Krisis pasokan
bahan bakar minyak (BBM) subsidi di Kalimantan tak boleh dipandang sebagai
masalah sepele. Jika tak segera dicarikan solusi yang memuaskan masyarakat
setempat, masalah tersebut bisa menggumpal menjadi bom waktu. Manakala meledak,
bom tersebut bukan sekadar bisa merepotkan secara ekonomi. Bukan tidak mungkin,
ledakan itu juga menumbuhkan bibit-bibit yang lambat-laun mengarah kepada
disintegrasi.
Gejala ke arah
itu bahkan kini sudah mulai terlihat. Gejala itu tecermin dalam bentuk ancaman
para gubernur se-Kalimantan untuk menghentikan produksi hasil tambang di daerah
masing-masing jika hingga akhir Mei ini pemerintah pusat tidak segera mengatasi
krisis pasokan BBM subsidi di wilayah mereka. Dalam konteks ini, mereka
menuntut penambahan kuota BBM subsidi. Mereka minta tambahan karena catu untuk
wilayah mereka sekarang ini sudah tidak mencukupi lagi. Maklum, karena konsumsi
terus meningkat secara signifikan.
Nah, kesepakatan
para gubernur se-Kalimantan itu sungguh patut diwaspadai. Bahkan kesepakatan
itu layak dipandang sebagai bibit "perlawanan" daerah terhadap pusat.
Dengan menghentikan produksi hasil tambang, mereka niscaya bisa membuat
pemerintah kerepotan. Repot, karena ekonomi nasional niscaya terganggu. Bahkan, jika terus berlarut-larut, kekacauan
ekonomi itu bisa berimbas terhadap kehidupan politik.
Sebagai penghasil
utama komoditas tambang (batubara, minyak
bumi, gas alam), peran Kalimantan dalam kehidupan ekonomi nasional
memang tak bisa dipandang enteng. Karena itu, sedikit saja "berulah",
seperti ancaman yang menjadi kesepakatan para gubernur se-Kalimantan itu tadi,
mereka niscaya tak kesulitan mengacaukan ekonomi nasional.
Oleh sebab itu,
pemerintah pusat harus bisa memelihara suasana kondusif sehingga rakyat
Kalimantan tidak sampai "berulah". Dalam konteks ini, mereka jangan
sampai merasa mendapat perlakuan tidak adil. Becermin kepada sejarah masa-masa
awal kemerdekaan, perasaan seperti itu bahkan bisa menumbuhkan perlawanan yang
mengarah kepada disintegrasi NKRI.
Rakyat Kalimantan
sendiri sekarang ini sedikit banyak mulai disusupi perasaan diperlakukan tidak
adil. Ya, bagi mereka, krisis BBM subsidi yang berlarut-larut adalah ironi yang
menumbuhkan parasaan itu. Sebagai daerah penghasil minyak bumi, mereka merasa
tak seharusnya mengalami krisis BBM. Terlebih jika mengingat kontribusi wilayah
mereka terhadap ekonomi nasional selama ini.
Walhasil, sekali
lagi, pemerintah tak boleh memandang remeh krisis BBM di Kalimantan ini.
Pemerintah harus menyadari betul bahwa kejengkelan atas krisis tersebut bisa
membuncahkan ketidakpuyasan rakyat Kalimantan akibat merasa diperlakukan tidak
adil.
Untuk itu,
tuntutan rakyat Kalimantan sebagaimana direpresentasikan oleh kesepakatan para
gubernur di wilayah itu patut diindahkan. Dalam konteks ini, pemerintah tidak
boleh bersikap kaku. Tuntutan rakyat Kalimantan -- penambahan kuota BBM subsidi
-- jangan diperlakukan semata dalam kodridor teknis ekonomi karena niscaya tak
bakal melahirkan solusi yang mengakhiri krisis. Tuntutan itu juga harus
dipandang dalam perspektif politis: menjaga keutuhan NKRI.***