24 April 2012

Gamang Pembatasan BBM


Semakin gamblang saja bahwa pemerintah gamang sekaligus tidak siap melakukan kebijakan pembatasan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) subsidi. Gamang, karena kebijakan itu niscaya menohok kepentingan pihak tertentu. Juga tidak siap, karena secara teknis di lapangan kebijakan itu ruwet bin kompleks.

Karena itu, bahkan rapat kabinet yang dipimpin langsung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun, kemarin, tidak berani mengambil keputusan mengenai soal pembatasan penggunaan BBM subsidi ini. Padahal sejak jauh hari pemerintah sudah gembar-gembor bahwa pembatasan tersebut mulai diberlakukan per 1 Mei 2012, khususnya bagi kendaraan dinas pemerintah sebelum kemudian diberlakukan kepada umum di wilayah Jawa dan Bali sebagai tahap pertama.

Pemerintah berkilah, kebijakan pembatasan itu masih perlu lebih didalami. Penggodokan bahkan masih perlu dilakukan di tingkat pejabat eselon di bawah menteri. Artinya, secara konseptual kebijakan itu masih jauh dari matang. Karena itu, wajar saja pemerintah belum siap melaksanakan kebijakan itu sesuai rencana per 1 Mei 2012.

Dalam merumuskan kebijakan, pemerintah memang tidak boleh grasa-grusu. Terlebih menyangkut kebijakan yang secara fundamental mempengaruhi kehidupan publik, seperti pembatasan penggunaan BBM subsidi. Kebijakan yang dirumuskan secara grasa-grusu niscaya prematur sehingga bisa mengandung banyak cacat -- dan karena itu berisiko tidak efektif.

Jadi, pendalaman kebijakan seperti kini dilakukan pemerintah menyangkut pembatasan penggunaan BBM subsidi adalah keharusan. Namun karena pemerintah telanjur gembar-gembor bahwa kebijakan itu mulai diperlakukan per 1 Mei 2012, tak bisa tidak langkah pendalaman itu malah menimbulkan kesan bahwa pemerintah dilanda kegamangan dan tidak siap.
     
Kesan itu tak terhindarkan karena pembatasan penggunaan BBM niscaya menohok kepentingan kalangan tertentu. Industri otomotif, misalnya, jelas merupakan salah satu pihak yang kena tohok itu. Sekarang ini saja, mereka sudah mengeluh bahwa pembatasan itu bisa membuat target penjualan satu juta mobil pada tahun ini sulit dicapai. Nah, tampaknya, pemerintah tidak ingin dicap mengorbankan mereka.
    
Mestinya, kegamangan seperti itu tidak sampai tercuatkan ke ruang publik. Bagaimanapun, dalam meluncurkan kebijakan, pemerintah harus terkesan tegas, lugas, dan percaya diri. Juga kredibel.
    
Untuk itu, ketika dilempar ke tengah publik, kebijakan harus sudah benar-benar matang dan meyakinkan -- secara konsepsional strategis maupun secara teknis. Segala keriuhan di ruang publik, yang nyata-nyata tidak produktif atau bahkan mendistorsi visi dan misi pemerintah terkait kebijakan itu, harus dihindari. Publik, dalam konteks ini, sekadar dikondisikan bisa memahami dan diharapkan menerima kebijakan yang diluncurkan.
    
Karena itu, ke depan, pemerintah harus membuang kebiasaan buruk: melempar wacana ke tengah publik. Kebiasaan tersebut buruk karena lebih banyak menimbulkan keriuhan dan sekaligus kegerahan di tengah masyarakat. Terlebih kalau pemerintah sendiri belum siap, main lempar wacana bukan hanya tidak produktif, tapi juga bisa membuat masyarakat seperti kena teror. Akibatnya, kasak-kusuk dan spekulasi macam-macam merebak.
    
Itu pula yang terjadi seiring rencana pembatasan penggunaan BBM subsidi sekarang ini. Makin kental diwacanakan, rencana itu makin membuat masyarakat resah -- karena pemerintah jadi kian terkesan gamang dan tidak siap.***

Jakarta, 24 April 2012