12 April 2012

Masyarakat Sakit


Masyarakat Indonesia sedang sakit. Bukan sakit sembarang sakit, melainkan sakit secara sosial maupun secara moral. Sejumlah fenomena memberi indikasi jelas dan kuat soal itu. Kemarin, misalnya, seorang ayah di Bekasi tega menggorok anaknya sendiri hingga tewas. Di tempat lain, di Jakarta, seorang siswa SMP menjemput maut dengan cara terjun bebas dari sebuah tiang pemancar setinggi 30 meter.

Sebelum itu, aneka kasus serupa -- sama-sama menjadi pertanda gejala masyarakat sedang sakit - bisa dideretkan. Ada ayah yang menghamili putri kandungnya sendiri, ada suami yang memaksa istrinya menjadi wanita tunasusila, ada tokoh keagamaan yang mencabuli anak tetangga yang masih di bawah umur, ada bocah yang tiba-tiba diburu banyak orang karena diyakini sakti dalam menyembuhkan berbagai penyakit, dan banyak lagi.

Intinya, berbagai peristiwa itu sungguh di luar kewarasan, sama sekali tidak masuk nalar sehat, bersifat asosial, dan melanggar rambu-rambu moral. Motif yang melatari peristiwa-peristiwa itu bisa sangat sepele. Misalnya, seorang suami tega membakar istrinya hingga gosong hanya karena sang istri gandrung SMS-an.

Bisa juga perilaku asosial ini sama sekali tanpa motif atau sebab yang jelas. Gerombolan geng motor, misalnya, bisa begitu saja memukuli sembarang orang secara membabi-buta hingga babak-belur atau bahkan hingga tewas. Atau, contoh lain, orang melakukan korupsi bukan karena kepepet kebutuhan ekonomi -- karena harta kekayaan dia relatif melimpah. Dia melakukan korupsi karena memang ingin saja.

Karena itu pula, peristiwa-peristiwa dengan karakteristik asosial dan tidak waras ini lantas dipersepsi sebagai gejala masyarakat sakit. Masyarakat yang kehilangan jati diri. Masyarakat yang menghancurkan diri sendiri. Masyarakat tidak punya daya. Masyarakat yang tidak memiliki pegangan. Masyarakat yang tidak menyimpan rujukan. Masyarakat yang tidak mendapat pijakan. Masyarakat yang teralienasi.

Gejala tersebut merupakan refleksi rusaknya tatanan sosial. Masyarakat kehilangan nilai-nilai luhur. Masyarakat juga sulit menemukan keteladanan. Nilai-nilai yang berkembang tidak lagi mengagungkan keluhuran. Masyarakat tidak berdaya oleh kemunafikan dan kebobrokan -- entah sebagai korban maupun sebagai pelaku.

Kenyataan itu sekaligus merefleksikan kegagalan kepemimpinan di berbagai tingkatan maupun di berbagai bidang kehidupan. Figur-figur yang melakukan fungsi-fungsi kepemimpinan gagal memaknai arti pemimpin. Sikap-tindak mereka sebagai pemimpin sedikit sekali membawa kemaslahatan bagi kehidupan orang banyak - bahkan buat diri mereka sendiri.

Jelas, fenomena masyarakat sakit ini tak boleh dibiarkan terus berkembang. Jika terus meluas, fenomena tersebut sangat berbahaya bagi kehidupan secara keseluruhan -- kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Oleh sebab itu, langkah-langkah perbaikan wajib segera dilakukan dalam berbagai aspek: sosial, politik, ekonomi, hukum, dan lain-lain. Intinya, moralitas harus ditegakkan. Nilai-nilai luhur harus kembali diagungkan.

Untuk itu, keteladanan menjadi kebutuhan mendesak. Terutama di kalangan pemimpin: keteladanan harus menjadi falsafah hidup atau sekaligus menjadi semacam gaya hidup.

Dalam konteks itu, rekrutmen kepemimpinan jangan lagi lebih berorientasi kekuasaan. Rekutmen kepemimpinan sepatutnya lebih merupakan ajang menuju pengabdian. Tanpa semangat seperti itu, masyarakat niscaya semakin sakit.***