Kedaulatan kita
atas sumber daya minyak dan gas (migas) kemarin mulai diuji di Mahkamah
Konstitusi. Persidangan di Mahkamah Konstitusi ini sungguh menjadi panggung
yang menentukan masa depan kita: apakah penguasaan sumber daya migas ini tetap
didominasi asing seperti selama ini, ataukah dominasi itu diamputasi karena
dinilai melanggar konstitusi negara.
Pengujian itu
sendiri dilakukan terhadap materi UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas.
Permohonan uji materi diajukan kalangan tokoh Islam seperti Ketua Umum PP
Muhammadiyah Din Syamsuddin, mantan Ketua Umum PBNU Hasjim Muzadi, Ketua
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amidhan, sejumlah ormas Islam, serta kalangan
politisi seperti Fahmi Idris dan Ali Mochtar Ngabalin.
Mereka meminta
Mahkamah Konstitusi membatalkan UU Migas karena mereka nilai proasing serta
membuat kedaulatan negara atas sumber daya migas menjadi sirna. Permintaan
tersebut tidak mengada-ada karena migas jelas merupakan komoditas strategis --
dalam arti menjadi hajat hidup orang banyak.
Adalah para
pendiri NKRI, sebagaimana tertuang dalam UUD 1945, sangat mewanti-wanti agar
negara menguasai sumber daya yang menjadi hajat hidup orang banyak ini.
Artinya, atas sumber daya migas pun negara harus berdaulat.
Tetapi kenyataan
sekarang ini menunjukkan betapa amanat para pendiri NKRI sudah tidak bermakna
lagi. Tidak bermakna, karena negara justru kehilangan kendali atas sumber daya
migas. Migas di negara Indonesia ini praktis sudah dikuasai
perusahaan-perusahaan raksasa asing. Pertamina sebagai institusi kepanjangan
tangan negara, dalam kaitan ini, relatif sedikit menguasai ladang-ladang migas
nasional. Dengan penguasaan hanya sekitar 16 persen, Pertamina sekadar
merupakan pemain "figuran" dalam industri tambang migas di Tanah Air.
Bandingkan dengan korporasi asing seperti Chevron (Amerika Serikat) yang menguasai
44 persen.
Ditambah
korporasi asing lain seperti Total E&P (Prancis) dengan penguasaan 10
persen, ConocoPhilips (Amerika Serikat, 8 persen), juga China National Offshore
Oil Corporation (China, 5 persen), maka sumber daya migas nasional memang dikangkangi
asing.
Kenyataan itu
membuat sumber daya migas bukan hanya tidak menjadi sumber yang mengalirkan
kemakmuran bagi rakyat, melainkan juga menafikan keberadaan negara. Negara
menjadi tidak berdaya atas pemanfaatan komoditas migas yang dihasilkan dari
bumi Indonesia. Ketika pasokan migas jauh di bawah kebutuhan sekarang ini,
misalnya, produksi migas di tangan korporasi asing malah mengalir deras ke
pasar bebas.
Karena itu, UU
Migas beralasan dikoreksi total dengan menempatkannya masuk koridor UUD 1945
sebagai konstitusi negara. Hanya dengan itu maka kedaulatan atas sumber daya
migas pun bisa kembali ke tangan negara. Dengan itu pula, sumber daya migas
bisa diharapkan mengalirkan kesejahteraan bagi rakyat karena tidak lagi melulu
diperlakukan sebagai komoditas komersial.
Walhasil, uji
materi UU Migas di Mahkamah Konstitusi sangat relevan. Bukan cuma karena
Mahkamah Konstitusi adalah institusi yang memiliki kewenangan menguji
pasal-pasal dalam kaitannya dengan UUD 1945. Lebih dari itu, juga karena
Mahkamah Konstitusi sejauh ini sudah teruji mampu mengambil putusan secara
objektif, transparan, dan jauh dari berbagai bias.***
Jakarta, 6 Juni
2012