25 Februari 2003

Dilema Harga Minyak

Harga minyak dunia mestinya mulai turun. Toh faktor-faktor yang selama beberapa bulan terakhir telah memacu harga minyak dunia terkerek drastis hingga jauh di atas patokan yang dibuat Organisasi Negara Penghasil Minyak (OPEC) tak lagi terasa panas. Venezuella, misalnya, sudah tak lagi digoyang aksi demo massal. Bahkan negara tersebut sudah mulai memompa lagi ladang minyak mereka.

Di lain pihak, Tim PBB pun tampaknya tak bakal menemukan senjata biologi dan senjata kimia di Irak yang dituduhkan AS telah disembunyikan rezim Saddam Hussein. Karena itu, mestinya AS tak beralasan menyerbu Irak.

Tapi AS ternyata tak menunjukkan gelagat mengurungkan niat menggempur Irak. Meski penentangan kian marak di mana-mana -- termasuk di AS sendiri --, pemerintah George Bush tetap saja memperlihatkan nafsu membara untuk melumat rezim Saddam ini. Jumat lalu, Menteri Pertahanan AS Donald Rumsfeld bahkan menyatakan bahwa pasukan AS siap menyerang Irak jika Presiden AS mengeluarkan perintah. Tak bisa tidak, kekhawatiran tentang perang pun makin mengental.

Tak heran, karena itu, harga minyak dunia pun lagi-lagi terkerek ke level lebih tinggi. Minyak jenis Brent untuk pengiriman April, misalnya, naik 33 sen dolar menjadi 31,89 dolar AS per barel pada penutupan perdagangan di pasar New York, Kamis waktu setempat.

Presiden Bush sendiri bersama PM Inggris Tony Blair sudah membuat kesepakatan: memberi Saddam waktu selama 21 hari sejak Kamis pekan lalu untuk memusnahkan senjata massal yang selama ini mereka tuduhkan. Kesepakatan ini jelas punya implikasi serius. Kalau saja hingga tenggat waktu itu Saddam tak juga memenuhi permintaan AS -- sesuatu yang tampaknya memang tak bakal bisa dilakukan Saddam --, Irak segera digempur pasukan AS bersama sekutunya.

Dengan kata lain, dengan atau tanpa resolusi PBB, pada saatnya pasukan AS dan sekutunya akan bergerak menggempur Irak. Karena itu pula, kekhawatiran banyak kalangan di dunia mengenai perang Irak ini sungguh sangat beralasan. Tapi, itu tadi, implikasinya: harga minyak dunia jadi membumbung terus. Terlebih jika serbuan AS dan sekutunya ke Irak benar-benar sudah menjadi kenyataan, harga minyak dunia mungkin dibuat menembus level 40 dolar, 50 dolar, atau bahkan seperti sebuah perkiraan mencapai 100 dolar per barel.

Kalau sudah begitu, ekonomi dunia pun akan kacau-balau. Harga minyak dunia yang melejit tinggi niscaya membuat ekonomi dunia jadi tak karuan. Resesi ekonomi global sulit bisa dihindari lagi.

Namun kalaupun AS tiba-tiba saja menyatakan mengurungkan niat menggempur Irak -- entah karena alasan apa --, ekonomi dunia tetap saja akan gonjang-ganjing. Resesi global tetap bakal menjadi risiko yang harus dihadapi.

Memang, kalau saja AS tak jadi menyerbu Irak, harga minyak dunia tak bakal terus melejit. Bahkan sebaliknya melorot. Cuma yang jadi soal, penurunan harga minyak dunia ini kemungkinan bablas melampaui level normal: bukan tidak mungkin anjlok sampai di bawah patokan OPEC sebesar 22 dolar per barel. Kenyataan itu pula yang bisa menjadi faktor pemicu resesi ekonomi global tadi.

Kecenderungan penurunan harga minyak dunia sampai di bawah 22 dolar per barel itu sendiri -- sekali lagi kalau saja AS sudah positif tak jadi menggempur Irak -- sangat mungkin terjadi karena OPEC telanjur memacu produksi sejak Februari ini. Persisnya, dalam rangka mengantisipasi perang AS-Irak, OPEC menaikkan kuota produksi minyak sebesar 1,5 juta barel per hari.

Di sisi lain, juga sebagai antisipasi terhadap kemungkinan kelangkaan pasok minyak dunia kalau saja AS jadi menyerbu Irak, banyak negara melakukan kontrak pembelian jauh di atas volume rata-rata. Bahkan, sejak konflik Irak ini memanas, sejumlah negara sudah menimbun minyak sebagai stok khusus menghadapi kemungkinan buruk berupa perang Irak.

Justru itu, andai saja ternyata AS dan sekutunya urung menggempur Irak, harga minyak dunia niscaya sulit ditahan lagi menggelincir turun drastis ke level di bawah patokan OPEC sebesar 22 dolar per barel. Seperti pada ekstrem yang lain -- harga minyak membumbung sangat tinggi -- kenyataan itu juga bisa membuat ekonomi dunia jadi gonjang-ganjing. Ekonomi dunia serta-merta dilanda resesi.

Bagi Indonesia sendiri, harga minyak dunia yang sudah memasuki tahap dilematis ini tak terkecuali sungguh menuntut langkah-langkah antisipasi. Manakala harga minyak dunia melejit ke level jauh di atas patokan OPEC sebesar 22 dolar per barel, kita memang bisa meraup rezeki nomplok (windfall profit) dalam jumlah banyak.

Tapi justru itu pula, dunia industri di dalam negeri akan kelimpungan. Paling tidak, karena ekonomi dunia dililit resesi, kinerja ekspor mereka jadi memburuk. Sebaliknya bila harga minyak dunia ini jeblok, defisit APBN serta-merta membengkak dengan segala dampak ikutannya.***

25 Februari 2003

21 Februari 2003

Sertifikat Bukti Hak



Sertifikat Bukti Hak (SBH) khusus diterbitkan pemerintah untuk pemegang saham lama bank peserta program rekap yang telah menyetor tambahan modal minimal 20 persen total biaya rekap. SBH bukan hanya sertifikat yang menjadi bukti penyerahan aset bank bersangkutan kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), melainkan juga surat yang melegitimasi pemegang saham lama dalam membeli saham C yang dimiliki pemerintah di eks bank mereka.

Jadi, penerbitan SBH ini dilakukan pemerintah setelah bank menyerahkan aset berupa kredit bermasalah kepada BPPN. Aset ini kemudian dijual BPPN, dan hasilnya -- setelah dikurangi biaya-biaya yang dikeluarkan BPPN -- digunakan sebagai patokan harga SBH.

Walhasil, dengan menggenggam SBH, pemilik lama bank berhak menikmati dana tunai hasil penjualan aset bank yang dulu mereka serahkan kepada BPPN. Atau, sepanjang tak termasuk daftar orang tercela (DOT) yang dibuat Bank Indonesia, mereka bisa kembali menjadi pemilik bank dengan membeli saham C milik pemerintah di eks bank mereka.

Tapi, belakangan, kalangan obligor penanda tangan perjanjian penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKSP) berskema akta pengakuan utang (APU) seperti tak tertarik oleh manfaat yang melekat dalam SBH ini. Mereka mendadak menyodorkan usulan agar SBH bisa digunakan untuk mengurangi jumlah kewajiban mereka kepada negara berupa mengembalikan dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Namun sejak pagi-pagi BPPN sudah menyiratkan bahwa usulan itu tak bisa dipenuhi. Meski kepastian mengenai soal tersebut masih harus menunggu keputusan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), BPPN berpendirian bahwa usulan itu hanya akal-akalan obligor PKPS-APU untuk menciutkan utang tanpa harus capek-capek menyetor dana tunai.

Akal-akalan? Menurut BPPN, pengurangan nilai SBH terhadap jumlah kewajiban memang tak termasuk skema penyelesaian utang obligor PKPS-APU. Lain dengan Eka Tjipta Widjaja. Mantan pemilik Bank Internasional Indonesia (BII) itu bisa mengurangkan nilai SBH terhadap jumlah kewajibannya di Sinar Mas Group karena dia tak terikat skema PKPS-APU.

Sesungguhnya, bagi obligor PKPS-APU, SBH sudah merupakan kartu mati. Bank Indonesia, dalam konteks ini, sudah menggariskan bahwa mereka tidak boleh kembali tampil sebagai pemilik bank. Karena masuk DOT -- terkait dengan penyalahgunaana dana BLBI yang dulu mengucur ke bank mereka --, obligor PKPS-APU ini otomatis dilarang menguasai saham bank. Itu berarti, SBH di tangan para obligor PKPS-APU ini tak bisa ditukarkan dengan saham C milik pemerintah di eks bank mereka.

Kalau begitu, mungkinkan SBH bisa mereka jual kepada pihak ketiga? Tidak juga. Sepanjang merujuk pada ketentuan -- SKB Menkeu dan Gubernur BI No 53/1999 tentang Pelaksanaan Program Rekapitalisasi Bank Umum -- langkah ke arah itu sungguh rumit: harus memperoleh persetujuan pemerintah dan Bank Indonesia. Di sisi lain, calon pembeli SBH pun harus menjalani dan lolos fit and proper test sebagaimana lazim diberlakukan Bank Indonesia terhadap setiap calon pemilik bank.

Lagi pula, sudah menjadi rahasia umum bahwa recovery rate aset-aset eks bank rekap ini amat rendah. Bahkan keputusan KKSK tempo hari yang menetapkan rata-rata recovery rate aset ini sebesar 25 persen dinilai sejumlah kalangan masih kelewat tinggi. Itu berarti, nilai SBH pun pasti amat kecil pula. Padahal, saat ditawarkan pada pihak ketiga, obligor bersangkutan pasti berpatokan pada harga aset saat diserahkan kepada BPPN.

Lebih dari itu, seperti pernah diingatkan Ketua Oversight Committee BPPN Mar'ie Muhammad, SKB Menkeu dan Gubernur Bank Indonesia juga sejatinya tak memberi hak bagi pemegang saham lama bank rekap untuk menikmati hasil penjualan aset yang dilakukan BPPN. Itu tadi, karena hasil penjualan aset oleh BPPN pasti amat rendah dan jauh tak sebanding dengan jumlah kewajiban mereka kepada negara. Justru itu, siapa pun agaknya tak bakal tertarik membeli SBH di tangan obligor PKPS ini.

Bagi kita, usulan obligor PKPS-APU tentang pemanfaatan SBH untuk mengurangi jumlah kewajiban mereka mengembalikan dana BLBI kepada negara ini kian menegaskan kenyataan bahwa mereka memang senantiasa penuh akal licik. Dalam kaitan ini, selalu saja mereka melihat celah yang bisa dimanfaatkan.

Karena itu, kita sangat berharap agar KKSK tak menghiraukan usulan obligor PKPS-APU tentang pemanfaatan SBH untuk mengurangi jumlah kewajiban mereka mengembalikan dana BLBI ini. Jika usulan tentang itu sampai dikabulkan, sama sama KKSK malah menambah daftar kekecewaan rakyat mengenai perlakuan pemerintah terhadap konglomerat bermasalah ini. Terlebih, sekali lagi, SBH bagi obligor PKPS-APU sudah merupakan kartu mati.***


Jakarta, 21 Februari 2003

14 Februari 2003

Rencana Privatisasi BUMN

Langkah pemerintah menambal defisit APBN melalui privatisasi lanjutan BUMN kemungkinan sulit bisa mulus. Bahkan bisa-bisa terganjal. Betapa tidak, karena kalangan anggota Komisi IX DPR menyatakan akan menolak seluruh proses privatisasi BUMN ini sepanjang tak berpijak pada landasan hukum berupa UU BUMN dan UU Privatisasi.

Sikap kalangan Komisi IX DPR ini berangkat dari penilaian bahwa sejauh ini langkah privatisasi BUMN melenceng atau bahkan ngawur karena tak lagi memiliki kriteria tertentu.

Di banyak negara, memang, privatisasi BUMN dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi pengelolaan. Justru itu, BUMN yang diprivatisasi adalah unit-unit usaha yang hanya membebani keuangan negara akibat salah urus dan tak efisien.

Tapi di Indonesia, privatisasi justru merujuk pada BUMN yang sehat, efisien, dan tergolong tambang uang. Bahkan BUMN yang sangat strategis karena menguasai hajat hidup rakyat banyak, semisal PT Telkom atau PT Indosat, tak terkecuali diprivatisasi. Di lain pihak, BUMN yang selama ini terus merugi justru nyaris tak dilirik sebagai sasaran privatisasi.

Dalam konteks itu, pemerintah berdalih bahwa BUMN yang tak sehat dan terus merugi sulit bisa laku. Kalangan investor, menurut pemerintah, tak bakalan tertarik bila BUMN yang ditawarkan adalah unit usaha yang jelas-jelas menunjukkan kinerja tak mengesankan.

Karena itu, tak bisa lain bahwa BUMN yang diprivatisasi ini adalah unit-unit usaha yang sehat, efisien, serta memiliki prospek bagus -- dalam arti terjamin mendatangkan keuntungan. Tapi dengan itu pula, pemerintah seolah mengingkari semangat dasar privatisasi. Penjualan BUMN bukan lagi dalam rangka meningkatkan efisiensi dan transparansi pengelolaan, melainkan lebih bermotifkan ekonomis: menghasilkan dana besar untuk menambal defisit.

Justru itu pula, privatisasi BUMN ini menjadi sangat sensitif dan kental beraroma politis. Terlebih karena tahapan privatisasi yang ditempuh pemerintah ini dinilai banyak pihak tidak transparan. Kasus privatisasi Indosat, misalnya, jelas menunjukkan kenyataan tersebut. Tak heran jika investor yang mengincar saham pemerintah di PT Indofarma pun sampai merasa perlu meminta jaminan pemerintah soal aspek politis ini. Mereka sangat tak berharap kelak harus pusing memikirkan meladeni gugatan orang mengenai pembelian saham pemerintah di Indofarma ini.

Di lain pihak, itu tadi, pihak DPR pun -- khususnya kalangan Komisi IX -- menyatakan akan menolak setiap langkah pemerintah menjual BUMN ini sepanjang tak berpijak pada UU BUMN dan UU Privatisasi.

Pemerintah sendiri sudah menegaskan bahwa privatisasi BUMN ini akan jalan terus. Seolah tak hirau oleh protes atau bahkan tekanan banyak kalangan, pemerintah memastikan bahwa
sekitar 25 BUMN sudah masuk daftar privatisasi. Itu belum termasuk divestasi sejumlah bank.

Kenapa pemerintah terkesan ngoyo dalam konteks privatisasi BUMN ini? Mudah ditebak, itu karena pemerintah telanjur dihadapkan pada masalah krusial dan mendesak: menambal defisit APBN. Pemerintah tak memiliki pilihan lain.

Penjualan aset di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) memang termasuk alternatif. Tetapi, berpijak pada pengalaman selama ini, proses pelepasan aset di BPPN ini sungguh berliku. Paling tidak, untuk bisa meraih tingkat recovery aset, pemerintah harus benar-benar cermat menghitung berbagai aspek. Jika tidak, penjualan aset di BPPN ini bisa menyerupai obral. Itu bukan saja akan mengundang protes berbagai kalangan, melainkan juga sulit bisa signifikan membantu mengatasi masalah defisit APBN.

Jadi, bagi pemerintah, privatisasi BUMN memang suatu keniscayaan guna mengatasi defisit APBN yang telanjur menganga lebar. Tapi, soalnya, jika DPR ternyata menghentikan setiap pembicaraan, konsultasi, atau apa pun tentang rencana privatisasi BUMN -- sampai kemudian lahir UU BUMN dan UU Privatisasi --, bukankah masalah defisit jadi tak terpecahkan? Jika itu terjadi, bukankah semua jadi kacau dan berimplikasi serius?

Kita setuju terhadap pendirian pihak DPR -- juga pihak-pihak lain -- bahwa tanpa landasan hukum berupa UU BUMN dan UU Privatisasi, pelepasan BUMN sungguh rawan: mengundang distorsi di sana-sini. Namun menyusun dan menggolkan kelahiran kedua undang-undang itu sungguh membutuhkan waktu. Sementara masalah anggaran yang telanjur digayuti defisit yang demikian besar jelas tak bisa ditunda-tunda.

Itu berarti, pemerintah dan pihak DPR perlu berkompromi. Intinya, privatisasi BUMN tetap jalan terus sambil merintis langkah ke arah kelahiran UU BUMN dan UU Privatisasi. Cuma pemerintah harus benar-benar transparan dalam setiap tahapan privatisasi BUMN ini. Jangan lagi terjadi, DPR atau publik merasa ditohok di belakang hari Sejatinya, itu pula yang telah membuat publik dan DPR jadi resisten terhadap rencana privatisasi BUMN ini.***

Jakarta, 14 Februari 2003

07 Februari 2003

Strategi Baru BPPN

Terlepas dari dugaan bahwa pemerintah berupaya memberi kesan bisa juga bersikap tegas dan lugas, tindakan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) melaporkan lima kelompok obligor tak kooperatif ke kepolisian patut kita puji. Betapa tidak, karena langkah tersebut merupakan terobosan strategis yang lumayan menjanjikan bagi penyelamatan kekayaan negara. Dengan menetapkan obligor dalam satu paket -- tak lagi hanya terdiri atas pemegang saham, melainkan meliputi pula komisaris dan direksi bank --, muncul harapan bahwa upaya menarik kembali dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) ini tak lantas kandas manakala pengadilan menjatuhkan vonis yang memenangkan pihak obligor selaku tergugat.

Sejumlah kasus memang sudah gamblang menunjukkan kenyataan seperti itu. Mungkin karena pengacara jeli melihat
celah hukum, sejumlah obligor malah divonis ringan atau bahkan bebas sama sekali. Kasus terakhir yang masih hangat adalah vonis bebas yang dijatuhkan pengadilan terhadap Samadikun Hartono dan Kaharudin Ongko.

Kenyataan itu bukan saja menggugah rasa keadilan di kalangan rakyat kebanyakan, melainkan juga mementalkan upaya pemerintah menyelamatkan kekayaan negara. Malah dalam kasus seperti vonis pengadilan terhadap Samadikun dan Ongko, pemerintah dibuat rugi dalam dua sisi. Pertama, pemerintah harus mengeluarkan biaya tidak kecil untuk membayar jasa pengacara yang mewakili mereka di pengadilan. Kedua, pemerintah dibuat gagal memaksa obligor bersangkutan segera melunasi kewajiban mereka mengembalikan dana BLBI kepada negara.

Pemerintah, khususnya BPPN, tampaknya banyak belajar dari rangkaian kegagalan menekuk obligor bermasalah di pengadilan ini. Mereka sudah sampai pada kesadaran bahwa perangkat hukum yang tersedia untuk menjerat obligor tak kooperatif dan bandel ini memiliki celah tak menguntungkan. Celah tersebut memungkinkan obligor bisa lolos dari keharusan mengembalikan dana BLBI yang mengucur ke bank milik mereka dulu.

Celah itu sendiri terkuak dalam Undang-undang Perseroan Terbatas yang selama ini menjadi pijakan pemerintah dalam berupaya menjerat obligor tak kooperatif di pengadilan ini. Undang-undang tersebut menggariskan bahwa tanggung jawab pengelolaan suatu badan hukum usaha -- termasuk bank -- terletak di pundak komisaris dan direksi. Jadi, pemegang saham tak turut menjadi pihak yang harus memberikan pertanggungjawaban atas pengelolaan badan usaha ini.

Terang saja, berdasarkan ketentuan itu, pemegang saham bank-bank penerima dana BLBI -- notabene kini menjadi obligor BPPN -- bisa mudah berkelit. Padahal, bagi pemerintah, sasaran bidik justru pemegang saham -- karena mereka memiliki aset-aset yang bisa dimanfaatkan untuk melunasi kewajiban mengembalikan BLBI. Lagi pula, memang, penyimpangan BLBI sendiri terindikasi kuat dilakukan justru oleh pemilik bank -- bukan oleh komisaris ataupun direksi.

Karena itu, dengan menetapkan status obligor dalam satu paket -- terdiri atas komisaris, direksi, dan pemegang saham -- pemerintah bisa menutup celah yang memungkinkan obligor tak kooperatif ini bisa berkelit. Dengan itu pula, upaya pemerintah menyelamatkan kekayaan negara berupa dana BLBI ini menerbitkan harapan optimistik.

Namun strategi itu belum tentu serta-merta lempang dan mulus. Paling tidak, strategi itu menuntut prasyarat tertentu. Dalam konteks ini, keberhasilan upaya penyelamatan kekayaan negara ini kembali berpulang kepada good will atau bahkan political will pihak-pihak yang terlibat -- entah pemerintah sendiri, kepolisian, kejaksaan, atau juga kehakiman. Selama salah satu atau para pihak tak menunjukkan good will dan political will -- bahwa dana BLBI adalah kekayaan rakyat yang harus dikembalikan ke pangkuan negara -- strategi baru BPPN ini pasti tumpul pula. Upaya menarik kembali dana BLBI dari tangan obligor tak kooperarif ini pasti lagi-lagi kandas.

Kalau itu yang terjadi, entah apa lagi yang harus kita katakan. Yang pasti, masalah dana BLBI akan kian jadi isu sensitif dan menggugah keprihatinan di kalangan rakyat kebanyakan.

Karena itu pula, sejak awal, langkah-langkah pemerintah menyelamatkan kekayaan negara berupa dana BLBI ini selalu mengundang sorotan tajam dan memancing kontroversi seru berkepanjangan. Ketika rapat kabinet memutuskan memberikan pengampunan hukum (release and discharge) kepada empat obligor yang dinilai kooperatif, misalnya, publik serta-merta menilai pemerintah bersikap lembek dan lebih prokonglomerat. Terlebih ketika belakangan pemerintah menaikkan harga BBM, tarif dasar listrik, dan tarif telepon secara bersamaan, posisi pemerintah pun benar-benar dinilai tak hirau terhadap nasib rakyat yang selama ini sudah dalam kondisi megap-megap dililit krisis.

Jadi, haruskah masalah dana BLBI ini tetap lebih banyak sekadar menjadi isu sensitif?***


Jakarta, 7 Februari 2003