Vonis 4 tahun 6
bulan penjara yang dijatuhkan terhadap terdakwa kasus penyuapan anggota DPR,
Nunun Nurbaeti, kemarin, sungguh jauh dari harapan publik. Vonis tersebut, bagi
publik, jauh memenuhi rasa keadilan -- mengingat peran sentral Nunun dalam
kasus itu. Terlebih Nunun sempat tidak kooperatif terhadap upaya penegakan
hukum. Lalu nilai korupsi dalam kasus itu sendiri tidak tergolong kelas
ecek-ecek.
Karena itu, vonis
terhadap Nunun ini lagi-lagi mengecewakan publik. Lagi-lagi, karena sebelum ini
Pengadilan Tipikor juga menjatuhkan hukuman relatif ringan terhadap sejumlah
terdakwa kasus korupsi kelas kakap. M Nazaruddin, aktor utama kasus korupsi
proyek wisma atlet SEA Games 2011, misalnya, hanya dihukum 4 tahun 10 bulan penjara
plus denda Rp 200 juta. Padahal peran Nazaruddin dalam proyek super kakap itu
demikian sentral.
Begitu pula vonis
kurungan yang dijatuhkan terhadap Rosalina Manulang -- anak buah Nazaruddin di
Grup Permai miliknya -- hanya dua tahun 6 bulan plus denda Rp 200 juta. Juga El
Idris, Manajer Pemasaran PT Duta Graha Indah yang memberikan suap kepada
Nazaruddin dan Sekretaris Menpora Wafid Muharam terkait proyek wisma atlet,
hanya diganjar hukuman 2 tahun penjara plus denda Rp 200 juta. Wafid sendiri divonis
penjara 3 tahun dan denda Rp 150 juta. Peran ketiga orang tersebut dalam
perkara korupsi proyek wisma atlet ini juga
bukan sekadar
"figuran".
Karena itu, vonis
untuk Nunun makin meneguhkan kesan bahwa Pengadilan Tipikor Jakarta lembek
dalam menghukum koruptor.
Mereka seperti
tak memiliki cukup keberanian untuk menjatuhkan hukuman seberat-beratnya. Vonis
penjara yang rata-rata di bawah lima tahun, juga hukuman denda yang praktis
alakadarnya dibanding nilai korupsi, bagaimanapun sulit diharapkan menimbulkan
efek jera bagi pelaku korupsi.
Jadi, wajar dan
sah-sah saja jika publik dibuat kecewa oleh vonis-vonis ringan untuk koruptor
ini. Publik kecewa karena sejak awal mereka sangat berharap koruptor diganjar
hukuman seberat-beratnya. Bukan saja karena uang yang digasak membuat khalayak
luas dirugikan, melainkan juga karena publik ingin korupsi bisa diberantas
tuntas. Publik amat mendambakan korupsi tidak terus-terusan menjadi kanker yang
merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Hukum mestinya
mencerminkan nurani masyarakat. Nurani itu sendiri adalah rasa keadilan. Jika
rasa keadilan masyarakat tak terpenuhi atau bahkan terabaikan, berarti hukum
bisa dibilang buta dan tuli.
Jelas, hukum tak
boleh buta dan tuli -- karena membuat masyarakat kehilangan pegangan dan
pijakan. Hukum harus peduli terhadap nurani masyarakat. Nah, dalam
perkara-perkara korupsi -- terlebih perkara korupsi yang membuat publik
terguncang -- hukum harus bisa memenuhi rasa keadilan masyarakat, sekaligus
menumbuhkan efek jera bagi pelaku tindak pidana korupsi. Itu berarti, tak bisa
lain, koruptor harus divonis penjara seberat-beratnya dengan denda maksimal
atau bahkan membuat mereka benar-benar jatuh miskin.***
Jakarta, 9 Mei
2012