu, jajaran pemda lain segera berbuat serupa.
Maklum karena soal dispensasi ibadah puasa bagi PNS selama Ramadhan ini
mendapat restu Kemenpan dan Kemenag. Lewat keputusan bersama, Kemenpan-Kemenag
membolehkan pengurangan jam kerja PNS selama Ramdahan. Itu dimaksudkan agar
selama Ramadhan, PNS (Muslim) dapat bekerja dan beribadah secara
berkeseimbangan.
Ibadah puasa
memang tak patut dijadikan alasan untuk berleha-leha atau apalagi
bermalas-malasan. Semangat kerja tak boleh rontok menjadi loyo gara-gara
berpuasa. Selama berpuasa, semangat kerja harus tetap terjaga dan prima. Dengan
demikian, fungsi pelayanan publik tetap normal. Masyarakat pun tidak lantas
dirugikan.
Tetapi ibadah
puasa memang tidak ringan. Kalau tak cukup pandai melakukan penyesuaian,
terutama karena sebagian waktu istirahat tersita untuk sahur (dan ibadah sunah
malam), kondisi fisik orang berpuasa cenderung kurang bugar. Karena itu,
pemberian dispensasi berupa pengurangan jam kerja cukup punya alasan.
Meski begitu,
dalam praktik selama ini, ibadah puasa justru seperti menjadi pembenaran di
kalangan pegawai, termasuk PNS, untuk memanjakan diri larut dalam kemalasan.
Terutama di hari-hari awal Ramadhan, tak sedikit pegawai terlambat muncul di
kantor dari jam masuk yang sudah ditentukan. Bahkan tak sedikit pula pegawai
yang tidak masuk kantor tanpa alasan jelas.
Lalu pegawai yang
masuk kerja pun cenderung memperagakan kekurangan vitalitas. Tengoklah saat
tengah hari, kantor-kantor banyak lowong karena ditinggal pegawai tidur atau
bermalas-malasan di mushala maupun masjid. Tidak mengherankan, berbagai masjid
dan mushala di lingkungan perkantoran pun selama Ramadhan selalu penuh oleh
pegawai berleha-leha atau tidur.
Lucunya, keloyoan
dan kemalasan biasa menjadi sirna ketika jam kerja mendekati saat bubaran
kantor. Kalangan pegawai seolah mendadak menemukan gairah dan kebugaran. Bahkan
saking bergairah, tak sedikit pegawai acap sudah meninggalkan kantor sebelum
jam resmi pulang.
Kenyataan seperti
itu menunjukkan, pengurangan jam kerja selama Ramadhan membutuhkan pengawasan
ketat. Mekanisme reward and punishment, dalam kaitan ini, sungguh perlu
diterapkan. Jika tidak, seperti tahun-tahun lalu, kebijakan itu menjadi
kehilangan relevansi -- dan terutama merugikan publik.***
Jakarta, 16 Juli
2012