08 Maret 2015

Ahok dan DPRD Perlu Belajar Lagi Komunikasi

Hingar-bingar perseteruan antara Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan DPRD DKI Jakarta soal RAPBD 2015 sungguh mengesalkan sekaligus mencemaskan. Mengesalkan, karena perseteruan itu berlarut-larut sehingga menyita energi dan waktu kedua belah pihak secara tidak perlu.

Kedua belah pihak bukannya mencari solusi yang bersifat win win, sehingga masing-masing tak kehilangan muka atau merasa menjadi pecundang. Mereka malah larut dalam perang pernyataan yang cenderung tidak mengindahkan etika sosial.

Dalam konteks itu, Ahok maupun pihak DPRD terkesankan tidak mampu menjalin dialog secara baik. Bahkan forum dialog yang difasilitasi Kemdagri justru mereka jadikan sebagai ajang saling caci. Kedua belah pihak tidak menunjukkan keinginan untuk segera menyelesaikan perseteruan secara baik.

Karena itu pula, perseteruan antara Ahok dan DPRD ini menjadi mencemaskan. Fungsi pemerintahan dikhawatirkan terganggu -- atau bahkan bukan mustahil lumpuh -- sehingga kepentingan publik niscaya menjadi korban. Berbagai jalan raya yang rusak digerus hujan, misalnya, kini terbengkalai alias tidak mendapat sentuhan perbaikan. Atau, contoh lain, anak yatim piatu di berbagai panti asuhan terancam telantar.

Perselisihan, dalam konteks apa pun, adalah soal biasa. Meski begitu, perselisihan tidak boleh berubah menjadi laiknya pertarungan dua musuh bebuyutan seperti ditunjukkan Ahok dan DPRD dalam beberapa pekan terakhir. Perselisihan di antara mereka sudah melampaui batas kewajaran dan kapatutan, sehingga berlarut-larut serta emosional.

Ahok maupun pihak DPRD terkesankan tidak mampu mengendalikan diri dan dirasuki keinginan saling menyalahkan dan saling mengalahkan. Dalam konteks itu, mereka tak hirau menabrak norma-norma etika.

Selain itu, masing-masing pihak juga tidak menjadikan kepentingan publik terkait peran dan fungsi pemerintahan sebagai hal yang mereka jaga bersama. Mereka lupa bahwa pemerintahan harus tetap berperan dan berfungsi normal.

Alhasil, Ahok maupun DPRD harus belajar lagi membangun komunikasi politik yang santun, menyejukkan, produktif, dan bermanfaat bagi kepentingan warga DKI Jakarta. Pertikaian frontal kedua pihak, terutama dalam beberapa pekan terakhir, bukan cuma melahirkan kegaduhan di ruang publik. Pertikaian itu juga menumbuhkan benih-benih keretakan sosial.

Sementara itu, sebagai pejabat publik, Ahok juga perlu lebih mengindahkan tata krama dan kepatutan dalam berinteraksi dengan masyarakat. Selama ini dia cenderung tidak tampil sebagai pimpinan yang menenteramkan dan mengayomi. Membentak-bentak atau bahkan menantang warga beradu fisik sungguh tidak patut sama sekali dilakukan pemimpin setingkat Gubernur DKI Jakarta.

Menghadapi masyarakat yang beraneka ragam latar belakang dan kepentingan jelas tidak selalu nyaman dan tidak menyenangkan. Justru  itu pemimpin seperti Ahok wajib memiliki watak sabar, toleran, adil, dan terutama mengindahkan nilai-nilai etika serta kepatutan sosial. Sikap-tindak pemimpin berangasan bukan hanya mematrikan kesan arogan atau pongah, namun juga diam-diam menumbuhkan kebencian publik.

Kebencian atau antipati itu sudah mulai tumbuh. Itu antara lain ditunjukkan Gerakan Masyarakat Jakarta (GMJ). Mereka mendukung upaya-upaya pelengseran Ahok bukan lantaran tidak setuju atau antiprinsip good corporate governance diterapkan di lingkungan pemerintahan DKI Jakarta, melainkan terutama muak dan resah oleh sikap-tindak Ahok selaku pemimpin yang mereka nilai pongah serta kurang beretika.

Ahok tak boleh memandang remeh fenomena sosial seperti ditunjukkan GMJ atau ormas-ormas lain yang terang-terangan melakukan perlawanan terhadap kepemimpinannya. Boleh jadi, itu adalah fenomena gunung es atau bola salju.

Karena itu, gaya kepemimpinan Ahok harus berubah menjadi menyejukkan tapi tetap lugas dan tegas.***

Jakarta, 8 Maret 2015

05 Maret 2015

Jangan Anggap Remeh Gejolak Harga Pangan

Spekulasi bahwa harga gula di dalam negeri potensial meroket seperti harga beras, daging, dan sejumlah bahan pokok lain sungguh tidak berlebihan. Itu karena pasokan gula ke pasar kemungkinan menyusut sebagai konsekuensi atas konflik diplomatik Indonesia dengan Brasil dan Australia terkait eksekusi hukuman mati terpidana kasus peredaran narkoba. Konflik diplomatik kemungkinan mengganggu hubungan dagang kita dengan kedua negara, termasuk impor gula.

Selama ini, Brasil merupakan salah satu sumber utama kita dalam mengimpor gula. Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), tahun lalu kita mengimpor gula mentah (raw sugar) dari Brasil sebanyak 427.493 ton.

Angka itu sekitar 13,4 persen dari rata-rata total impor gula mentah Indonesia. Dalam kondisi tertentu, persentase impor gula dari Brasil ini bisa mencapai 15 persen atau bahkan 20 persen.

Australia juga sumber utama kita dalam mengimpor gula ini. Volume impor gula mentah dari Australia rata-rata hampir mencapai 400.000 ton per tahun atau sekitar 12,2 persen dari total impor gula mentah kita.

Di luar kedua negara itu, kita juga biasa mendatangkan gula dari Thailand, India, dan beberapa negara Afrika.

Seperti juga beras ataupun daging, kita terpaksa mengimpor gula karena produksi di dalam negeri tidak memadai. Produksi gula kita maksimal sekitar 2,5 juta ton per tahun, sementara kebutuhan konsumsi sekitar 5,7 juta ton per tahun -- termasuk kebutuhan untuk industri. Alhasil, setiap tahun kita harus mengimpor gula mentah rata-rata 3,2 juta ton.

Di tengah konflik diplomatik kita saat ini dengan Brasil dan Australia, sekitar 30 persen atau hampir 1 juta ton kebutuhan gula impor, yang selama ini didatangkian dari kedua negara itu, kemungkinan terganggu. Sementara alternatif sumber impor bukan perkara mudah bisa didapat. Impor dari Thailand, misalnya, tak bisa serta-merta dilipatgandakan. Paling tidak, perlu proses pembicaraan atau negosiasi yang niscaya relatif panjang untuk bisa mengkonversi impor gula dari Brasil dan Australia ke Thailand ini.

Alhasil, dalam situasi seperti itu harga gula di dalam negeri memang potensial meroket. Bukan cuma gula, melainkan juga aneka produk makanan dan minuman yang mengandung bahan gula sebagai pemanis rasa.

Itu tak pelak lagi akan menjadi pukulan tambahan bagi masyarakat luas setelah babak belur dihajar kenaikan harga beras, daging, dan sejumlah bahan pangan lain. Belum lagi harga bahan bakar minyak (BBM), gas elpiji, dan tarif listrik juga naik lagi.

Gejolak harga aneka bahan kebutuhan pokok itu harus diwaspadai, karena bisa menjadi malapetaka. Harga pangan saja berkontribusi sekitar 50 persen terhadap laju inflasi. Artinya, daya beli masyarakat melorot signifikan akibat kenaikan harga pangan ini. Itu juga berarti, penduduk hampir miskin menjadi jatuh miskin, dan  penduduk yang sudah miskin menjadi semakin miskin.

Karena itu, pemerintah harus waspada. Gejolak harga aneka kebutuhan pokok sekarang ini tak boleh dianggap enteng. Gejolak tersebut harus bisa segera diatasi sebelum keluhan masyarakat berubah menjadi kemarahan sosial yang bisa berdampak menggoyahkan stabilitas politik di dalam negeri.

Patut disadari, keberhasilan pemerintah mengendalikan harga aneka kebutuhan pokok masyarakat ini akan menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan Presiden Jokowi. Kalau gejolak harga itu tak bisa diatasi, maka publik akan memvonis Jokowi  gagal menyejahterakan rakyat.

Patut disadari pula bahwa kekecewaan rakyat terhadap kinerja pemerintah ini setiap saat bisa berubah menjadi kemarahan atau bahkan keberingasan sosial. Sejarah sudah membuktikan itu.***

Jakarta, 5 Maret 2015

02 Maret 2015

Pulihkan Rasa Aman

Tindak perampasan sepeda motor belakangan ini, yang bisa dikatakan marak -- terutama di Tangerang, Bekasi, dan Depok -- telah membuat masyarakat dicekam ketakutan. Aparat kepolisian harus memberantas tindak kejahatan begal sepeda motor ini. Sebagai pelindung masyarakat, polisi wajib mengembalikan rasa aman khalayak luas.

Masyarakat kini dicekam waswas mengendarai sepeda motor -- terutama di malam hari -- karena pelaku pembegalan bukan cuma merampas kendaraan, melainkan juga tak segan melukai korban secara sadistis. Seperti kasus di Jalan Margonda dan Jalan Juanda, Depok, Januari  lalu, pelaku menusuk korban berkali-kali hingga tewas.

Para pelaku pembegalan motor tampaknya memang bukan cuma berbekal nyali besar bin nekad, melainkan juga -- seperti berbagai laporan yang diterima polisi -- melengkapi diri dengan senjata berupa pisau, golok, samurai, bahkan juga senjata api. Mereka biasa beraksi di malam hari, terutama di jalur jalan yang sepi dan minim penerangan.

Polisi mencatat, tindak pencurian sepeda motor di wilayah hukum Polda Metro Jaya selama Januari 2015 saja mencapai 260 kasus -- notabene sebagian besar berupa aksi pembegalan. Rangkaian kasus pembegalan sepeda motor itu tak pelak membuat rasa aman masyarakat nyaris sirna. Padahal, tak sedikit masyarakat Tangerang, Bekasi, juga Depok mencari nafkah di Jakarta dan biasa pulang setelah hari larut.

Mereka yang mengandalkan sepeda motor sebagai sarana transportasi itu otomatis sangat berisiko menjadi korban tindak pembegalan dalam perjalanan pulang di malam hari. Wajar kalau kelompok tersebut hari-hari ini dicekam kecemasan.

Kecemasan masyarakat atas kemungkinan menjadi korban begal sepeda motor ini kian menjadi karena polisi terkesankan tidak berdaya atau paling tidak  kewalahan. Polisi seperti keteteran dalam mengatasi tindak kejahatan tersebut.

Memang polisi sudah membekuk sejumlah pelaku tindak pembegalan ini. Beberapa terduga pelaku bahkan ditembak hingga mati. Tetapi itu tak serta-merta membuat keresahan masyarakat lantas sirna, karena laporan korban pembegalan sepeda motor terus saja berdatangan ke kantor polisi.

Kenyataan itu tak boleh terus berlangsung. Ketakutan dan kegeraman masyarakat terhadap kejahatan begal motor tak boleh sampai berkembang menjadi aksi massa main hakim sendiri terhadap pelaku yang tertangkap.

Adalah berbahaya jika amuk massa main hakim sendiri dengan cara menghajar pelaku hingga babak belur atau bahkan membunuhnya secara sadistis dianggap sebagai cara efektif memberantas kejahatan. Itu berbahaya karena bisa membuat tertib bermasyarakat menjadi kacau, sekaligus meruntuhkan moral khalayak luas.

Selain itu, marwah kelembagaan polisi juga jelas menjadi hancur. Di tengah fenomena massa main hakim sendiri secara beringas dan sadistis terhadap pelaku kejahatan, polisi tidak lagi dianggap serta tidak dihargai sebagai pengayom dan pelindung masyarakat.

Fenomena seperti itu sungguh tak boleh terjadi. Oleh sebab itu, tindak kejahatan begal sepeda motor yang sudah meresahkan masyarakat harus segera bisa diberantas. Polisi wajib mengerahkan segala daya, sehingga rasa aman di masyarakat bisa pulih.

Sungguh aneh jika polisi seperti tak berdaya menghadapi kejahatan begal motor ini. Aneh, karena polisi jelas memiliki kemampuan hebat untuk memberantas aksi-aksi kejahatan, termasuk tindak pembegalan sepeda motor. Bukankah polisi bahkan mampu memerangi kejahatan terorisme yang lebih njelimet ketimbang fenomena begal motor?

Polisi sebenarnya sudah mengidentifikasi peta kejahatan begal sepeda motor ini. Polisi menyebut bahwa pelaku begal tersebut di Jabotabek adalah kelompok Lampung, kelompok Indramayu, kelompok Malingping, dan kelompok Palembang. Polisi juga sudah mengidentifikasi bahwa aksi begal sepeda motor di Jabodetabek terutama sering terjadi di 54 titik.

Karena itu, sama sekali tidak masuk akal kalau tindak pembegalan sepeda motor tetap marak seperti sekarang ini. Mengapa polisi seperti keteteran?***

Jakarta, 2 Maret 2015

26 Februari 2015

RUU Kamnas, Mengapa Tidak?

Menganggap RUU Keamanan Nasional (Kamnas) sebagai ancaman serius terhadap kehidupan demokrasi, kemerdekaan berpendapat, serta kebebasan berekspresi adalah berlebihan. Berlebihan, karena anggapan itu menempatkan pemerintah selaku pengusul RUU Kamnas seolah-olah punya niat jahat: ingin mengubur demokrasi sekaligus memasung kemerdekaan berpendapat dan kebebasan berekspresi.

Bersikap apriori terhadap isu strategis seperti RUU Kamnas adalah wajar atau bahkan perlu jika itu merupakan landasan sikap kritis-konstruktif. Dengan menjadikan apriori sebagai sikap kritis-konstruktif, secara substansial dan moral isu strategis itu pun bisa diharapkan melahirkan manfaat positif bagi semua pihak.

Tetapi kalau apriori lebih merupakan wujud kecurigaan yang berujung paranoid atas niat pemerintah mengajukan RUU Kamnas, sikap itu kehilangan relevansi. Apriori lantaran curiga dan paranoid bahkan berbahaya, karena berarti menafikan begitu saja semangat dan substansi RUU Kamnas sekaligus mematikan sikap kritis.

Jadi, jangan karena curiga atau paranoid terhadap niat pemerintah, lantas RUU Kamnas secara apriori kita tolak mentah-mentah. Adalah elegan jika kita sebagai anak bangsa ikut mengkaji dan menyiapkan ruang bagi RUU Kamnas agar dapat memberi manfaat nyata bagi bangsa dan negara.

Kita patut berperan mengawal proses pembahasan RUU Kamnas di DPR sehingga semangat maupun substansi perundangan itu menapak dalam koridor demokrasi dan mewadahi kebebasan berpendapat maupun kemerdekaan berekspresi. Dengan kata lain, RUU Kamnas tidak menjadi produk hukum yang merestui pendekatan keamanan yang bersifat represif alias antidemokrasi.

Secara substansial, RUU Kamnas terutama mengusung semangat menjaga keselamatan bangsa dan negara. Di tengah kondisi dunia yang -- berkat kemajuan teknologi -- sudah tanpa batas sekarang ini, semangat itu sungguh urgen.

Teknologi canggih di berbagai bidang bukan hanya mendorong kemajuan peradaban dengan demikian hebat, melainkan juga menghadirkan ancaman serius terhadap keselamatan bangsa dan negara. Ancaman itu bukan sebatas merujuk kepada keamanan negara dari serangan pihak luar, tapi juga termasuk keamanan berbagai hal menyangkut keselamatan rakyat.

Potensi ancaman yang bisa merontokkan kedaulatan negara ataupun membahayakan keselamatan rayat itu demikian nyata. Ancaman itu entah berupa serangan militer ataupun gangguan nonmiliter seperti terorisme, radikalisme, pembajakan, kejahatan perbankan, juga kejahatan melalui media daring (cyber crime).

Karena itu, diperlukan sistem penyelenggaraan keamanan nasional yang handal. Keperluan tersebut wajib dipenuhi negara. Negara wajib mengamankan kedaulatan, di samping melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Negara harus mampu memberikan rasa aman kepada seluruh rakyat melalui peran integratif institusi-institusi pengamanan dan perlindungan.

RUU Kamnas disiapkan untuk menjawab berbagai kebutuhan itu, termasuk memelihara harmoni antarinstitusi negara. Konflik TNI dan Polri, misalnya, bisa diharapkan tak menggejala lagi. Kedua institusi itu bahkan terkondisikan membangun sinergi lebih padu sebagai kekuatan kemanan, sehingga keselamatan rakyat maupun negara benar-benar terjaga dengan baik.

Dalam konteks itulah, perumusan dan pembahasan RUU Kamnas menjadi produk undang-undang sungguh relevan dan urgen. RUU Kamnas adalah ikhtiar pemerintah menciptakan payung hukum bagi penyelenggaraan sistem keamanan dan keselamatan nasional yang handal.

Alhasil, tidak beralasan RUU Kamnas ditolak mentah-mentah semata karena apriori curiga bahwa itu akan melahirkan sistem represif pengamanan negara dan bangsa. Sekali lagi, apa yang relevan kita lakukan adalah mengkritisi dan mengawal proses pembahasannya agar produk hukum yang kelak dihasilkan benar-benar menjamin keselamatan rakyat tanpa mematikan demokrasi ataupun kebebasan berpendapat dan kemerdekaan berekspresi.***

Jakarta, 26 Februari 2015

22 Februari 2015

Tak Perlu Galau Oleh Australia


Sikap Australia maupun Brasil terkait rencana pemerintah kita mengeksekusi mati warga kedua negara tersebut, yang menjadi terpidana kasus narkoba di negeri kita, jelas merupakan cerminan bahwa mereka  tidak menghargai posisi kita. Mereka melulu melihat persoalan berdasar perspektif mereka sendiri -- membela warga negara -- tanpa mau mengerti bahwa  warga yang mereka bela itu telah melakukan kejahatan  serius menyangkut peredaran narkoba di Indonesia.

Rencana eksekusi itu sendiri murni penegakan hukum dan sama sekali tidak sewenang-wenang -- karena sudah melalui serangkaian proses hukum yang berlaku di Indonesia, termasuk permohonan pengampunan alias grasi kepada Presiden Jokowi. Hukuman mati ditetapkan karena kejahatan narkoba merupakan tindakan kriminal yang berbahaya serta mengancam masa depan bangsa. Hukuman mati juga tidak melanggar ketetapan internasional apa pun.

Bahwa permohonan para terpidana untuk memperoleh grasi ditolak, itu adalah yurisdiksi kita sebagai negara berdaulat. Ini seharusnya dipahami dan dihargai oleh pemerintah Australia maupun Brasil.

Tetapi kedua negara itu seolah lupa terhadap etika pergaulan antarbangsa berdaulat. Pemerintah Australia mengungkit-ungkit bantuan mereka untuk korban bencana tsunami di Aceh.
Bantuan itu seolah utang yang harus dibarter dengan pembatalan eksekusi mati terhadap dua warga Australia.

Di lain pihak, Presiden Brasil Dilma Rousseff Jumat pekan lalu secara mendadak menunda menerima penyerahan surat kepercayaan (credential) Dubes RI untuk Brasil Toto Riyanto. Padahal Dubes Toto diundang secara resmi untuk menyampaikan credential itu pada upacara di Istana Presiden Brasil.
Kita tidak boleh tunduk terhadap tekanan-tekanan seperti itu. Kita harus teguh dalam memerangi peredaran narkoba. Eksekusi para terpidana mati kasus narkoba tetap harus  dilaksanakan tanpa menghiraukan tekanan siapa pun.

Tentu kita berharap perselisihan kita dengan Australia dan Brasil ini dapat diselesaikan secara baik-baik, sehingga hubungan bilateral dengan kedua negara itu tidak lantas menjadi rusak. Tetapi bila komunikasi baik-baik tidak berhasil mencegah kerusakan hubungan bilateral, kita tidak layak kelewat menyesali ataupun risau seolah-olah kita akan kiamat.

Memang, rusaknya hubungan itu niscaya berdampak negatif secara bilateral. Tetapi, bagi kita, dampak itu tak terbilang serius. Brasil, misalnya, secara politik maupun ekonomi bukan mitra kita yang tergolong strategis. Hubungan dagang Indonesia-Brasil sejauh ini relatif kecil: tak sampai US$ 3 miliar per tahun. Angka itu di bawah 1 persen nilai perdagangan masing-masing negara.

Agak lain dengan Australia. Hubungan bilateral kita dengan Australia memang tidak tergolong biasa-biasa saja. Secara politik maupun ekonomi, kedua negara saling memandang sebagai mitra strategis.

Karena itu, rusaknya hubungan bilateral kita dengan Australia niscaya berdampak negatif bagi kedua belah pihak. Tetapi secara matematis, dampak negatif itu lebih merugikan Australia -- terutama secara ekonomi.

Neraca perdagangan kita dengan Australia selama ini menorehkan surplus bagi Australia. Menurut catatan Kementerian Perdagangan kita, tahun lalu --  hingga November -- surplus itu mencapai US$ 511,32 juta. Sementara tahun 2013 bernilai US$ 667,68 juta, dan tahun 2012 sekitar US$ 392,23 juta.

Jadi, Australia jelas sangat berkepentingan menjaga hubungannya dengan kita tetap baik. Itu pula yang membuat tindakan mereka menghentikan ekspor sapi ke Indonesia, beberapa tahun lalu, tak berlangsung lama. Tanpa kita menghiba-hiba, akhirnya mereka sendiri yang mencabut kebijakan itu.

Jadi, sekali lagi, kita tak perlu galau apalagi takut oleh tekanan Australia. Tekanan itu tidak lebih merupakan cara mereka mengemis kepada kita.***

Jakarta, 22 Februari 2015

20 Februari 2015

Karut Marut Ketenegakerjaan

Realitas ketenagakerjaan kita, khususnya tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri, adalah sebuah dunia karut-marut. Ibarat potret, realitas ketenagakerjaan kita bukan cuma buram dan kusam, melainkan juga menampilkan gambar yang mengiriskan. Realitas ketenagakerjaan kita adalah tragedi, derita, nestapa, dan kesia-siaan.

Sudah sejak lama, ketenagakerjaan kita menampilkan realitas yang tidak sedap dan tidak pula elok. Berderet-deret kisah pilu TKI sudah terkuak ke permukaan. Berderet-deret TKI menjadi korban penipuan, pelecehan, penyiksaan, bahkan hukum pancung di luar negeri. Bahkan entah berapa banyak TKI sekadar menjadi korban praktik perdagangan manusia (human trafficking).

Gambaran seperti itu merupakan cerminan bahwa peran pemerintah sebagai representasi negara sungguh minim. Dalam banyak kasus, pemerintah bukan cuma kedodoran, melainkan juga seperti tidak memberikan perlindungan memadai terhadap TKI yang bekerja di luar negeri.

Pemerintah juga tidak sungguh-sungguh berperan dalam menyiapkan keterampilan TKI yang akan ditempatkan di mancanegara. Bahkan pemerintah selama ini terkesankan nyaman-nyaman saja terhadap realita bahwa TKI yang diberangkatkan ke luar negeri sekadar golongan jongos atau babu. Sedikit sekali TKI di negeri orang yang mampu merebut jenis pekerjaan lumayan bergengsi, seperti keperawatan atau kesekretarisan.

Sudah saatnya TKI yang ditempatkan ke luar negeri tidak sekadar golongan jongos. Jenis pekerjaan tersebut harus dihapus dari daftar penyiapan TKI. Ini bukan semata soal imbalan berupa fulus yang bisa lebih bernilai, melainkan juga demi menjaga harkat martabat bangsa di mata internasional.

Itu berarti, penyiapan tenaga TKI harus dilakukan sungguh-sungguh terprogram secara jelas dan fokus. Dengan demikian, TKI yang ditempatkan di mancanegara tidak lagi lebih banyak berbekal semangat dan gincu -- dan karena itu pula mereka menjadi sasaran empuk praktik human trafficking.

Tak bisa tidak, pemerintah  wajib memiliki komitmen besar melindungi TKI dari berbagai bentuk tindakan yang merugikan mereka. Perlindungan harus diberikan mulai tahap penyiapan hingga mereka kembali ke Tanah Air. TKI yang bekerja di luar negeri ini tidak boleh lagi seolah dibiarkan menjadi bulan-bulanan tindak pemerasan -- entah dalam pengurusan dokumen-dokumen kesehatan, keimigrasian, dan lain-lain. Pemerintah juga harus memastikan bahwa TKI tidak menjadi korban praktik human trafficking.

Untuk itu, pemerintah wajib mengubah sikap mental secara mendasar. Sikap-tindak selama ini yang cenderung tutup mata terhadap berbagai bentuk praktik tidak beres dalam dunia ketenagakerjaan ini harus dienyahkan jauh-jauh.

Kalau ditelaah, sikap pemerintah yang seperti pura-pura tidak tahu terhadap berbagai praktik tidak beres dan tidak sehat itu merupakan titik simpul yang membuat dunia ketenagakerjaan kita selama ini karut-marut alias amburadul. Sikap tutup mata membuat sektor ketenagakerjaan, khususnya dalam konteks penempatan TKI di mancanegara, selama ini menjadi biang rusaknya martabat bangsa di tengah pergaulan internasional. Seolah-oleh Indonesia hanya mampu menghasilkan sumber daya sekelas babu. Selebihnya, Indonesia juga seolah merestui praktik human trafficking.

Jadi, pemerintah jangan lagi pura-pura tidak tahu alias tutup mata terhadap realitas karut-marut dunia ketenagakerjaan kita ini.***

Jakarta, 20 Februari 2015

17 Februari 2015

RUU Agraria Butuh Keseriusan

RUU Agraria, yang masuk program legislasi nasional (prolegnas) DPR periode 2014-2019, tak boleh sampai terbengkalai. RUU Agraria harus bisa tuntas dibahas. DPR dan pemerintah wajib menjadikan pembahasan RUU Agraria ini sebagai prioritas utama.

Itu bukan saja karena selama selama beberapa dekade terakhir pembaruan undang-undang pertanahan terus terkatung-katung, melainkan juga terutama lantaran distribusi lahan sudah sangat tidak sehat. Segelintir orang atau badan menguasai begitu banyak lahan, sehingga timbul ketimpangan yang sangat tidak adil di masyarakat luas.

Hasil riset sebuah lembaga, belum lama ini, menyebutkan bahwa 29 taipan nasional kini menguasai lahan perkebunan kepala sawit seluas 5,1 juta hektare. Bayangkan, itu hampir setengah Pulau Jawa yang menghampar seluas 128.297 kilometer persegi.

Di luar itu, jutaan hektar lahan juga dikuasai sejumlah kecil taipan yang itu-itu juga sebagai konsesi usaha pertambangan dan usaha perhutanan.

Pertumbuhan penguasaan lahan oleh segelintir orang itu berlangsung sangat pesat. Dalam lima tahun terakhir, misalnya, pertumbuhan perkebunan kelapa sawit saja mencapai 35 persen.

Sementara itu, alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan industri atau komplek permukiman -- terutama di Jawa -- juga tak kalah masif dan tak bisa dibendung. Ini juga memperparah distribusi lahan menjadi kian terkosentrasi di tangan pengusaha.

Alhasil, rakyat kebanyakan justru makin termarginalisasi dalam penguasaan tanah ini. Kalangan petani, terutama, sekarang ini rata-rata hanya menguasai lahan tidak sampai 0,5 hektare. Bahkan banyak pula petani yang tidak menguasai tanah.

Itu membuat usaha tani yang mereka tekuni sangat marginal. Ditambah aneka kebijakan selama ini yang tidak bersahabat, usaha tani yang marginal ini sama sekali semakin tidak menyejahterakan petani. Karena itu, petani kita hampir identik dengan kemiskinan.

Itu pula yang membuat profesi petani kian tak diminati oleh keluarga petani sendiri. Banyak petani gurem beralih penghidupan ke sektor informal. Generasi muda di kalangan petani juga cenderung memilih menjadi buruh pabrik, kuli bangunan, pengojek, atau tenaga serabutan di perkotaan.

Distribusi tanah yang makin timpang ini  jelas tak bisa dibiarkan -- karena tidak sehat dan juga tidak adil. Kondisi tersebut mencemaskan, karena bisa menjadi lahan subur kecemburuan sosial di masyarakat.

Karena itu, pembahasan RUU Agraria tak boleh lagi terkatung-katung. Pemerintah dan DPR wajib mencurahkan segenap energi agar perangkat perundangan tersebut bisa tuntas dibahas dan disahkan menjadi undang-undang seiring prolegnas kali ini.

Pembahasan RUU Agraria ini harus didasari komitmen pemerintah dan DPR untuk mereformasi pertanahan.
Perundangan agraria yang kelak dilahirkan harus menjadi wahana redistribusi lahan.

Dengan itu, penguasaan lahan harus dibuat memenuhi azas kewajaran dan berkeadilan. Ketimpangan tinggi dalam penguasaan lahan sekarang ini harus bisa diakhiri.

Terkait itu pula, perundangan agraria harus mendorong kelembagaan pertanahan berfungsi secara kuat, transparan, modern, dan kredibel.***

Jakarta, 17 Februari 2015