11 April 2012

APBN Lumpur

Anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) merupakan alat utama pemerintah untuk menyejahterakan rakyat. Itu disebabkan pada hakikatnya uang negara merupakan uang rakyat yang pengelolaannya dipercayakan kepada pemerintah.

Sayangnya, pihak yang dipercaya mengelola uang rakyat itu tidak sepenuhnya memegang teguh prinsip-prinsip efisien, transparan, dan akuntabel. Postur APBN, misalnya, seperti didesain untuk lebih ramah kepada penyelenggara negara beserta kawan-kawannya ketimbang untuk memenuhi kebutuhan rakyat.

Kasus paling mencolok ialah penggunaan APBN untuk penanggulangan dampak letusan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Bencana yang ditimbulkan akibat pengeboran migas oleh perusahaan Lapindo Brantas, yang kini bernama Minarak Lapindo Jaya, itu telah menguras APBN hingga lebih dari Rp6 triliun.

Penanganan lumpur Lapindo yang diambil langsung dari APBN itu dimulai setelah Peraturan Presiden No 14 Tahun 2007 terbit. Padahal, sebelum aturan tersebut dikeluarkan, dalam Keppres No 13 Tahun 2006 ditetapkan anggaran penanganan bencana lumpur Lapindo berasal dari Lapindo Brantas Inc.

Lapindo telah berhasil menaklukkan negara dengan cara memaksa keluarnya Perpres 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Sejak saat itu, penanggulangan dampak semburan lumpur Lapindo di luar peta yang ditetapkan dialihkan menjadi tanggung jawab APBN.

Maka, sejak itulah uang rakyat digelontorkan tiap tahun melalui APBN demi membantu mengurangi beban Lapindo. Perangkat hukum pun disiapkan lewat pasal-pasal dalam setiap undang-undang APBN.

Pada APBN 2007 negara mengeluarkan uang Rp505 miliar untuk BPLS, tetapi hanya terserap Rp119 miliar atau 23,56%. Kendati daya serapnya rendah, anggaran untuk lumpur Lapindo justru ditambah.

Pada 2008 sebesar Rp1,1 triliun digelontorkan dari APBN dengan daya serap hanya Rp513 miliar atau 46,67%. Pada 2009 anggaran naik lagi menjadi Rp1,147 triliun, dengan tingkat serapan hanya Rp705 miliar atau 61,5%.

Penyerapan yang rendah tidak membuat pemerintah kapok untuk menaikkan anggaran. Pada 2010 APBN untuk lumpur Lapindo menjadi Rp1,216 triliun dan terserap Rp300 miliar atau 24,6%. Pada 2011 dianggarkan Rp1,3 triliun lalu pada APBN Perubahan 2012 dinaikkan lagi menjadi Rp1,6 triliun, kendati awalnya hanya diusulkan Rp1,3 triliun.

Total jenderal uang yang dikuras dari APBN sudah lebih dari Rp6 triliun. Angka itu jauh di atas beban pihak Lapindo yang hanya Rp3,8 triliun dan tidak bakal bertambah lagi.

Sebaliknya, uang APBN amat mungkin akan terus dikuras jika semburan lumpur tidak juga berhenti. Apalagi jika dampak yang ditimbulkan terus meluas. Ironisnya pemerintah justru merasa memiliki cukup alasan untuk menaikkan lagi anggaran lumpur Lapindo.

Mestinya, yang dilakukan negara ialah memaksa pihak Lapindo bertanggung jawab. Cabut pasal lumpur dari undang-undang APBN. Selama negara tidak melakukan itu, APBN pun akan terus terkuras entah sampai kapan hingga jebol.

Dalil causa prima berlaku, yakni Lapindo yang mengebor maka dialah yang harus bertanggung jawab. Karena itu, negara tidak boleh takluk oleh akrobat alasan yang menyebut lumpur Lapindo terjadi karena bencana alam.***


Sumber: http://www.mediaindonesia.com/read/2012/04/12/312201/70/13/APBN-Lumpur