30 Januari 2014

Pemilu Miskin Sosialisasi

Tugas Komisi Pemilihan Umum (KPU) bukan hanya menyelenggarakan pemilu berlangsung aman, jujur, adil, dan transparan. KPU juga harus bisa memastikan partisipasi rakyat dalam pemilu tinggi. Rakyat yang memiliki hak pilih harus bisa dibuat berbondong-bondong mendatangi tempat pemungutan suara dan menjatuhkan pilihan sesuai nurani masing-masing.

Partisipasi rakyat dalam pemilu mutlak harus tinggi karena soal itu menjadi ukuran keberhasilan penyelenggaraan pemilu. Tingkat partisipasi rakyat amat menentukan arah pengelolaan negara ke depan -- dan karena itu hasil pemilu harus legitimate, dalam arti diikuti sebanyak mungkin rakyat pemilih.

Tetapi sungguh menyedihkan bahwa menjelang pelaksanaan pemilu legislatif 2014 yang tinggal beberapa bulan sekarang ini, khalayak banyak yang tidak atau kurang tahu hal-ihwal perhelatan politik itu. Menurut hasil survei Founding Fathers House (FFH) yang dirilis di Jakarta, Rabu kemarin, banyak warga masyarakat yang tak mengetahui jadwal pencoblosan, nomor urut parpol peserta pemilu, dan tetek-bengek lain yang penting mengenai pesta demokrasi dalam rangka menyeleksi wakil-wakil rakyat itu.

Sebagai contoh, hasil survei itu menunjukkan bahwa hanya 16,26 persen responden yang tahu peserta pemilu legislatif 2014 adalah 12 parpol. Tidak mengherankan, pengetahuan publik mengenai nomor urut masing-masing parpol peserta pemilu pun amburadul. Padahal pengetahuan tersebut merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan penyelenggaraan pemilu -- dalam arti pemilu diikuti sebanyak mungkin pemilih, sekaligus menjadi penentu arah pengelolaan negara ke depan. 

Kenyataan seperti itu menyedihkan sekaligus mencemaskan -- karena menjadi petunjuk bahwa perhelatan pemilu belum tersosialisasi dengan baik. Khalayak luas relatif sedikit tersentuh program sosialisasi, sehingga seolah-olah perhelatan pemilu sekadar menjadi milik kalangan elite politik.

Itu jelas mengherankan karena KPU dibekali anggaran yang tidak sedikit. Dengan anggaran besar, seharusnya KPU melakukan sosialisasi pemilu secara masif dan intentif sejak jauh hari. Berbagai strategi dan media untuk itu bisa dipilih.

Jadi, kenapa perhelatan pemilu kurang tersosialisasi? Apakah itu pertanda bahwa energi KPU lebih banyak tersedot untuk urusan lain, semisal membenahi daftar pemilih yang memang amburadul?

Patut diakui, jajaran parpol peserta pemilu ikut andil dalam masalah itu. Mereka lebih banyak menghabiskan energi untuk persiapan dan kesiapan mereka memenangi pemilu. Mereka lupa bahwa mereka amat berkepentingan pemilu berlangsung sukses. Jadi, seharusnya mereka tak hanya sibuk bersiap dan mematut-matut diri, melainkan juga aktif ikut menyosialisasikan perhelatan pemilu kepada khalayak luas.

Karena itu, jika KPU dan jajaran parpol peserta pemilu tidak segera menggenjot habis-habisan sosialisasi pemilu di sisa waktu menjelang pelaksanaan pemungutan suara, tingkat partisipasi rakyat dalam pemilu legislatif 2014 sulit diharapkan bisa tinggi. Terlebih bila memperhitungkan fenomena "golput" yang kemungkinan tetap mewarnai perhelatan demokrasi itu.

Sejumlah elemen masyarakat boleh jadi enggan memanfaatkan hak pilih mereka -- dan karena itu disebut golput alias golongan putih -- lantaran bagi mereka pemilu kali ini pun lebih merupakan hura-hura politik. Di mata mereka, pemilu tidak menjanjikan nilai dan manfaat yang menjadi esensi demokrasi.

Karena itu, mumpung waktu masih cukup tersedia, KPU dan jajaran parpol tidak punya pilihan lain kecuali bahu-membahu menggalakkan sosialisasi pemilu. Tingkat partisipasi rakyat harus terjamin bisa tinggi dengan menanamkan pengetahuan tentang pelaksanaan pemilu, sekaligus mengikis keinginan elemen yang cenderung memilih menjadi golput.***

30 Januari  2014

24 Januari 2014

Pengamanan Logistik

Sudah hampir sepekan jalur pantura Jawa, terutama di wilayah Karawang, Subang, dan Indramayu di Jabar, lumpuh akibat tergenang banjir. Padahal pantura adalah urat nadi utama transportasi darat di Jawa. Maka genangan banjir itu tak pelak membuat ribuan kendaraan terjebak dalam kemacetan total. Maju tak bisa, mundur pun sudah tak mungkin.

Selain di wilayah Subang dan Indramayu, belakangan kelumpuhan jalur pantura ini juga melanda sejumlah titik di Jateng, seperti Brebes, Batang, Pekalongan, Semarang, Kudus, juga Pati. Maka kelumpuhan arus lalu lintas di jalur pantura pun semakin menambah ruwet masalah.

Masalah itu adalah distribusi barang, termasuk logistik bahan pokok ke Jakarta dan sejumlah kota lain di sepanjang jalur pantura, menjadi macet. Masalah ini serius karena bisa melahirkan kelangkaan pasokan bahan pokok. Sekarang ini saja gelagat ke arah itu mulai menggejala, sehingga harga kebutuhan pokok di Jakarta dan sejumlah kota lain jadi meroket.

Karena itu, Menko Perekonomian Hatta Rajasa pun dibuat puyeng. Dia mengaku tak bisa tidur nyenyak dalam beberapa hari terakhir ini karena pikiran serius terbebani masalah keamanan logistik terkait lumpuhnya jalur pantura akibat banjir ini. Hatta cemas kalau-kalau pasokan logistik bahan pokok ke Jakarta dan sejumlah kota lain menjadi langka.

Meski begitu, toh pemerintah terkesankan gagap untuk bertindak. Meski jalur pantura lumpuh sudah hampir seminggu, pemerintah tak terlihat sigap bergerak membuat langkah aksi yang bersifat darurat untuk pengamanan distribusi logistik, termasuk ke ibu kota Jakarta. Bahkan meski Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah terjun langsung ke lapangan, yaitu ke lokasi banjir di Karawang, exit strategy bagi pengamanan distribusi logistik ini tak otomatis segera ditempuh.

Walhasil, pemerintah absen di tengah problem kelumpuhan jalur pantura ini. Kelumpuhan tersebut seolah-olah semata masalah para sopir yang terjebak dalam kelumpuhan itu. Juga seolah-olah masalah itu harus diterima semua pihak dengan sikap tabah dan pasrah: menunggu sampai banjir surut.

Sikap gagap ataupun easy going dalam menghadapi kondisi gawat jelas tak patut. Terlebih kondisi tersebut menyangkut logistik masyarakat luas. Bagaimanapun, logistik -- terutama bahan pokok -- adalah soal vital karena langsung bertali-temali dengan stabilitas sosial-ekonomi, bahkan politik. Karena itu, distribusi logistik masyarakat tak boleh sampai mengalami gangguan atau apalagi sampai macet.

Untuk itu, segala langkah dan alternatif yang mungkin bisa dilakukan harus ditempuh pemerintah sehingga distribusi logistik masyarakat tetap lancar. Dalam konteks ini, kalaupun tidak memimpin langsung di lapangan, Presiden bisa menugasi salah satu menteri untuk bertindak sebagai komandan yang menggerakkan berbagai pihak melakukan segala cara dan alternatif yang tersedia.

Presiden juga bisa merintahkan TNI ambil bagian dalam pengamanan distribusi logistik di tengah kelumpuhan jalur pantura ini. Toh, sesuai undang-undang, TNI juga mengemban fungsi operasi militer nonperang.

Pengamanan logistik masyarakat luas -- terlebih bahan pokok -- memang punya urgensi tinggi. Seperti bagi militer dalam kondisi perang, distribusi logistik masyarakat sama sekali tak boleh tersumbat. Maka, mengerahkan TNI melakukan pengamanan distribusi logistik masyarakat di tengah kelumpuhan jalur pantura sangat relevan dan urgen.

Sekali lagi, pemerintah harus segera bertindak melakukan segala cara atau alternatif yang mungkin bisa. Pemerintah tak boleh terus larut dalam kegagapan, karena urusan logistik masyarakat tak bisa ditunda-tunda.***


24 Januari 2014

21 Januari 2014

Putusnya Jalur Pantura

Banjir yang menggenangi daerah pantai utara (pantura) Jawa sejak Minggu malam lalu bukan hanya menyengsarakan warga setempat dan para sopir yang terjebak kemacetan lalu lintas di jalur tersebut. Bencana itu juga mengacaukan kehidupan ekonomi Jawa secara keseluruhan, terutama di kota-kota di sepanjang jalur pantura.

Banjir yang melumpuhkan arus lalu lintas di jalur pantura -- terutama di daerah Subang dan Indramayu -- membuat kegiatan distribusi barang di Jawa terganggu. Karena itu, terutama harga kebutuhan pokok di Jakarta dan sejumlah kota lain kini melonjak.

Harga kebutuhan pokok bisa lebih menggila lagi kalau saja lalu lintas jalan raya di jalur pantura tetap lumpuh akibat tersumbat genangan banjir. Sementara hingga kemarin petang, genangan banjir di pantura ini belum menunjukkan tanda-tanda menyusut. Padahal curah hujan dalam beberapa hari mendatang mungkin masih tetap tinggi, dan di sisi lain naiknya permukaan air (rob) Laut Jawa juga belum tentu sudah berlalu.

Walhasil, kelumpuhan arus lalu lintas di jalur pantura akibat banjir ini sangat mungkin masih berlanjut hingga beberapa hari ke depan. Sampai genangan banjir menyusut.

Kenyataan itu tak terhindarkan karena jalur pantura telanjur menjadi urat nadi ekonomi Jawa. Jalur tengah maupun jalur selatan sendiri tak serta-merta menjadi alternatif penyelamat kondisi darurat jalur pantura seperti sekarang. Kondisi infrastruktur jalan di kedua jalur itu tak cukup mendukung untuk menampung limpahan arus lalu lintas dari jalur pantura. Terlebih lagi kedua jalur itu pun sama-sama diganggu bencana banjir dan tanah longsor di beberapa titik.

Karena terbukti tidak sehat bagi kepentingan sosial-ekonomi, ketergantungan terhadap jalur pantura ini jelas harus segera diakhiri. Minimal harus bisa dikurangi. Jalur pantura tak boleh dibiarkan terus menjadi saluran utama penunjang kegiatan ekonomi, khususnya distribusi barang.

Untuk itu, berbagai pembenahan mutlak harus dilakukan. Jalur kereta api yang membentang dari Barat ke Timur, misalnya, harus dimungkinkan bisa menyangga lebih banyak lagi kegiatan distribusi barang dan jasa. Tak bisa tidak, pembangunan jalur rel ganda di sepanjang Jawa -- khususnya di bentang pantura -- kudu segera dirampungkan.

Di sisi lain, orientasi kegiatan pengangkutan barang makin mendesak diubah. Tak boleh lagi lebih banyak bertumpu terhadap moda transportasi darat. Pelan tapi pasti, kegiatan pengangkutan barang harus sudah mulai dialihkan sebagian ke moda transportasi laut. Bahkan, seperti gagasan pemerintah sendiri, pada akhirnya moda transportasi laut harus menjadi saluran utama pengangkutan barang.

Gagasan itu patut segera diwujudkan karena sekarang ini saja armada angkutan barang berupa truk-truk ukuran jumbo sudah begitu memadati jalur jalan raya di Jawa -- terutama di sepanjang pantura. Saking padat, kehadiran armada truk pengangkut barang ini sungguh mengganggu kalancaran arus lalu lintas secara keseluruhan di jalur pantura.

Ketersendatan arus lalu lintas itu pada akhirnya membuat kegiatan distribusi barang melalui jalur darat pantura tidak efisien alias menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Terlebih ketika jalur pantura putus seperti sekarang akibat tergenang banjir, ekonomi biaya tinggi itu makin menohok. Sampai-sampai kehidupan ekonomi di Jawa secara keseluruhan, terutama kota-kota di sepanjang pantura, menjadi kacau dan menyengsarakan.***

21 Januari 2014

20 Januari 2014

Rembugan Soal Banjir

Sebagai wujud keinginan baik, rembugan soal upaya penanganan masalah banjir, yang selama ini menjadi langganan Jakarta, layak diapresiasi. Terlebih rembugan itu menghasilkan sejumlah langkah yang cukup menjanjikan bisa menekan potensi banjir di Jakarta.

Solusi itu, antara lain, pembangunan bendungan di Ciawi, pembuatan sodetan Sungai Ciliwung-Cisadane, revitalisasi situ-situ, normalisasi Sungai Ciliwung, reboisasi di daerah aliran Sungai Ciliwung, penataan sempadan dan lahan ruang terbuka hijau, juga penertiban bantaran sungai. Kesepakatan tentang itu semua bersifat ambisius karena pekerjaan-pekerjaan ditargetkan selesai antara tahun 2016 hingga tahun 2018.

Rembugan itu sendiri diikuti Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi), Gubernur Jabar Ahmad Heryawan, Bupati Bogor Rachmat Yasin, serta perwakilan Kota Bekasi dan Kota Depok. Pemkab Banten, Pemkab Tangerang, dan Pemkab Tangsel tidak hadir. Di pihak pemerintah pusat, pejabat yang mewakili adalah Dirjen Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum Mohamad Hasan.

Kenapa rembugan itu baru digelar sekarang? Kenapa tidak dari dulu-dulu? Toh bencana banjir praktis saban tahun melanda Jakarta. Jadi, Jokowi selaku pihak yang paling berkepentingan, misalnya, kenapa tidak sejak awal memimpin Jakarta mengambil inisiatif menggelar rembugan dengan pihak-pihak pengambil keputusan di kawasan daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung ini?

Oleh sebab itu jangan salahkan jika muncul penilaian sinis di tengah masyarakat bahwa rembugan itu lebih merupakan upaya pihak-pihak terkait menyelamatkan muka mereka di depan publik. Mereka dipandang sekadar ingin memberi kesan bahwa mereka punya keinginan baik untuk mengendalikan masalah banjir yang tiap tahun menerjang Jakarta.

Jadi, bagi sebagian kalangan, rembugan tentang penanggulangan masalah banjir Jakarta ini tak lebih merupakan persamuhan para pahlawan kesiangan. Penilaian seperti itu amat beralasan di tengah kegusaran publik, khususnya warga Jakarta, oleh masalah banjir yang selama ini menjadi kado spesial saban musim penghujan.

Publik gusar, karena masalah banjir di Jakarta tak kunjung bisa ditanggulangi secara komprehensif dan mendasar. Publik juga geram, karena masalah itu  selama ini seolah-oleh melulu problem Jakarta alias seperti sama sekali tak bertali-temali dengan problem kronis ekologis di wilayah hulu.

Karena itu, menjadi tantangan serius bagi pihak-pihak yang ambil bagian dalam rembugan tadi untuk membuktikan bahwa persamuhan itu sama sekali bukan sekadar ajang bagi mereka untuk meraup simpati publik. Untuk itu, berbagai program yang disepakati bersama dalam rembugan itu jangan cuma menjadi sekadar angin surga.

Dengan kata lain, semua pihak -- terutama warga Jakarta -- sangat berharap berbagai program itu benar-benar bisa diwujudkan di lapangan sesuai target waktu yang disepakati, meski ganjalan untuk itu juga kelihatannya bisa serius. Ganjalan itu terutama berupa ego masing-masing pihak terkait kepentingan wilayah masing-masing.

Ganjalan itu  bahkan sudah tergambar. Pemkab Tangerang, misalnya, dikabarkan sengaja tidak memenuhi undangan rembugan lantaran mereka tidak setuju program pembuatan sodetan sungai. Mereka tidak setuju, karena pembuatan sodetan sungai kelak bisa berdampak banjir ke wilayah mereka.

Jadi, publik jangan dibuat lebih kecewa lagi. Warga Jakarta, terutama, sudah hampir habis harapan bahwa mereka tak bakal lagi menjadi korban banjir di setiap musim penghujan. Untuk itu, berbagai ganjalan -- terutama ego kepentingan masing-masing pihak -- harus bisa disingkirkan sehingga program penanggulangan masalah banjir Jakarta bukan angin surga.***


20 Januari 2014

14 Januari 2014

Musabab Bencana Banjir

Bencana banjir yang hari-hari ini melanda sejumlah daerah, termasuk DKI Jakarta, bukan terutama karena faktor cuaca tidak bersahabat. Curah hujan tinggi tak bisa serta-merta ditunjuk sebagai bilang musabab bencana ini.

Bahkan seperti di DKI Jakarta, menurut catatan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), curah hujan kali ini sebenarnya lebih rendah dibanding tahun lalu. Namun banjir yang melanda Jakarta sekarang ini tidak kalah dahsyat dibanding musim penghujan tahun lalu.

Di Manado, bencana banjir bandang yang begitu destruktif juga bukan terutama lantaran intensitas hujan kelewat tinggi. Begitu pula banjir yang merendam Karawang, Indramayu, Subang, Pekalongan, Padang Pariaman, Bangka, Palu, Musi Rawas, juga daerah-daerah lain. Bencana tersebut lebih karena daya dukung lingkungan makin amburadul.

Justru itu, dengan atau tanpa curah hujan tinggi, bencana banjir senantiasa menerjang. Tentu, makin tinggi intensitas hujan, bencana banjir pun makin hebat.

Daya dukung lingkungan semakin amburadul karena selama ini kita telanjur lupa diri. Terutama sejak era reformasi, kita kebablasan dalam memperlakukan lingkungan. Nilai-nilai kearifan dalam memperlakukan lingkungan sudah kita buang jauh-jauh. Prinsip-prinsip tata kelola lingkungan yang menjamin kelestarian atau kesinambungan alam juga kita lupakan.

Kalaupun prinsip-prinsip itu diterapkan, kita tak sepenuh hati dan cenderung sekadar menjadikannya sebagai kosmetik. Cuma untuk memberi kesan bahwa kita tak abai terhadap isu lingkungan.

Dengan sikap mental seperti itu, maka eksploitasi alam bukan saja dilakukan secara masif, melainkan juga jor-joran. Sikap ini tak hanya ditunjukkan kalangan pengambil kebijakan. Bahkan rakyat jelata pun tak terkecuali memperlakukan alam secara semena-mena.

Wujud sikap semana-mena itu begitu gamblang. Di kalangan rakyat kebanyakan, sikap semena-mena dalam memperlakukan lingkungan ini antara lain tergambar dalam bentuk aksi penebangan liar kayu hutan dan praktik pertambangan ilegal. Atas nama semangat bebas yang dihembuskan reformasi 1998, rakyat seolah merasa punya hak untuk ikut melumat habis sumber daya alam.

Di sisi kebijakan formal, kawasan hutan diobral menjadi kavling-kavling penguasaan atau konsesi eksploitasi -- entah untuk industri perkayuan, perkebunan, juga pertambangan mineral. Bahkan hutan lindung ataupun kawasan yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air juga dibiarkan disulap menjadi hamparan yang mewadahi kegiatan sosial-ekonomi. Lalu lahan pertanian beririgasi teknis terus digusur dalam skala masif untuk kepentingan industri dan permukiman.

Sementara itu, lingkungan perkotaan maupun perdesaan dikembangkan nyaris tanpa kendali. Perkotaan dan perdesaan seolah dibiarkan tumbuh bak alang-alang dengan kecenderungan lebih mementingkan fungsi-fungsi ekonomi dan mengorbankan fungsi ekologi.

Jadi, menuding faktor cuaca sebagai biang musabab bencana banjir sekarang ini adalah naif. Karena itu pula, rekayasa cuaca yang dilakukan pemerintah untuk mengendalikan curah hujan terbukti nyaris tak berpengaruh: bencana banjir tetap saja menerjang.

Yang harus kita lakukan memang bukan jalan pintas semacam rekayasa cuaca, melainkan perubahan sikap dengan kembali memperlakukan lingkungan secara arif. Tanpa itu, alam akan terus menunjukkan hukumnya sendiri berupa bencana semacam banjir atau tanah longsor.***
 

19 Januari 2014

Problem Banjir di Jakarta

Banjir kembali membuat Jakarta tidak berdaya. Senin lalu, sekian lokasi permukiman warga terendam. Sekian titik jalan raya tergenang, sehingga lalu lintas pun tersumbat atau bahkan lumpuh. Sekian banyak orang dibuat sengsara. Banyak juga warga yang sampai terpaksa mengungsi.

Hari-hari ke depan ini sangat mungkin drama serupa terulang. Maklum, sekarang ini adalah puncak musim penghujan. Rekayasa cuaca yang disiasati pemerintah bukan jaminan bahwa banjir tak bakal merendam lagi Jakarta.

Karena itu, wajar jika sebagian kalangan menggugat kemimpinan Gubernur Joko Widodo (Jokowi). Mereka menilai, Jokowi terbukti tak lebih baik dibanding pemimpin-pemimpin Jakarta terdahulu: tidak becus menanggulangi problem banjir.

Gugatan seperti itu wajar, karena Jokowi pernah menjanjikan penanggulangan problem banjir. Tapi gugatan itu juga bersifat emosional karena tidak proporsional. Pertama, Jokowi baru memasuki tahun kedua dalam memimpin Jakarta ini. Kedua, problem banjir di Jakarta telanjur kompleks. Sedemikian kompleks problem tersebut, sehingga siapa pun yang memimpin Jakarta mustahil mampu menanganinya tanpa peran aktif pihak-pihak lain di luar Jakarta.

Dengan kondisi seperti itu, apa yang telah diperbuat Jokowi dalam rentang waktu belum lagi dua tahun untuk menanggulangi problem banjir di Jakarta jelas relatif tak berarti. Tindakan Jokowi, seperti mengeruk sungai serta menata kembali keberadaan danau dan waduk, masih kelewat kecil dibanding kompleksitas problem banjir yang menghantui Jakarta.

Problem banjir di Jakarta adalah produk kesalahan kebijakan dalam rentang waktu panjang. Selama sekian waktu, fisik Jakarta dibiarkan tumbuh dengan mengabaikan fungsi peresapan air hujan. Bangunan-bangunan beton dan lapisan aspal merambah ke mana-mana nyaris tanpa menyisakan permukaan tanah untuk peresapan air.

Di sisi lain, fungsi penampungan air lewat keberadaan situ, danau, ataupun waduk juga diabaikan. Bukan cuma tidak dipelihara, situ, danau, ataupun waduk ini juga seolah dibiarkan mendangkal -- sampai-sampai sebagian hilang lenyap diokupasi permukiman liar.

Nasib sungai-sungai yang melintasi Jakarta juga kurang lebih sama: menyempit dan dangkal. Di musim penghujan, sungai-sungai sama sekali tidak mampu menampung luapan air dari hulu.

Wilayah hulu juga ikut bersalah atas problem banjir yang memukul Jakarta saban musim hujan ini. Keseimbangan lingkungan di wilayah hulu Jakarta -- Depok, Bogor, Cianjur -- telanjur amburadul. Selama ini, lingkungan wilayah hulu Jakarta jor-joran diacak-acak pembangunan fisik -- terutama untuk memenuhi kepentingan permukiman dan kepariwisataan.

Keprihatinan tentang itu bukan tidak tertoreh. Tetapi kemauan politik untuk mengendalikan lingkungan wilayah hulu Jakarta ini selalu kalah oleh ego pemda-pemda terkait untuk menangguk manfaat ekonomi kepariwisataan.

Karena itu, adalah naif sekaligus musykil memimpikan problem banjir di Jakarta bisa ditangani melulu oleh Pemprov DKI Jakarta. Tanpa melibatkan peran aktif pemda-pemda di wilayah hulu, sampai kapan pun problem banjir mustahil bisa ditanggulangi. Langkah apa pun yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta sulit diharapkan efektif mengatasi problem itu.

Untuk itu, keterlibatan pemerintah pusat amat dibutuhkan. Becermin pada kenyataan selama ini, pemerintah pusat patut tampil sebagai komandan pengendalian dan penataan lingkungan -- terutama di sepanjang DAS Ciliwung. Jika tidak, pengendalian dan penataan lingkungan itu cenderung sekadar menjadi wacana. Kalaupun langkah aksi dilakukan, itu sama sekali tak terjamin berkesinambungan dan terpadu.***

14 Januari 2014

13 Januari 2014

Larangan Ekspor Minerba

Setelah sempat kental diwarnai keraguan, pemerintah akhirnya memastikan pelarangan ekspor bahan mineral mentah sesuai amanat UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) efektif berlaku mulai 12 Januari 2014. Kepastian tersebut ditandai oleh penerbitan Peraturan Pemerintah No 1/2014 yang diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Senin malam lalu. Peraturan yang menjadi tindak-lanjut UU No 4/2009 itu segera diikuti oleh penerbitan peraturan di tingkat kementerian terkait.

Langkah itu sungguh berani sekaligus pahit, karena nyata-nyata mempertaruhkan kepentingan ekonomi nasional. Pelarangan ekspor bahan mineral mentah -- emas, nikel, bauksit, bijih besi, tembaga, dan batu bara -- hampir pasti melahirkan konsekuensi serius terhadap kehidupan ekonomi di dalam negeri. Paling tidak hingga beberapa tahun ke depan seiring kesanggupan perusahaan-perusahaan tambang di dalam negeri memenuhi ketentuan UU No 4/2009.

Menurut hitungan kasar, pelarangan ekspor bahan mineral mentah itu membuat negara kehilangan potensi penerimaan devisa sekitar US$ 5 miliar atau sekitar Rp 55 triliun per tahun. Belum lagi penerimaan pajak, royalti, dan bea keluar dari sektor pertambangan minerba juga hampir pasti anjlok. Dalam kaitan itu pula, defisit neraca perdagangan bisa semakin menjadi-jadi. 

Di sisi ketenagakerjaan, pelarangan ekspor bahan mineral mentah ini juga berisiko melahirkan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam skala masif. Itu bisa terjadi, karena banyak -- untuk tidak mengatakan semua -- perusahaan tambang minerba kemungkinan kesulitan untuk sekadar bisa survive sekali pun. Mereka sulit melanjutkan kegiatan usaha karena telanjur tidak memiliki  pabrik pengolahan dan pemurnian bijih mineral (smelter) yang dipersyaratkan UU No 4/2009.

Berbagai konsekuensi itu pula yang membuat pemerintah sempat begitu kental terkesankan ragu dan galau untuk memberlakukan UU Minerba ini. Sampai-sampai sempat beredar spekulasi bahwa pemerintah akan menunda implementasi undang-undang itu sampai berbagai perusahaan tambang minerba di dalam negeri benar-benar siap -- terutama memiliki kelengkapan produksi berupa smelter.

Namun pemerintah tidak punya pilihan lain kecuali konsekuen menerapkan UU Minerba sesuai tenggat yang telah ditentukan, yaitu 12 Januari 2014. Menunda implementasi undang-undang tersebut hanya menorehkan penilaian bahwa pemerintah tidak tegas atau bahkan tunduk terhadap tekanan perusahaan-perusahaan multinasional yang memiliki usaha tambang mineral di dalam negeri.

Di sisi lain, penundaan implementasi UU No 4/2009 juga hanya akan membuat sumber daya mineral terkuras lebih lama dan lebih banyak lagi tanpa memberikan nilai tambah. Karena semua hasil tambang mineral diekspor dalam wujud mentah, penundaan itu juga membuat kegiatan usaha tambang minerba tetap tak memberikan efek berantai terhadap ekonomi nasional. 

Sebenarnya penerapan UU No 4/2009 ini tidak harus menjadi pil pahit bagi ekonomi nasional kalau saja pemerintah tidak abai. Pemerintah memiliki waktu sekitar empat tahun sejak undang-undang itu diundangkan untuk melakukan sosialisasi bagi berbagai perusahaan tambang mineral melakukan perisiapan-persiapan teknis, terutama membangun smelter.

Tetapi rentang waktu empat tahun itu -- notebene sangat memadai -- disia-siakan begitu saja. Pemerintah absen dalam mendorong perusahaan-perusahaan tambang minerba melakukan persiapan. Pihak terakhir sendiri terkesankan pura-pura lupa, sehingga sejauh ini konon tak satu pun yang sudah membangun smelter.  

Kini, setelah UU No 4/2009 efektif berlaku mulai 12 Januari 2014 pemerintah perlu mencari solusi yang tepat untuk mengamankan ekonomi nasional dari konsekuensi pelarangan ekpor minerba. Solusi tersebut juga harus bersifat mendorong berbagai perusahaan tambang minerba membangun smelter dengan memberi kemudahan tertentu. Mungkin, untuk tahap awal, ekspor minerba tidak harus seratus persen hasil olahan. Dengan demikian, perusahaan-perusahaan tambang minerba bisa tetep bernapas sambil membangun smelter.

13 Januari
2014

12 Januari 2014

Ekspor Mineral Mentah Dilarang, Lantas?

Keputusan pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No 1/2014 tentang pelarangan ekspor bahan mineral mentah -- emas, nikel, bauksit, bijih besi, tembaga, dan batu bara -- sungguh berani. Berani, karena keputusan yang efektif berlaku mulai 12 Januari 2014 itu nyata-nyata mempertaruhkan kepentingan ekonomi nasional. Paling tidak itu hingga beberapa tahun ke depan seiring kesanggupan perusahaan-perusahaan tambang di dalam negeri memenuhi ketentuan UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).

Menurut hitungan kasar, pelarangan ekspor bahan mineral mentah ini -- notabene merupakan amanat UU No 4/2009 -- membuat negara kehilangan potensi penerimaan devisa sekitar US$ 5 miliar atau sekitar Rp 55 triliun per tahun. Belum lagi penerimaan pajak dan royalti dari sektor pertambangan minerba juga hampir pasti anjlok.

Dalam kaitan itu pula, defisit neraca perdagangan bisa semakin menjadi-jadi.  Di sisi ketenagakerjaan, pelarangan ekspor bahan mineral mentah ini juga berisiko melahirkan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam skala masif. Itu bisa terjadi, karena banyak -- untuk tidak mengatakan semua -- perusahaan tambang minerba kemungkinan kesulitan untuk sekadar bisa survive sekalipun. Mereka sulit melanjutkan kegiatan usaha karena telanjur tidak memiliki  pabrik pengolahan dan pemurnian bijih mineral (smelter) yang dipersyaratkan UU No 4/2009.

Berbagai konsekuensi itu pula yang membuat pemerintah sempat begitu kental terkesankan ragu dan galau untuk memberlakukan UU Minerba ini. Sampai-sampai sempat beredar spekulasi bahwa pemerintah akan menunda implementasi undang-undang itu,  sampai berbagai perusahaan tambang minerba di dalam negeri benar-benar siap -- terutama memiliki kelengkapan produksi berupa smelter.

Namun pemerintah tidak punya pilihan lain kecuali konsekuen menerapkan UU Minerba sesuai tenggat yang telah ditentukan, yaitu 12 Januari 2014. Menunda implementasi undang-undang tersebut hanya menorehkan penilaian bahwa pemerintah tidak tegas atau bahkan tunduk terhadap tekanan perusahaan-perusahaan multinasional yang memiliki usaha tambang mineral di dalam negeri.

Di sisi lain, penundaan implementasi UU No 4/2009 juga hanya akan membuat sumber daya mineral terkuras lebih lama dan lebih banyak lagi tanpa memberikan nilai tambah. Karena bahan mineral diekspor dalam wujud mentah, penundaan itu juga membuat kegiatan usaha tambang minerba tetap tak memberikan efek berantai terhadap ekonomi nasional. 

Sebenarnya penerapan UU No 4/2009 ini tidak harus menjadi pil pahit bagi ekonomi nasional kalau saja pemerintah tidak abai. Pemerintah memiliki waktu sekitar empat tahun sejak UU Minerba diundangkan untuk melakukan sosialisasi bagi berbagai perusahaan tambang mineral melakukan perisiapan-persiapan teknis, terutama membangun smelter.

Tetapi rentang waktu empat tahun itu -- notebene sangat memadai -- disia-siakan begitu saja. Pemerintah absen dalam mendorong perusahaan-perusahaan tambang minerba melakukan persiapan. Pihak terakhir sendiri terkesankan pura-pura lupa, sehingga sejauh ini konon tak satu pun yang sudah membangun smelter.  

Kini, setelah UU No 4/2009 efektif berlaku mulai 12 Januari 2014, pemerintah perlu mencari solusi yang tepat untuk mengamankan ekonomi nasional dari konsekuensi pelarangan ekspor minerba dalam bentuk mentah. Solusi tersebut juga harus bersifat mendorong berbagai perusahaan tambang minerba membangun smelter dengan memberi kemudahan tertentu.

Mungkin, untuk tahap awal, ekspor minerba tidak harus seratus persen berupa hasil olahan. Dengan demikian, perusahaan-perusahaan tambang minerba bisa tetap bernapas sambil membangun smelter.***

12 Januari 2014

09 Januari 2014

Mulia dan Ambisius

Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mulai 1 Januari lalu adalah program mulia sekaligus ambisius. Mulia, karena program tersebut merupakan wujud keinginan baik pemerintah memastikan rakyat tak kesulitan memperoleh layanan kesehatan. Pemerintah tak menghendaki terjadi lagi kasus-kasus memilukan seperti di masa lalu: rakyat miskin, terutama, terlunta-lunta atau bahkan mati sia-sia didera sakit akibat tak mampu mengakses jasa perawatan kesehatan.

Kini, lewat program JKN, pemerintah menjamin layanan kesehatan bagi sekian banyak rakyat di berbagai lapisan dan golongan. Untuk tahap awal sekarang saja, program tersebut mencakup 140 juta jiwa penduduk. Jaminan itu terus ditingkatkan sehingga kelak makin banyak lagi rakyat yang tercakup program JKN ini. Tahun 2018, misalnya, peserta program tersebut ditargetkan sudah mencakup 190 juta jiwa penduduk.

Karena itu, program JKN bersifat ambisius. Bagaimanapun, menjamin kesehatan bagi sekian banyak rakyat sekaligus jelas pekerjaan raksasa. Kesiapan di berbagai segi, termasuk soal pendanaan, menjadi tuntutan mutlak. Jika tidak, bisa-bisa program tersebut menimbulkan kekisruhan di tingkat pelaksanaan -- terutama di lapangan --, sehingga tujuan mulia pmerintah menyejahterakan rakyat gagal bisa dicapai. Bahkan, karena harus menyediakan subsidi bagi rakyat miskin, pemerintah pun bukan tidak mungkin kewalahan dalam melaksanakan program JKN ini -- terutama ketika semakin banyak lagi rakyat yang tercakup program tersebut.

Oleh sebab itu pula, patut diakui, pemerintah kelewat berani dalam mewujudkan keinginan mulia menjamin kesehatan bagi rakyat ini. Keberanian tersebut kian gamblang kalau becermin ke negara maju seperti AS sekalipun. Negara yang secara ekonomi memiliki kemampuan jauh di atas kita itu tak sanggup memberikan jaminan kesehatan bagi rakyatnya. Dalam konteks ini, program Obamacare yang digagas Presiden Barrack Obama pun mendapat tentangan hebat pihak Kongres. Mereka menentang, karena program itu mereka nilai tidak feasible secara ekonomi.

Di kita, secara politis program jaminan kesehatan bagi rakyat ini aman-aman saja. Paling tidak, itu tecermin dari dapat diundangkannya UU Nomor 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Undang-undang tersebut melengkapi UU Nomor 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Artinya, wakil-wakil rakyat di Senayan memberi restu terhadap keinginan baik pemerintah memberi jaminan kesehatan bagi rakyat ini. Justru itu, parlemen bisa diharapkan tidak pelit memberi dukungan dalam soal anggaran bagi penyelanggaraan program tersebut.

Walhasil, keberhasilan program itu pun lebih terletak pada kesanggupan pemerintah sendiri mengorganisasikan kesiapan-kesiapan teknis. Nah, patut diakui, soal ini menimbulkan kecemasan. Selain miskin sosialisasi, peraturan pendukung bagi pelaksanaan program JPN juga masih compang-camping. Tidak mengherankan, terutama di lapangan, hal-hal yang tidak perlu -- tetapi merugikan peserta program JKN  -- pun bermunculan.

Tentang itu, misalnya, kalangan rumah sakit direpotkan oleh syarat penyelenggaraan program JKN yang sangat berbelit. Itu membuat banyak rumah sakit belum bisa membuka layanan program JKS, sementara animo dan antusiasme rakyat tentang layanan itu telanjur membuncah -- lengkap dengan berbagai bentuk kekurangpahaman dan misinformasi yang merepotkan.

Di sisi lain, layanan di rumah sakit juga memakan waktu lama karena data pasien belum diverifikasi BPJS. Belum lagi rumah sakit juga acap harus bersitegang dengan pasien akibat kelemahan sosialisasi. Misalnya soal penyakit atau obat-obat tertentu yang tak tercakup program JKN.

Berbagai kelemahan seperti itu harus segera dibenahi. Sebagai program mulia, JKN tak boleh mengecewakan rakyat sekaligus jangan sampai merepotkan pihak penyelenggara di lapangan.***

9 Januari 2014