Niat baik
pemerintah mengantisipasi krisis bahan bakar minyak (BBM) lewat gerakan hemat
energi yang diumumkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Selasa malam lalu,
patut diapresiasi. Secara konseptual, gerakan tersebut juga positif karena
memberi arah yang jelas tentang langkah-langkah penghematan energi. Lewat lima
program yang dicanangkan, pemerintah menempatkan penghematan energi sebagai
kebutuhan untuk menghindarkan krisis BBM. Juga untuk menyehatkan anggaran
negara.
Meski begitu,
menjadi pertanyaan besar: apakah gerakan hemat energi ini bakal membuahkan
hasil sesuai harapan? Jangan-jangan gerakan tersebut tak benar-benar terlaksana
karena pemerintah sendiri tak serius.
Pertanyaan sinis
seperti itu tidak mengada-ada. Kenyataan selama ini membuktikan bahwa
pemerintah memang cenderung tak sungguh-sungguh dalam melaksanakan
program-program kerja. Bukankah Presiden sendiri pernah berkeluh-kesah: betapa
banyak instruksi yang dia buat cenderung tak dihiraukan para menteri? Betapa
program pemerintah lebih banyak tersimpan di laci para pejabat?
Gerakan dan
program hemat energi sendiri sebenarnya bukan barang baru. Sejak tampil
memerintah pada tahun 2004, Presiden sudah mengeluarkan beberapa inpres tentang
gerakan hemat energi ini. Sebut saja inpres tentang pengendalian suhu mesin
pendingin ruangan di kantor-kantor pemerintah yang diluncurkan pada tahun 2005
silam. Tetapi karena tidak dilaksanakan secara serius dan konsisten, inpres
tersebut tak menghasilkan apa-apa. Program pengendalian suhu ruangan hanya
berlangsung beberapa saat. Seiring perjalanan waktu, program tersebut
lambat-laun menguap begitu saja.
Kini, di tengah
gejolak harga minyak dunia yang berkepenjangan, pemerintah kembali mencanangkan
gerakan hemat energi. Becermin kepada pengalaman, wajar jika sinisme pun
serta-merta muncul: jangan-jangan gerakan tersebut akan kandas pula. Terlebih,
secara teknis, pelaksanaan lima program dalam rangka gerakan hemat energi yang
baru diluncurkan Presiden ini amat tidak mudah. Program penghematan listrik dan
air di kantor-kantor pemerintah, misalnya, menuntut segenap pejabat dan pegawai
benar-benar melaksanakannya.
Nah, kesadaran
tersebut jelas tak cukup sekadar diharapkan tumbuh begitu saja. Dibutuhkan
mekanisme tertentu yang membuat semua pegawai pemerintah -- sejak level
pimpinan hingga office boy -- memperlakukan program itu sebagai kebutuhan.
Adakah mekanisme itu?
Di sisi lain,
gerakan hemat energi juga menuntut sistem pengawasan yang mampu menutup
berbagai celah penyelewengan atau penyimpangan. Dengan sistem pengawasan yang
ketat, kendaraan perusahaan pertambangan dan perkebunan, misalnya, benar-benar
terkondisi tidak bisa berbuat lain kecuali menggunakan BBM nonsubsidi.
Nah, adakah
sistem pengawasan yang ketat itu? Juga, apakah sistem tersebut sudah teruji
kebal terhadap segala tindak main mata yang membuat program menjadi mandul?
Jawaban atas
berbagai pertanyaan seperti itu berpulang kepada keseriusan dan ketegasan
pemerintah sendiri -- terutama Presiden -- dalam melaksanakan program kerja.
Jika keseriusan dan ketegasan itu tetap minim, gerakan hemat energi kali ini
pun niscaya lagi-lagi menjadi sekadar pepesan kosong.***
Jakarta, 30 Mei
2012