01 April 2012

Politik Bunglon

WAJAH panggung politik kita tidak banyak berubah hingga hari ini. Penuh kepura-puraan dan akal-akalan, gampang berubah sesuai arah angin, serta sangat takut kehilangan muka. Singkatnya: politik bunglon.

Itulah yang tecermin dari sikap koalisi partai politik pendukung pemerintah melalui fraksi mereka di DPR terkait dengan penaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Mereka yang tadinya mendukung penaikan harga BBM, di saat-saat terakhir seperti menolak kebijakan itu.

Kita sebut 'seperti menolak' karena pada hakikatnya mereka tidak sungguh-sungguh menolak penaikan harga BBM. Fraksi Partai Golkar, PKS, PKB, PAN, dan PPP dengan retorika berapi-api atas nama kepentingan rakyat memang menyatakan menolak penaikan harga BBM. Akan tetapi, itu cuma verbalisme karena secara substansial mereka menyetujui adanya tambahan ayat dalam Pasal 7 ayat 6 dalam Undang-Undang APBN 2012 sebagaimana diusulkan pemerintah.

Pasal 7 ayat 6 undang-undang tersebut menyatakan bahwa harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan. Pasal inilah yang sejak awal dipertahankan Fraksi PDIP, Gerindra, dan Hanura sejak usul penaikan harga BBM bersubsidi digulirkan pemerintah.

Pemerintah meminta DPR mengubah ayat tersebut dengan memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM bila harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesia crude oil price/ICP) naik atau turun dari asumsi dalam APBN-P 2012 yang sebesar US$105 per barel.

Supaya kesan penolakan penaikan harga BBM itu masih terasa, padahal cuma berpura-pura, setiap partai koalisi lalu mematok angka persentase sebagai ambang batas kapan harga BBM bisa dinaikkan.

Fraksi Partai Golkar mengusulkan penaikan 15% (atau ICP di US$120,75 per barel) dalam kurun 6 bulan, PAN mengusulkan 15% dalam 30 hari. Fraksi PKS mengusulkan 20% (ICP di US$126 per barel) dalam 90 hari, PKB mengusulkan 17,5% (ICP di US$123,38 per barel) dalam 30 hari dan PPP mengusulkan 10% (ICP di US$115,5 per barel) dalam 30 hari. Angkanya berbeda-beda, tapi substansinya sama bahwa partai pendukung pemerintah, yaitu Golkar, PAN, PKS, PKB, dan PPP setuju harga BBM dinaikkan.

Bandingkanlah semua angka itu dengan Demokrat yang jelas-jelas propenaikan harga BBM yang mengusulkan 5% dalam waktu 30 hari.

Politik bunglon itu semakin mencolok karena besaran persentase dan kapan waktu penaikan harga BBM itu bisa mulur-mungkret setelah dinegosiasikan lewat lobi-lobi. Jadi, persentase penaikan harga BBM itu jelas tidak berbasiskan analisis matang.

Rata-rata ICP atau harga minyak mentah selama 2 bulan pertama tahun ini mencapai US$119 per barel. Tren harga minyak memang terus naik. Jadi, partai-partai koalisi sebenarnya hanya buying time, menunda waktu saja, supaya tampak memihak rakyat. Padahal, semua itu cuma politik bunglon agar tidak kehilangan muka.

Begitulah, masalah penaikan harga BBM memberi pelajaran berharga bagi publik untuk berkesimpulan bahwa semua partai koalisi, semua partai yang propemerintah, merupakan partai yang penuh kepura-puraan.***


Sumber: http://www.mediaindonesia.com/read/2012/03/31/309645/70/13/Politik-Bunglon