Permintaan
Presiden Yudhoyono kepada Polri -- bahwa institusi tersebut harus bebas praktik
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) -- wajib direspons secara positif dan
segera. Wajib, karena permintaan itu diutarakan pucuk pimpinan nasional
sehingga jelas merupakan instruksi. Juga karena, diakui ataupun tidak,
institusi Polri masih dirasuki praktik KKN.
Karena itu pula,
respons patut segera dilakukan Polri. Jika pembenahan dan pembersihan tak
segera dilakukan secara serius, KKN niscaya menghancurkan kredibilitas dan
integritas institusi Polri. KKN niscaya menguapkan berbagai nilai moral dan
etik yang menjadi pijakan Polri dalam berkiprah di tengah masyarakat.
Kenyataan seperti
itu tak boleh sampai terjadi karena Polri adalah salah satu pilar tertib sosial
di masyarakat. Bila institusi Polri sendiri secara etis dan moral amburadul,
kehidupan masyarakat niscaya tidak karu-karuan. Tertib sosial niscaya sirna
digantikan oleh hukum rimba.
Permintaan
Presiden itu sendiri, yang disampaikan pada puncak peringatan Hari Bhayangkara
2012, Minggu kemarin (1/7), sekaligus merupakan kritik kepada segenap jajaran
Polri: bahwa praktik KKN masih menjadi penyakit yang membahayakan kredibilitas
dan integritas kelembagaan mereka. Reformasi birokrasi, dalam konteks ini,
belum optimal membuahkan hasil positif.
Kritik itu
sungguh mewakili isi hati masyarakat selama ini.
Bagi masyarakat,
reformasi birokrasi di internal Polri seperti tidak dilaksanakan dengan sepenuh
hati. Seolah-olah program reformasi itu sekadar proforma.
Mungkin penilaian
seperti itu keliru -- lantaran ekspektasi masyarakat tentang peran dan fungsi
Polri kelewat tinggi. Tetapi karena banyak kasus yang mencoreng asas
profesionalisme dan integritas polisi terhampar di depan publik -- antara lain
kasus salah tangkap pelaku kejahatan, tindak kekerasan terhadap tahanan, atau
juga menjadi beking tindak penyelewengan sosial seperti perjudian, pelacuran,
dan lain-lain -- penilaian miring itu tak bisa disalahkan.
Walhasil, bagi
masyarakat, Polri belum juga tampil sebagai institusi ideal dalam mengemban
peran dan fungsinya. Polri masih tampil dalam ragam wajah yang acap tidak
mengesankan.
Itu pula yang
membuat masyarakat tetap saja cenderung tidak nyaman berurusan dengan polisi.
Jangankan lantaran tersandung perkara hukum, bahkan sekadar menjadi saksi
sebuah kasus pun masyarakat sudah enggan. Sinisme masyarakat tentang layanan
polisi -- lapor kecolongan kambing malah jadi kehilangan sapi -- tak kunjung
pudar.
Masyarakat memang
sudah sangat merindukan sosok kepolisian yang teduh, tenang, namun sekaligus
trengginas, handal, dan tak pandang bulu. untuk itu, permintaan Presiden benar
adanya: institusi Polri harus bebas praktik KKN. Sekali lagi, karena KKN adalah
sumber segala penyakit yang menghancurkan integritas dan kredibilitas institusi
Polri.
Walhasil, Hari
Bhayangkara 2012 sungguh patut dijadikan momentum penataan kelembagaan ke arah
sosok Polri yang didambakan sekaligus dibanggakan masyarakat. Peringatan Hari
Bhayangkara selayaknya tidak diperlakukan sekadar ritual tahunan yang tak
memberi makna apa-apa kepada segenap jajaran kepolisian.***
Jakarta, 1 Juli
2012