Sebagai upaya mengatasi kemacaten arus lalu lintas di jalan raya Jakarta,
pemberlakuan arus kendaraan berlawanan arah (contra
flow) di salah satu jalur jalan tol dalam kota mulai Selasa ini patut diapresiasi.
Paling tidak, langkah tersebut menunjukkan keinginan baik kepolisian untuk
memberikan kenyamanan terhadap pengguna jalan tol, khususnya pada jam padat di
pagi hari.
Meski begitu, pemberlakuan contra
flow di jalan tol justru makin menguatkan kesan bahwa Pemda DKI Jakarta
tidak memiliki strategi komprehensif dan mendasar dalam menangani masalah
kemacetan lalu lintas di jalan raya. Pemberlakuan contra flow di jalan tol lebih merupakan kebijakan parsial alias
tidak menjadi bagian sebuah desain besar strategi penanganan kemacetan lalu
lintas yang disiapkan pihak pemda.
Karena itu pula, kebijakan contra
flow hanya produk dadakan yang kental bersemangat coba-coba alias trial and error. Kebijakan tersebut sama
sekali belum teruji. Juga tidak berpijak pada studi kelayakan sebagaimana patut
dan galibnya sebuah kebijakan. Karena itu, tak ada pihak yang benar-benar yakin
- -termasuk kepolisian sendiri -- bahwa pemberlakuan contra flow mampu efektif mengurai kemacetan lalu lintas.
Dalam perspektif seperti itu, kebijakan contra
flow lebih mencerminkan kekalutan sekaligus ketidakmampuan pemda dalam
mengatasi kemacetan lalu lintas di jalan raya. Kalut, karena sebelum ini pemda
sudah mencoba menerapkan sejumlah langkah lain. Sebut saja kebijakan satu
kendaraan isi minimal tiga orang alias three
in one di jalan protokol Sudirman-Thamrin pada jam padat di pagi dan sore
hari, yang sudah diterapkan sejak sekitar dua dasawarsa lebih. Juga pembentukan
satgas antimacet dan satgas parkir di pinggir jalan (on street). Ada pula pengoperasian jalur khusus bus alias busway di sejumlah koridor.
Toh berbagai langkah dan cara itu tidak menjadi solusi yang benar-benar
jitu dalam mengatasi masalah kemacetan lalu lintas di jalan raya. Bahkan
masalah tersebut kian hari kian akut - dan karena itu pula pemda pun terjebak
pada kekalutan.
Namun menjadi ironis karena di tengah kekalutan itu, strategi Pemda DKI
Jakarta dalam mengatasi kemacetan lalu lintas di jalan raya ini terus terpola
dalam cara-cara trial and error. Juga
terus tergoda oleh cara-cara yang secara konseptual punya cacat bawaan berupa
sifatnya yang parsial dan artifisial - termasuk strategi contra flow.
Masalah kemacetan lalu lintas jalan raya di DKI Jakarta memang telanjur
kompleks, sehingga strategi maupun teknis operasional penanganan masalah
tersebut tak bisa bersifat parsial ataupun tambal-sulam - - apalagi
sekadar trial and error. Masalah itu
menuntut konsep penanganan yang bersifat komprehensif dan mendasar. Itulah
sistem angkutan massal yang nyaman, aman, dan relatif murah. Juga terintegrasi
utuh dengan kota-kota satelit di sekeliling Jakarta.
Mestinya pembangunan sistem angkutan massal itu menjadi bahan pemikiran
calon-calon gubernur yang akan maju dalam pilkada DKI Jakarta. Jika isu ini
tidak disiapkan secara matang, kesanggupan mereka mengatasi masalah kemacetan
lalu lintas jalan raya sungguh tak bisa diandalkan. Strategi model contra flow pun niscaya bisa menjadi
pilihan mereka. Padahal, sekali lagi, strategi ala contra flow sekadar pilihan kalut di tengah kian parahnya kemacetan
lalu lintas di Jakarta.***