09 April 2012

Martabat Korps Hakim

Ancaman sejumlah hakim melakukan mogok sidang sungguh tidak elok. Tindakan mengancam atau apalagi benar-benar melakukan mogok sidang -- apa pun motif yang melatarinya, termasuk soal gaji yang tidak memuaskan -- sama sekali tidak senapas dengan spirit ideal hakim selaku hamba hukum yang harus jauh dari pamrih duniawi.

Memang, hakim juga berhak menikmati kesejahteraan. Bahkan bukan hanya berhak, hakim juga patut menikmati gaji dan tunjangan-tunjangan secara berkelayakan. Namun itu semua tak selayaknya diperjuangkan lewat cara-cara yang sama sekali tidak mencerminkan kultur ataupun spirit korps hakim.

Sebagai hamba hukum, hakim acap disebut "wakil Tuhan di bumi". Dengan julukan tersebut, spirit hakim diposisikan demikian ideal sehingga dipandang tak patut menunjukkan hasrat ataupun pamrih duniawi. Hakim tidak boleh memihak kepada selain nuraninya sendiri sebagai "suara Tuhan".

Karena itu, ancaman sejumlah hakim melakukan mogok sidang sebagai bentuk tekanan agar gaji mereka diperbaiki bukan hanya terasa ganjil sekaligus tidak patut. Ancaman tersebut -- terlebih jika sampai benar-benar terlaksana -- juga sama sekali tak mencerminkan spirit ideal hakim. Seolah-olah hakim sudah dirasuki pamrih duniawi. Seolah-olah hakim sudah bukan lagi "wakil Tuhan di bumi".

Walhasil, keinginan hakim menikmati perbaikan kesejahteraan -- khususnya gaji, karena konon sudah empat tahun tak pernah mengalami kenaikan -- tak semestinya ditempuh lewat cara-cara yang terkesan merendahkan martabat korps sendiri. Cara-cara tersebut lebih baik dilupakan saja. Toh, seperti menjadi tekad sejumlah hakim, cara lain yang elegan dan lebih terhormat ketimbang mogok sidang bisa ditempuh: mengajukan permohonan uji materi undang-undang tentang peradilan kepada Mahkamah Konstitusi, khususnya pasal yang mengatur soal kesejahteraan hakim.

Boleh jadi, penyelenggara negara selama ini lupa memperhatikan kesejahteraan hamba hukum yang tergabung dalam korps hakim ini. Mungkin penyelenggara negara alpa bahwa selama sekian tahun kesejahteraan hakim terabaikan. Karena itu, tingkat kesejahteraan hakim sekarang ini sudah tak cukup berkelayakan lagi.

Oleh sebab itu pula, keinginan korps hakim memperoleh perbaikan kesejahteraan patut didukung. Bagaimanapun, keinginan itu adalah hak -- dan karena itu tak boleh diabaikan.
Terlebih karena berstatus pejabat negara -- bukan pegawai negeri biasa -- korps hakim sudah semestinya mendapat perlakukan khusus dalam soal kesejahteraan ini laiknya pejabat negara lain seperti presiden atau menteri. Intinya, kesejahteraan mereka harus berkelayakan sesuai ukuran standar kepatutan.

Bagi korps hakim, soal kesejahteraan ini bukan sekadar
merupakan wujud penghargaan atas pengabdian mereka selaku hamba hukum. Lebih dari itu juga bertali-temali dengan wibawa dan martabat mereka sebagai penjaga keadilan. Dengan tingkat kesejahteraan relatif berkelayakan, mereka bisa diharapkan tidak mudah tergoda melakukan praktik memperdagangkan perkara.

Memang, tingkat kesejahteraan tidak selalu berbanding lurus dengan masalah integritas. Terlebih bagi korps hakim yang kian keras berhadapan dengan fenomena mafia peradilan sekarang ini. Tetapi, paling tidak, kesejahteraan yang berkelayakan membuat korps hakim benar-benar merasa diperlakukan secara bermartabat -- dan karena itu pula mereka mestinya terkondisi enggan dan malu berbuat mencederai martabat sendiri.***

Jakarta, 9 April 2012