30 Mei 2012

Hemat Energi, Seriuskah?


Niat baik pemerintah mengantisipasi krisis bahan bakar minyak (BBM) lewat gerakan hemat energi yang diumumkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Selasa malam lalu, patut diapresiasi. Secara konseptual, gerakan tersebut juga positif karena memberi arah yang jelas tentang langkah-langkah penghematan energi. Lewat lima program yang dicanangkan, pemerintah menempatkan penghematan energi sebagai kebutuhan untuk menghindarkan krisis BBM. Juga untuk menyehatkan anggaran negara.

Meski begitu, menjadi pertanyaan besar: apakah gerakan hemat energi ini bakal membuahkan hasil sesuai harapan? Jangan-jangan gerakan tersebut tak benar-benar terlaksana karena pemerintah sendiri tak serius.

Pertanyaan sinis seperti itu tidak mengada-ada. Kenyataan selama ini membuktikan bahwa pemerintah memang cenderung tak sungguh-sungguh dalam melaksanakan program-program kerja. Bukankah Presiden sendiri pernah berkeluh-kesah: betapa banyak instruksi yang dia buat cenderung tak dihiraukan para menteri? Betapa program pemerintah lebih banyak tersimpan di laci para pejabat?

Gerakan dan program hemat energi sendiri sebenarnya bukan barang baru. Sejak tampil memerintah pada tahun 2004, Presiden sudah mengeluarkan beberapa inpres tentang gerakan hemat energi ini. Sebut saja inpres tentang pengendalian suhu mesin pendingin ruangan di kantor-kantor pemerintah yang diluncurkan pada tahun 2005 silam. Tetapi karena tidak dilaksanakan secara serius dan konsisten, inpres tersebut tak menghasilkan apa-apa. Program pengendalian suhu ruangan hanya berlangsung beberapa saat. Seiring perjalanan waktu, program tersebut lambat-laun menguap begitu saja.

Kini, di tengah gejolak harga minyak dunia yang berkepenjangan, pemerintah kembali mencanangkan gerakan hemat energi. Becermin kepada pengalaman, wajar jika sinisme pun serta-merta muncul: jangan-jangan gerakan tersebut akan kandas pula. Terlebih, secara teknis, pelaksanaan lima program dalam rangka gerakan hemat energi yang baru diluncurkan Presiden ini amat tidak mudah. Program penghematan listrik dan air di kantor-kantor pemerintah, misalnya, menuntut segenap pejabat dan pegawai benar-benar melaksanakannya.

Nah, kesadaran tersebut jelas tak cukup sekadar diharapkan tumbuh begitu saja. Dibutuhkan mekanisme tertentu yang membuat semua pegawai pemerintah -- sejak level pimpinan hingga office boy -- memperlakukan program itu sebagai kebutuhan. Adakah mekanisme itu?

Di sisi lain, gerakan hemat energi juga menuntut sistem pengawasan yang mampu menutup berbagai celah penyelewengan atau penyimpangan. Dengan sistem pengawasan yang ketat, kendaraan perusahaan pertambangan dan perkebunan, misalnya, benar-benar terkondisi tidak bisa berbuat lain kecuali menggunakan BBM nonsubsidi.

Nah, adakah sistem pengawasan yang ketat itu? Juga, apakah sistem tersebut sudah teruji kebal terhadap segala tindak main mata yang membuat program menjadi mandul?

Jawaban atas berbagai pertanyaan seperti itu berpulang kepada keseriusan dan ketegasan pemerintah sendiri -- terutama Presiden -- dalam melaksanakan program kerja. Jika keseriusan dan ketegasan itu tetap minim, gerakan hemat energi kali ini pun niscaya lagi-lagi menjadi sekadar pepesan kosong.***

Jakarta, 30 Mei 2012