17 April 2012

Urgensi Uji Materi UU Pemilu

Rencana sejumlah kalangan, terutama partai-partai nonparlemen, mengajukan permohonan uji materi (judicial review) UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi bukan soal yang patut dirisaukan. Dalam koridor demokrasi, rencana tersebut sah-sah saja. Bahkan, barangkali uji materi memang perlu guna memastikan UU Pemilu bersifat fair, objektif, dan menjamin hasil pemilu benar-benar berkualitas – dalam arti legitimate sehingga kelak bisa diterima semua pihak.

Karena itu pula, sepanjang jujur dan tulus diniatkan untuk menempatkan produk legislasi DPR dan pemerintah tidak keluar dari kerangka konstitusi, rencana sejumlah kalangan mengajukan uji materi UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi ini bahkan patut diapresiasi. Dengan kata lain, motif-motif yang lebih bersifat subjektif -- semata karena UU Pemilu dirasa tak mengakomodasi kepentingan politis mereka -- harus disingkirkan. Motif-motif seperti itu membuat langkah uji materi tidak relevan, apalagi urgen. Langkah tersebut sekadar melahirkan kegaduhan politik, sehingga sama sekali tidak sehat dan tidak produktif bagi proses demokrasi – khususnya untuk memastikan hasil pemilu bersifat legitimate.

UU Pemilu sendiri, yang baru pekan lalu disahkan DPR, memang bukan produk yang taken for granted sempurna. Artinya, undang-undang tersebut mungkin saja mengandung kelemahan atau bahkan cacat yang mencederai konstitusi. Mungkin saja, seperti dikeluhkan dan dituduhkan pihak-pihak yang berniat memohonkan uji materi, UU Pemilu memang tidak fair karena mengabaikan asas kesetaraan dan kesamaan bagi semua pihak.

Kelemahan-kelemahan seperti itu bukan mustahil dan tidak bisa dinafikan begitu saja. Maklum, karena UU Pemilu lebih merupakan produk kompromi politik pihak-pihak di DPR. UU Pemilu tidak dilahirkan sebagai produk perdebatan hukum dalam kerangka konstitusi. UU Pemilu, seperti juga berbagai undang-undang lain, lebih merupakan produk tarik-menarik kepentingan subjektif partai-partai politik yang duduk di parlemen.

Karena itu, uji materi UU Pemilu bukan hanya relevan, tapi juga punya urgensi tinggi. Lewat uji materi di Mahkamah Konstitusi, segala keraguan dan kecurigaan pihak-pihak tertentu -- bahwa UU Pemilu memiliki muatan yang melanggar konstitusi -- akan terjawab. Proses judicial review juga membuat segala kelemahan dan kekurangan UU Pemilu -- yang diklaim pihak-pihak yang berencana mengajukan permohonan uji materi sebagai masalah yang secara substansial mencederai konstitusi – akan terkuakkan. Dengan demikian, UU Pemilu dikembalikan ke dalam koridor konstitusi.

Untuk itu, permohonan uji materi sendiri harus proporsional. Uji materi hanya dimohonkan sebatas meliputi pasal-pasal yang dinilai melanggar konstitusi. Permohonan uji materi tidak boleh dilatari semangat untuk membatalkan UU Pemilu secara keseluruhan. Langkah seperti itu sangat tidak produktif karena membuat proses uji materi di Mahkamah Konstitusi hampir pasti berlangsung lama. Bagaimanapun, proses uji materi tidak bisa dilakukan ala pesulap dengan mantra abrakadabra. Proses persidangan niscaya berlarut, karena materi yang harus diuji meliputi keseluruhan muatan undang-undang.

Konsekuensinya, jika proses uji materi berlarut, penyelenggaraan pemilu pun bisa terganggu. Bukan tidak mungkin jadwal tahap-tahapan pelaksanaan pemilu menjadi amburadul. Itu, pada gilirannya, niscaya melahirkan kekacauan politik yang berimbas ke mana-mana.

Jelas, itu bukan esensi demokrasi yang sehat dan produktif. Karena itu, sekali lagi, permohonan uji materi UU Pemilu mutlak harus proporsional. Dalam bahasa gaul anak muda, permohonan itu tidak boleh lebai – terlebih semata karena dorongan syahwat politik, bukan untuk menegakkan konstitusi.***