03 Mei 2012

Anarkisme Massa tak Boleh Jadi Model

Lagi-lagi anarkisme massa. Sejauh pemberitaan pers, kemarin, aksi anarkisme massa mencuat di dua tempat berbeda. Yang pertama di Lampung: ratusan massa menghanguskan bangunan perkantoran pemerintah Kabupaten Mesuji. Kantor bupati tak terkecuali ikut dihanguskan dalam aksi itu. 

Yang kedua, ratusan massa melakukan aksi penghadangan dan penyanderaan kereta api di Stasiun Daru, Tangerang, Banten. Akibat aksi tersebut, operasional kereta api rute Rangkasbitung-Jakarta praktis lumpuh. 

Sebelum ini, kasus-kasus anarkisme massa juga pernah terjadi di sejumlah lokasi. Kalau tidak menimbulkan kerusakan fisik bangunan atau barang, aksi-aksi tersebut paling tidak selalu saja berdampak merugikan kepentingan banyak orang. Seperti aksi penyanderaan kereta api di Stasiun Daru, kemarin, sejumlah banyak penumpang jadi telantar. Mereka tak bisa melanjutkan perjalanan dengan kereta api yang merupakan alternatif transportasi relatif cepat dan lumayan murah. Banyak penumpang terpaksa berganti menggunakan angkutan umum lain dengan risiko ongkos lebih mahal dan waktu tempuh lebih lama. 

Apa pun alasan dan motif yang menjadi latar, aksi-aksi anarkisme massa adalah tindakan barbar -- dan karena itu sungguh tak patut ditoleransi. Massa di Mesuji, misalnya, boleh kecewa oleh keputusan Mendagri memberhentikan Ismail Ishak dari kursi wakil bupati karena dia berstatus terpidana kasus korupsi. Tetapi kekecewaan itu tak bisa dijadikan pijakan untuk melakukan aksi anarkistis yang berdampak merugikan publik. 

Begitu pula masyarakat pengguna kereta api boleh tidak setuju dan kecewa oleh keputusan pihak PT Kereta Api yang mulai Kamis kemarin memberlakukan pembatasan penumpang, sehingga kereta api jurusan Rangkasbitung-Jakarta tidak lagi berhenti di beberapa stasiun. Namun kekecewaan mereka sama sekali tak dibenarkan menjadi dalih untuk melakukan aksi penghadangan dan penyanderaan kereta api. 

Di alam demokrasi sekarang ini, segala ketidakpuasan, kekecewaan, atau harapan boleh diungkapkan secara terbuka. Aksi unjuk rasa adalah saluran yang sah dan bermartabat untuk itu. Tetapi aksi unjuk rasa tidak boleh menjadi tindakan barbar. Aksi unjuk rasa harus mengindahkan koridor tertentu yang membuat pihak-pihak lain tidak terganggu atau apalagi dirugikan. 

Artinya, dengan dalih apa pun, aksi unjuk rasa tidak boleh berwujud tindakan anarkistis. Apalagi jika itu dilakukan oleh sekumpulan banyak orang yang disebut massa. Dalam masyarakat beradab, aksi anarkisme massa tak boleh menjadi model untuk menumpahkan segala bentuk kekecewaan ataupun aspirasi. 

Karena itu, aksi anarkisme massa tak boleh diberi ruang menjadi model "perjuangan". Kecenderungan ke arah itu sungguh berbahaya karena menghancurkan sistem nilai dan norma sosial. Pranata-pranata di masyarakat tak boleh sampai tunduk-takluk oleh tekanan aksi anarkisme. 

Maka, tak bisa tidak, aparat keamanan wajib bertindak tegas. Aparat tak boleh ragu atau apalagi bersikap menutup mata terhadap aksi-aksi anarkisme massa. Bagaimanapun, hukum wajib ditegakkan.***

Jakarta, 3 Mei 2012