09 Mei 2012

Vonis 4 tahun 6 bulan penjara yang dijatuhkan terhadap terdakwa kasus penyuapan anggota DPR, Nunun Nurbaeti, kemarin, sungguh jauh dari harapan publik. Vonis tersebut, bagi publik, jauh memenuhi rasa keadilan -- mengingat peran sentral Nunun dalam kasus itu. Terlebih Nunun sempat tidak kooperatif terhadap upaya penegakan hukum. Lalu nilai korupsi dalam kasus itu sendiri tidak tergolong kelas ecek-ecek.

Karena itu, vonis terhadap Nunun ini lagi-lagi mengecewakan publik. Lagi-lagi, karena sebelum ini Pengadilan Tipikor juga menjatuhkan hukuman relatif ringan terhadap sejumlah terdakwa kasus korupsi kelas kakap. M Nazaruddin, aktor utama kasus korupsi proyek wisma atlet SEA Games 2011, misalnya, hanya dihukum 4 tahun 10 bulan penjara plus denda Rp 200 juta. Padahal peran Nazaruddin dalam proyek super kakap itu demikian sentral. 

Begitu pula vonis kurungan yang dijatuhkan terhadap Rosalina Manulang -- anak buah Nazaruddin di Grup Permai miliknya -- hanya dua tahun 6 bulan plus denda Rp 200 juta. Juga El Idris, Manajer Pemasaran PT Duta Graha Indah yang memberikan suap kepada Nazaruddin dan Sekretaris Menpora Wafid Muharam terkait proyek wisma atlet, hanya diganjar hukuman 2 tahun penjara plus denda Rp 200 juta. Wafid sendiri divonis penjara 3 tahun dan denda Rp 150 juta. Peran ketiga orang tersebut dalam perkara korupsi proyek wisma atlet ini juga 
bukan sekadar "figuran". 

Karena itu, vonis untuk Nunun makin meneguhkan kesan bahwa Pengadilan Tipikor Jakarta lembek dalam menghukum koruptor. 
Mereka seperti tak memiliki cukup keberanian untuk menjatuhkan hukuman seberat-beratnya. Vonis penjara yang rata-rata di bawah lima tahun, juga hukuman denda yang praktis alakadarnya dibanding nilai korupsi, bagaimanapun sulit diharapkan menimbulkan efek jera bagi pelaku korupsi. 

Jadi, wajar dan sah-sah saja jika publik dibuat kecewa oleh vonis-vonis ringan untuk koruptor ini. Publik kecewa karena sejak awal mereka sangat berharap koruptor diganjar hukuman seberat-beratnya. Bukan saja karena uang yang digasak membuat khalayak luas dirugikan, melainkan juga karena publik ingin korupsi bisa diberantas tuntas. Publik amat mendambakan korupsi tidak terus-terusan menjadi kanker yang merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. 

Hukum mestinya mencerminkan nurani masyarakat. Nurani itu sendiri adalah rasa keadilan. Jika rasa keadilan masyarakat tak terpenuhi atau bahkan terabaikan, berarti hukum bisa dibilang buta dan tuli. 

Jelas, hukum tak boleh buta dan tuli -- karena membuat masyarakat kehilangan pegangan dan pijakan. Hukum harus peduli terhadap nurani masyarakat. Nah, dalam perkara-perkara korupsi -- terlebih perkara korupsi yang membuat publik terguncang -- hukum harus bisa memenuhi rasa keadilan masyarakat, sekaligus menumbuhkan efek jera bagi pelaku tindak pidana korupsi. Itu berarti, tak bisa lain, koruptor harus divonis penjara seberat-beratnya dengan denda maksimal atau bahkan membuat mereka benar-benar jatuh miskin.***

Jakarta, 9 Mei 2012