25 Juni 2012

Ironi Komoditas Gas


Heboh soal harga gas untuk industri belakangan ini mempertegas kenyataan bahwa pengelolaan sumber daya alam masih amburadul dan penuh ironi. Amburadul, karena tindak pengelolaan itu miskin visi dan tidak berorientasi jauh ke depan. Juga penuh ironi karena dalam pengelolaan sumber daya alam ini seperti mengabaikan kepentingan nasional.

Karena itu, sumber daya gas sungguh tidak menjadi berkah bagi kehidupan rakyat. Karena telanjur diobral kepada pembeli di mancanegara, komoditas gas menjadi barang yang sulit bisa dinikmati rakyat banyak secara mudah dan murah. Kepemilikan kita atas sumber daya alam gas tidak menjadi faktor yang membawa kemakmuran bagi rakyat.

Kenyataan bahwa kita terikat kontrak penjualan gas dengan pembeli di mancanegara, sehingga kebutuhan di dalam negeri sendiri tak tercukupi, itu memang sungguh menyesakkan dan patut disesali. Ibarat pepatah, dalam soal komoditas gas ini, kita dewasa ini adalah ayam yang kelaparan di lumbung padi.

Lebih menyesakkan lagi, karena harga jual gas kita kepada pembeli di mancanegara itu -- sesuai kontrak -- sungguh kelewat murah dibanding harga rata-rata di pasar global sekarang ini. Sedemikian rendah harga jual itu, sampai-sampai komoditas gas ini laiknya gombal yang diobral-obral saja.

Kontrak penjualan gas kepada pembeli di mancanegara, yang dibuat pemerintahan kita di masa lalu, memang harus dihormati. Tapi itu bukan berarti tak relevan dinegosiasi ulang sekarang ini. Bukan cuma karena harga jual yang disepakati kelewat murah, melainkan terutama karena kontrak itu melupakan riak-riak ekonomi-politik global sebagai faktor yang berpengaruh -- bahkan menentukan perkembangan harga-harga komoditas.

Jadi, negosiasi ulang kontrak penjualan gas sungguh relevan dan urgen dilakukan pemerintah. Negosiasi ulang memungkinkan ironi kita menyangkut komoditas gas bisa diakhiri. Sebaliknya, tanpa negosiasi ulang, kita akan terus menjadi ayam yang kelaparan di lumbung padi.

Negosiasi ulang sendiri bukan soal yang mustahil. Langkah ke arah itu, juga keberhasilan membuat kesepakatan baru soal harga gas yang lebih rasional dan bervisi jauh ke depan, adalah soal kemauan baik dan kemampuan pemerintah. Kemauan mengoreksi kekeliruan dan kemampuan berdimplomasi.

Sejalan dengan itu, kelembagaan pihak yang mengurusi teknis penyediaan gas juga perlu dibenahi. Dalam konteks ini, status PT Perusahaan Gas Negara (PGN) sebagai BUMN yang menangani urusan itu memang rancu. Dengan mengemban dua fungsi sekaligus -- trader dan transforter -- PGN mudah tergoda menguber untung dan gampang melupakan fungsi pengamanan kebutuhan masyarakat.

Jadi, benar pandangan yang menyebutkan bahwa kedua fungsi itu perlu dipisah. Dengan itu, PGN hanya menjadi gas trader atau sekadar gas transforter.***

Jakarta, 25 Juni 2012