24 November 2014

Penaikan Harga BBM, Ujian Pertama Pemerintah

Penaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi, yang hampir pasti dilakukan sebelum pergantian tahun, akan menjadi ujian pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam mengendalikan dampak sosial-ekonomi kebijakan tersebut. Ujian ini sekaligus akan menjadi tolok ukur kesungguhan pemerintah bekerja dan hanya bekerja sesuai jargon Jokowi.

Selama ini, penaikan harga BBM subsidi selalu berdampak menyusahkan rakyat kebanyakan. Akibat kualitas perencanaan begitu buruk, gejolak sosial-ekonomi yang timbul -- terutama lonjakan harga barang dan jasa -- praktis tak terkendali. Pemerintah keteteran atau bahkan tak mampu menaklukkan keliaran pasar.

Kenyataan seperti itu harus menjadi pelajaran berharga pemerintahan Jokowi. Apalagi Jokowi sendiri berkomitmen besar melindungi rakyat. Jokowi tak ingin penaikan harga BBM subsidi berdampak menyengsarakan rakyat banyak.

Bagi Jokowi, penaikan harga BBM subsidi benar-benar harus menjadi pilihan strategis untuk menyehatkan kondisi ekonomi nasional. Penaikan harga BBM subsidi juga harus bermuara kepada perbaikan kesejahteraan rakyat.

Untuk itu, menteri-menteri terkait harus solid dan cerdas dalam merumuskan langkah-langkah antisipasi tentang dampak negatif penaikan harga BBM subsidi ini. Terutama  sektor transfortasi dan logistik jangan sampai kelewat terbebani oleh tindak penyesuaian harga yang tidak terkontrol atau tak terkendali. Dengan demikian, secara keseluruhan inflasi pun bisa bergerak dalam rentang yang dapat ditoleransi.

Masyarakat sendiri menaruh ekspektasi tinggi terhadap pemerintahan Jokowi dalam mengelola ekonomi nasional, termasuk menyangkut kebijakan di bidang energi. Masyarakat bisa memaklumi dan secara psikologis juga  siap menghadapi penaikan harga BBM subsidi ini. Resistensi masyarakat terhadap kebijakan itu relatif rendah karena mereka berkeyakinan bahwa pemerintah mampu mengendalikan dampak sosial-ekonomi yang kemudian timbul.

Kondisi tersebut merupakan modal amat berharga bagi pemerintahan Jokowi dalam mengambil langkah penaikan harga BBM subsidi ini. Modal tersebut tak boleh tersia-siakan akibat tindakan-tindakan under perform jajaran pemerintahan, terutama setelah harga BBM subsidi resmi dinaikkan.

Tak kurang penting juga bagi pemerintah adalah meraih dukungan parlemen. Tanpa dukungan parlemen, penaikan harga BBM subsidi sulit dilakukan. Padahal, sebagaimana sering diungkapkan sendiri oleh Jokowi, penaikan harga BBM subsidi sulit dihindari karena beban anggarah sudah kelewat berat.

Meraih dukungan parlemen niscaya menguras energi. Pertama, karena sejak awal sebagian fraksi di parlemen menunjukkan resistensi terhadap penaikan harga BBM subsidi ini. Kedua, karena situasi dan kondisi politik di parlemen sendiri sedang memanas antara barisan pendukung dan penyeimbang pemerintah.

Kenyataan itu merupakan faktor yang akan menyempurnakan ujian bagi pemerintah dalam menangani masalah BBM subsidi ini. Tapi seberat apa pun ujian itu, pemerintah tentu sudah punya persiapan. Paling tidak, Jokowi sudah mencanangkan bahwa pemerintahan yang dia pimpin adalah sebuah tim pekerja.*** 

Jakarta, 30 Novemver 2014

23 November 2014

Kabinet Jangan Berlarut

Pengumuman kabinet yang tertunda-tunda tak perlu dirisaukan. Sepanjang tidak sampai berlarut-larut serta bisa diyakinkan kepada publik sebagai sesuatu yang objektif, tertunda-tundanya pengumuman kabinet ini bukan faktor yang bisa mengacaukan kehidupan ekonomi di dalam negeri.

Tentang itu, lihat saja pergerakan harga saham di pasar modal yang lazim menjadi cerminan atau bahkan indikator tentang arah ekonomi nasional. Kamis kemarin, indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia masih melanjutkan tren penguatan. Ditutup di level 5.103,51, IHSG kemarin naik 29,19 poin atau 0,57 persen dibanding posisi di akhir perdagangan pada Rabu lalu.

Di sisi lain, kurs rupiah memang turun. Kurs tengah Bank Indonesia, misalnya, kemarin melorot 8 poin menjadi Rp 12.034 per dolar dibanding penutupan transaksi pada Rabu lalu. Di pasar spot antarbank di Jakarta, nilai tukar rupiah terhadap dolas AS ini kemarin juga melemah.

Tetapi kenyataan tersebut bukan merupakan cermin kegalauan pelaku pasar uang atas tertunda-tundanya pengumuman kabinet. Kurs rupiah melemah, seperti kata kalangan analis pasar uang, lebih merupakan imbas negatif sentimen global -- terutama rencana bank sental AS menaikkan suku bunga acuan.

Jadi, sekali lagi, tindakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak segera mengumumkan kabinet ini tidak  beralasan dikhawatirkan bakal berdampak membuat buruk kehidupan ekonomi nasional. Dunia usaha, dalam konteks ini, tak lantas dibuat gelisah atau gusar. Mereka tidak merespons lambannya pengumuman kabinet sebagai sesuatu yang negatif. 

Bahkan sebaliknya, bagi pelaku usaha, penundaan pengumuman kabinet merupakan sinyal positif. Penundaan itu mereka lihat sebagai cermin kesungguhan Jokowi menyiapkan tim pemerintah yang kredibel dan bersih.

Kenyataan itu melegakan: pertanda dunia usaha memberi restu dan dukungan terhadap Jokowi. Dunia usaha menaruh kepercayaan besar bahwa kabinet yang sedang disiapkan Jokowi bisa diandalkan merupakan tim impian. Bukan cuma punya kapabilitas memadai, tim tersebut juga diyakini punya integritas tinggi.

Kabinet yang kredibel dan bersih adalah modal besar untuk membangun ekonomi nasional ke depan ini. Terlebih tantangan serius sudah di depan mata: perdagangan bebas ASEAN mulai tahun depan. Banyak kalangan skeptis -- untuk tidak mengatakan pesimistis -- bahwa ekonomi nasional mampu bersaing di tengah arena masyarakat ekonomi ASEAN ini.

Sikap seperti itu amat beralasan karena di banyak segi, kesiapan ekonomi nasional memang kedodoran. Itu karena kesiapan dan penyiapan ekonomi nasional dalam menyongsong perdagangan bebas ASEAN terbilang minim alias kurang sungguh-sungguh.

Karena itu, sinyal yang ditunjukkan Jokowi dalam menyiapkan kabinet serta-merta menumbuhkan ekspektasi positif banyak pihak di dalam negeri menyangkut kehidupan dan daya saing ekonomi nasional. Terlebih publik melihat bahwa Jokowi tidak memberi tolerasi terhadap rekam jejak buruk nama-nama yang masuk daftar calon anggota kabinet. Publik menangkap kesan bahwa Jokowi tidak main-main dalam soal integritas calon-calon menteri.

Maka, itu tadi: publik pun -- termasuk dunia usaha -- sejauh ini bisa memaklumi tertunda-tundanya pengumunan kabinet. Namun Jokowi tak boleh sampai terlena. Pembentukan kabinet tak boleh berlarut-larut karena niscaya berdampak menggoyahkan kepercayaan publik. Apalagi kalau alotnya pembentukan kabinet ini bukan lagi terkait soal kapabilitas dan integritas moral calon-calon menteri, melainkan sudah karena transaksi politik, dukungan publik terhadap Jokowi bisa rontok.

Kalau itu yang terjadi, ekonomi nasional niscaya jadi merisaukan. Kehidupan ekonomi hampir pasti memburuk.***

Jakarta, 23 November 2014

21 November 2014

Tercederainya Agenda Antikorupsi Jokowi


Memang janggal bahwa penunjukan HM Prasetyo sebagai jaksa agung tanpa pengecekan rekam jejaknya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Padahal, sebelum mengangkat menteri-menteri, Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara khusus meminta kedua institusi tersebut  menelisik rekam jejak sejumlah nama calon.

Oleh sebab itu pula, sejumlah nama pun gagal diangkat menjadi anggota kabinet karena KPK -- setelah melakukan penelitian berdasarkan data di PPATK -- memberi catatan bahwa mereka bermasalah: terindikasi terlibat kasus korupsi. Walhasil, nama-nama yang kemudian diangkat menjadi anggota Kabinet Kerja pimpinan Jokowi pun relatif bersih alias tidak potensial menjadi pesakitan kasus korupsi.

Nah, status Prasetyo ini tidak jelas. Dia belum tentu bermasalah dalam perspektif pemberantasan korupsi. Tapi dikatakan bersih juga nanti dulu. Ya, karena memang tak ada stempel clean and clear yang diberikan institusi KPK sebagaimana tempo hari disandangkan terhadap calon-calon menteri. Sebelum diangkat menjadi jaksa agung, nama Prasetyo tidak lebih dulu "ditelanjangi" PPATK dan KPK.

Jokowi tampaknya tidak merasa perlu meminta PPATK dan KPK mengklarifikasi rekam jejak Prasetyo ini. Dengan kata lain, Prasetyo dikecualikan alias diistimewakan -- entah karena alasan apa. Seolah-olah rekam jejak Prasetyo sudah terjamin bersih dari hari biru rasuah.

Tak bisa tidak, itu membuat Jokowi terkesankan tidak konsisten dalam memastikan rekam jejak bersih jajaran pejabat tinggi pemerintahan dan negara. Padahal kepastian itu, seperti pernah dia ungkapkan sendiri,  sungguh fundamental guna menjamin pemerintahan yang dia pimpin berada di jalur yang benar dalam konteks pemberantasan korupsi.

Karena itu bisa dipahami kalangan penggiat gerakan masyarakat madani pun lantas mempertanyakan semangat antikorupsi Jokowi. Bagi mereka, kasus pengangkatan Prasetyo sebagai jaksa agung ini membuat komitmen Jokowi terhadap gerakan antikorupsi jadi terkesankan tidak sungguh-sungguh. 

Dalam penuturan lain, agenda antikorupsi Jokowi menjadi kabur. Agenda tersebut tampaknya tercederai oleh kepentingan politik Jokowi sendiri. Ini sungguh disayangkan, karena kepentingan politik bisa melumerkan segala hal -- tak terkecuali program antikorupsi.

Komitmen Prasetyo sendiri -- menggerakkan kejaksaan melakukan penegakan hukum atas kasus-kasus  korupsi, bergandengan dengan KPK -- jadi seolah kurang bermakna. Kkomitmen tersebut normatif belaka -- karena agenda dan program antikorupsi Jokowi telanjur tercederai.

Skeptisisme tentang program antikorupsi Jokowi ini kian kental karena Prasetyo sendiri berasal dari parpol. Kenyataan tersebut membuat institusi kejaksaan diragukan kebal intervensi, khususnya dari parpol asal Prasetyo selama ini berkiprah sebagai politisi.

Memang, Prasetyo sudah melepas keanggotaan di parpol. Tetapi kepemimpinan Prasetyo di kejaksaan tetap saja dinilai rawan tersandera oleh kepentingan parpol yang selama ini menjadi naungannya dalam berpolitik. Padahal kejaksaan sendiri memiliki setumpuk PR alias pekerjaan rumah menyangkut perkara-perkara berbau politis atau terindikasi melibatkan politisi. Misalnya kasus pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) ataupun kasus pembunuhan aktivis Munir yang belum sepenuhnya clear.

Cedera agenda antikorupsi ini sulit hilang sebatas lewat pernyataan apologistik. Cedera tersebut hanya bisa pupus lewat bukti-bukti konkret yang bersifat segera. Untuk itu, Jokowi harus memberikan target kerja jangka pendek kepada jaksa agung untuk menuntaskan sejumlah perkara, khususnya perkara berbau korupsi. Lalu, jika target ternyata gagal bisa dicapai, jaksa agung tak layak dipertahankan -- karena hanya membebani Jokowi secara politik.***

Jakarta, 21 November 2014

20 November 2014

Jaksa Agung Baru

Dari sisi latar belakang, penunjukan HM Prasetyo sebagai Jaksa Agung dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak keliru. Prasetyo adalah jaksa karier, sehingga dia punya banyak bekal dalam memimpin korps Adhiyaksa ini. Posisi terakhir Prasetyo di kejaksaan, sebelum pensiun pada tahun 2006, adalah Jaksa Agung Muda bidang Pidana Umum.

Namun banyak pihak kecewa terhadap keputusan Presiden Jokowi menunjuk Prasetyo sebagai Jaksa Agung ini. Keputusan tersebut tidak memenuhi harapan bahwa Prasetyo adalah figur yang diyakini mampu membawa kejaksaan menjadi institusi penegakan hukum yang berwibawa. Prestasi Prasetyo sebagai jaksa dinilai tidak istimewa -- kalaupun tidak dikatakan minor. Padahal institusi kejaksaan sendiri saat ini justru amat membutuhkan figur pimpinan puncak yang punya catatan jempolan dalam urusan kinerja.

Sebagian kalangan juga ragu bahwa Prasetyo mampu membawa kejaksaan menjadi institusi yang independen. Maklum, memang, karena status terakhir Prasetyo adalah politisi. Dia kader Partai Nasdem yang terpilih duduk di DPR periode 2014-2019.

Penunjukan Prasetyo sendiri sebagai Jaksa Agung ini disebut-sebut kental beraroma politik. Penunjukan tersebut dikabarkan atas dasar pembicaraan politik antara Presiden Jokowi dan Ketua Umum DPP Partai Nasdem Surya Paloh.

Karena itu, meski Prasetyo sudah melepas keanggotaan di partai politik lantaran diangkat menjadi Jaksa Agung, sejumlah kalangan tetap tidak yakin bahwa kiprah institusi kejaksaan ke depan ini bisa independen. Mereka melihat, di bawah kepemimpinan Prasetyo, intervensi pihak luar terhadap kejaksaan dalam proses penegakan hukum sungguh rawan. 

Karena itu pula, bagi sejumlah kalangan, kepercayaan publik terhadap institusi kejaksaan tak bakalan menjadi pulih. Bahkan boleh jadi kepercayaan publik makin terkikis kalau saja Prasetyo tidak cakap membawa institusi kejaksaan kebal intervensi.

Tetapi keputusan sudah diambil Presiden Jokowi. Sulit diharapkan Jokowi membatalkan pengangkatan Prasetyo sebagai Jaksa Agung ini. Bagaimanapun, tentu, Jokowi harus menunjukkan sikap tegas dalam pengambilan keputusan. Jokowi tak mungkin sudi tampil sebagai pemimpin berkarakter plintat-plintut.

Walhasil, puas tidak puas, penunjukan Prasetyo sebagai orang nomor satu di korps Adhiyaksa harus diterima dan dihargai. Kecewa boleh-boleh saja. Ragu atau tidak yakin juga tidak soal. Tetapi lebih fair dan elegan jika Prasetyo diberi kesempatan untuk membuktikan diri bahwa dia layak dan mampu mengemban peran sebagai pemimpin puncak di kejaksaan.

Untuk itu, Prasetyo perlu sekadar diingatkan agar dalam mengemban peran Jaksa Agung ini dia memiliki semangat dan komitmen kuat untuk meningkatkan kinerja kejaksaan. Dia juga perlu memiliki visi jelas dan fokus, enerjik, berintegritas tinggi, serta berani bertindak tegas dan tanpa pandang bulu.

Sosok seperti itu memang sungguh sangat dibutuhkan institusi kejaksaan sekarang ini. Sudah saatnya kejaksaan dibangkitkan menjadi institusi penegak hukum yang independen, berwibawa, disegani, dan dibanggakan khalayak luas. Prasetya sendiri tentu tahu persis bahwa kejaksaan sudah kelewat lama terpuruk dalam kekelaman kinerja.

Walhasil, mari ber-husnuzhan bahwa Prasetyo bisa diharapkan mampu membawa pamor institusi kejaksaan menjadi sejajar dengan institusi lain penegak hukum, terutama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mari kita beri Prasetyo kesempatan untuk melecut segenap korps kejaksaan berbenah diri meningkatkan komitmen, integritas, dan kinerja. Mari kita yakini bahwa Prasetyo tak akan merelakan KPK terus seolah menjadi antitesis institusi kejaksaan dalam penegakan hukum, khususnya menyangkut kasus-kasus tindak pidana korupsi.***

Jakarta, 20 November 2014

19 November 2014

Bentrok TNI-Polri

Bentrokan fisik antara TNI dan Polri -- seperti terjadi di Batam, Kepulauan Riau, kemarin -- sungguh memrihatinkan sekaligus memalukan. Pertama, karena bentrokan antara kedua institusi negara ini sungguh tak patut terjadi. Alasan apa pun tak bisa dijadikan pijakan untuk memaklumi bentrokan-bentrokan di antara mereka.

TNI maupun Polri seharusnya melulu fokus melaksanakan tugas dan kewajiban masing-masing sesuai aturan perundangan. Bentrok fisik hanya memberi kesan negatif di mata khalayak luas: bahwa kedua institusi tidak siap hidup berdampingan secara damai. Bahwa TNI seperti tidak ikhlas melepas Polri menjadi institusi tersendiri. Bahwa Polri, setelah tidak lagi menjadi organ di bawah TNI/ABRI, seperti menjadi "belagu" dalam berhubungan dengan TNI. 

Kedua, bentrok fisik TNI dan Polri ini juga memrihatinkan karena insiden tersebut terus berulang. Terlebih kadang bentrokan yang terjadi menekan korban jiwa maupun luka-luka, di samping merusak fasilitas kedua institusi maupun fasilitas publik. Insiden-insiden yang pernah terjadi seolah tidak pernah memberi pelajaran bagi kedua pihak untuk saling memahami. Kedua pihak seolah-olah saling menyimpan "dendam".

Sejak era reformasi, entah sudah berapa kali TNI dan Polri ini terlibat bentrok fisik. Meski cuma melibatkan oknum-oknum anggota di masing-masing institusi, bentrokan TNI-Polri terkesankan begitu mudah meletup. Tak jarang pula bentrokan berlangsung dalam skala lumayan: melibatkan banyak oknum personel, serta diwarnai penggunaan senjata api.

Ironinya, pihak TNI maupun Polri seperti memandang remeh setiap insiden bentrok antara kedua institusi itu. Acap terdengar mereka melukiskan insiden bentrokan antara kedua alat negara ini sekadar bentuk "kenakalan anak-anak" yang tidak perlu dicemaskan. Jadi, publik seperti diminta memaklumi bahwa insiden bentrokan yang terjadi bukan soal serius.

Biasanya, insiden-insiden bentrok fisik antara TNI dan Polri ini juga diselesaikan di tingkat lokal atau pimpinan yang lebih tinggi. Lewat pertemuan pimpinan kedua institusi, masalah lantas selesai begitu saja. Insiden bentrokan hampir tak pernah ditindaklanjuti oleh proses penegakan hukum.

Walhasil, publik hampir tak pernah memperoleh penjelasan resmi mengenai insiden-insiden bentrok fisik antara TNI dan Polri ini. Apa yang menjadi pemicu, siapa saja yang terlibat, juga sanksi apa yang dijatuhkan -- itu semua seolah melulu untuk diketahui internal kedua institusi. Publik seolah tak berhak tahu.

Akibatnya, itu tadi: berbagai insiden bentrok fisik yang pernah terjadi tidak menjadi pelajaran berharga bagi TNI maupun Polri untuk tidak mengulang insiden serupa -- entah di mana pun. Masing-masing pihak terkesankan tak pernah jera ataupun malu untuk terlibat bentrokan lagi.

Selama model penanganan insiden bentrokan fisik antara TNI dan Polri ini tetap seperti selama ini -- selesai begitu saja lewat pertemuan pimpinan kedua institusi, tanpa penegakan hukum, dan tertutup bagi publik --, sulit diharapkan TNI dan Polri bisa berdampingan secara damai dan harmonis. Insiden-insiden bentrok fisik bakal senantiasa terjadi -- entar sekadar bersifat perorangan ataupun kelompok.

Seharusnya DPR tampil berperan mengakhiri fenomena bentrok fisik antara TNI dan Polri ini. Bahkan, memang, DPR berkewajiban mengontrol TNI dan Polri agar konsekuen serta konsisten melakukan reformasi di internal masing-masing. Sebab, bagaimanapun fenomena bentrok fisik antara TNI dan Polri ini lebih merupakan wujud ketersendatan keduanya dalam melakukan reformasi internal. Karena itu, sejauh ini mereka tak sepenuhnya tunduk terhadap politik sipil yang antara lain mengagungkan proses hukum.

Tetapi, sayangnya, wakil-wakil rakyat di parlemen sendiri cenderung larut dalam kepentingan-kepentingan sempit dan sesaat.***

Jakarta, 19 November 2014

Berani tidak Populer

Penaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi serta-merta menurunkan popularitas Presiden Joko Widodo (Jokowi). Khalayak luas, seperti tecermin dalam ungkapan-ungkapan di media sosial, mencerca keputusan tentang itu. Tak lama setelah penaikan harga BBM subsidi diumumkan, Senin malam lalu, tagar #ShameonYouJokowi dan #SalamGigitJari muncul di twitter dan segera menjadi trending topic alias fokus pembicaraan paling top.

Sementara itu, kalangan mahasiswa bahkan sejak jauh hari tegas-tegas menolak penaikan harga BBM subsidi ini. Sikap tersebut mereka tunjukkan dengan menggelar aksi unjuk rasa. Kemarin, setelah harga BBM subsidi resmi naik, aksi unjuk rasa mahasiswa ini pun lebih  marak dan merebak hingga ke berbagai daerah.

Di lain pihak, bagi kalangan politisi, penaikan harga BBM adalah amunisi untuk menyerang pemerintah. Senada dengan mahasiswa, mereka menilai penaikan harga BBM berdampak menyengsarakan rakyat. Maka di DPR pun kini mulai bergulir wacana untuk melakukan langkah politik terhadap Jokowi.

Jokowi sendiri sejak awal jelas bukan tidak menyadari risiko seperti itu. Dia sadar bahwa penaikan harga BBM subsidi bisa menjadi titik balik popularitasnya di mata publik. Dia tahu persis, rakyat banyak -- termasuk kalangan terpelajar yang melek persoalan sekalipun -- kecewa oleh penaikan harga BBM subsidi ini. Jokowi mafhum: penaikan harga BBM subsidi memang berekses menyusahkan rakyat. Langkah tersebut menurunkan daya beli masyarakat.

Tetapi sebagai pemimpin, Jokowi harus mengambil keputusan -- betapa pun keputusan itu tidak populer. Dia berkeyakinan bahwa penaikan harga BBM subsidi dalam jangka panjang sungguh bermanfaat: memperbaiki ekonomi nasional secara keseluruhan. Ibarat obat, penaikan harga BBM adalah pil pahit yang harus ditelan demi kehidupan ekonomi yang lebih baik dan sehat.

Meski begitu, keberanian tidak populer saja tidak cukup. Setelah harga BBM subsidi resmi dinaikkan, kini menjadi kewajiban Jokowi untuk mengamankan pasar agar harga aneka barang dan jasa tidak kelewat bergejolak. Kenaikan harga barang dan jasa sebagai ekses penaikan harga BBM harus bisa dikendalikan sehingga tidak sampai melampaui batas kewajaran.

Dengan demikian, kekecewaan rakyat atas penaikan harga BBM tidak lantas berkembang menjadi kemarahan. Kemarahan rakyat tidak boleh terjadi karena berbahaya: secara politik bisa menggoyahkan posisi Jokowi sebagai pemimpin nasional. Walhasil, kemarahan rakyat harus bisa diredam -- terutama lewat pengendalian harga aneka barang dan jasa.

Untuk itu pula, kompensasi penaikan harga BBM bagi kelompok masyarakat miskin harus benar-benar terlaksana dengan baik. Berbagai celah penyimpangan di lapangan harus dikenali dan diatasi sejak dini. Dengan demikian, rakyat miskin dibuat tahu bahwa mereka tidak dibiarkan menjadi korban sia-sia kebijakan penaikan harga BBM.

Selain mengendalikan harga aneka barang dan jasa, pascapenaikan harga BBM ini Jokowi juga harus bisa membuktikan bahwa ekonomi nasional berkembang menjadi lebih sehat. Dalam konteks ini, rakyat secara keseluruhan harus segera bisa menikmati kehidupan yang relatif lebih sejahtera. Jika tidak, kekecewaan rakyat terhadap Jokowi terkait penaikan harga BBM niscaya terus menggumpal. Risikonya, dukungan rakyat terhadap Jokowi semakin tergerus.

Tak bisa tidak, karena itu, Jokowi harus menggerakkan segenap kementerian -- terutama tim ekonomi -- agar menggelar program-program yang berdampak nyata menyejahterakan kehidupan rakyat. Ini sungguh menjadi pertaruhan bagi Jokowi dalam merebut kembali simpati dan dukungan rakyat setelah dikecewakan oleh penaikan harga BBM.

Simpati dan dukungan rakyat harus bisa direbut kembali. Dukungan rakyat adalah pilar utama bagi Jokowi untuk menahan gempuran politik -- terutama dari parlemen yang memang tidak dalam genggamannya.***

Jakarta, 19 November 2014

18 November 2014

Teladan Jokowi-Prabowo


Teladan Jokowi-Prabowo
Pertemuan presiden terpilih Joko Widodo alias Jokowi dengan rivalnya dalam pilpres lalu, Prabowo Subianto, bisa dikatakan luar biasa. Luar biasa, karena pertemuan tersebut langsung mencairkan kebekuan sekaligus meredakan ketegangan politik di dalam negeri.

Pascapilpres, terutama setelah Mahkamah Konstitusi memastikan Jokowi sebagai presiden terpilih, situasi politik di dalam negeri memang menegangkan. Terlebih lagi setelah Koalisi Merah Putih yang berdiri di belakang Prabowo bertarung secara ketat dan keras di parlemen melawan Koalisi Indonesia Hebat yang mendukung Jokowi. Pertarungan  tersebut membuat kehidupan politik terbelah.

Kebekuan dan ketegangan politik itu langsung luntur setelah Jokowi kemarin bertemu Prabowo dalam suasana hangat. Semua pihak serta-merta merasa lega dan tenang. Kelegaan tersebut antara lain tecermin di pasar modal: indek harga saham naik signifikan. Di pasar uang, nilai tukar rupiah, yang belakangan cenderung melemah, juga terkoreksi positif.

Pertemuan pertama Jokowi-Prabowo pascapilpres ini juga menghapus anggapan bahwa pihak Prabowo memainkan politik balas dendam. Anggapan itu pupus, terutama karena Prabowo menyatakan bahwa Partai Gerindra yang dia pimpin -- bersama partai-partai lain penyokong Koalisi Merah Putih -- bukan oposisi. Bahkan Prabowo menyeru semua pihak agar mendukung pemerintahan Jokowi.

Realitas itu juga menumbuhkan harapan atau bahkan keyakinan khalayak luas bahwa stabilitas politik ke depan ini terjaga baik. Pemerintahan Jokowi kemungkinan tak direpotkan oleh telikungan-telikungan politik di parlemen. Dengan demikian, pembangunan nasional pun bisa bergerak lancar.

Keyakinan seperti itu akan lebih kuat kalau saja Prabowo tak sekadar bersedia menerima kedatangan Jokowi dan menyatakan dukungan, melainkan juga menyempatkan hadir dalam upacara pelantikan presiden dan wapres terpilih oleh MPR, awal pekan depan. Dengan itu, khalayak luas niscaya dibuat lebih yakin bahwa Prabowo benar-benar tulus dan berjiwa besar menerima kekalahan dalam pilpres.

Tetapi, lepas dari soal kehadiran Prabowo dalam upacara pelantikan presiden dan wapres, pertemuan Jokowi-Prabowo sendiri sudah cukup memberi pelajaran amat berharga kepada rakyat tentang kenegarawanan. Jokowi, sebagai presiden terpilih, tak bersikap jumawa. Dengan langkah pasti, tanpa beban, dia datang menyambangi Prabowo.

Sebaliknya Prabowo juga tidak bersikap kerdil. Dia begitu terbuka menerima keinginan Jokowi untuk bertemu. Prabowo juga tak sungkan menyatakan selamat atas kemenangan Jokowi dalam pilpres.

Kenegarawanan memang sungguh perlu dimiliki setiap pribadi pemimpin nasional. Perlu, karena sekarang ini rakyat nyaris tak memiliki teladan. Kenegarawanan sedikit sekali ditunjukkan pemimpin nasional. Mereka cenderung bersikap kerdil dan terpenjara dalam kotak-kotak kepentingan sempit.

Padahal kenegarawanan adalah roh yang menjamin persatuan dan kesatuan. Kenegarawanan adalah jiwa yang mengatasi segala perbedaan di tengah aneka keragaman. Kenegarawanan adalah perekat yang meleburkan kepentingan pribadi, kelompok, ataupun golongan ke dalam kepentingan nasional.

Kenegarawanan juga yang bisa membuat politik bukan arena tarung bebas. Dengan kenegarawanan, lawan politik tak harus dianggap sebagai musuh yang harus dihancurkan, melainkan diperlakukan sebagai mitra yang mesti dirangkul dan diajak berkompetisi mempersembahkan segala sesuatu yang penting bagi kehidupan bangsa.

Sekali lagi, Jokowi dan Prabowo sudah menunjukkan teladan tentang kenegarawanan pemimpin nasional. Tetapi keteladanan mereka ini akan terus diuji oleh dinamika politik dalam hari-hari ke depan ini: apakah otentik ataukah sekadar kosmetik!***

Jakarta, 18 November 2014

15 November 2014

Kenegarawanan Elite

Pertemuan presiden terpilih Joko Widodo alias Jokowi dan Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie (ARB), kemarin, serta-merta membuka mata semua pihak: kedua tokoh sungguh memiliki jiwa kenegarawanan. Dengan itu, pupus sudah anggapan bahwa mereka berdua selama ini -- pascapemilu presiden -- saling bermusuhan dan hanya menomorsatukan kepentingan kubu masing-masing.

Bahwa Jokowi dan ARB masing-masing berdiri di kubu yang berbeda, itu benar. Jokowi berada di kubu Koalisi Indonesia Bangkit yang telah berjasa mengantarkannya sebagai pemenang Pilpres 2014. Sementara ARB sekarang ini dikenal sebagai salah satu motor Koalisi Merah Putih yang dalam Pilpres 2014 mengusung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

Tetapi kenyataan itu tak harus dimaknai bahwa kedua tokoh -- bersama kubu masing-masing -- bermusuhan dan saling meniadakan secara politik. Pemaknaan seperti itu bukan cuma keliru, tetapi juga sungguh tidak sehat: membuat kedua tokoh seolah berpikiran sempit, picik, dan sama sekali jauh dari sifat-sifat kenegarawanan.

Memang, posisi kedua kubu -- Koalisi Merah Putih di satu pihak dan Koalisi Indonesia hebat di sisi lain -- begitu diametral. Itu terutama karena pascapilpres, suhu persaingan politik kedua kubu tak lantas menurun. Terlebih setelah Koalisi Merah Putih memenangi pertarungan politik di parlemen secara beruntun.

Namun posisi diamitral kedua kubu itu bukan terutama tertoreh lantaran pertarungan-pertarungan politik. Bagaimanapun, pertarungan-pertarungan memperebutkan kepentingan itu dalam jagat politik soal biasa dan sah-sah saja. Pertarungan-pertarungan itu lebih merupakan ajang uji kesolidan dan kepiawaian masing-masing kubu dalam bernegosiasi.

Karena itu, pihak yang keluar sebagai pemenang tak lantas harus dicap sebagai tiran, dan di sisi lain pihak yang kalah merupakan sang tertindas. Vonis seperti itu bukan saja tidak fair, melainkan juga menyesatkan.

Suhu persaingan politik kedua kubu terkesankan panas dan keras, sehingga seolah-olah melahirkan perang barata yudha, lebih karena faktor komunikasi tersumbat. Kedua kubu, terutama pascapilpres, seperti sengaja saling menjaga jarak dan enggan membuka komunikasi.

Situasi seperti itu sulit bisa cair, kecuali di kedua kubu terdapat figur yang memiliki jiwa kenegarawanan. Itu pula yang kemarin dijawab dan ditunjukkan oleh Jokowi dan ARB. Seolah ingin menepis berbagai anggapan miring selama ini, mereka berdua melakukan pertemuan khusus.

Pertemuan itu bukan hanya mencairkan kebekuan kedua kubu, tetapi juga memastikan bahwa Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih adalah mitra yang saling bersaing -- bukan dua musuh yang saling meniadakan. Bahwa selama ini kedua kubu terkesankan terlibat perang barata yudha, agaknya itu lebih karena media massa keliru atau kebablasan memaknai persaingan sebagai pemusuhan sengit.

Jadi, pertemuan Jokowi dan ARB kemarin sungguh melegakan. Bagaimanapun, banyak masalah bangsa yang harus dikomunikasikan oleh berbagai elemen bangsa -- terutama jajaran elite politik. Tanpa komunikasi yang dilandasi jiwa kenegarawanan, masalah-masalah itu sungguh musykil bisa dipecahkan secara konstruktif.

Mudah-mudahan, jiwa kenegarawanan ini juga ditunjukkan oleh elite-elite politik lain. Dengan demikian, rakyat boleh merasa yakin bahwa geliat politik ke depan ini tidak berdampak merontokkan stabilitas nasional sebagaimana sempat dikhawatirkan banyak pihak.***

Jakarta, 15 November 2014

13 November 2014

Prioritas untuk Perbatasan

Kasus pindah kewarganegaraan 20 keluarga di perbatasan Indonesia-Malaysia di wilayah Nunukan, Kaltim, harus menjadi perhatian khusus pemerintah. Kasus tersebut tak boleh dipandang remeh: seolah-olah jumlah 20 keluarga itu sama sekali tak punya arti dibanding total populasi penduduk Indonesia.

Boleh jadi, kasus pindah kewarganegaraan ini ibarat gunung es. Warga Indonesia di perbatasan yang telah pindah menjadi warga Malaysia ini sebenarnya mungkin jauh lebih banyak daripada kasus yang terungkap ke permukaan. Bukankah selama ini ancaman ke arah itu sudah nyaring disuarakan masyarakat yang tinggal di sepanjang perbatasan Indonesia-Malaysia -- entah di Kalbar, Kaltim, ataupun Kalut?

Ancaman itu sendiri merupakan ekspresi kekecewaan mendalam warga di wilayah perbatasan karena selama ini pemerintah kurang memberikan perhatian terhadap kesejahteraan mereka. Bahkan bukan lagi kurang perhatian, pemerintah justru cenderung abai terhadap aspirasi masyarakat di wilayah perbatasan ini menyangkut pembangunan ekonomi di daerah mereka. Suara-suara tentang itu selama ini cenderung dianggap sepi.  

Harapan atau bahkan tuntutan masyarakat di wilayah perbatasan mengenai pembangunan ekonomi di daerah mereka sungguh tidak mengada-ada. Pertama, karena kegiatan pembangunan di wilayah perbatasan selama ini memang sangat minim. Begitu minim, sampai-sampai infrastruktur sosial-ekonomi di wilayah tersebut bisa dikatakan morat-marit. Itu kontras dengan kondisi infrastruktur sosial-ekonomi di wilayah Malaysia yang terhampar di seberang perbatasan. 

Kedua, tuntutan masyarakat di wilayah perbatasan mengenai pembangunan ekonomi ini juga sungguh berkepatutan. Sebab, kekayaan alam di bumi yang menjadi tempat mereka berpijak sudah begitu banyak dikeruk -- entah minyak bumi, batubara, juga hasil hutan. Sungguh ironis bahwa semua itu sedikit sekali meneteskan kesejahteraan bagi masyarakat di wilayah perbatasan.

Walhasil, dari perspektif itu, adalah wajar masyarakat di perbatasan -- khususnya di wilayah Kalbar, Kaltim, dan Kalut -- kecewa dan kemudian punya pikiran pindah menjadi warga Malaysia. Tapi bagi Indonesia sendiri, fenomena itu berbahaya. Bukan sekadar bermakna menelanjangi kekurangpedulian pemerintah selama ini terhadap wilayah perbatasan, fenomena itu juga bisa berkembang menjadi benih-benih yang menumbuhkan klaim wilayah oleh pihak Malaysia.

Potensi klaim itu tak bisa dipandang dengan sebelah mata. Ini karena masyarakat di perbatasan sangat erat terikat dengan nilai-nilai adat. Tiap individu secara adat tak bisa dipisahkan dari tanah yang menjadi tempat mereka berpijak. Justru itu, manakala berganti kewarganegaraan, mereka sangat mungkin mengklaim bumi tempat mereka berpijak secara adat ikut beralih pula. Kalau sudah begitu, mustahil Malaysia tidak tergerak melakukan tindakan-tindakan legitimasi.

Karena itu, sekali lagi, kasus 20 keluarga di Nunukan berganti kewarganegaraan menjadi warga negara Malaysia harus mendapat perhatian khusus. Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak boleh mengulang kesalahan pemerintahan-pemerintahan terdahulu: cenderung mengabaikan wilayah perbatasan.

Kekecewaan masyarakat di wilayah itu harus segera diobati dengan melakukan percepatan pembangunan infrastruktur sosial-ekonomi, terutama di titik titik perbatasan. Ini bukan cuma perlu diprioritaskan, melainkan juga patut diberi porsi istimewa.

Untuk itu, paradigma pembiayaan pembangunan -- khusus di wilayah perbatasan -- perlu diubah. Alokasi dana jangan lagi sesuai proporsi populasi penduduk, melainkan berbanding lurus dengan luas wilayah. Dengan demikian, tak beralasan lagi alokasi dana pembangunan bagi wilayah perbatasan ini cuma setetes-setetes seperti selama ini.

Tentu, sejalan dengan pembangunan ekonomi, penanaman nilai-nilai nasionalisme bagi masyarakat di perbatasan juga perlu digalakkan. Nasionalisme keindonesiaan tak boleh dibiarkan terkikis oleh kondisi apa pun.*** 

Jakarta, 13 November 2014

11 November 2014

Debut Jokowi di Pentas Global


Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi bintang forum pertemuan puncak para pemimpin forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Beijing, China, yang digelar sejak Senin lalu dan berakhir Selasa kemarin. Dalam setiap aktivitas di forum itu, kilatan-kilatan lampu kamera wartawan berhamburan menerpa sosok Jokowi. Wartawan dari berbagai pelosok dunia seolah tak ingin sedikit pun kehilangan momen dalam setiap aktivitas Jokowi.

Padahal pertemuan APEC jelas bukan forum ecek-ecek.  Para pemimpin top dunia seperti Presiden Barrack Hussein Obama (AS), Presiden Vladimir Putin (Rusia), Presiden Xi Jinping (China), juga Perdana Menteri Shinzo Abe (Jepang), turut menghadiri pertemuan tersebut.

Perhelatan APEC di Beijing ini juga dihadiri jajaran pimpinan puncak (CEO) perusahaan-perusahaan kelas global. Mereka bukan hanya mengapresiasi tinggi presentasi Jokowi di depan mereka, melainkan juga sempat saling berebut berfoto selfie bersama presiden ketujuh Republik Indonesia itu.

Para pemimpin ekonomi maju juga tak terkecuali menjadikan Jokowi sebagai bintang di forum pertemuan APEC Beijing ini. Mereka  merasa berkepentingan bertemu dan berdiskusi dengan Jokowi menyangkut kerja sama bilateral maupun isu-isu global.

Sosok Jokowi sebagai bintang pertemuan APEC di negeri China ini disempurnakan oleh pidatonya yang mendapat acungan jempol para peserta perhelatan akbar itu. Bersama Obama dan Xi Jinping, Jokowi menjadi tiga pembicara utama di hari pertama pertemuan puncak APEC yang ke-22 itu. Tetapi pidato Jokowi secara substantif lebih membetot perhatian.

Pidato Jokowi banjir pujian dan komentar bernada positif. Memanfaatkan media power point, secara mengalir membahas isu-isu perdagangan dan bisnis.
Jokowi juga memperkenalkan Indonesia sebagai negara yang terbuka dan aman untuk kegiatan investasi.

Karena itu pula, media sekelas Harian The Wall Street Journal pun tergerak memberi porsi istimewa terhadap debut Jokowi di forum APEC ini. Dalam edisi Selasa (11/11), media yang berbasis di AS tersebut menurunkan rangkaian foto berita mengenai kegiatan Jokowi selama mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) APEC di Beijing.

The Journal yang selama ini menjadi rujukan kalangan pelaku pasar finansial global itu juga melukiskan  Jokowi sebagai sosok yang menunjukkan daya pikat paling kuat dalam perhelatan APEC di Beijing.

Kenyataan itu jelas membanggakan sekaligus menerbitkan harapan. Membanggakan, karena sudah lama pamor Indonesia di pentas global tenggelam. Sudah lama Indonsia tidak masuk jajaran top dunia -- dalam arti berwibawa dan berpengaruh.

Para pemimpin dunia selama ini cenderung menganggap sepi keberadaan Indonesia. Kalaupun apresiasi mereka tunjukkan, itu lebih merupakan basa-basi pergaulan dalam pentas seremoni dan diplomasi.

Apresiasi forum APEC di Bejing terhadap sosok Jokowi juga menerbitkan harapan menyangkut masa depan Indonesia. Apresiasi itu  bisa dibaca sebagai pertanda bahwa Indonesia sebagai kekuatan ekonomi di pentas global mulai serius diperhitungkan. Itu juga berarti, Indonesia bisa diharapkan dapat mengambil kendali percaturan ekonomi global.

Kenyataan itu menjadi tantangan tersendiri bagi para pembantu Jokowi, terutama tim ekonomi kabinet. Mereka benar-benar harus mampu memanfaatkan peluang-peluang ekonomi yang sudah terbuka lebar lewat debut Jokowi di pentas APEC. Mereka tidak boleh bervisi sempit: sekadar berfokus ke dalam negeri. Mereka juga harus gesit dan cerdas menyeruak masuk ke pentas-pentas global -- demi kejayaan ekonomi nasional.***

Jakarta, 11 Novemver 2014

06 November 2014

Menteri Enggan Buka-bukaan?

Para penyelenggara negara, khususnya anggota kabinet, seharusnya memiliki kesadaran tinggi mengenai kewajiban mereka menyerahkan laporan harta kekayaan mereka kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka tentu tahu sejak awal bahwa menyerahkan laporan harta kekayaan kepada KPK adalah konsekuensi yang harus siap ditanggung setiap orang yang dipercaya menjadi penyelenggara negara.

Konsekuensi itu tak terhindarkan karena pemerintah -- sesuai tuntutan undang-undang -- berkewajiban menunjukkan komitmen dan tindakan-tindakan konkret terhadap gerakan antikorupsi. Jadi, setuju ataupun tidak, penyelenggara negara harus ambil bagian dalam gerakan tersebut -- antara lain dengan menyerahkan laporan harta kekayaan mereka kepada KPK.

Itu berarti, setiap penyelenggara negara harus rela buka-bukaan soal harta kekayaan ini. Begitu resmi dilantik menjadi penyelenggara negara, mereka tak bisa lagi menganggap data harta kekayaan sebagai soal privasi. Status data itu, melalui mekanisme transparansi yang diatur KPK, berubah menjadi persoalan publik. Artinya, data itu harus direlakan bisa dipelototi khalayak luas.

Karena itu, sungguh mengherankan bahwa kalangan anggota Kabinet Kerja pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) seperti menganggap remeh kewajiban mereka menyerahkan laporan harta kekayaan mereka kepada KPK ini. Hingga Rabu lalu (5/11) -- sekitar dua pekan sejak pelantikan kabinet -- praktis baru beberapa menteri saja yang sudah menyerahkan laporan itu.

Selebihnya, sebagian besar menteri masih tenang-tenang saja. Mereka terkesankan menganggap tidak penting dan tidak urgen untuk melaksanakan kewajiban menyampaikan laporan harta kekayaan mereka kepada KPK. Sampai-sampai Jokowi sendiri lantas merasa perlu mengeluarkan instruksi kepada mereka bahwa laporan itu paling lambat harus sudah diterima KPK pekan depan. 

Menyusun laporan harta kekayaan itu sebenarnya bukan pekerjaan rumit. Toh laporan tersebut tidak njelimet laiknya neraca keuangan perusahaan. Laporan harta kekayaan penyelenggara negara yang harus disampaikan kepada KPK lebih bersifat gradual. Laporan itu sekadar memuat daftar harta yang dimiliki dengan perkiraan nilai atau harga masing-masing, plus keterangan singkat mengenai status ataupun asal-usul setiap jenis atau bentuk harta.  

Jadi, kelambanan banyak anggota Kabinet Kerja menyerahkan laporan harta kekayaan mereka kepada KPK ini bukan karena soal teknis, melainkan lebih merupakan sikap moral. Mereka abai atau bahkan mungkin enggan buka-bukaan soal harta kekayaan.

Mudah dipahami, karena itu, syak wasangka pun serta-merta tumbuh di tengah khalayak luas. Paling tidak, publik jadi mempertanyakan komitmen para menteri terhadap gerakan antikorupsi. Jangan-jangan mereka tidak punya political will untuk menjadi bagian gerakan pemberantasan korupsi yang telanjur menjadi penyakit kronis di Indonesia.

Oleh sebab itu pula, sudah selayaknya Jokowi tidak sekadar menginstruksikan mereka agar segera menyampaikan laporan harta kekayaan kepada KPK. Lebih dari itu, Jokowi juga patut menegur mereka secara khusus. Tiap meteri -- juga para pejabat tinggi lain dalam barisan penyelenggara negara -- yang nyata-nyata lelet atau menunda-nunda melaksanakan kewajiban itu pantas diberi catatan merah.

Sanksi tersebut amat beralasan, karena sikap abai terhadap keharusan melaporkan harta kekayaan kepada KPK berdampak menodai komitmen pemerintahan Presiden Jokowi secara keseluruhan. Seolah-olah pemerintahan Jokowi setengah hati dalam melaksanakan program antikorupsi. Padahal program itu jelas merupakan salah satu kunci bagi keberhasilan pemerintahan dalam menyejahterakan rakyat.***

Jakarta, 6 November 2014

04 November 2014

Berharap Jaksa Agung

Publik menantikan figur baru jaksa agung. Sejumlah nama disebut-sebut masuk daftar bidikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk posisi tersebut. Mereka berasal dari berbagai latar belakang. Antara lain, mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein, mantan Deputi Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan Pengandalian Pembangunan (UKP4) Mas Achmad Santosa, politisi Partai Nasdem HM Prasetyo, juga Wakil Jaksa Agung Andhi Nirwanto.

Sementara itu, sejumlah kalangan berharap agar figur jaksa agung ini sesuai visi dan misi mereka masing-masing. Misalkan jajaran korps kejaksaan -- termasuk para pensiunan jaksa -- berharap agar jaksa agung mendatang berasal dari internal kejaksaan sendiri. Sedangkan bagi kalangan aktivis lembaga swadaya masyarakat, jabatan jaksa agung selayaknya dipercayakan kepada tokoh penegakan HAM dan motor pemberantasan korupsi.

Di lain pihak, kalangan partai politik juga dikabarkan bergerilya agar Jokowi mempercayakan posisi jaksa agung ini kepada kader mereka. Ketua Umum DPP Partai Nasdem Surya Paloh, misalnya, beberapa hari lalu diberitakan menyambangi Jokowi dan menyodorkan nama kader Partai Nasdem HM Prasetyo.

Harapan dan upaya seperti itu sah-sah saja. Toh keputusan akhir tetap di tangan Jokowi. Namun siapa pun atau dari latar belakang apa pun sosok yang kelak dipilih Jokowi untuk memangku jabatan jaksa agung, itu tak begitu penting.

Entah politisi, mantan pejabat negara, aktivis masyarakat madani, atau orang dalam kejaksaan sendiri boleh-boleh saja memangku jabatan jaksa agung dalam pemerintahan Presiden Jokowi ini. Yang penting dia bisa diandalkan bakal membawa kejaksaan menjadi institusi penegak hukum yang tegas-trengginas, berwibawa, serta independen atau imparsial -- termasuk tidak menjadi alat kekuasaan.

Untuk itu, jaksa agung mendatang ini bukan sekadar harus punya jejak rekam bersih dari aneka rupa tindakan tercela. Juga tidak cukup sekadar memiliki kapasitas dan kapabilitas mumpuni di bidang hukum. Tidak pula sekadar memenuhi syarat kepemimpinan yang bagus.

Prasyarat yang harus dipenuhi sosok jaksa agung mendatang ini terutama memiliki semangat dan komitmen kuat untuk meningkatkan kinerja kejaksaan. Selebihnya -- di samping kepemimpinan menonjol, rekam jejak tidak tercela, menguasai teknis hukum -- dia visioner, enerjik, berintegritas tinggi, serta berani bertindak tegas dan tanpa pandang bulu.

Sosok seperti itu sungguh amat dibutuhkan institusi kejaksaan sekarang ini. Sudah saatnya kejaksaan dibangkitkan menjadi institusi penegak hukum yang berwibawa, disegani, dan dibanggakan khalayak luas. Kejaksaan sudah kelewat lama terpuruk dalam kekelaman kinerja.

Keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seharusnya melecut kejaksaan -- juga kepolisian -- untuk berbenah diri. KPK tak boleh seolah menjadi antitesis institusi kejaksaan (dan kepolisian) dalam penegakan hukum, khususnya menyangkut kasus-kasus tindak pidana korupsi.

Tetapi selama ini harapan atau tuntutan seperti itu belum juga kesampaian. Sejak awal, kehadiran institusi KPK seperti tak melecut kejaksaan untuk menjulangkan kinerja jempolan.

Karena itu, di mata publik, institusi kejaksaan masih saja kalah pamor dibanding KPK dalam penegakan hukum untuk kasus-kasus korupsi. Kredibilitas dan integritas kejaksaan dalam menangani perkara (korupsi) seolah di bawah KPK.

Tindak pembenahan ke dalam sebenarnya bukan tak pernah dilakukan kejaksaan. Tetapi, sekali lagi bagi publik, berbagai tindakan dalam rangka itu belum bersifat menyeluruh dan belum pula mendasar. Oleh sebab itu, publik melihat kinerja kejaksaan sebagai institusi penegak hukum belum lagi sekinclong KPK.

Dalam soal kinerja, publik memang senantiasa membandingkan kejaksaan dengan KPK. Padahal kedua institusi tersebut jelas tidak persis sama dan tidak pula sebangun. Tetapi karena sama-sama menyandang fungsi dan peran penegakan hukum, sikap publik mengomparansikan kejaksaan dengan KPK ini memang tak terhindarkan.

Justru itu, tak bisa lain kecuali kejaksaan harus lebih sungguh-sungguh melakukan pembenahan ke dalam. Kejaksaan dituntut mampu menorehkan kinerja yang kian membaik. Dalam mengemban fungsi-fungsi penegakan hukum, kejaksaan tidak boleh terus terkesankan inferior dibanding KPK.

Untuk itu, figur jaksa agung sebagai orang nomor satu di kejaksaan sungguh amat menentukan. Di pundak jaksa agung perbaikan kinerja kelembagaan kejaksaan terutama terletak. 

Oleh sebab itu, Presiden Jokowi jelas harus jeli dalam memilih figur jaksa agung ini. Keputusan tentang itu menjadi pertaruhan bagi masa depan kejaksaan yang lebih baik, berwibada, disegani, dan dibanggakan publik.(*)

Jakarta, 4 November 2014

03 November 2014

Gamang Menaikkan Harga BBM?

Pemerintah boleh jadi gamang untuk memutuskan penaikan harga bahan minyak (BBM) subsidi. Kesan tersebut tertoreh karena pemerintah tidak satu kata mengenai kepastian penaikan harga BBM subsidi ini. Bahkan tak kurang dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wapres Jusuf Kalla sendiri tidak kompak ketika berbicara tentang isu tersebut.

Hingga Senin kemarin, Jokowi masih menyatakan bahwa soal penaikan harga BBM subsidi belum juga diputuskan. Bahkan berancar-ancar saja Jokowi terkesankan enggan.

Di lain pihak, Jusuf Kalla memberi isyarat bahwa soal penaikan harga BBM subsidi tinggal menghitung hari. Dia menyebutkan, keputusan tentang itu dilakukan November ini juga.

Sebelumnya, Menko Perekonomian Sofyan Djalil mengungkapkan bahwa penaikan harga BBM subsidi dilakukan sebelum pergantian tahun. Sementara Menkeu Bambang Brodjonegoro menyebutkan bahwa pemerintah masih harus melihat perkembangan sebelum memutuskan harga BBM subsidi dinaikkan. Ini, antara lain, karena harga minyak di pasar internasional kini menyentuh level 80 dolar AS per barel alias turun jauh ke level di bawah patokan APBNP 2014.

Boleh jadi, penaikan harga BBM subsidi ini sungguh pelik. Pelik, karena keputusan tentang itu amat menuntut kesiapan dan persiapan pemerintah menyangkut penanganan ekses sosial-ekonomi yang kelak muncul. Ini memang tidak mudah. Terlebih pemerintah sendiri tidak menginginkan penaikan harga BBM subsidi berdampak menyengsarakan rakyat kebanyakan, sekaligus harus terjamin menyehatkan ekonomi nasional.

Tuntutan itu mungkin menimbulkan tarik-menarik begitu alot di tubuh pemerintahan. Sebagian, seperti terkesankan oleh sikap Jusuf Kalla dan Sofyan Djalil, menilai pemerintah sudah siap menaikkan harga BBM subsidi. Tapi sebagian lagi, termasuk Jokowi sendiri, tampaknya tak ingin grasa-grusu: penaikan harga BBM subsidi tak boleh dilakukan sebelum kesiapan dan persiapan pemerintah sudah benar-benar mantap.

Bagi Jokowi, penaikan harga BBM subsidi ini jauh lebih pelik karena punya muatan politis terhadap dirinya sendiri maupun terhadap PDIP sebagai pengusung utamanya. Nah, Jokowi tentu tak menghendaki muatan tersebut kelewat dalam berdampak menurunkan dukungan rakyat.

Tarik-menarik itu pula yang membuat pemerintah terkesan gamang untuk memutuskan penaikan harga BBM subsidi ini. Kegamangan tersebut membingungkan dan menimbulkan ketidakpastian. Rakyat jadi tak memiliki pegangan kapan dilakukan dan bagaimana skema penaikan harga BBM subsidi ini? Padahal sejak jauh-jauh hari, sebelum dilantik sebagai pasangan presiden-wapres, Jokowi dan Jusuf Kalla sudah gembar-gembor bahwa BBM subsidi bakal dinaikkan demi menyehatkan keuangan negara.

Kebingungan di tengah masyarakat itu harus dihindarkan karena sungguh tidak sehat atau bahkan berbahaya: bisa berdampak mengikis kepercayaan terhadap ekonomi nasional. Berbagai kajian selama ini menyimpulkan bahwa beban subsidi BBM sangat membebani keuangan negara. Sekian banyak anggaran habis percuma begitu saja, sehingga APBN pun didera defisit serius.

Jika kini rencana penaikan harga BBM subsidi terkesankan tidak berkepastian akibat pemerintah gamang untuk mengambil keputusan, publik pun -- khususnya pelaku pasar finansial maupun pelaku sektor riil -- bisa serta-merta mempersepsi anggaran negara makin babak-belur alias kian tidak sehat. Ini yang pada gilirannya bisa berimbas menyurutkan kepercayaan publik, sehingga ekonomi nasional kian tertekan.

Karena itu, pemerintah harus membuang jauh-jauh sikap gamang. Penaikan harga BBM subsidi harus segera diputuskan, sehingga khalayak luas beroleh pegangan -- dan ketidakpastian pun tentu hilang sirna. Dengan demikian, ekonomi nasional bukan hanya terbebas dari krisis kepercayaan. Lebih dari itu juga bisa berubah menjadi sehat, efisien, dan produktif.***

Jakarta, 3 November 2014

02 November 2014

Ancaman Ebola di Indonesia

Ancaman virus ebola di negeri kita sudah di depan mata. Ini tidak mengada-ada. Bukan menakut-nakuti. Juga bukan pula pertanda paranoid.

Ancaman virus ebola di Indonesia sungguh sudah mulai mengintai. Dua warga Jatim diduga terpapar virus tersebut. Mereka berdua kini dirawat di ruang isolasi di RSUD Dr Soedono di Kota Madiun dan di RSUD Pare, Kabupaten Kediri.

Dugaan bahwa kedua orang itu terpapar virus ebola bukan tanpa alasan. Sebab keduanya baru kembali dari Liberia -- negara dengan endemi virus ebola -- sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI). Untuk sementara, dokter memastikan bahwa kedua orang itu positif terserang malaria. Namun karena baru datang dari negara endemi ebola, dokter lantas menetapkan kedua orang itu berstatus suspect alias terduga terpapar virus ebola.

Untuk memastikan kedua orang itu terpapar ebola, dokter masih harus menunggu perkembangan hingga sepekan lagi. Ini karena masa inbukasi penyakit ebola adalah 21 hari sejak mereka diduga mulai terpapar. Karena itu, dokter mengawasi ketat perkembangan kondisi kedua orang itu.

Selain kedua orang yang berstatus terduga itu, sejumlah orang Indonesia lain juga dalam pantauan petugas kesehatan. Ini karena mereka dalam penerbangan ke Indonesia satu pesawat dengan kedua orang itu.

Sikap waspada seperti itu sungguh patut diapresiasi. Sebab bahaya penyakit ebola sungguh tak bisa dipandang dengan sebelah mata. Penyakit tersebut sangat mematikan. Sejauh ini, sudah sekitar 5.000 orang di sejumlah negara meninggal dunia akibat penyakit ebola ini.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat 13.703 orang kini positif terinfeksi virus ebola. Mereka terbanyak ditemukan di  tiga negara Afrika Barat yang memang dilanda wabah ebola, yaitu Liberia, Guinea, dan Sierra Leone. Di luar itu, penderita ebola juga ditemukan di Spanyol dan Amerika Serikat.

Bagi Indonesia, ebola bisa dikatakan merupakan momok. Bukan karena dua orang sudah dinyatakan berstatus terduga terserang ebola, melainkan terutama karena risiko banyak orang terpapar virus tersebut relatif tinggi. Ini karena kita banyak mengirim TKI ke mancanegara, termasuk ke kawasan yang sudah positif dilanda wabah ebola.

Kontak fisik dalam kerumunan banyak orang dari berbagai penjuru dunia, seperti dalam prosesi ibadah haji ataupun umrah, juga bisa berisiko terpapar ebola. Meski pemerintah Arab Saudi melakukan upaya-upaya preventif atau penangkalan terhadap penyebaran virus ebola di kalangan jemaah haji dan umrah, risiko itu tetap tak bisa dinafikan begitu saja. Itu tadi: karena masa inkubasi ebola relatif lama, sementara gejala-gejala awal terpapar virus tersebut mirip demam biasa sehingga bisa menyesatkan.

Karena itu, tak bisa lain kecuali pemerintah harus benar-benar serius melakukan program pencegahan dan penangkalan ebola. Sikap awas, antisipatif, dan tanpa kompromi mutlak harus menjadi pegangan berbagai pihak terkait, terutama aparat yang diterjunkan bertugas di lapangan, seperti di terminal kedatangan di berbagai bandara internasional, di karantina, di rumah sakit, dan lain-lain.

Kampanye sadar risiko ebola juga perlu dilakukan. Khalayak luas jangan sampai punya anggapan bahwa risiko terinfeksi ebola hanya mungkin dialami di mancanegara, khususnya di negara-negara yang positif dilanda wabah ebola.

Di samping itu, mungkin perlu pula dikaji kemungkinan melakukan moratorium pengiriman TKI ke wilayah atau negara yang sudah teridentifikasi merupakan "sarang" ebola. Bbagaimanapun, tindakan tersebut bisa signifikan menurunkan ancaman ebola masuk ke Indonesia.***

Jakarta, 2 November 2014