26 September 2003

Kerahasiaan Bank

Pajak memang kian diandalkan sebagai sumber penerimaan negara. Kita tak mungkin lagi mengandalkan pinjaman sebagai sumber utama pembiayaan pembangunan nasional seperti di masa lalu. Utang kita sudah begitu bertumpuk-tumpuk. Sampai-sampai sekitar sepertiga penerimaan pajak kini terserap untuk mencicil utang ini.

Tapi kita paham betul bahwa upaya menarik pajak bukan pekerjaan mudah. Kalangan wajib pajak, dalam konteks ini, selalu berupaya menghindari kewajiban mereka. Paling tidak, mereka berupaya agar beban pajak mereka tak terlampau tinggi. Berbagai siasat pun mereka lakukan untuk itu -- termasuk bermain mata dengan oknum aparat pajak sendiri.

Mungkin itu merupakan bukti bahwa kesadaran wajib pajak kita amat rendah. Atau mungkin juga itu adalah cerminan bahwa patriotisme kita mulai luntur. Yang pasti, sejauh ini tax ratio kita masih terbilang rendah: hanya 13-an persen. Itu jauh di bawah rata-rata tax ratio kebanyakan negara lain sebesar 20 persen. Rendahnya angka tax ratio kita ini merupakan petunjuk nyata bahwa potensi pajak kita masih banyak lolos tak terjaring.

Karena itu, di tengah tuntutan kondisional yang menempatkan pajak kian jadi andalan penerimaan negara, pemerintah dituntut kerja ekstra keras. Berbagai kendala yang menghadang jelas harus bisa mereka siasati. Semangat pantang menyerah merupakan prasyarat untuk itu, di samping kaya gagasan mengenai langkah terobosan.

Tetapi kita sungguh kaget ketika diberitakan bahwa Panitia Anggaran DPR dan pemerintah yang diwakili Menkeu Boediono menyepakati perlunya pelonggaran kerahasiaan bank.
Kita tidak tahu persis ihwal pelonggaran yang dimaksud. Hanya, kita dibuat kaget karena kesepakatan tentang itu seperti menyederhanakan masalah. Bahwa selama ini prinsip kerahasiaan bank -- notabene diatur UU Perbankan -- amat terasa mengganjal upaya aparat pajak memaksimalkan penerimaan pajak, itu kita akui. Bahwa potensi penerimaan pajak di kalangan nasabah bank ini sekarang banyak tak bisa dijaring gara-gara tersekat kerahasiaan bank, itu juga betul.

Cuma, bagaimanapun, kerahasiaan bank sungguh amat prinsip dan sensitif. Justru itu, langkah pelonggaran prinsip kerahasiaan bank jelas berisiko: kenyamanan pemilik dana di perbankan nasional bisa terusik. Itu amat mungkin mendorong pelarian modal ke luar negeri (capital flight). Karena itu pula, bukan mustahil industri perbankan nasional pun jadi rontok.

Karena itu, pelonggaran kerahasiaan bank sungguh tak akan produktif. Tax ratio kita tak bakal serta-merta melonjak drastis. Sementara di lain pihak industri perbankan nasional hancur karena ditinggalkan nasabah.

Karena itu pula, kita tak habis pikir: bagaimana mungkin Menkeu Boediono bisa menyepakati ihwal pelonggaran kerahasiaan bank ini. Kita juga tak bisa paham bahwa wakil-wakil rakyat di Senayan bisa punya pikiran tentang itu. Apakah mereka tidak menyadari bahwa pelonggaran kerahasiaan bank akan menjadi blunder yang konyol bagi industri perbankan kita -- bahkan bagi ekonomi nasional secara keseluruhan?

Kita tidak tahu persis bagaimana sesungguhnya perdebatan dalam forum Raker Menkeu dengan Panitia Anggaran DPR hingga kemudian keluar rekomendasi tentang perlunya pelonggaran kerahasiaan bank ini. Yang jelas, Menkeu Boediono sendiri kemudian seolah meralat kesepakatan pemerintah dan Panitia Anggaran DPR itu. Boediono menyatakan bahwa pelonggaran kerahasiaan bank tidak mungkin dilakukan -- antara lain karena bisa berdampak negatif terhadap stabilitas moneter.

Lepas dari kesan bahwa sikap Menkeu mencla-mencle, kita gembira dan mendukung pendirian pemerintah tentang kerahasiaan bank ini. Pemerintah memang seyogyanya tegas berkukuh bahwa kerahasiaan bank adalah harga mati. Prinsip kerahasiaan bank adalah pertaruhan bagi nasib ekonomi nasional. Kita tentu tak ingin lagi menelan kepahitan dan kegetiran amat mendalam akibat kepercayaan masyarakat terhadap perbankan kita ambrol.

Namun, jelas, sejalan dengan itu kita juga perlu terus mencari strategi dan langkah terobosan -- termasuk pembenahan di berbagai lini dan aspek -- yang bisa mendongkrak angka tax ratio kita ke level ideal. Yakni level yang memberi indikasi bahwa potensi penerimaan pajak kita relatif tergarap baik alias tak banyak lolos. Dengan demikian, sesuai tuntutan kondisional, pajak benar-benar bisa menjadi andalan penerimaan negara.

Di samping itu, tak kalah mendasar dan amat mendesak dipikirkan adalah perbaikan tingkat penggunaan anggaran negara. Bukankah berbagai kalangan sudah sering mengingatkan bahwa sejauh ini penggunaan anggaran negara kita belum juga efisien? Bukankah praktik mark-up proyek sebagai sumber utama korupsi tetap saja meraja-lela -- bahkan makin menggila?

Kalau saja penggunaan anggaran negara ini bisa benar-benar efisien, hasil pajak yang relatif masih kecil dibanding potensi di lapangan tentu bisa memberi manfaat lebih luas dan lebih optimal bagi kehidupan kita bersama sebagai bangsa.***
Jakarta, 26 September 2003

23 September 2003

Independensi BI Direcoki?

Posisi Bank Indonesia (BI) lembaga independen harus terus bisa dipertahankan. Pengalaman menunjukkan, ketika masih merupakan subordinasi pemerintah, BI sering tak bisa optimal berperan menjaga stabilitas moneter dan keuangan. BI acap tak berdaya menghadapi intervensi atau bahkan diktean pemerintah yang notabene tidak selalu berada dalam koridor kepentingan moneter ataupun keuangan. Puncaknya ketika BI menggelontorkan sekian banyak dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Itu serta-merta menjadi langkah blunder karena terbukti bahwa kucuran BLBI banyak bermasalah -- sampai pun nyaris membangkrutkan BI sendiri.

Jadi, bagi BI, independensi adalah kebutuhan yang sama sekali tak bisa diabaikan. Dengan independensi, bank Indonesia bisa benar-benar fokus dan konsisten berperan menjaga stabilitas moneter. Itu sungguh menjadi modal berharga bagi kita -- meski bukan satu-satunya faktor -- untuk bangkit meninggalkan krisis ekonomi yang menyergap kita begitu telak pada medio 1997 silam.

Manfaat independensi BI ini bahkan sudah bisa kita nikmati sekarang. Lihat saja, kurs rupiah ataupun inflasi terus terkontrol pada level yang cukup memberi ruang bagi kegiatan ekonomi masyarakat. Di sisi lain, tingkat sukubunga perbankan juga mampu dikendalikan hingga mencapai posisi yang relatif rendah.

Terus-terang, kita sulit membayangkan kondisi seperti itu bisa tercipta kalau saja BI tidak independen seperti di masa lalu. Bahkan, boleh jadi, kondisi ekonomi nasional sekarang ini belum juga relatif membaik dibanding saat krisis ekonomi benar-benar berkecamuk.

Karena itu, kita terperanjat ketika sekonyong-konyol muncul usulan pemerintah tentang apa yang disebut Dewan Supervisi BI. Kita terperanjat karena tampaknya lembaga tersebut bisa menggerogoti independensi BI. Itu terutama karena, konon, Dewan Supervisi bisa merekomendasikan pemecatan Dewan Gubernur BI.

Mungkin apriori jika kita berasumsi bahwa peran dan fungsi Dewan Supervisi seperti itu bisa membuat BI tak lagi bisa independen. Tetapi tidak berlebihan jika kita juga khawatir atas kemungkinan bahwa kelak rekomendasi pemecatan menjadi komoditas politik dagang sapi. Terlebih lagi, siapa bisa menjamin bahwa rekomendasi Dewan Supervisi ini benar-benar obyektif alias benar-benar tidak mengusung kepentingan-kepentingan pihak tertentu? Kalaupun sungguh-sungguh obyektif, tetap saja sulit dijamin bahwa rekomendasi itu tidak dimanfaatkan pihak lain untuk menekan [impinan BI agar menggelar kebijakan sesuai kepentingan jangka pendek mereka. Justru itu, independensi BI pun sungguh menjadi taruhan.

Boleh jadi, Dewan Gubernur BI sendiri tak bakal mudah digertak atau ditekan oleh rekomendasi Dewan Supervisi ini. Tapi sedikit ataupun banyak, rekomendasi tersebut pasti punya pengaruh terhadap konsentrasi kerja mereka. Seperti kata Deputi Senior Gubernur BI Anwar Nasution, rekomendasi itu pasti terasa merecoki kiprah pimpinan BI.

Walhasil, keberadaan Dewan Supervisi BI ini terasa tak urgen -- bahkan cenderung bisa melahirkan suasana tidak produktif di tengah tuntutan aktual-obyektif yang dihadapi BI. Karena itu, kita sungguh memahami sikap pimpinan BI yang serta-merta menolak gagasan tentang pembentukan Dewan Supervisi ini.

Bahwa akuntabilitas BI perlu terus ditingkatkan, kita setuju seratus persen. Kita sependapat bahwa independensi jangan sampai membuat BI tak bisa dikontrol ataupun disentuh pihak lain. Bagaimanapun kiprah BI tetap harus bisa dikendalikan hingga tidak keluar koridor yang kita sepakati. Dengan kata lain, kita sangat tak menginginkan bahwa dengan dan atas nama independensi, BI bisa bablas melangkah tanpa bisa diingatkan pihak lain. BI tidak boleh menjadi seperti negara dalam negara.

Untuk itu, keberadaan BI memang tetap membutuhkan kontrol. Tetapi itu tidak berarti bahwa BI perlu didampingi lembaga baru seperti Dewan Supervisi yang diusulkan pemerintah. Sebab, bukankah selama ini mekanisme kontrol terhadap BI ini sudah terwadahi melalui peran dan kontrol DPR? Secara politis kebijakan, setiap saat DPR bisa melakukan kontrol terhadap langkah-langkah BI. Lalu, secara teknis administrasi keuangan, BI juga selalu diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Apakah peran DPR dan BPK dalam rangka menegakkan akuntabilitas BI ini masih kurang? Jika itu yang menjadi soal, mestinya pemerintah mendesak DPR dan BPK agar lebih meningkatkan dan fungsi mereka. Tapi kita lebih khawatir, jangan-jangan gagasan tentang pembentukan Dewan Supervisi ini lebih merupakan upaya merecoki independensi BI.***
Jakarta, 23 September 2003

Pasar yang Gurih

Menjadi negara dagang sebenarnya bukan aib. Bahkan itu bisa menjadi berkah yang menyejahterakan kehidupan kita bersama sebagai bangsa. Negara seperti Singapura atau Hong Kong adalah contoh terbaik tentang itu. Singapura dan Hong Kong adalah pasar atau arena dagang yang tak pernah sepi. Posisi kedua negara tersebut di pentas internasional malah begitu mencorong. Keduanya amat diperhitungkan karena turut menentukan irama dan arah bisnis global. Itu pula yang membuat Singapura mampu tampil sebagai negara yang makmur.

Kita juga tampaknya sudah mulai menjadi negara dagang. Tetapi berbagai kecenderungan yang memberi indikasi kuat tentang itu malah membuat kita prihatin dan cemas. Betapa tidak, karena kecenderungan itu mengarahkan kita sekadar menjadi pasar. Berbeda dengan Singapura atau Hong Kong, kita sepertinya terkondisi cuma menjadi tempat atau arena dagang bagi pihak lain. Kita tampaknya tidak banyak terlibat sebagai pelaku aktif dalam degup kehidupan perdagangan itu.

Coba saja simak indeks kapasitas produksi industri nasional yang terus merosot, sementara di lain pihak pertumbuhan konsumsi justru terbilang tinggi. Menurut catatan, indeks kapasitas terpakai industri kita melorot dari 51 persen pada Oktober 2002 menjadi 41 persen pada Januari 2003. Di sisi lain, indeks produksi justru turun dari 109,2 pada tahun 2000 menjadi 100,3 pada tahun 2002. Padahal pertumbuhan konsumsi meningkat terus.

Itu adalah petunjuk nyata bahwa pasar domestik kita telah dikuasai barang impor. Kenyataan tersebut diperkuat oleh data lain yang memperlihatkan bahwa selama periode Januari-Juli 2003, impor barang modal menurun 6,14 persen dibanding periode sama tahun lalu. Artinya, sektor produksi kita tidak melakukan ekspansi berupa peningkatan kapasitas produksi ataupun membuat proyek baru. Ini bukan saja mencerminkan bahwa produk industri nasional kewalahan menghadapi serbuan impor, melainkan juga kesulitan mengembangkan ekspor.

Gambaran itu kian gamblang tertoreh lewat data impor secara keseluruhan. Selama periode Januari-Juli 2003, total impor kita naik 11,7 persen dari 16,6 miliar dolar AS menjadi 18,54 miliar dolar AS pada periode tujuh bulan pertama tahun lalu. Artinya, aneka barang impor kian banyak menghambur masuk ke pasar dalam negeri.

Dalam konteks itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa selama semester I/2003, negara yang paling banyak memasok barang ke Indonesia adalah Jepang (19,4 persen), AS (13,58 persen), dan Cina (9,8 persen). Justru itu, aneka produk negara-negara tersebut begitu bertebaran di pasar dalam negeri.

Negara-negara lain memang belum terlampau signifikan dalam memasok aneka produk mereka ke pasar domestik ini. Tapi itu tetap tak bisa dipandang enteng. Tengok saja produk mereka di pasar: sudah lumayan marak. Kita tak akan kesulitan mencari produk buatan India, Taiwan, Korea, Inggris, atau Swedia.

Anehnya, BPS sendiri selalu mencatat bahwa neraca perdagangan kita selama ini mampu menuai surplus. Artinya, nilai ekspor kita relatif lebih tinggi ketimbang impor. Tapi kemungkinan besar itu bias: karena aneka produk impor yang masuk melalui jalur ilegal (selundupan) tak pernah bisa dicatat. Sementara praktik penyelundupan itu sendiri, meski terbatas mencakup produk-produk tertentu, sudah terbilang serius.

Justru itu, kita sulit mengingkari bahwa sebenarnya pasar domestik kita sudah didominasi aneka produk impor -- entah resmi ataupun ilegal. Terlebih, itu tadi, data juga gamblang menunjukkan bahwa industri kita kini sudah tidak lagi mampu melakukan ekspansi.

Karena itu pula, ke depan ini perkembangan yang terjadi hampir pasti membuat kita harus lebih mengeluas dada: pasar domestik kita semakin serius dikangkangi aneka produk impor. Kita niscaya kian terkondisi hanya menjadi pasar, sementara kita sendiri semakin tersisih sebagai pelaku aktif.

Asumsi itu tak berlebihan. Pertama, karena kita belum melihat langkah konkret sebagai terobosan untuk menggairahkan iklim investasi di dalam negeri. Kalaupun keinginan atau wacana tentang itu dilontarkan pihak-pihak berwenang, implementasinya pasti tidak mudah -- dan karena itu membutuhkan waktu. Maklum karena terobosan tentang kebijakan investasi ini menuntut kerelaan banyak pihak untuk dipreteli peran atau kewenangannya.

Kedua, karena kita telanjur terikat oleh perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement). Yang sudah pasti saja, kita sudah tak mungkin mengelaki perdagangan bebas di kawasan ASEAN (AFTA) yang kini mulai bergulir. Beberapa tahun kemudian, kita juga harus konsekuen mengikuti perdagangan bebas dalam kerangka kerja sama ekonomi Asia-Pasifik (APEC). Lalu, kita juga terikat oleh kesepakatan-kesepakatan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Dalam berbagai kesepakatan atau perjanjian perdagangan bebas itu sendiri, kita telanjur kebablasan. Kita terlampau berani membuka pasar domestik kita, sementara infrastruktur ekonomi-bisnis di dalam negeri justru tidak siap. Tak heran kita pun lantas menjadi pasar yang gurih tanpa kita banyak terlibat aktif sebagai pelaku.***
Jakarta, 12 September 2003

19 September 2003

White Paper

Program kebijakan ekonomi pemerintah pasca-IMF -- tertuang dalam sebuah dokumen buku putih (white paper) yang awal pekan ini diumumkan pemerintah -- sungguh amat menentukan perkembangan kita ke depan. Seperti kata Menkeu Boediono, program tersebut amat diharapkan mampu mengisi kesenjangan kredibilitas pemerintah setelah kita tak lagi terikat kerja sama pemulihan ekonomi dengan IMF. Kesenjangan kredibilitas ini memang amat riskan karena bisa melahirkan guncangan-guncangan dalam kehidupan ekonomi nasional. Justru itu, perekonomian kita pun bukan tidak mungkin mengalami kemunduran.

Pemerintah mungkin sudah berupaya keras menyiapkan program kebijakan ekonomi pasca-IMF ini. Paling tidak, proses penyusunan dokumen white paper ini -- yang terkesan alot hingga melampaui tenggat yang dibuat pemerintah sendiri -- bisa kita tangkap sebagai indikasi tentang itu. Semula pemerintah menjanjikan mengumumkan penerbitan dokumen white paper ini pada 16 Agustus 2003 dalam sidang paripurna DPR. Tapi ternyata dokumen yang tertuanga dalam Inpres No 5/2003 itu baru bisa diluncurkan sebulan kemudian, yakni Senin lalu (15/9).

Program kebijakan ekonomi pemerintah pasca-IMF ini memiliki tiga sasaran pokok, yaitu memelihara dan memantapkan stabilitas ekonomi makro yang sudah dicapai, melanjutkan restrukturisasi dan reformasi sektor keuangan, serta meningkatkan investasi, ekspor, dan penciptaan lapangan kerja.
Bahwa ternyata paket program kebijakan ekonomi pasca-IMF ini tidak bisa memuaskan semua pihak, itu bisa kita maklumi. Kita sadari penuh bahwa bagaimanapun sebuah produk -- terlebih itu menyangkut kebijakan yang akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi nasional -- tak mungkin benar-benar sempurna bak kitab suci. Tergantung kepentingan dan sudut pandang yang kita gunakan: paket kebijakan ekonomi pasca-IMF ini pun bisa terlihat seperti loyang atau emas.

Namun kalau keluhan mengenai isi white paper ini dilontarkan pelaku usaha, tampaknya kita tak bisa diam begitu saja dan menganggap keluhan itu tak istimewa. Selaku pihak yang berkepentingan langsung, pandangan dunia usaha tentang program kebijakan ekonomi pasca-IMF mungkin bukan sekadar soal kacamata yang digunakan. Pandangan itu, agaknya, bukan cuma sebuah penilaian, tinjauan, atau telaah yang lebih kental bernuansa teroritis sebagaimana lazim dikemukakan kalangan pengamat. Pandangan itu justru lebih merupakan reaksi menyangkut aspirasi atau harapan obyektif yang kandas.

Dunia usaha memang amat berharap terhadap program kebijakan ekonomi pasca-IMF ini. Mungkin melebihi pihak mana pun, termasuk pemerintah sendiri, bagi mereka program itu harus menjadi jalan yang membuat kendaraan bisa melaju mulus.

Karena itu, keluhan dunia usaha mengenai isi white paper ini tak layak kita pandang sebagai semacam celotehan atau gerutuan. Sekali lagi, keluhan itu sepatutnya kita perlakukan sebagai cerminan bahwa aspirasi dan harapan obyektif dunia usaha tentang perjalanan panjang pasca-IMF ternyata kandas.

Sejauh yang kita tangkap lewat pemberitaan di media massa, dunia usaha nasional menilai isi white paper lebih menonjolkan aspek makro yang sebenarnya menjadi porsi Program Pembangunan Nasional (Propenas). Padahal seharusnya white paper justru merupakan penjabaran teknis atas Propenas.

Dalam bahasa lebih gamblang, di mata dunia usaha kita, program kebijakan ekonomi pasca-IMF sama sekali tak memuat terobosan yang menjamin masa depan ekonomi nasional benar-benar bergerak aman dan nyaman. Apa mau dikata karena langkah-langkah yang ingin diayunkan pemerintah sungguh tidak jelas dan normatif. Untuk meningkatkan investasi dan ekspor, misalnya, program pemerintah itu mereka nilai tak menjanjikan langkah fundamental, strategis, dan operasional.

Di sisi lain, dunia usaha kita juga tak terlampau yakin terhadap sikap konsekuen dan konsisten pemerintah dalam mengimplementasikan isi white paper ini. Bagi mereka, boleh jadi isi white paper kelak terbukti hanya menjadi tumpukan kertas yang tidak menorehkan manfaat sebagaimana harapan semula.

Memang, keraguan -- tentang apa pun dan dilontarkan oleh siapa pun -- hampir selalu berbau prasangka negatif. Tetapi menilik kecenderungan selama ini, keraguan dunia usaha nasional terhadap konsistensi atau kesungguhan pemerintah menerapkan isi white paper ini bukan tanpa alasan -- dan karena itu boleh jadi benar. Kita tahu, IMF pernah beberapa kali menunda pencairan pinjaman justru karena pemerintah tidak konsisten terhadap butir-butir program ekonomi yang tertuang dalam letter of intent (LoI).

Karena itu, pemerintah tak selayaknya menganggap angin lalu mengenai penilaian dan kekecewaan dunia usaha soal isi white paper ini. Pada tempatnya, aspirasi itu menjadi alasan bagi pemerintah untuk langkah perbaikan menyangkut konsep programnya sendiri maupun jaminan implementasi. Betapapun, sekali lagi, dunia usaha adalah pihak yang berkepentingan langsung terhadap program kebijakan ekonomi pasca-IMF ini -- dan karena itu pandangan mereka bisa lebih obyektif.***
Jakarta, 19 September 2003

16 September 2003

Daftar Hitam FATF

Proses amandemen UU No 15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang tampaknya bisa rampung sebelum Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering menggelar sidang pleno di Swedia, awal 3 Oktober 2003. Sidang tersebut bagi kita sungguh kritis karena antara lain membahas keseriusan kita membangun rezim antipencucian uang. Kalau saja sidang pleno FATF menilai positif hasil amandemen UU No 15/2002 ini, kita boleh berharap urung dikenai sanksi mematikan: aktivitas ekonomi bisnis kita dengan dunia internasional diisolasi.

Hasil pembahasan amandemen UU No 15/2002 itu sendiri tinggal menunggu keputusan sidang peripurna DPR, Selasa ini. Kita berkeyakinan bahwa forum tersebut tak bakal menjadi batu sandungan. Artinya, sidang pleno DPR hampir pasti menyetujui hasil pembahasan amandemen yang dilakukan Komisi II DPR bersama pemerintah yang diwakili Depkeh/HAM itu.

Secara garis besar, hasil pembahasan amandemen UU No 15/2002 ini mencatat sejumlah klausul mendasar yang bisa diharapkan membuat dunia internasional -- khususnya sidang pleno FATF -- tak lagi menilai kita tidak serius membangun rezim antipencucian uang. Sebut saja cakupan tentang pengertian penyedia jasa keuangan diperluas. Begitu juga klausul tentang pengertian transaksi keuangan yang mencurigakan. Sementara klausul tentang jumlah hasil tindak pidana tak lagi dibatasi.

Di sisi lain, klausul tentang cakupan tindak pidana itu sendiri diperluas. Sedangkan jangka waktu penyampaian laporan transaksi keuangan yang mencurigakan dipersingkat.

Hasil pembahasan amandemen UU No 15/2002 ini juga menambah ketentuan baru yang menjamin kerahasiaan penyusunan dan penyampaian laporan transaksi keuangan mencurigakan yang disampaikan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) atau penyidik. Kemudian ketentuan tentang kerja sama bantuan timbal balik di bidang hukum juga dipertegas.

Yang menarik, klausul denda minimum untuk tindak pidana pencucian uang ditetapkan Rp 100 juta, sedangkan maksimal Rp 15 miliar.

Melihat klausul-klausul seperti itu, tak beralasan lagi bagi FATF tetap menilai kita kurang serius dalam membangun rezim antipencucian uang ini. Justru itu, kita layak optimis bahwa sidang pleno FATF di Swedia pada awal Oktober ini urung menjatuhkan sanksi mematikan (counter measures) bagi kita. Hubungan perbankan nasional dengan bank-bank koresponden di mancanegara, misalnya, diputus total sehingga kita praktis terkucil dari komunitas ekonomi-bisnis dunia.

FATF memang berkepentingan agar berbagai negara mengadopsi semangat maupun aturan internasional yang mampu mencegah, mendeteksi, dan memberi sanksi terhadap segala tindak pencucian uang. Untuk itu, sidang pleno FATF akan mengkaji langkah-langkah nyata tiap negara dalam memerangi tindak pencucian uang ini. Lebih khusus lagi, FATF mengevaluasi kemajuan-kemajuan yang dilakukan sejumlah negara tertentu dalam mengatasi kelemahan peraturan dan kebijakan berkaitan dengan pembangunan rezim anti-money laundering.

Kita termasuk negara yang akan memperoleh evaluasi khusus itu. Maklum karena kita masuk daftar hitam negara tidak kooperatif (non-cooperative countries and territories/NCCTs) terhadap semangat dan aturan internasional memerangi tindak pencucian uang. Kita masuk daftar tersebut sejak tiga tahun lalu. Selama ini, FATF masih memberikan toleransi hingga kita tak terkena counter measures. Tapi jika dalam sidang pleno FATF mendatang ini kita masih saja dinilai tak serius membangun rezim antipencucian uang, toleransi itu sungguh tak bakal bisa kita nikmati lagi. FATF niscaya bertindak tegas menjatuhkan counter measures terhadap kita.

Karena itu, amandemen UU No 15/2002 -- notabene selama ini dinilai FATF masih banyak mengandung celah yang seolah memberi angin bagi tindak pencucian uang -- sungguh menentukan. Namun demikian, hasil amandemen itu sendiri boleh jadi tidak serta-merta membuat kita dikeluarkan dari daftar NCCTs.

Bercermin pada pengalaman beberapa negara, amat boleh jadi kita masih akan bercokol dalam daftar NCCTs. Dalam konteks ini, FATF sangat mungkin masih merasa perlu melihat langkah-langkah kita mengimplementasikan ketentuan perundangan tentang tindak pidana pencucian uang ini. Itu bisa berlangsung setengah tahun, setahun, atau mungkin lebih lama lagi -- tergantung hasil penilaian FATF sendiri.

Tetapi, memang, soal implementasi jauh lebih penting ketimbang aturan main. Terlebih, patut kita akui, dalam soal itu kita memang amat lemah. Kita acap membuat peraturan atau kebijakan yang begitu indah dan hebat. Namun pada tahap implementasi, peraturan itu menjadi sekadar omong kosong.

Karena itu, kemungkinan FATF tak serta-merta mencabut kita dari daftar NCCTs selepas kita mengamandemen UU No 15/2002 tak perlu membuat kita kehilangan semangat membangun rezim antipencucian uang. Bahkan sebaliknya, kemungkinan itu justru harus memacu kita lebih serius serta benar-benar konsisten dan konsekuen menerapkan UU No 15/2002 hasil amandemen. Dengan begitu, kita bisa berharap bahwa dalam tempo tak terlalu lama FATF mencabut kita dari daftar NCCTs.***
Jakarta, 16 September 2003

09 September 2003

Menyikapi Laporan Unctad

Laporan United Nations Conference on Trade and Development (Unctad) mengenai investasi dunia 2003 memang terasa menohok kita. Betapa tidak, karena laporan tersebut gamblang memerlihatkan bahwa daya saing kita dalam menarik investasi langsung oleh perusahaan asing (foreign direct investment) sungguh telah terpuruk habis. Menurut laporan itu, kinerja Indonesia dalam menarik investasi langsung oleh asing ini -- berdasar data selama periode 1999-2001 -- berada di posisi 138 dari 140 negara. Jadi, posisi kita adalah nomor 3 dari level terbawah dalam daftar negara yang dinilai Unctad. Posisi kita hanya lebih baik dibanding Gabon dan Suriname.

Meski terasa menohok, kenyataan itu mestinya menggugah kesadaran kita untuk segera berbenah dan memacu diri memoles iklim investasi kita menjadi menarik dan menggairahkan lagi. Bagaimanapun, investasi langsung sungguh teramat fundamental bagi kegiatan ekonomi kita sekarang ini di tengah tantangan mendesak yang kian terasa mencemaskan: angka pengangguran kian membengkak. Investasi langsung -- bukan investasi dalam fortofolio saham atau surat berharga -- adalah motor yang niscaya membuat ekonomi bergerak hingga mampu menyerap banyak tenaga kerja.

Tapi apa yang ditunjukkan pemerintah justru ibarat orang kebakaran jenggot. Menko Perekonomian, dalam kaitan ini, serta-merta sibuk membuat sanggahan bahwa laporan Unctad tadi kurang valid. Pertama, laporan itu menggunakan data periode 1999-2001 hingga tidak memberikan gambaran nyata kegiatan investasi di Indonesia hingga saat ini.

Kedua, laporan itu juga tidak mencakup investasi dalam portofolio saham ataupun surat berharga -- termasuk investasi asing melalui program privatisasi BUMN ataupun divestasi aset-aset di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Di samping itu, karena kealpaan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), investasi di sektor migas dan perbankan tak ikut masuk hitungan. Demikian juga investasi yang dilakukan oleh perusahaan asing melalui laba yang ditahan (retained earning) maupun investasi yang tak memerlukan perizinan baru.

Dengan itu semua, pemerintah terkesan berupaya meyakinkan publik bahwa laporan Unctad tadi keliru atau bahkan menyesatkan. Dengan kata lain, bagi pemerintah, gambaran investasi di Indonesia sebenarnya tak seburuk laporan Unctad. Di mata pemerintah, secara keseluruhan iklim investasi di Indonesia relatif masih baik -- antara lain karena investasi dalam fortofolio saham dan surat berharga tetap mengesankan, atau bahkan kini menunjukkan grafik yang cenderung terus menanjak.

Kita mengakui bahwa -- karena kelemahan sistem pencatatan di BKPM selama ini -- data investasi kita tidak lengkap. Karena itu, kita juga tidak mengingkari bahwa laporan Unctad tadi tidak mencerminkan gambaran sebenarnya kegiatan investasi di negeri kita.

Tetapi, bagaimanapun, laporan Unctad tetap tidak menutupi kenyataan yang sudah demikian kasat mata: daya saing investasi langsung di negeri kita sudah terpuruk jauh. Jangankan di tingkat realisasi proyek, bahkan baru sekadar di tahap persetujuan pun, gambaran kegiatan di negeri kita sungguh buram. Sejak beberapa tahun terakhir, angka persetujuan maupun realisasi investasi di negeri kita cenderung terus memburuk.

Pada tahun lalu, misalnya, nilai bersih investasi langsung oleh asing di Indonesia tercatat minus 0,8 miliar dolar AS. Artinya, devisa yang ditaburkan investor asing di berbagai proyek di negeri kita lebih sedikit dibanding devisa yang dikirimkan jajaran PMA ke luar negeri dalam rangka pembayaran kembali pokok pinjaman (debt repayment) mereka kepada perusahaan induk di mancanegara.

Dengan kenyataan serupa itu pula, dibanding negara-negara lain, daya saing iklim investasi kita sudah jeblok. Bahkan dibanding sejumlah negara yang satu dekade lalu masih merupakan "anak bawang" dalam peta kegiatan investasi internasional ini -- seperti Vietnam atau bahkan Kamboja --, kinerja investasi kita kini sudah bukan apa-apa lagi. Kita sudah kalah. Kepercayaan dan gairah asing menanam investasi langsung di negeri kita sudah nyaris luntur.

Dalam konteks itu, kita tak bisa menghibur diri oleh angka-angka investasi dalam fortofolio saham dan surat berharga. Kita tahu, di samping tidak memiliki dampak langsung terhadap kegiatan ekonomi sektor riil -- notabene, sekali lagi, amat membantu mengatasi masalah pengangguran -- volatilitas investasi dalam fortofolio ini juga amat tinggi. Berbeda dengan investasi langsung, dana investasi dalam bentuk fortofilio amat mudah ditarik atau dipindahkan seketika.

Dengan kata lain, angka investasi dalam fortofolio saham dan surat berharga cenderung semu -- dan karena itu bisa mengecoh. Justru itu, angka mengesankan tentang investasi dalam fortofolio ini tak selayaknya menjadi ukuran bahwa iklim investasi kita sudah benar-benar oke.

Itu berarti, laporan Unctad tadi tak sepatutnya membuat kita bak orang kebakaran jenggot. Laporan tersebut justru amat beralasan kita tanggapi serius sebagai pijakan untuk melakukan pembenahan mendasar terhadap iklim investasi langsung, terutama oleh asing, di negeri kita.***
Jakarta. 9 September 2003

02 September 2003

Moral Aparat Pajak

Menuntut tax ratio mencapai level relatif tinggi -- katakan saja 20 persen sebagaimana di negara-negara tetangga -- memang sah-sah saja. Bahkan dalam konteks negara modern, tuntutan itu sungguh logis: karena tax ratio merupakan tolok ukur atau cerminan tentang partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan negara. Makin tinggi tax ratio, berarti makin tinggi pula partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan negara.

Tetapi tuntutan itu menjadi terasa tidak adil kalau berbagai peluang yang memungkinkan penerimaan pajak bisa meningkat drastis justru tak bisa disentuh. Nalar kita langsung terusik: bagaimana mungkin tax ratio bisa meningkat signifikan kalau banyak potensi penerimaan pajak tak bisa digali karena memang akses untuk itu tertutup rapat.

Dirjen Pajak Hadi Purnomo sendiri membeberkan bahwa paling tidak terdapat tujuh akses yang sekarang ini tak bisa ditembus ketentuan perpajakan ini. Dia menyebut bahwa akses yang kini tak bisa ditembus itu, antara lain, pemilik deposito, pemegang kartu kredit, juga penerima kredit perbankan. Aparat pajak tak bisa berbuat apa-apa menghadapi kenyataan bahwa kewajiban pajak orang-orang terkait dengan pemilikan kartu kredit atau deposito -- juga tabungan dan giro -- sekarang ini masih banyak lolos. Apa boleh buat karena ketentuan UU Perbankan tak membukakan akses bagi aparat pajak untuk menggali potensi pajak yang tercecer itu.

Entah berapa besar nilai potensi pajak yang tercecer atau bahkan tak tersentuh ini. Yang pasti, Hadi menyebutkan bahwa kalau saja ketujuh akses tadi bisa ditembus, dana puluhan triliun rupiah bisa dijala sebagai penerimaan pajak.

Peluang seperti itu jelas sungguh amat berarti -- terlebih di tengah prognosa bahwa penerimaan pajak tahun ini menurun akibat kondisi makro yang tak kondusif bagi pemungutan pajak. Dengan bisa menembus akses-akses yang selama ini tertutup rapat, tax ratio pun pasti terdongkrak. Di satu sisi, itu membuat penerimaan pajak jadi jauh lebih besar ketimbang rata-rata selama ini dengan angka tax ratio yang hanya 13-an persen. Di sisi lain, peningkatan tax ratio juga membuat perpajakan jadi lebih kuat mengemban fungsi keadilan.

Karena itu, kita mendukung pendirian mengenai perlunya akses-akses yang selama ini tertutup bagi perpajakan ini dibuka. Klausul kerahasiaan bank yang termuat dalam UU Perbankan, misalnya, amat beralasan dihapuskan. Patut kita akui, klausul tersebut selama ini membuat begitu banyak potensi pajak tak bisa digali.

Memang, penghapusan klausul kerahasiaan bank ini mungkin menjadi disinsentif bagi industri perbankan nasional. Boleh jadi, itu membuat orang menjadi enggan menaruh dana di bank -- karena setiap saat identitas diri ataupun data tentang simpanan kita di bank bisa diobok-obok pihak-pihak berwenang yang memiliki kepentingan.

Tapi, agaknya, keengganan itu tak bakal berlangsung lama. Jika sudah tak ada pilihan lain, lambat-laun mungkin kita bisa menerima kenyataan bahwa industri perbankan kita tak lagi menjamin kerahasiaan nasabah. Terlebih jika dikaitkan dengan tuntutan atau bahkan tekanan dunia internasional mengenai praktik pencucian uang (money laundering), tampaknya kita harus menyadari bahwa klausul kerahasiaan bank sekarang ini kian usang dan tak lagi bisa absolut.

Dalam konteks itu pula, kita menghargai kesepakatan pemerintah dan DPR melakukan kajian mengenai penghapusan klausul kerahasiaan bank dalam UU Perbankan ini. Mudah-mudahan langkah tersebut tak memakan waktu terlalu lama -- meski di lain pihak kita juga menyadari bahwa DPR maupun pemerintah memiliki banyak agenda lain yang sudah mendesak diselesaikan. Kita perlu menekankan bahwa di tengah tuntutan agar tax ratio naik signifikan, amandemen UU Perbankan -- antara lain -- serta-merta menjadi kebutuhan tak terhindarkan.

Selain pembukaan akses-akses yang selama ini tertutup rapat, peningkatan tax ratio juga menuntut prasyarat lain: pembenahan sikap-tindak jajaran aparat pajak sendiri. Tanpa itu, pembukaan akses-akses yang selama ini tertutup hanya akan menjadi lahan subur bagi oknum-oknum aparat pajak untuk memperkaya diri sendiri. Justru itu, penerimaan pajak pun tetap tak optimal sesuai potensi nyata yang seharusnya bisa digali.

Sejauh ini, sikap-tindak jajaran aparat pajak memang masih banyak mengundang keluhan. Tak kurang dari Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) yang merasa perlu menggarisbawahi soal ini. Menurut IKPI, banyak oknum perpajakan yang belum menghayati tugas mewujudkan kemakmuran serta kemajuan bangsa, negara, dan rakyat Indonesia melalui pungutan pajak. Perbuatan oknum aparat pajak yang nyata-nyata mengingkari tuntutan bagi mereka sebagai abdi negara ini bukan sekadar terus berlanjut, melainkan justru kian meraja-lela.

Ironinya, jajaran pimpinan Ditjen Pajak sendiri belum terlihat menunjukkan kesungguhan melakukan langkah-langkah taktis, strategis, nyata, konsekuen, dan konsisten menertibkan berbagai penyimpanan oleh oknum-oknum aparat pajak ini.***

Jakarta, 2 September 2003