26 April 2013

Calon Wakil Rakyat

Nama-nama lama masih mewarnai daftar calon anggota legislatif untuk Pemilu 2014. Sejauh berbagai pemberitaan, nama-nama lama ini mendominasi daftar yang dicatatkan tiap parpol peserta pemilu ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) itu. Sementara nama-nama baru lebih banyak merupakan figur-figur yang selama ini berkiprah di jagat keartisan.

Sebagian besar nama lama, yaitu mereka yang selama ini menjadi wakil rakyat di Senayan, kembali tercatat sebagai calon anggota legislatif. Sebagian masih mendaftar melalui parpol lama, dan sebagian lagi tercatat sebagai calon anggota legislatif dengan menyeberang ke partai lain. Bahkan parpol yang baru kali pertama ini menjadi peserta pemilu pun tak tertecuali mendaftarkan banyak nama lama sebagai calon anggota legislatif.

Tidak ada yang salah dengan kenyataan itu. Tampilnya kembali nama-nama lama sebagai calon anggota legislatif ini sama sekali tak bisa dilarang atau diharamkan. Sejauh memenuhi berbagai syarat yang ditetapkan undang-undang, sah-sah saja mereka maju lagi sebagai calon anggota legislatif untuk pemilu mendatang.

Tetapi, soalnya, calon-calon anggota legislatif yang didominasi nama atau muka-muka lama ini punya implikasi tidak ringan sekaligus tidak elok terhadap institusi parlemen mendatang. Kualitas parlemen hasil Pemilu 2014 sulit diharapkan lebih baik dibanding DPR yang sekarang ini.

Dalam banyak hal, kualitas parlemen mendatang sangat boleh jadi sawi mawon saja dengan institusi wakil rakyat hasil Pemilu 2009. Padahal kinerja parlemen yang sekarang ini jauh dari mengesankan. Tidak kurang dari Ketua DPR Marzuki Alie mengakui soal itu.

Jadi, karena didominasi muka-muka lama, kualitas parlemen hasil Pemilu 2014 sulit diharapkan lebih baik dibanding DPR yang sekarang ini. Muka-muka lama hampir pasti amat berpengaruh terhadap bulat-lonjong atau hitam-putih wajah parlemen mendatang.

Terlebih lagi muka-muka baru -- notabene kebanyakan merupakan figur artis -- bisa jadi cenderung sekadar merupakan "penggembira" dalam keanggotaan di parlemen ini. Entah karena faktor jam terbang yang masih nol, atau mungkin lantaran sistem nilai keartisan yang berbeda bak langit dan bumi dibanding orientasi politisi, muka-muka baru bagaimanapun sulit diharapkan membawa perubahan terhadap kinerja parlemen hasil Pemilu 2014. 

Celakanya, muka-muka lama sendiri telanjur mengidap sejumlah penyakit yang berkelindan menjadi tabiat buruk. Sebut saja, antara lain, malas mengikuti persidangan, cenderung menghamburkan anggaran lantaran doyan plesiran dengan memanfaatkan proses legislasi sebagai modus, menuntut banyak fasilitas mewah, atau bahkan terlibat tindak asusila dan korupsi.

Karena itu, boleh jadi parlemen mendatang bukan hanya tidak lebih baik dibanding institusi wakil rakyat sekarang ini, tetapi juga masih menampilkan karakter yang terbentuk oleh sejumlah tabiat buruk muka-muka lama. Lain soal, tentu, kalau muka-muka lama ini membuang segala karakter buruk yang selama ini menjadi kanker di institusi parlemen. Tetapi apa mungkin?

Pemilu seharusnya tidak sekadar merupakan pesta demokrasi lima tahunan. Pemilu tidak boleh cuma menjadi tonggak yang menandai babak baru perpolitikan. Pemilu seharusnya menjadi wahana pembaruan atau penyegaran politik melalui peran wakil-wakil rakyat di parlemen.

Itu semua hanya mungkin bisa kalau parpol peserta pemilu benar-benar melakukan fungsi rekrutmen dan kaderisasi berdasar orientasi nilai luhur. Parpol tak boleh difungsikan bak
keranjang belanjaan berisi barang-barang luks yang tidak menyehatkan.***

Jakarta, 25 April 2013

24 April 2013

Menkeu Definitif


Sebagai portofolio pemerintahan, kementerian keuangan (kemkeu) sangat strategis. Kemkeu sangat menentukan hitam-putih atau bahkan maju-mundurnya ekonomi nasional. Pencapaian target-target pembangunan ekonomi nasional sangat bergantung kepada kinerja Kemkeu. Arah kebijakan yang digulirkan Kemkeu juga menjadi rujukan utama pelaku pasar dan pelaku usaha dalam bersikap dan bertindak sebagai respons terhadap ekonomi nasional.

Dalam konteks itu, jelas, peran menteri keuangan (menkeu)  sungguh tidak ringan. Sebagai pengendali institusi kemkeu, figur menkeu tidak sekadar wajib memiliki kompetensi memadai di bidang ekonomi dan menguasai psikologi pasar. Seorang menkeu juga secara kondisional objektif dituntut berkonsentrasi penuh melaksanakan tugas dan kewajiban sehari-hari.

Karena itu, sepeninggal Menkeu Agus Martowardojo yang terpilih menjadi Gubernur Bank Indonesia, portofolio Kemkeu tak boleh berlama-lama dipimpin seorang pejabat sementara atau pelaksana tugas yang kini dipercayakan kepada Hatta Rajasa. Bagaimanapun, tugas dan kewajiban Hatta sebagai Menko Perekonomian pun sudah sangat berat.

Belum lagi, di luar pemerintahan, Hatta juga menanggung beban tidak ringan pula sebagai pimpinan sebuah parpol. Terlebih menjelang perhelatan politik akbar lima tahunan seperti sekarang ini, beban Hatta di luar pemerintahan ini tentu makin berat saja.

Itu berarti, tanpa mengecilkan komitmen Hatta sendiri, pelaksana tugas sulit diharapkan mampu optimal dan fokus melaksanakan pekerjaan sehari-hari Menkeu. Waktu dan energi Hatta niscaya terbagi-bagi antara untuk urusan kantor Menko Perekonomian, Kemkeu, juga urusan partai.

Justru itu, kinerja Kemkeu pun bisa-bisa tidak optimal. Padahal tantangan objektif Kemkeu hari-hari ini sungguh tidak ringan dan kompleks.

Secara garis besar, tantangan itu terutama mempertahankan keberlanjutan manajemen fiskal yang bersifat prudent. Di bawah kendali Menkeu Agus Martowardojo selama tiga tahun terakhir, manajemen fiskal ini diakui terjaga prudent. Itu pula yang membuat ekonomi nasional mampu tumbuh relatif mengesankan. Bahkan di tengah krisis ekonomi global sejak beberapa tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi nasional -- di atas 6 persen per tahun -- jauh melampaui rata-rata kebanyakan negara lain.

Jadi, kinerja ekonomi nasional di bawah kendali Menkeu Agus Martowardojo tetap mulus-mulus saja meski faktor eksternal tidak kondusif. Guncangan yang tidak perlu atau bahkan membahayakan sama sekali tidak terjadi, karena pelaku pasar menaruh kepercayaan tinggi terhadap ekonomi nasional.

Tantangan Menkeu di bidang fiskal sendiri hari-hari ini sangat berat dan tidak mudah. Pengeluaran APBN semakin besar seiring semangat pimpinan nasional terus menaikkan gaji pegawai negeri dan anggota TNI/Polri, di samping beban subsidi -- terutama subsidi BBM -- semakin membengkak dan tidak menyehatkan anggaran.

Karena itu, tak bisa tidak, Menkeu pun harus mampu meningkatkan penerimaan negara, sekaligus lebih efektif lagi dalam menekan berbagai tindak penyelewengan oleh oknum pegawai sendiri yang tampaknya masih tergolong serius sebagaimana tecermin dalam serangkaian kasus manipulasi pajak.

Sekali lagi, tantangan-tantangan seperti itu hanya mungkin bisa dijawab secara efektif oleh seorang menkeu definitif. Jadi, seyogyanya Presiden tidak berlama-lama membiarkan pos menkeu ini dirangkap oleh menteri lain.***

Jakarta, 24 April 2013

19 April 2013

Koreksi Harga Minyak


Pemerintah tampaknya sudah mantap untuk melakukan koreksi kebijakan atas harga eceran bahan bakar minyak (BBM) subsidi. Tetapi pada saat bersamaan pemerintah juga terkesankan galau untuk segera mengambil keputusan. Paling tidak, pengambilan keputusan mengenai koreksi harga BBM ini terasa berlarut-larut.

Tak jelas, apa yang menjadi ganjalan bagi pemerintah untuk segera mengambil keputusan. Yang pasti, pemerintah sadar betul bahwa kebijakan tentang BBM subsidi ini harus segera dikoreksi -- karena masalah sudah begitu gamblang: subsidi BBM kian membebani APBN.

Pada tahun anggaran berjalan sekarang ini, kuota BBM subsidi ditetapkan sebanyak 46 juta kiloliter. Kuota tersebut sangat mungkin jebol seperti tahun-tahun lalu -- notabene dengan angka amat signifikan. Tahun lalu, misalnya, kuota BBM subsidi ditetapkan 40 juta kiloliter. Namun dalam perjalanan, kuota itu terlampaui menjadi 45,2 juta kiloliter.

Bahwa kuota BBM subsidi ini bisa jebol lagi, itu sangat mungkin terjadi. Ya, karena pertumbuhan pemilikan kendaraan bermotor tetap tinggi. Artinya, konsumsi BBM pun semakin membubung. Konsumsi itu sendiri lebih mengarah kepada BBM subsidi -- karena murah-meriah dibanding harga BBM nonsubsidi.

Jebolnya kuota kuota BBM subsidi ini serta-merta berimplikasi langsung dan amat serius kepada APBN: beban subsidi BBM semakin membengkak. Dalam APBN 2013, subsidi BBM dipatok Rp 193,8 triliun. Kalau angka tersebut ternyata harus ditambah akibat kuota BBM subsidi jebol, ruang gerak anggaran pun niscaya menjadi sempit. Bahkan dengan subsidi BBM sebesar Rp 193,8 triliun saja, pembangunan ekonomi nasional sulit bisa melaju sebagaimana mestinya. Jadi, kalau subsidi BBM terpaksa ditambah, pembangunan ekonomi jelas kian tersandera.

Namun kesadaran tentang itu ternyata tak serta-merta membuat pemerintah bertindak sigap. Itu tadi: pemerintah amat kelihatan galau untuk segera mengambil keputusan. Pemerintah seperti kurang percaya diri untuk cepat-cepat mengetokkan palu.

Sejauh ini, opsi koreksi kebijakan tentang BBM subsidi ini mengerucut kepada skema dua harga. Untuk mobil pelat kuning dan sepeda motor, harga BBM subsidi akan dipertahankan Rp 4.500 per liter. Sementara untuk mobil pelat hitam, termasuk kendaraan dinas pemerintah, harga BBM subsidi ini dipatok naik menjadi Rp 6.500 per liter.

Apakah pemerintah galau sendiri bahwa opsi kebijakan itu kurang layak diimplementasikan? Sebab, seperti diingatkan sejumlah kalangan, opsi dua harga BBM subsidi ini punya kemungkinan besar menimbulkan kekacauan sosial di lapangan? Belum lagi berbagai tindak penyimpangan juga sangat potensial terjadi?

Jika benar itu yang menjadi soal, mestinya sejak awal pemerintah menahan diri: tidak mengobral rencana kebijakan ke ruang publik. Mestinya, opsi kebijakan yang hendak dipilih dan digulirkan ke tengah masyarakat betul-betul sudah matang alias memang siap diimplementasikan.

Bersikap hati-hati dan penuh pertimbangan dalam memutuskan kebijakan -- terlebih menyangkut hajat hidup orang banyak -- memang perlu. Tetapi kalau kelewat hati-hati, pemerintah jadi terkesankan lelet dan seperti kurang percaya diri.
Kesan seperti itu sungguh tidak sehat karena menumbuhkan ketidakpastian di tengah masyarakat.

Pemerintah tentu paham betul bahwa ketidakpastian adalah lahan subur bagi berbagai tindak spekulasi di masyarakat. Dan spekulkasi bisa berdampak destruktif karena merugikan kepentingan luas.***


Jakarta, 19 April 2013

15 April 2013

Jiwa Besar TNI

TNI-AD memperoleh apresiasi banyak kalangan terkait penanganan kasus penyerangan Lapas Cebongan, Sleman, Yogyakarta, yang ternyata dilakukan 11 oknum prajurit Kopassus. Apresiasi diberikan bukan cuma karena TNI-AD gesit melakukan penyelidikan, melainkan terutama lantaran hasil penyelidikan itu diumumkan kepada publik secara transparan. TNI-AD tak terkesankan berupaya menutup-nutupi kenyataan bahwa pelaku penyerangan yang mengeksekusi mati empat tahanan itu adalah oknum prajurit Kopassus.

Itu sungguh di luar ekspektasi publik. Sebelumnya, publik skeptis bahwa institusi TNI-AD berani blak-blakan soal hasil penyelidikan kasus penyerangan Lapas Cebongan ini. Meski sudah menaruh dugaan bahwa pelaku penyerangan itu adalah oknum anggota Kopassus, publik tak yakin bahwa TNI-AD akan bersikap transparan. Terlebih lagi seorang petinggi TNI belum-belum sudah pasang badan dengan memastikan bahwa Kopassus sama sekali tak tersangkut penyerangan Lapas Cebongan.

Sikap transparan itu kini terbukti positif bagi citra TNI-AD sendiri di mata publik. Meski tindakan oknum anggota Kopassus menyerang dan mengeksekusi tahanan di Lapas Cebongan mencoreng nama baik institusi TNI secara keseluruhan, toh publik memberikan apresiasi. Dalam pandangan publik, TNI ternyata mampu menunjukkan nilai-nilai objektif dan kesatria dengan tidak menutup-nutupi kenyataan di balik aksi penyerangan itu.

Sekarang publik menaruh harapan agar proses peradilan atas pelaku aksi penyerangan ke Lapas Cebongan ini berlangsung objektif dan transparan pula. Bahwa proses peradilan itu dilakukan di pengadilan militer -- bukan di pengadilan umum --, publik berharap agar hukuman terhadap pelaku penyerangan itu benar-benar memenuhi rasa keadilan. Publik niscaya kecewa kalau saja proses peradilan itu seperti main-main: tidak objektif, tidak transparan, serta menafikan rasa keadilan di masyarakat.

Namun lepas dari soal proses peradilan ini, sikap TNI-AD terkait kasus penyerangan Lapas Cebongan sungguh merupakan
merupakan angin segar -- dan karena itu layak dijadikan preseden positif. Artinya, sikap transparan institusi TNI -- betapa pun itu sangat mahal -- patut dipertahankan dalam menghadapi kasus-kasus pelanggaran hukum yang melibatkan oknum anggota TNI di hari-hari mendatang.

Bagi institusi-institusi lain, sikap transparan TNI mengenai kasus penyerangan Lapas Cebongan ini juga harus menjadi contoh atau rujukan. Ibarat obat, sikap itu sehat dan menyehatkan -- tidak saja bagi institusi bersangkutan, melainkan juga terhadap kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Sehat dan menyehatkan, karena sikap transparan membasuh curiga dan prasangka sekaligus menghilangkan pongah dan dusta.

Menutup-nutupi kasus pelanggaran hukum -- sekecil apa pun kasus itu -- memang sudah bukan zamannya lagi. Di tengah iklim keterbukaan sekarang ini, sikap dan tindakan menutup-nutupi kasus pelanggaran hukum niscaya konyol. Konyol, karena sikap-tindak seperti itu pasti sia-sia belaka. Lambat ataupun cepat, ketidakjujuran niscaya terbongkar. Segala dusta pasti terungkap, sehingga publik pada akhirnya tetap mengetahui kebenaran.

Memang tidak mudah. Karena iklim sosial-politik selama ini menumbuhkan sikap-sikap kerdil atau bahkan pengecut, maka menjunjung nilai-nilai jujur dan transparan sungguh membutuhkan keberanian dan jiwa besar. Tapi bagaimanapun nilai-nilai itu sudah saatnya ditumbuhkembangkan.

Dalam konteks itu, TNI-AD sudah menunjukkan langkah permulaan sebagai teladan.***

Jakarta, 5 April 2013

11 April 2013

Peran Wakil Rakyat


Sikap malas anggota DPR menghadiri persidangan tak juga berubah. Meski sudah sering dihujani kritik, perilaku mereka tak juga membaik. Perilaku mereka tetap saja mengundang sinisme publik.

Dalam rapat paripurna DPR, kemarin, sikap malas itu kembali dipertontonkan sejumlah banyak wakil rakyat di Senayan. Berdasar lembar absensi yang disediakan di depan ruang sidang, hanya 336 dari total 560 anggota DPR yang mengikuti sidang paripurna itu. Jadi, 224 anggota tidak hadir.

Tak jelas, apakah 336 anggota DPR yang mengisi absensi pun lantas menghadiri persidangan. Namun becermin pada persidangan yang sudah-sudah, banyak juga anggota DPR yang cuma mengisi absensi. Mereka tidak mengikuti persidangan, melainkan sekadar memenuhi proforma: tercatat hadir di lembar absensi.

Gambaran serupa sudah acap terlihat. Hampir dalam setiap sidang paripurna, banyak anggota DPR yang membolos atau sekadar mengisi lembar absensi. Karena itu, ruang persidangan pun cenderung terkesan lelang.

Kenyataan itu tentu menyedihkan. Sikap malas anggota parlemen mengikuti persidangan seolah sudah berurat dan berakar alias sulit berubah menjadi baik. Padahal tugas utama anggota parlemen antara lain ya menghadiri persidangan sehingga mereka bisa turut ambil bagian dalam proses pengambilan keputusan.

Tentu idealnya anggota DPR tidak sekadar hadir, melainkan juga aktif memberi pandangan. Tetapi gambaran yang sekama ini tampil ke permukaan, jangankan aktif memberi pandangan, bahkan sekadar menghadiri persidangan saja tak sedikit anggota DPR sudah malas.

Memang, mereka selalu punya alasan atau argumentasi tentang ketidakhadiran dalam persidangan ini. Namun secara keseluruhan,  berbagai argumentasi mereka tak serta-merta memupus kesan bahwa mereka malas berperan optimal sebagai wakil rakyat.

Menjelang perhelatan akbar berupa pemilu, tahun depan, boleh jadi kemalasan anggota DPR mengikuti persidangan ini akan kian menjadi. Maklum karena mereka harus banyak ambil bagian dalam kegiatan politik untuk pemenangan parpol masing-masing, sehingga pascapemilu nanti bisa tetap eksis di parlemen.

Jadi, untuk itu, mereka harus sering turun ke tengah masyarakat konstituen -- menebar pesona. Aktivitas tersebut niscaya makin intensif lagi manakala momen pemilu sudah semakin mendekat. Tapi justru itu, peran dan fungsi mereka sebagai wakil rakyat di Senayan pun hampir pasti menjadi kian kendur dan loyo. Persidangan-persidangan di hari-hari mendatang ini boleh jadi makin sedikit dihadiri wakil rakyat.

Mestinya, menjelang pemilu ini, kesungguhan berperan sebagai wakil rakyat justru ditunjukkan secara habis-habisan. Berbagai upaya dan kesempatan seharusnya benar-benar dimanfaatkan untuk itu. Adalah mengherankan jika hari-hari menjelang pesta demokrasi lima tahunan ini tidak dipandang sebagai ajang kontes kecantikan atau arena tebar pesona wakil rakyat.

Karena itu, di tengah kesadaran kritis rakyat yang semakin membaik sekarang ini, sikap malas anggota parlemen berperan optimal bisa-bisa mendatangkan hukuman pada saat pemilu nanti. Jangan-jangan rakyat tak sudi memilih lagi sosok-sosok persona ataupun parpol yang kini duduk di parlemen justru lantaran kinerja mereka di parlemen selama ini tidak mengesankan. Ya, rakyat kini sudah tak bisa lagi dibuai oleh gincu-gincu politik semata menjelang pemilu.***

Jakarta, 11 April 2013