06 Mei 2012

Kedaulatan Migas


Kedaulatan kita atas sumber daya minyak dan gas (migas) kemarin mulai diuji di Mahkamah Konstitusi. Persidangan di Mahkamah Konstitusi ini sungguh menjadi panggung yang menentukan masa depan kita: apakah penguasaan sumber daya migas ini tetap didominasi asing seperti selama ini, ataukah dominasi itu diamputasi karena dinilai melanggar konstitusi negara.

Pengujian itu sendiri dilakukan terhadap materi UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas. Permohonan uji materi diajukan kalangan tokoh Islam seperti Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, mantan Ketua Umum PBNU Hasjim Muzadi, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amidhan, sejumlah ormas Islam, serta kalangan politisi seperti Fahmi Idris dan Ali Mochtar Ngabalin.

Mereka meminta Mahkamah Konstitusi membatalkan UU Migas karena mereka nilai proasing serta membuat kedaulatan negara atas sumber daya migas menjadi sirna. Permintaan tersebut tidak mengada-ada karena migas jelas merupakan komoditas strategis -- dalam arti menjadi hajat hidup orang banyak.

Adalah para pendiri NKRI, sebagaimana tertuang dalam UUD 1945, sangat mewanti-wanti agar negara menguasai sumber daya yang menjadi hajat hidup orang banyak ini. Artinya, atas sumber daya migas pun negara harus berdaulat.

Tetapi kenyataan sekarang ini menunjukkan betapa amanat para pendiri NKRI sudah tidak bermakna lagi. Tidak bermakna, karena negara justru kehilangan kendali atas sumber daya migas. Migas di negara Indonesia ini praktis sudah dikuasai perusahaan-perusahaan raksasa asing. Pertamina sebagai institusi kepanjangan tangan negara, dalam kaitan ini, relatif sedikit menguasai ladang-ladang migas nasional. Dengan penguasaan hanya sekitar 16 persen, Pertamina sekadar merupakan pemain "figuran" dalam industri tambang migas di Tanah Air. Bandingkan dengan korporasi asing seperti Chevron (Amerika Serikat) yang menguasai 44 persen.

Ditambah korporasi asing lain seperti Total E&P (Prancis) dengan penguasaan 10 persen, ConocoPhilips (Amerika Serikat, 8 persen), juga China National Offshore Oil Corporation (China, 5 persen), maka sumber daya migas nasional memang dikangkangi asing.

Kenyataan itu membuat sumber daya migas bukan hanya tidak menjadi sumber yang mengalirkan kemakmuran bagi rakyat, melainkan juga menafikan keberadaan negara. Negara menjadi tidak berdaya atas pemanfaatan komoditas migas yang dihasilkan dari bumi Indonesia. Ketika pasokan migas jauh di bawah kebutuhan sekarang ini, misalnya, produksi migas di tangan korporasi asing malah mengalir deras ke pasar bebas.

Karena itu, UU Migas beralasan dikoreksi total dengan menempatkannya masuk koridor UUD 1945 sebagai konstitusi negara. Hanya dengan itu maka kedaulatan atas sumber daya migas pun bisa kembali ke tangan negara. Dengan itu pula, sumber daya migas bisa diharapkan mengalirkan kesejahteraan bagi rakyat karena tidak lagi melulu diperlakukan sebagai komoditas komersial.

Walhasil, uji materi UU Migas di Mahkamah Konstitusi sangat relevan. Bukan cuma karena Mahkamah Konstitusi adalah institusi yang memiliki kewenangan menguji pasal-pasal dalam kaitannya dengan UUD 1945. Lebih dari itu, juga karena Mahkamah Konstitusi sejauh ini sudah teruji mampu mengambil putusan secara objektif, transparan, dan jauh dari berbagai bias.***

Jakarta, 6 Juni 2012