08 Mei 2012

Moral Korupsi


Pernyataan Ketua DPR Marzuki Alie soal gudang koruptor memang konyol. Konyol, karena pernyataan tersebut sama sekali tidak berdasar. Pernyataan itu lebih merupakan sinyalemen ketimbang fakta terukur, sehingga sulit bisa dipertanggungjawabkan.

Juga konyol, bahkan gegabah, karena pernyataan itu dinisbahkan kepada beberapa institusi perguruan tinggi tertentu di dalam negeri. Lebih konyol lagi, pernyataan itu dilontarkan seorang Ketua DPR yang seharusnya menunjukkan kenegarawanan. Sebagai orang nomor tiga di Republik Indonesia ini, Marzuki sungguh tidak patut berkata-kata seperti itu.

Menuding institusi tertentu sebagai gudang koruptor memang sama tidak tak beralasan atau bahkan ngaco. Terlebih institusi tersebut adalah perguruan tinggi. Mana mungkin perguruan tinggi mendidik orang menjadi koruptor! Bahwa relatif banyak alumnus perguruan tinggi terjerat kasus korupsi, itu tak serta-merta menjadi bukti bahwa perguruan tinggi mencetak koruptor.

Namun, memang, dunia pendidikan -- bukan hanya perguruan tinggi -- tak bisa berlepas tangan dari masalah korupsi ini. Bagaimanapun, maraknya korupsi di Indonesia merupakan wujud kegagalan sistem pendidikan nasional dalam membangun manusia yang berintegritas tinggi. Diakui ataupun tidak, sistem pendidikan nasional selama ini cenderung mengabaikan pembentukan manusia yang berintegritas tinggi ini. Mulai tingkat dasar hingga tingkat tinggi, sistem pendidikan cenderung lebih mementingkan aspek kognitif-intelektual. Sementara aspek moral dan etika sedikit sekali memperoleh porsi.

jadi, peserta didik lebih cenderung disiapkan melulu menjadi manusia pintar secara intelektual. Mereka sangat sedikit memperoleh introduksi nilai-nilai moral dan etis. Pendidikan agama dan etika, dalam konteks ini, sekadar menjadi sampiran.

Dalam situasi dan kondisi seperti itu, kehidupan sosial di luar tembok lembaga pendidikan juga semakin serba pragmatis sebagaimana ditandai oleh melonggarnya sistem nilai. Demi menggapai tujuan, orang tak ragu menghalalkan segala cara. Demi meraih kemenangan, orang tak segan berbuat curang.

Langsung maupun tidak, kecenderungan negatif itu terinternalisasikan ke dalam sistem nilai generasi belia. Bahkan secara tak sadar lingkungan acap mengarahkan mereka menjalani praktik-praktik yang menafikan kejujuran. Untuk bisa masuk sekolah favorit, misalnya, banyak anak tidak diterjunkan berkompetisi dalam proses seleksi yang sehat dan fair. Mereka beroleh bangku karena orangtua mereka menyogok -- notabene sogokan itu dibungkus dengan sebutan-sebutan manipulatif.

Jadi, sistem pendidikan dalam pengertian luas gagal membentuk manusia berintegritas tinggi. Bahkan sistem pendidikan ini secara tidak langsung seolah turut menyemai manusia-manusia berwatak culas dan bermental maling. Mereka pintar secara intelektual, tetapi lemah karakter dan miskin integritas. Itu pula yang membuat korupsi begitu merajalela.

Walhasil, pemberantasan korupsi tak cukup lewat penegakan hukum yang tegas dan adil. Pemberantasan korupsi juga harus dibarengi upaya pembentukan manusia berintegritas tinggi. Itu berarti, pendidikan moral dan etika wajib digalakkan -- di jalur formal, informal, juga dalam kehidupan kemasyarakatan.***

Jakarta, 8 Mei 2012