11 April 2012

Pembatasan BBM Subsidi


Upaya pembatasan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) subsidi tetap urgen dilakukan. Urgen karena harga BBM subsidi urung dinaikkan lantaran untuk saat sekarang ini langkah penaikan belum memenuhi prasyarat sebagaimana digariskan pasal 7 ayat 6a UU APBNP 2012. Juga urgen karena konsumsi BBM subsidi justru cenderung meningkat signifikan.
      
Konsumsi BBM subsidi terus naik signifikan karena beberapa faktor. Antara lain masyarakat sedikit pun tak berupaya  mengendalikan konsumsi. Di sisi lain, pemilikan kendaraan bermotor sendiri tiap hari terus bertambah. Lalu, karena harga BBM nonsubsidi semakin melangit, banyak pengguna BBM nonsubsidi sekarang beralih ke BBM subsidi.
      
Nah, kalau upaya pembatasan penggunaan BBM subsidi ini tak segera dilakukan, subsidi BBM niscaya jebol. Bahkan bukan cuma jebol, catu subsidi BBM dalam APBN pun niscaya jadi tekor. 
      
Karena itu, sekali lagi, program pembatasan penggunaan konsumsi BBM tetap urgen. Namun program tersebut harus dirumuskan secara matang, dalam arti secara teknis bisa diterapkan dan secara operasional bersifat cerdas. Jika tak disiapkan secara matang, program itu tak terjamin bisa efektif mencapai tujuan.
      
Dengan kata lain, program jangan terkesan dibuat serampangan atau seperti disiapkan secara asal-asalan. Bukan hanya bisa tidak efektif, program yang serampangan dan asal-asalan juga berisiko menimbulkan kesulitan-kesulitan di lapangan. Pelarangan mobil mewah atau bertenaga besar mengonsumsi BBM subsidi, yang kini ramai diwacanakan pemerintah, misalnya, sulit bisa dikatakan sebagai program yang cerdas. Betapa tidak, karena di lapangan pelarangan itu niscaya lebih banyak merepotkan. Tanpa mengerahkan banyak petugas pengatur dan pengawas di lapangan, terutama di setiap stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU), pembatasan itu hampir pasti lebih banyak menimbulkan kericuhan.
      
Walhasil, program pelarangan mobil mewah menggunakan BBM subsidi ini sulit diharapkan efektif. Program tersebut niscaya hanya bagus di atas kertas -- kecuali, itu tadi, pemerintah mengerahkan banyak petugas pengatur dan pengawas di lapangan. Tapi apakah itu mungkin? Atau betulkah itu memang termasuk program?
      
Sungguh mengherankan bahwa dalam merumuskan program pembatasan penggunaan BBM subsidi ini pemerintah terkesan melupakan strategi operasional. Karena itu, program pelarangan mobil mewah menggunakan BBM subsidi pun begitu gamblang tidak bersifat cerdas.
      
Mestinya, dalam merumuskan program pembatasan itu, pemerintah juga tidak membuat pengotak-ngotakan masyarakat pengguna BBM dalam kategori miskin-tidak miskin, mewah-tidak mewah, atau berhak-tidak berhak. Pendekatan kebijakan seperti itu membuat kebijakan pemerintah terasa bersemangat diskriminasi sehingga rentan mengundang sinisme atau bahkan perlawanan. 
      
Tanpa pendekatan yang mengotak-ngotakkan masyarakat dalam kategori-kategori tertentu, program pembatasan penggunaan konsumsi BBM subsidi ini justru bisa lebih efektif -- karena lebih fair dan elegan. Atas dasar itu, semua SPBU di ruas jalan tol atau di kawasan tertentu, misalnya, dikondisikan sama sekali tanpa layanan BBM subsidi. Dengan begitu, tanpa harus mengadu urat leher, pengguna kendaraan otomatis mengonsumsi BBM nonsubsidi. Semua bisa diharapkan menerima layanan itu dengan penuh mafhum dan sikap respek.***

Jakarta, 11 April 2012