Sejumlah kalangan
menilai pemerintah mencla-mencle terkait kebijakan pembatasan penggunaan bahan
bakar minyak (BBM) subsidi. Mencla-mencle, karena pemerintah terkesankan gamang
atau bahkan tak percaya diri dalam menyiapkan kebijakan pembatasan penggunaan
BBM subsidi ini.
Awalnya, pemerintah mewacanakan larangan
pembelian BBM jenis premium/solar yang memang disubsidi berdasarkan kapasitas
mesin kendaraan. Jadi, kendaraan-kendaraan berkapasitas mesin besar dinyatakan
terlarang menggunakan premium maupun solar.
Tapi, belakangan, wacana itu bergeser
menjadi berdasarkan tahun pembuatan kendaraan. Nah, kendaraan yang tergolong
muda tidak boleh mengonsumsi premium/solar. Eh, belum lagi gagasan itu matang,
wacana pembatasan penggunaan BBM subsidi ini sudah bergeser lagi menjadi
berdasarkan kewilayahan. Persisnya, wacana itu menyetakan wilayah Jawa jadi
projek pertama yang tak akan lagi dilayani BBM jenis premium dan solar.
Namun belum lagi gagasan itu jelas benar,
sudah berkembang lagi wacana mewajibkan kendaraan plat hitam alias milik
pribadi menggunakan bahan bakar gas. Lalu, hampir bersamaan, pemerintah juga
melontarkan gagasan "mengharamkan" premium/solar bagi kendaraan
dinas.
Bagi masyarakat, berbagai wacana itu membingungkan.
Pertama, karena berbagai versi kebijakan pembatasan penggunaan BBM subsidi ini
tidak berasal dari satu sumber yang punya otoritas penuh di bidang energi.
Masyarakat menjadi bingung, karena berbagai versi itu dilontarkan oleh pejabat
pemerintah yang berlainan.
Kedua, lontaran berbagai wacana itu juga
membuat masyarakat tidak punya pegangan mengenai bentuk kebijakan yang akan
diberlakukan pemerintah menyangkut pembatasan penggunaan BBM ini. Padahal, bagi
masyarakat, itu penting untuk ancang-ancang menuju langkah penyesuaian manakala
kebijakan efektif mulai diberlakukan.
Kebingungan itu pula yang kemudian
melahirkan tindakan spekulasi di masyarakat. Aksi penimbunan BBM subsidi tetap
marak. Urungnya rencana kenaikan harga BBM subsidi, karena untuk sementara ini
tidak memenuhi prasyarat perundangan, tak serta-merta berhenti. Bahkan sekadar
merepa pun tidak.
Aksi spekulasi sendiri jelas tidak sehat.
Aksi tersebut bisa memercikkan gesekan konflik sosial di masyarakat. Paling
tidak, aksi penimbunan BBM subsidi mengganggu sekaligus merugikan kegiatan
ekonomi masyarakat.
Pemerintah seharusnya menyadari -- dan
niscaya tak menghendaki -- kegiatan ekonomi masyarakat dirusak spekulasi. Oleh
sebab itu, sikap mencla-mencle pemerintah menyangkut pembatasan penggunaan BBM
subsidi ini sulit dipahami. Sikap tersebut menumbuhkan kesan bahwa pemerintah
gamang, tidak percaya diri, sekaligus tidak solid sebagai sebuah tim.
Kesan seperti itu jelas sebuah potret
buram -- dan karena itu tidak patut terus dipertunjukkan kepada publik.
Artinya, pemerintah harus segera membuang sikap mencla-mencle. Kebijakan
pembatasan BBM subsidi harus segera dirumuskan secara matang dan tegas --
lengkap dengan daya dukung teknis pelaksanaan di lapangan -- serta bersifat
satu pintu. Jangan sampai terjadi, kebijakan diputuskan sekadar sebagai pilihan
politis, sementara kondisi di lapangan sama sekali tidak siap. Masyarakat tidak
boleh menjadi korban kebijakan tidak matang yang lebih banyak melahirkan
kericuhan atau bahkan kekacauan sosial.***