03 Juni 2012

Stop Mancla-mencle


Sejumlah kalangan menilai pemerintah mencla-mencle terkait kebijakan pembatasan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) subsidi. Mencla-mencle, karena pemerintah terkesankan gamang atau bahkan tak percaya diri dalam menyiapkan kebijakan pembatasan penggunaan BBM subsidi ini.
      
Awalnya, pemerintah mewacanakan larangan pembelian BBM jenis premium/solar yang memang disubsidi berdasarkan kapasitas mesin kendaraan. Jadi, kendaraan-kendaraan berkapasitas mesin besar dinyatakan terlarang menggunakan premium maupun solar.
      
Tapi, belakangan, wacana itu bergeser menjadi berdasarkan tahun pembuatan kendaraan. Nah, kendaraan yang tergolong muda tidak boleh mengonsumsi premium/solar. Eh, belum lagi gagasan itu matang, wacana pembatasan penggunaan BBM subsidi ini sudah bergeser lagi menjadi berdasarkan kewilayahan. Persisnya, wacana itu menyetakan wilayah Jawa jadi projek pertama yang tak akan lagi dilayani BBM jenis premium dan solar.
      
Namun belum lagi gagasan itu jelas benar, sudah berkembang lagi wacana mewajibkan kendaraan plat hitam alias milik pribadi menggunakan bahan bakar gas. Lalu, hampir bersamaan, pemerintah juga melontarkan gagasan "mengharamkan" premium/solar bagi kendaraan dinas.
      
Bagi masyarakat, berbagai wacana itu membingungkan. Pertama, karena berbagai versi kebijakan pembatasan penggunaan BBM subsidi ini tidak berasal dari satu sumber yang punya otoritas penuh di bidang energi. Masyarakat menjadi bingung, karena berbagai versi itu dilontarkan oleh pejabat pemerintah yang berlainan.
      
Kedua, lontaran berbagai wacana itu juga membuat masyarakat tidak punya pegangan mengenai bentuk kebijakan yang akan diberlakukan pemerintah menyangkut pembatasan penggunaan BBM ini. Padahal, bagi masyarakat, itu penting untuk ancang-ancang menuju langkah penyesuaian manakala kebijakan efektif mulai diberlakukan.
      
Kebingungan itu pula yang kemudian melahirkan tindakan spekulasi di masyarakat. Aksi penimbunan BBM subsidi tetap marak. Urungnya rencana kenaikan harga BBM subsidi, karena untuk sementara ini tidak memenuhi prasyarat perundangan, tak serta-merta berhenti. Bahkan sekadar merepa pun tidak.
      
Aksi spekulasi sendiri jelas tidak sehat. Aksi tersebut bisa memercikkan gesekan konflik sosial di masyarakat. Paling tidak, aksi penimbunan BBM subsidi mengganggu sekaligus merugikan kegiatan ekonomi masyarakat.
      
Pemerintah seharusnya menyadari -- dan niscaya tak menghendaki -- kegiatan ekonomi masyarakat dirusak spekulasi. Oleh sebab itu, sikap mencla-mencle pemerintah menyangkut pembatasan penggunaan BBM subsidi ini sulit dipahami. Sikap tersebut menumbuhkan kesan bahwa pemerintah gamang, tidak percaya diri, sekaligus tidak solid sebagai sebuah tim.
      
Kesan seperti itu jelas sebuah potret buram -- dan karena itu tidak patut terus dipertunjukkan kepada publik. Artinya, pemerintah harus segera membuang sikap mencla-mencle. Kebijakan pembatasan BBM subsidi harus segera dirumuskan secara matang dan tegas -- lengkap dengan daya dukung teknis pelaksanaan di lapangan -- serta bersifat satu pintu. Jangan sampai terjadi, kebijakan diputuskan sekadar sebagai pilihan politis, sementara kondisi di lapangan sama sekali tidak siap. Masyarakat tidak boleh menjadi korban kebijakan tidak matang yang lebih banyak melahirkan kericuhan atau bahkan kekacauan sosial.***

Jakarta, 3 Juni 2012