08 April 2012

Papua Ingin Dikenali

Kemanan di Papua lagi-lagi terkoyak. Kemarin, sebuah pesawat ringan jenis Twin Otter ditembaki orang tak dikenal saat hendak mendarat di Bandara Mulia, Kabupaten Puncak Jaya, Papua. Aksi tersebut membuat pesawat milik maskapai penerbangan Trigana Air Service itu tidak mampu mendarat sempurna sehingga menabrak gudang di pinggir bandara. Satu penumpang dilaporkan tewas tertembus peluru di bagian leher dan beberapa orang lagi luka-luka, termasuk pilot dan co-pilot.

Sebelum itu, sederet aksi penembakan juga sempat terjadi di Papua ini. Sejumlah orang tewas menjadi korban dalam rangkaian peristiwa itu, termasuk beberapa anggota kepolisian dan prajurit TNI. Karena itu pula, seperti kasus-kasus yang lalu, insiden penembakan pesawat milik Trigana pun boleh jadi bukan kriminal biasa. Insiden itu tampaknya punya muatan pesan khusus: bahwa Papua tidak aman.

Tak jelas, siapa pihak yang terus berupaya membuat Papua tidak aman ini. Entah kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM) ataukah kelompok-kelompok lain lagi. Tetapi siapa pun, aksi mereka tak bisa dipandang remeh.

Memang, skala aksi-aksi itu tak bisa dibilang masif. Aksi-aksi itu sekadar merupakan letupan-letupan kecil serta bersifat sporadis pula. Toh aksi-aksi itu selalu saja melahirkan kejutan dan menumbuhkan rasa tidak aman di masyarakat. Terlebih pelaku menggunakan senjata api serta membidik obyek ataupun subjek strategis sebagai sasaran aksi.

Justru itu, aksi-aksi yang mengoyak keamanan di Papua ini tak bisa dipandang remeh. Betapa tidak, karena aksi-aksi itu tampaknya bukan sekadar bertujuan menumbuhkan rasa tidak aman di masyarakat Papua. Aksi-aksi itu boleh jadi merupakan alat untuk mengundang perhatian dunia luar. Dengan meneguhkan kesan bahwa Papua tidak aman, pelaku aksi-aksi itu sepertinya ingin menyampaikan pesan kepada khalayak internasional: bahwa bumi Papua dibelit persoalan yang menuntut solusi komprehensif, nyata, dan adil dalam memperbaiki keadaan. Dengan pesan itu, mereka ingin dunia internasional memberi perhatian atau bahkan tergerak melakukan campur tangan.

Kenyataan seperti itu mengandung arti bahwa berbagai pendekatan yang selama ini dilakukan pemerintah untuk Papua tidak benar-benar menjadi solusi. Berbagai kebijakan dan program yang digelar tak kunjung menorehkan hasil meyakinkan. Bahkan pemberian otonomi khusus yang notabene tiap tahun disertai guyuran dana dalam jumlah relatif signifikan tak serta-merta menjadi penawar dahaga atas harapan atau mimpi indah semua pihak di Papua. Otonomi khusus tidak otomatis menjadi jawaban memuaskan atas kegelisahan mereka menyangkut masa kini dan masa datang.

Mungkin kegelisahan itu bukan terutama karena soal harapan atau ekspektaksi yang kelewat tinggi. Kegelisahan itu boleh jadi karena secara konseptual berbagai kebijakan atau pendekatan yang ditempuh pemerintah untuk Papua tidak benar-benar berpijak pada masalah nyata di lapangan.

Dengan kata lain, akar masalah yang selama ini menorehkan kegelisahan sosial di Papua tak benar-benar teridentifikasi dengan baik. Karena itu, pendekatan maupun berbagai kebijakan pemerintah tidak menjadi solusi yang relatif memuaskan masyarakat Papua. Terlebih program-program pembangunan sebagai penjabaran kebijakan pemerintah pun mengalami deviasi atau bahkan tindak penyelewengan.

Karena itu, pemerintah dituntut lebih serius untuk mengenali akar masalah yang menjadi pokok kegelisahan di kalangan masyarakat Papua ini. Jika tidak, akar masalah itu niscaya tak akan pernah bisa benar-benar bisa diidentifikasi sehingga berbagai langkah penanganan pun tak kunjung benar-benar menjadi solusi yang komprehensif, nyata, dan adil. Konsekuensinya, keamanan di Papua niscaya terus-terusan koyak.***

Jakarta, 8 April 2012