Masyarakat Indonesia sedang sakit. Bukan sakit sembarang sakit, melainkan
sakit secara sosial maupun secara moral. Sejumlah fenomena memberi indikasi
jelas dan kuat soal itu. Kemarin, misalnya, seorang ayah di Bekasi tega
menggorok anaknya sendiri hingga tewas. Di tempat lain, di Jakarta, seorang
siswa SMP menjemput maut dengan cara terjun bebas dari sebuah tiang pemancar
setinggi 30 meter.
Sebelum itu, aneka kasus serupa -- sama-sama menjadi pertanda gejala
masyarakat sedang sakit - bisa dideretkan. Ada ayah yang menghamili putri
kandungnya sendiri, ada suami yang memaksa istrinya menjadi wanita tunasusila,
ada tokoh keagamaan yang mencabuli anak tetangga yang masih di bawah umur, ada
bocah yang tiba-tiba diburu banyak orang karena diyakini sakti dalam
menyembuhkan berbagai penyakit, dan banyak lagi.
Intinya, berbagai peristiwa itu sungguh di luar kewarasan, sama sekali
tidak masuk nalar sehat, bersifat asosial, dan melanggar rambu-rambu moral.
Motif yang melatari peristiwa-peristiwa itu bisa sangat sepele. Misalnya,
seorang suami tega membakar istrinya hingga gosong hanya karena sang istri
gandrung SMS-an.
Bisa juga perilaku asosial ini sama sekali tanpa motif atau sebab yang
jelas. Gerombolan geng motor, misalnya, bisa begitu saja memukuli sembarang
orang secara membabi-buta hingga babak-belur atau bahkan hingga tewas. Atau,
contoh lain, orang melakukan korupsi bukan karena kepepet kebutuhan ekonomi --
karena harta kekayaan dia relatif melimpah. Dia melakukan korupsi karena memang
ingin saja.
Karena itu pula, peristiwa-peristiwa dengan karakteristik asosial dan tidak
waras ini lantas dipersepsi sebagai gejala masyarakat sakit. Masyarakat yang
kehilangan jati diri. Masyarakat yang menghancurkan diri sendiri. Masyarakat
tidak punya daya. Masyarakat yang tidak memiliki pegangan. Masyarakat yang
tidak menyimpan rujukan. Masyarakat yang tidak mendapat pijakan. Masyarakat
yang teralienasi.
Gejala tersebut merupakan refleksi rusaknya tatanan sosial. Masyarakat
kehilangan nilai-nilai luhur. Masyarakat juga sulit menemukan keteladanan.
Nilai-nilai yang berkembang tidak lagi mengagungkan keluhuran. Masyarakat tidak
berdaya oleh kemunafikan dan kebobrokan -- entah sebagai korban maupun sebagai
pelaku.
Kenyataan itu sekaligus merefleksikan kegagalan kepemimpinan di berbagai
tingkatan maupun di berbagai bidang kehidupan. Figur-figur yang melakukan
fungsi-fungsi kepemimpinan gagal memaknai arti pemimpin. Sikap-tindak mereka
sebagai pemimpin sedikit sekali membawa kemaslahatan bagi kehidupan orang
banyak - bahkan buat diri mereka sendiri.
Jelas, fenomena masyarakat sakit ini tak boleh dibiarkan terus berkembang.
Jika terus meluas, fenomena tersebut sangat berbahaya bagi kehidupan secara
keseluruhan -- kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Oleh sebab
itu, langkah-langkah perbaikan wajib segera dilakukan dalam berbagai aspek:
sosial, politik, ekonomi, hukum, dan lain-lain. Intinya, moralitas harus
ditegakkan. Nilai-nilai luhur harus kembali diagungkan.
Untuk itu, keteladanan menjadi kebutuhan mendesak. Terutama di kalangan
pemimpin: keteladanan harus menjadi falsafah hidup atau sekaligus menjadi
semacam gaya hidup.
Dalam konteks itu, rekrutmen kepemimpinan jangan lagi lebih berorientasi
kekuasaan. Rekutmen kepemimpinan sepatutnya lebih merupakan ajang menuju
pengabdian. Tanpa semangat seperti itu, masyarakat niscaya semakin sakit.***