24 Mei 2012

Krisis BBM di Kalimantan


Krisis pasokan bahan bakar minyak (BBM) subsidi di Kalimantan tak boleh dipandang sebagai masalah sepele. Jika tak segera dicarikan solusi yang memuaskan masyarakat setempat, masalah tersebut bisa menggumpal menjadi bom waktu. Manakala meledak, bom tersebut bukan sekadar bisa merepotkan secara ekonomi. Bukan tidak mungkin, ledakan itu juga menumbuhkan bibit-bibit yang lambat-laun mengarah kepada disintegrasi.

Gejala ke arah itu bahkan kini sudah mulai terlihat. Gejala itu tecermin dalam bentuk ancaman para gubernur se-Kalimantan untuk menghentikan produksi hasil tambang di daerah masing-masing jika hingga akhir Mei ini pemerintah pusat tidak segera mengatasi krisis pasokan BBM subsidi di wilayah mereka. Dalam konteks ini, mereka menuntut penambahan kuota BBM subsidi. Mereka minta tambahan karena catu untuk wilayah mereka sekarang ini sudah tidak mencukupi lagi. Maklum, karena konsumsi terus meningkat secara signifikan.

Nah, kesepakatan para gubernur se-Kalimantan itu sungguh patut diwaspadai. Bahkan kesepakatan itu layak dipandang sebagai bibit "perlawanan" daerah terhadap pusat. Dengan menghentikan produksi hasil tambang, mereka niscaya bisa membuat pemerintah kerepotan. Repot, karena ekonomi nasional niscaya terganggu.  Bahkan, jika terus berlarut-larut, kekacauan ekonomi itu bisa berimbas terhadap kehidupan politik.

Sebagai penghasil utama komoditas tambang (batubara, minyak  bumi, gas alam), peran Kalimantan dalam kehidupan ekonomi nasional memang tak bisa dipandang enteng. Karena itu, sedikit saja "berulah", seperti ancaman yang menjadi kesepakatan para gubernur se-Kalimantan itu tadi, mereka niscaya tak kesulitan mengacaukan ekonomi nasional.

Oleh sebab itu, pemerintah pusat harus bisa memelihara suasana kondusif sehingga rakyat Kalimantan tidak sampai "berulah". Dalam konteks ini, mereka jangan sampai merasa mendapat perlakuan tidak adil. Becermin kepada sejarah masa-masa awal kemerdekaan, perasaan seperti itu bahkan bisa menumbuhkan perlawanan yang mengarah kepada disintegrasi NKRI.

Rakyat Kalimantan sendiri sekarang ini sedikit banyak mulai disusupi perasaan diperlakukan tidak adil. Ya, bagi mereka, krisis BBM subsidi yang berlarut-larut adalah ironi yang menumbuhkan parasaan itu. Sebagai daerah penghasil minyak bumi, mereka merasa tak seharusnya mengalami krisis BBM. Terlebih jika mengingat kontribusi wilayah mereka terhadap ekonomi nasional selama ini.

Walhasil, sekali lagi, pemerintah tak boleh memandang remeh krisis BBM di Kalimantan ini. Pemerintah harus menyadari betul bahwa kejengkelan atas krisis tersebut bisa membuncahkan ketidakpuyasan rakyat Kalimantan akibat merasa diperlakukan tidak adil.

Untuk itu, tuntutan rakyat Kalimantan sebagaimana direpresentasikan oleh kesepakatan para gubernur di wilayah itu patut diindahkan. Dalam konteks ini, pemerintah tidak boleh bersikap kaku. Tuntutan rakyat Kalimantan -- penambahan kuota BBM subsidi -- jangan diperlakukan semata dalam kodridor teknis ekonomi karena niscaya tak bakal melahirkan solusi yang mengakhiri krisis. Tuntutan itu juga harus dipandang dalam perspektif politis: menjaga keutuhan NKRI.***

Jakarta, 24 Mei 2012