01 Mei 2012

Kado untuk Buruh

Tanpa mengurangi penghargaan terhadap niat baik pemerintah, pemberian kado untuk kaum buruh dalam rangka peringatan Hari Buruh se-Dunia 2012, Selasa kemarin, tidak istimewa – kalau tidak dibilang ala kadarnya. Tidak istimewa, karena kado tersebut tidak bersifat mendasar. Kado tersebut  lebih merupakan polesan kosmetika terhadap masalah kesejahteraan buruh di dalam negeri. Sebagai polesan kosmetika, kado itu sekadar membuat masalah kesejahteraan buruh menjadi seolah-oleh lebih elok. 

Seperti diungkapkan Mennakertrans Muhaimin Iskandar, kado pemerintah untuk kaum buruh di dalam negeri itu terdiri atas empat macam:  batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dinaikkan dari Rp 1,3 juta menjadi Rp 2 juta, pembangunan  rumah sakit buruh di tiga titik (di Kado untuk Buruh

Bekasi, Tangerang, dan Surabaya), pengadaan jasa transportasi murah  di kawasan industri, serta pengadaan  rumah murah. Toh,  secara substantif, paket kado itu tidak serta-merta bakal membuat kehidupan buruh  terbebaskan dari kondisi marginal atau subsisten. 

Bagaimanapun,  paket kado itu tidak bakal membuat kesejahteraan buruh berubah membaik secara signifikan. Artinya, dengan paket kado itu pun kehidupan buruh tetap saja belum benar-benar bisa mencapai tahap sejahtera menurut ukuran atau standar hidup berkelayakan sebagaimana  bisa  tecermin dari indikator-indikator kunci. Misanya pemenuhan  kebutuhan atas makanan sehat dan  bergizi, air bersih, listrik, sanitasi, rekreasi, juga pengembangan kapasitas dan potensi keluarga. 

Jadi, sekali lagi, kado pemerintah itu sekadar membuat kesejahteraan buruh  menjadi seolah-olah bakal membaik. Seolah-olah, karena kado itu tidak langsung mengubah    kesejahteraan itu sendiri secara mendasar menjadi jauh lebih baik. Kado itu sekadar  membuat “kemasan” kesejahteraan buruh tampak lebih elok. Dengan PTKP dinaikkan menjadi Rp 2 juta, misalnya, buruh seolah-olah bisa menikmati tambahan penghasilan. Padahal secara nominal, itu tidak serta-merta membuat mereka menjadi bisa menabung --  justru karena tingkat upah mereka memang rendah. Kenaikan PTKP malah lebih menegaskan kenyataan bahwa upah buruh di dalam negeri secara umum belum memenuhi standar kebutuhan dasar. 

Dalam perspektif lain, paket kado  ini juga bisa menumbuhkan ketidakadilan di kalangan buruh. Ya, karena paket kado ini tidak mencakup seluruh buruh di Tanah Air. Soal fasilitas rumah sakit, misalnya, itu hanya bisa dinikmati oleh buruh di tiga wilayah di mana rumah sakit itu dibangun: Bekasi, Tangerang, dan Surabaya. Bagaimana dengan buruh di wilayah lain? Suka ataupun tidak suka, buruh di luar ketiga wilayah itu sekadar menjadi penonton! Nah, bukankah ini menggugah perasaan tidak adil? 

Begitu juga dengan fasilitas transportasi murah yang hanya bisa dinikmati oleh buruh yang bekerja di kawasan industri. Padahal kenyataan di lapangan menunjukkan, buruh tak melulu terkonsentrasi di kawasan industri. Bahkan, boleh jadi, buruh di luar kawasan industri jauh lebih banyak. Kalau fasilitas transportasi murah sebatas diberikan kepada buruh di kawasan industri, jangan salahkan kalau buruh di luar itu memvonis kebijakan pemerintah bersifat diskriminatif. 

Isu-isu sensitif seperti itu bisa mudah mencuat karena kado pemerintah tidak langsung  memperbaiki substansi kesejahteraan buruh. Substansi itu  adalah tingkat upah yang  memadai. Dengan tingkat upah yang memadai, buruh otomatis bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar, termasuk soal kesehatan dan perumahan. Ini bukan berarti pembangunan fasilitas kesehatan dan perumahan murah bagi buruh tidak penting atau tidak relevan. Sebagai perangkat kesejahteraan, penyediaan fasilitas-fasilitas tersebut tetap punya urgensi. Tetapi semua itu bisa tidak optimal dimanfaatkan buruh jika tingkat penghasilan mereka tak cukup memadai untuk itu. Bahkan jika tingkat upah atau penghasilan buruh tidak menjadi landasan kuat bagi daya beli mereka, fasilitas rumah murah ataupun rumah sakit yang khusus disiapkan untuk buruh tetap saja tak bisa mereka jangkau. 

Namun, bagaimanapun niat baik pemerintah memberikan kado kepada buruh ini tetap layak dihargai. Paling tidak, itu menunjukkan bahwa pemerintah masih memiliki kepedulian terhadap nasib buruh. Cuma, soalnya, kepedulian itu  terasa setengah hati --  karena tidak langsung merujuk kepada perbaikan kesejahteraan buruh secara mendasar.***

Jakarta, 1 Mei 2012