18 April 2012

Rapat atau Pesta?

Anggaran rapat di Istana Kepresidenan sangat mencengangkan. Sulit dipercaya bahwa nilai anggaran itu begitu terang-benderang menggambarkan pola hidup berlebihan. Dengan nilai Rp 30,1 miliar untuk tahun 2012, sebagaimana rilis Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), anggaran rapat ini sama sekali tidak menyiratkan semangat dan pola hidup sederhana. Yang tergambar justru pola hidup bermewah-mewah.

Bayangkan, untuk sekali sidang kabinet paripurna saja, anggaran yang dialokasikan mencapai Rp 20 juta. Sementara untuk perhelatan rapat berskala akbar (retreat), anggaran yang disiapkan bernilai tak kurang dari Rp 1 miliar. Dengan angka-angka seperti itu, anggaran rapat di lingkungan Istana ini pun menjadi sulit dibedakan dengan biaya pesta kaum sosialita Jakarta.

Karena itu, bahkan dengan angka klarifikasi pihak Istana sendiri -- konon sebesar Rp 24,7 miliar untuk sepanjang tahun 2012 --, anggaran rapat di Istana Kepresidenan ini tetap saja tidak mencerminkan kesederhanaan sebagai sebuah prinsip. Artinya, anggaran yang diklaim sudah diturunkan menjadi Rp 24,7 miliar itu tetap saja jumbo.

Kenyataan itu sungguh ironis karena tidak mencerminkan langkah pengamanan APBN 2012 yang rapuh akibat tekanan dampak kenaikan harga minyak mentah di pasar global. Bahkan anggaran jumbo untuk penyelenggaraan rapat itu juga menjadi kontra produktif dengan gerakan penghematan yang dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam menyiasati kesulitan anggaran sekarang ini.

Di tengah gejolak harga minyak global dewasa ini, pemerintah memang kelimpungan. Pemerintah pusing tujuh keliling menghadapi beban subsidi energi yang membengkak signifikan akibat lonjakan harga minyak di pasar global. Itu pula yang mengilhami pemerintah mewacanakan aneka program penghematan yang notabene niscaya akan berdampak memaksa masyarakat luas menanggung beban ekonomi menjadi lebih berat lagi. Dalam konteks ini, penaikan tarif dasar listrik, pengurangan subsidi gas elpiji, revisi tarif jalan tol, bahkan juga penaikan harga BBM subsidi tinggal soal waktu saja.

Karena itu pula, anggaran jumbo untuk kebutuhan rapat di Istana Kepresidenan ini sama sekali tidak menunjukkan empati terhadap kehidupan rakyat kebanyakan yang telanjur serba sulit. Seakan-akan kehidupan rakyat berada di planet lain yang sama sekali tak berhubungan dengan pola hidup boros yang dianut kalangan pengelola negara.

Jelas, pihak Istana tidak patut menutup kuping ataupun mencari-cari pembenaran ihwal anggaran rapat yang tergolong over dosis ini. Revisi dengan bersendikan semangat berhemat wajib dilakukan. Bahkan, kalau perlu, pos anggaran khusus rapat dibatalkan saja. Toh, seperti kata mantan Mensesneg Yusril Ihza Mahendra, kebutuhan penyelenggaraan rapat di Istana Kepresidenan tak beralasan diwadahi lewat pos anggaran khusus.

Selaku orang yang pernah menjadi figur penting di jantung Istana, Yusril tahu persis bahwa kalau tidak kelewat
penting dan sangat urgen, kebutuhan dana untuk penyelenggaran rapat itu masih mungkin ditanggulangi oleh anggaran rutin Setneg.

Karena itu, menjadi aneh jika penyelenggaraan rapat menjadi pos tersendiri dalam bangunan anggaran pemerintah. Kecuali kalau rapat juga sekaligus menjadi arena pesta ala kaum sosialita.***

Jakarta, 18 April 2012