Pernyataan Ketua
DPR Marzuki Alie soal gudang koruptor memang konyol. Konyol, karena pernyataan
tersebut sama sekali tidak berdasar. Pernyataan itu lebih merupakan sinyalemen
ketimbang fakta terukur, sehingga sulit bisa dipertanggungjawabkan.
Juga konyol,
bahkan gegabah, karena pernyataan itu dinisbahkan kepada beberapa institusi
perguruan tinggi tertentu di dalam negeri. Lebih konyol lagi, pernyataan itu
dilontarkan seorang Ketua DPR yang seharusnya menunjukkan kenegarawanan. Sebagai
orang nomor tiga di Republik Indonesia ini, Marzuki sungguh tidak patut
berkata-kata seperti itu.
Menuding
institusi tertentu sebagai gudang koruptor memang sama tidak tak beralasan atau
bahkan ngaco. Terlebih institusi tersebut adalah perguruan tinggi. Mana mungkin
perguruan tinggi mendidik orang menjadi koruptor! Bahwa relatif banyak alumnus
perguruan tinggi terjerat kasus korupsi, itu tak serta-merta menjadi bukti
bahwa perguruan tinggi mencetak koruptor.
Namun, memang,
dunia pendidikan -- bukan hanya perguruan tinggi -- tak bisa berlepas tangan
dari masalah korupsi ini. Bagaimanapun, maraknya korupsi di Indonesia merupakan
wujud kegagalan sistem pendidikan nasional dalam membangun manusia yang
berintegritas tinggi. Diakui ataupun tidak, sistem pendidikan nasional selama
ini cenderung mengabaikan pembentukan manusia yang berintegritas tinggi ini.
Mulai tingkat dasar hingga tingkat tinggi, sistem pendidikan cenderung lebih
mementingkan aspek kognitif-intelektual. Sementara aspek moral dan etika
sedikit sekali memperoleh porsi.
jadi, peserta
didik lebih cenderung disiapkan melulu menjadi manusia pintar secara
intelektual. Mereka sangat sedikit memperoleh introduksi nilai-nilai moral dan
etis. Pendidikan agama dan etika, dalam konteks ini, sekadar menjadi sampiran.
Dalam situasi dan
kondisi seperti itu, kehidupan sosial di luar tembok lembaga pendidikan juga
semakin serba pragmatis sebagaimana ditandai oleh melonggarnya sistem nilai.
Demi menggapai tujuan, orang tak ragu menghalalkan segala cara. Demi meraih
kemenangan, orang tak segan berbuat curang.
Langsung maupun
tidak, kecenderungan negatif itu terinternalisasikan ke dalam sistem nilai
generasi belia. Bahkan secara tak sadar lingkungan acap mengarahkan mereka
menjalani praktik-praktik yang menafikan kejujuran. Untuk bisa masuk sekolah
favorit, misalnya, banyak anak tidak diterjunkan berkompetisi dalam proses
seleksi yang sehat dan fair. Mereka beroleh bangku karena orangtua mereka
menyogok -- notabene sogokan itu dibungkus dengan sebutan-sebutan manipulatif.
Jadi, sistem
pendidikan dalam pengertian luas gagal membentuk manusia berintegritas tinggi.
Bahkan sistem pendidikan ini secara tidak langsung seolah turut menyemai
manusia-manusia berwatak culas dan bermental maling. Mereka pintar secara
intelektual, tetapi lemah karakter dan miskin integritas. Itu pula yang membuat
korupsi begitu merajalela.
Walhasil,
pemberantasan korupsi tak cukup lewat penegakan hukum yang tegas dan adil.
Pemberantasan korupsi juga harus dibarengi upaya pembentukan manusia
berintegritas tinggi. Itu berarti, pendidikan moral dan etika wajib digalakkan
-- di jalur formal, informal, juga dalam kehidupan kemasyarakatan.***
Jakarta, 8 Mei
2012