Upaya pembatasan penggunaan bahan bakar minyak (BBM)
subsidi tetap urgen dilakukan. Urgen karena harga BBM subsidi urung dinaikkan
lantaran untuk saat sekarang ini langkah penaikan belum memenuhi prasyarat
sebagaimana digariskan pasal 7 ayat 6a UU APBNP 2012. Juga urgen karena
konsumsi BBM subsidi justru cenderung meningkat signifikan.
Konsumsi BBM subsidi terus naik signifikan karena
beberapa faktor. Antara lain masyarakat sedikit pun tak berupaya mengendalikan
konsumsi. Di sisi lain, pemilikan kendaraan bermotor sendiri tiap hari terus
bertambah. Lalu, karena harga BBM nonsubsidi semakin melangit, banyak pengguna
BBM nonsubsidi sekarang beralih ke BBM subsidi.
Nah, kalau upaya pembatasan penggunaan BBM subsidi ini
tak segera dilakukan, subsidi BBM niscaya jebol. Bahkan bukan cuma jebol, catu
subsidi BBM dalam APBN pun niscaya jadi tekor.
Karena itu, sekali lagi, program pembatasan penggunaan
konsumsi BBM tetap urgen. Namun program tersebut harus dirumuskan secara
matang, dalam arti secara teknis bisa diterapkan dan secara operasional
bersifat cerdas. Jika tak disiapkan secara matang, program itu tak terjamin
bisa efektif mencapai tujuan.
Dengan kata lain, program jangan terkesan dibuat
serampangan atau seperti disiapkan secara asal-asalan. Bukan hanya bisa tidak
efektif, program yang serampangan dan asal-asalan juga berisiko menimbulkan
kesulitan-kesulitan di lapangan. Pelarangan mobil mewah atau bertenaga besar
mengonsumsi BBM subsidi, yang kini ramai diwacanakan pemerintah, misalnya,
sulit bisa dikatakan sebagai program yang cerdas. Betapa tidak, karena di
lapangan pelarangan itu niscaya lebih banyak merepotkan. Tanpa mengerahkan
banyak petugas pengatur dan pengawas di lapangan, terutama di setiap stasiun
pengisian bahan bakar umum (SPBU), pembatasan itu hampir pasti lebih banyak
menimbulkan kericuhan.
Walhasil, program pelarangan mobil mewah menggunakan
BBM subsidi ini sulit diharapkan efektif. Program tersebut niscaya hanya bagus
di atas kertas - kecuali, itu tadi, pemerintah mengerahkan banyak petugas
pengatur dan pengawas di lapangan. Tapi apakah itu mungkin? Atau betulkah itu
memang termasuk program?
Sungguh mengherankan bahwa dalam merumuskan program
pembatasan penggunaan BBM subsidi ini pemerintah terkesan melupakan strategi
operasional. Karena itu, program pelarangan mobil mewah menggunakan BBM subsidi
pun begitu gamblang tidak bersifat cerdas.
Mestinya, dalam merumuskan program pembatasan itu,
pemerintah juga tidak membuat pengotak-ngotakan masyarakat pengguna BBM dalam kategori
miskin-tidak miskin, mewah-tidak mewah, atau berhak-tidak berhak. Pendekatan
kebijakan seperti itu membuat kebijakan pemerintah terasa bersemangat
diskriminasi sehingga rentan mengundang sinisme atau bahkan perlawanan.
Tanpa pendekatan yang mengotak-ngotakkan masyarakat
dalam kategori-kategori tertentu, program pembatasan penggunaan konsumsi BBM
subsidi ini justru bisa lebih efektif - karena lebih fair dan elegan. Atas
dasar itu, semua SPBU di ruas jalan tol atau di kawasan tertentu, misalnya, dikondisikan
sama sekali tanpa layanan BBM subsidi. Dengan begitu, tanpa harus mengadu urat
leher, pengguna kendaraan otomatis mengonsumsi BBM nonsubsidi. Semua bisa
diharapkan menerima layanan itu dengan penuh mafhum dan sikap respek.***