Nama-nama lama
masih mewarnai daftar calon anggota legislatif untuk Pemilu 2014. Sejauh
berbagai pemberitaan, nama-nama lama ini mendominasi daftar yang dicatatkan
tiap parpol peserta pemilu ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) itu. Sementara
nama-nama baru lebih banyak merupakan figur-figur yang selama ini berkiprah di
jagat keartisan.
Sebagian besar
nama lama, yaitu mereka yang selama ini menjadi wakil rakyat di Senayan,
kembali tercatat sebagai calon anggota legislatif. Sebagian masih mendaftar
melalui parpol lama, dan sebagian lagi tercatat sebagai calon anggota
legislatif dengan menyeberang ke partai lain. Bahkan parpol yang baru kali
pertama ini menjadi peserta pemilu pun tak tertecuali mendaftarkan banyak nama
lama sebagai calon anggota legislatif.
Tidak ada yang
salah dengan kenyataan itu. Tampilnya kembali nama-nama lama sebagai calon
anggota legislatif ini sama sekali tak bisa dilarang atau diharamkan. Sejauh
memenuhi berbagai syarat yang ditetapkan undang-undang, sah-sah saja mereka
maju lagi sebagai calon anggota legislatif untuk pemilu mendatang.
Tetapi, soalnya,
calon-calon anggota legislatif yang didominasi nama atau muka-muka lama ini
punya implikasi tidak ringan sekaligus tidak elok terhadap institusi parlemen
mendatang. Kualitas parlemen hasil Pemilu 2014 sulit diharapkan lebih baik
dibanding DPR yang sekarang ini.
Dalam banyak hal,
kualitas parlemen mendatang sangat boleh jadi sawi mawon saja dengan institusi
wakil rakyat hasil Pemilu 2009. Padahal kinerja parlemen yang sekarang ini jauh
dari mengesankan. Tidak kurang dari Ketua DPR Marzuki Alie mengakui soal itu.
Jadi, karena
didominasi muka-muka lama, kualitas parlemen hasil Pemilu 2014 sulit diharapkan
lebih baik dibanding DPR yang sekarang ini. Muka-muka lama hampir pasti amat
berpengaruh terhadap bulat-lonjong atau hitam-putih wajah parlemen mendatang.
Terlebih lagi
muka-muka baru -- notabene kebanyakan merupakan figur artis -- bisa jadi
cenderung sekadar merupakan "penggembira" dalam keanggotaan di
parlemen ini. Entah karena faktor jam terbang yang masih nol, atau mungkin
lantaran sistem nilai keartisan yang berbeda bak langit dan bumi dibanding
orientasi politisi, muka-muka baru bagaimanapun sulit diharapkan membawa
perubahan terhadap kinerja parlemen hasil Pemilu 2014.
Celakanya,
muka-muka lama sendiri telanjur mengidap sejumlah penyakit yang berkelindan
menjadi tabiat buruk. Sebut saja, antara lain, malas mengikuti persidangan,
cenderung menghamburkan anggaran lantaran doyan plesiran dengan memanfaatkan
proses legislasi sebagai modus, menuntut banyak fasilitas mewah, atau bahkan
terlibat tindak asusila dan korupsi.
Karena itu, boleh
jadi parlemen mendatang bukan hanya tidak lebih baik dibanding institusi wakil
rakyat sekarang ini, tetapi juga masih menampilkan karakter yang terbentuk oleh
sejumlah tabiat buruk muka-muka lama. Lain soal, tentu, kalau muka-muka lama ini
membuang segala karakter buruk yang selama ini menjadi kanker di institusi
parlemen. Tetapi apa mungkin?
Pemilu seharusnya
tidak sekadar merupakan pesta demokrasi lima tahunan. Pemilu tidak boleh cuma
menjadi tonggak yang menandai babak baru perpolitikan. Pemilu seharusnya
menjadi wahana pembaruan atau penyegaran politik melalui peran wakil-wakil
rakyat di parlemen.
Itu semua hanya
mungkin bisa kalau parpol peserta pemilu benar-benar melakukan fungsi rekrutmen
dan kaderisasi berdasar orientasi nilai luhur. Parpol tak boleh difungsikan bak
keranjang
belanjaan berisi barang-barang luks yang tidak menyehatkan.***
Jakarta, 25 April
2013