Tanpa mengurangi penghargaan terhadap niat baik pemerintah,
pemberian kado untuk kaum buruh dalam rangka peringatan Hari Buruh se-Dunia
2012, Selasa kemarin, tidak istimewa – kalau tidak dibilang ala kadarnya. Tidak
istimewa, karena kado tersebut tidak bersifat mendasar. Kado tersebut lebih merupakan polesan kosmetika terhadap
masalah kesejahteraan buruh di dalam negeri. Sebagai polesan kosmetika, kado
itu sekadar membuat masalah kesejahteraan buruh menjadi seolah-oleh lebih elok.
Seperti diungkapkan Mennakertrans Muhaimin Iskandar, kado
pemerintah untuk kaum buruh di dalam negeri itu terdiri atas empat macam: batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP)
dinaikkan dari Rp 1,3 juta menjadi Rp 2 juta, pembangunan rumah sakit buruh di tiga titik (di Kado
untuk Buruh
Bekasi, Tangerang, dan Surabaya), pengadaan jasa
transportasi murah di kawasan industri,
serta pengadaan rumah murah. Toh, secara substantif, paket kado itu tidak
serta-merta bakal membuat kehidupan buruh
terbebaskan dari kondisi marginal atau subsisten.
Bagaimanapun, paket
kado itu tidak bakal membuat kesejahteraan buruh berubah membaik secara
signifikan. Artinya, dengan paket kado itu pun kehidupan buruh tetap saja belum
benar-benar bisa mencapai tahap sejahtera menurut ukuran atau standar hidup
berkelayakan sebagaimana bisa tecermin dari indikator-indikator kunci.
Misanya pemenuhan kebutuhan atas makanan
sehat dan bergizi, air bersih, listrik,
sanitasi, rekreasi, juga pengembangan kapasitas dan potensi keluarga.
Jadi, sekali lagi, kado pemerintah itu sekadar membuat
kesejahteraan buruh menjadi seolah-olah
bakal membaik. Seolah-olah, karena kado itu tidak langsung mengubah kesejahteraan itu sendiri secara mendasar
menjadi jauh lebih baik. Kado itu sekadar
membuat “kemasan” kesejahteraan buruh tampak lebih elok. Dengan PTKP
dinaikkan menjadi Rp 2 juta, misalnya, buruh seolah-olah bisa menikmati
tambahan penghasilan. Padahal secara nominal, itu tidak serta-merta membuat
mereka menjadi bisa menabung -- justru
karena tingkat upah mereka memang rendah. Kenaikan PTKP malah lebih menegaskan
kenyataan bahwa upah buruh di dalam negeri secara umum belum memenuhi standar
kebutuhan dasar.
Dalam perspektif lain, paket kado ini juga bisa menumbuhkan ketidakadilan di
kalangan buruh. Ya, karena paket kado ini tidak mencakup seluruh buruh di Tanah
Air. Soal fasilitas rumah sakit, misalnya, itu hanya bisa dinikmati oleh buruh
di tiga wilayah di mana rumah sakit itu dibangun: Bekasi, Tangerang, dan
Surabaya. Bagaimana dengan buruh di wilayah lain? Suka ataupun tidak suka,
buruh di luar ketiga wilayah itu sekadar menjadi penonton! Nah, bukankah ini
menggugah perasaan tidak adil?
Begitu juga dengan fasilitas transportasi murah yang hanya
bisa dinikmati oleh buruh yang bekerja di kawasan industri. Padahal kenyataan
di lapangan menunjukkan, buruh tak melulu terkonsentrasi di kawasan industri.
Bahkan, boleh jadi, buruh di luar kawasan industri jauh lebih banyak. Kalau
fasilitas transportasi murah sebatas diberikan kepada buruh di kawasan
industri, jangan salahkan kalau buruh di luar itu memvonis kebijakan pemerintah
bersifat diskriminatif.
Isu-isu sensitif seperti itu bisa mudah mencuat karena kado
pemerintah tidak langsung memperbaiki
substansi kesejahteraan buruh. Substansi itu
adalah tingkat upah yang memadai.
Dengan tingkat upah yang memadai, buruh otomatis bisa memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dasar, termasuk soal kesehatan dan perumahan. Ini bukan
berarti pembangunan fasilitas kesehatan dan perumahan murah bagi buruh tidak
penting atau tidak relevan. Sebagai perangkat kesejahteraan, penyediaan
fasilitas-fasilitas tersebut tetap punya urgensi. Tetapi semua itu bisa tidak
optimal dimanfaatkan buruh jika tingkat penghasilan mereka tak cukup memadai
untuk itu. Bahkan jika tingkat upah atau penghasilan buruh tidak menjadi
landasan kuat bagi daya beli mereka, fasilitas rumah murah ataupun rumah sakit
yang khusus disiapkan untuk buruh tetap saja tak bisa mereka jangkau.
Namun, bagaimanapun niat baik pemerintah memberikan kado
kepada buruh ini tetap layak dihargai. Paling tidak, itu menunjukkan bahwa
pemerintah masih memiliki kepedulian terhadap nasib buruh. Cuma, soalnya,
kepedulian itu terasa setengah hati
-- karena tidak langsung merujuk kepada
perbaikan kesejahteraan buruh secara mendasar.***
Jakarta, 1 Mei 2012