Semakin gamblang
saja bahwa pemerintah gamang sekaligus tidak siap melakukan kebijakan
pembatasan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) subsidi. Gamang, karena
kebijakan itu niscaya menohok kepentingan pihak tertentu. Juga tidak siap,
karena secara teknis di lapangan kebijakan itu ruwet bin kompleks.
Karena itu,
bahkan rapat kabinet yang dipimpin langsung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
pun, kemarin, tidak berani mengambil keputusan mengenai soal pembatasan
penggunaan BBM subsidi ini. Padahal sejak jauh hari pemerintah sudah
gembar-gembor bahwa pembatasan tersebut mulai diberlakukan per 1 Mei 2012,
khususnya bagi kendaraan dinas pemerintah sebelum kemudian diberlakukan kepada
umum di wilayah Jawa dan Bali sebagai tahap pertama.
Pemerintah
berkilah, kebijakan pembatasan itu masih perlu lebih didalami. Penggodokan
bahkan masih perlu dilakukan di tingkat pejabat eselon di bawah menteri.
Artinya, secara konseptual kebijakan itu masih jauh dari matang. Karena itu,
wajar saja pemerintah belum siap melaksanakan kebijakan itu sesuai rencana per
1 Mei 2012.
Dalam merumuskan
kebijakan, pemerintah memang tidak boleh grasa-grusu. Terlebih menyangkut
kebijakan yang secara fundamental mempengaruhi kehidupan publik, seperti
pembatasan penggunaan BBM subsidi. Kebijakan yang dirumuskan secara grasa-grusu
niscaya prematur sehingga bisa mengandung banyak cacat -- dan karena itu
berisiko tidak efektif.
Jadi, pendalaman
kebijakan seperti kini dilakukan pemerintah menyangkut pembatasan penggunaan
BBM subsidi adalah keharusan. Namun karena pemerintah telanjur gembar-gembor
bahwa kebijakan itu mulai diperlakukan per 1 Mei 2012, tak bisa tidak langkah
pendalaman itu malah menimbulkan kesan bahwa pemerintah dilanda kegamangan dan
tidak siap.
Kesan itu tak
terhindarkan karena pembatasan penggunaan BBM niscaya menohok kepentingan
kalangan tertentu. Industri otomotif, misalnya, jelas merupakan salah satu
pihak yang kena tohok itu. Sekarang ini saja, mereka sudah mengeluh bahwa
pembatasan itu bisa membuat target penjualan satu juta mobil pada tahun ini
sulit dicapai. Nah, tampaknya, pemerintah tidak ingin dicap mengorbankan
mereka.
Mestinya,
kegamangan seperti itu tidak sampai tercuatkan ke ruang publik. Bagaimanapun,
dalam meluncurkan kebijakan, pemerintah harus terkesan tegas, lugas, dan
percaya diri. Juga kredibel.
Untuk itu, ketika
dilempar ke tengah publik, kebijakan harus sudah benar-benar matang dan
meyakinkan -- secara konsepsional strategis maupun secara teknis. Segala keriuhan
di ruang publik, yang nyata-nyata tidak produktif atau bahkan mendistorsi visi
dan misi pemerintah terkait kebijakan itu, harus dihindari. Publik, dalam
konteks ini, sekadar dikondisikan bisa memahami dan diharapkan menerima
kebijakan yang diluncurkan.
Karena itu, ke
depan, pemerintah harus membuang kebiasaan buruk: melempar wacana ke tengah
publik. Kebiasaan tersebut buruk karena lebih banyak menimbulkan keriuhan dan
sekaligus kegerahan di tengah masyarakat. Terlebih kalau pemerintah sendiri
belum siap, main lempar wacana bukan hanya tidak produktif, tapi juga bisa
membuat masyarakat seperti kena teror. Akibatnya, kasak-kusuk dan spekulasi
macam-macam merebak.
Itu pula yang
terjadi seiring rencana pembatasan penggunaan BBM subsidi sekarang ini. Makin
kental diwacanakan, rencana itu makin membuat masyarakat resah -- karena
pemerintah jadi kian terkesan gamang dan tidak siap.***
Jakarta, 24 April
2012