28 Oktober 2013

Nasionalisasi Migas?

Perpanjangan kontrak pihak asing atas pengelolaan blok-blok migas yang habis masa bisa bermakna pengulangan kesalahan sejarah -- dan karena itu mestinya tidak boleh terjadi. Pertama, karena kontak pihak asing selama ini atas blok-blok migas jelas mengabaikan konstitusi yang tandas mengamanatkan bahwa sumber daya ekonomi yang menguasai hajat hidup orang banyak wajib dikuasai negara.

Kedua, karena pengelolaan blok-blok migas oleh pihak asing juga terbukti relatif tidak menyejahterakan rakyat. Pihak yang diuntungkan hanya sedikit kelompok. Itulah para pemburu rente. Sementara rakyat kebanyakan sedikit sekali bisa menikmati manfaat ekonomi sumber daya migas ini. Buktinya, tingkat kemiskinan masih saja relatif tinggi.

Padahal alasan untuk menyejahterakan rakyat ini yang dulu di awal Orde Baru melandasi kebijakan pemerintah memberikan kontrak pengelolaan blok-blok migas kepada pihak asing, di samping alasan bahwa saat itu kita belum sanggup secara ekonomi maupun teknis.

Kini, perusahaan-perusahaan nasional -- entah BUMN ataupun swasta -- boleh diandalkan dalam mengelola lapangan migas ini. Mereka memiliki kemampuan teknis-teknologis maupun ekonomis. Itu sudah mereka tunjukkan dalam mengelola sejumlah lapangan migas di dalam negeri atau bahkan di mancanegara.

Dalam konteks itu, mereka jelas bersaing dengan perusahaan perusahaan pertambangan milik raksasa kelas dunia seperti Total (Prancis), British Petroleum dan Shell (Inggris), juga Chevron dan ExxonMobil (Amerika Serikat).

Karena itu, sungguh naif jika kontrak pihak asing atas blok-blok migas yang habis masa malah diperpanjang. Dalih bahwa perusahaan-perusahaan nasional tidak meyakinkan dalam kemampuan ekonomi maupun penguasaan aspek teknis-teknologis
untuk mengambil-alih pengelolaan blok-blok migas itu amat mengada-ada. Dalih itu lebih terasa sekadar pembenaran alias justifikasi atas sikap proasing.

Begitu pula alasan bahwa potensi migas di blok-blok yang habis masa kontrak itu relatif tinggal sedikit, sehingga kegiatan ekploitasi pun cenderung tidak efisien, juga patut diragukan. Bahkan alasan tersebut tidak masuk akal dengan kenyataan bahwa pihak asing sendiri begitu gigih untuk bisa memperoleh perpanjangan kontrak.

Jadi, sudah saatnya perusahaan-perusahaan nasional diberi kepercayaan melanjutkan pengelolaan blok-blok migas habis masa kontrak yang selama dikangkangi asing. Sekali lagi, kesanggupan mereka untuk itu relatif sudah bisa diandalkan.
Ini sekaligus juga menjadi landasan untuk mengoreksi kekeliruan sejarah: pengelolaan lapangan migas tidak mengindahkan amanat konstitusi.

Dalam konteks itu, semangat nasionalisasi industri migas di Bolivia dan Venezuela bisa menjadi rujukan. Bukan saja nasionalisasi itu berlangsung relatif lancar dan aman, melainkan terutama nyata-nyata berdampak menyejahterakan rakyat.

Mungkin nasionalisasi industri migas ala Bolivia dan Venezuela tak bisa begitu saja kita tiru. Secara politis, langkah seperti kedua negara itu amat resisten mengundang tekanan negara-negara maju yang menjadi asal perusahaan-perusahaan asing pemegang kontrak blok-blok migas di negeri kita. Bagaimanapun, negara-negara itu jelas tak akan diam seribu bahasa jika kita melakukan nasionalisasi industri migas ala Bolivia dan Venezuela. Sementara posisi tawar kita sendiri dalam berhadapan dengan mereka, patutb diakui, relatif lemah.

Jadi, nasionalisasi industri migas ala Bolivia dan Venezuela berisiko merepotkan dalam konteks global. Karena itu, tampaknya langkah paling mungkin dan relatif aman adalah tidak memperpanjang berbagai kontrak perusahaan asing atas blok migas yang sudah habis masa -- dan menyerahkan kelanjutan pengelolaan blok-blok itu kepada perusahaan nasional.***

Jakarta, 28 Oktober 2013

23 Oktober 2013

Kisruh Daftar Pemilih


Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunda selama dua pekan penetapan daftar pemilih tetap (DPT) untuk Pemilu 2014, kemarin, bukan jaminan bahwa masalah data pemilih yang tidak akurat bisa diselesaikan dengan baik. Parpol-parpol peserta pemilu, terutama, boleh jadi pada saatnya tetap tidak puas -- karena DPT yang dua pekan mendatang ditetapkan KPU masih saja bermasalah.

Patut diakui, KPU sulit diharapkan mampu memberesi data pemilih hingga benar-benar clean and clear. Pekerjaan tersebut sungguh sulit dan berat -- saking banyak dan ruwetnya data yang harus dibenahi. Terlebih lagi waktu yang tersedia untuk itu cuma dua pekan, sementara organ KPU sendiri tidak sampai menyentuh hingga ke desa dan kelurahan sebagai tingkat paling bawah.

Jadi, bagi KPU, memberesi data pemilih hingga menjadi benar-benar clean and clear -- sehingga tidak mengundang kisruh lagi -- adalah pekerjaan yang sungguh musykil. Bahkan boleh dikatakan, itu adalah mission imposible.

Karena itu, keputusan KPU menunda penetapan DPT lebih merupakan wujud kesantunan. Yaitu bahwa KPU mengindahkan atau mengakomodasi keluhan alias komplen sejumlah kalangan -- terutama parpol dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) -- soal data pemilih yang tidak akurat. Boleh jadi, KPU tidak ingin terkesankan menutup mata dan telinga atas berbagai komplen, kritik, maupun desakan banyak pihak mengenai data pemilih ini.

Soal ketidakakuratan data pemilih sendiri memang sulit dihindari. Boleh dikatakan itu merupakan kesalahan bersama berbagai pihak: ya KPU, Bawaslu, jajaran parpol peserta pemilu, juga masyarakat pemilih. KPU, antara lain, kurang intensif melakukan sosialisasi soal daftar pemilih sementara (DPS) sehingga calon pemilih tidak tergerak mengecek data ke desa atau kelurahan untuk memastikan bahwa nama mereka sudah terdaftar sebagai pemilih.

Dalam konteks itu pula, Bawaslu juga ikut bertanggung jawab. Mestinya Bawaslu sejak awal menyemprit KPU karena tidak intensif menyosialisasikan DPS. Bawaslu juga mestinya sejak jauh hari menegur KPU jika benar institusi tersebut tidak beres dalam melakukan penghitungan daftar pemilih dari tingkat kabupaten dan kota.

Di lain pihak, jajaran parpol peserta pemilu sendiri tak terkecuali ikut bersalah atas daftar pemilih yang bermasalah ini. Boleh jadi akibat tidak memiliki kader hingga ke lapisan paling bawah, mereka nyaris tidak turun ke lapangan -- hingga tingkat desa/kelurahan -- untuk mengecek atau memverifikasi data pemilih.

Jadi, soal data pemilih yang tidak akurat ini sebenarnya adalah produk kesalahan bersama. Justru itu, seharusnya masing-masing pihak tak perlu saling menyalahkan -- terlebih seolah data yang tidak akurat melulu tanggung jawab KPU.

Selebihnya, masing-masing pihak -- terutama jajaran parpol peserta pemilu -- justru harus berjiwa besar menerima kenyataan bahwa Pemilu 2014 pun hampir pasti seperti pemilu yang lalu: tetap memiliki cacat bawaan berupa data pemilih yang tidak akurat. Itu tadi, karena KPU hampir mustahil mampu memberesi data pemilih menjadi benar-benar clean and clear hanya dalam tempo dua pekan.

Ibarat bisul di bokong, data pemilih yang tidak akurat ini memang mencederai pelaksanaan pemilu sebagai perhelatan demokrasi lima tahunan yang mestinya tergelar bersih, lancar, dan fair. Tetapi semoga saja kelemahan tersebut tidak dimanfaatkan pihak tertentu sebagai celah untuk bisa memenangi pemilu secara curang dan culas. Semoga!***

Jakarta, 23 Oktober 2013

22 Oktober 2013

Kapolri Baru


Sidang paripurna DPR kemarin menyetujui Komjen Pol Sutarman menjadi Kapolri, menggantikan pejabat lama Jenderal Pol Timur Pradopo yang segera memasuki masa pensiun. Sutarman dianggap DPR memenuhi syarat kualitatif untuk memimpin korps Bhayangkara selama beberapa tahun ke depan.

Meski begitu, Sutarman tak bisa dikatakan merupakan figur terbaik untuk mengisi kursi orang nomor satu di institusi kepolisian ini. Maklum, karena Sutarman adalah satu-satunya calon yang diajukan Presiden ke DPR. Karena merupakan calon tunggal, maka kapasitas dan kapabilitas Sutarman sebagai orang yang akan mengemban tugas memimpin Polri tak bisa diperbandingan dengan figur lain.

Walhasil, Sutarman lebih merupakan figur (calon) Kapolri pilihan Presiden -- dan mendapat restu DPR. Karena itu pula, dalam proses uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR, netralitas Sutarman dalam memimpin institusi Polri sempat dipertanyakan.

Sebagian anggota Komisi III mengkhawatirkan Sutarman kelak membawa institusi Polri menjadi alat kepentingan penguasa, terutama dalam konteks perhelatan politik berupa Pemilu 2014. Terlebih lagi Sutarman dinilai sebagai pribadi yang loyal kepada atasan, sementara secara struktural institusi Polri sendiri berada di bawah Presiden.

Tetapi sikap-tindak objektif Polri bukan cuma harus ditujukan dalam konteks politik, khususnya pemilu. Polri juga dituntut objektif dalam segala urusan. Kasus pengepungan kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam upaya menangkap seorang penyidik bernama Novel Baswedan, misalnya, tak boleh terjadi lagi.

Upaya penangkapan Novel Baswedan salah satu kasus yang terlampau terang-benderang untuk dikatakan objektif -- karena Novel Baswedan adalah penyidik KPK yang menangani kasus korupsi yang melibatkan seorang petinggi Polri, yaitu Irjen Pol Djoko Susilo.

Di sisi lain, Sutarman juga sangat diharapkan mampu menyulap Polri menjadi institusi yang bersih dan transparan. Ini tantangan serius karena publik telanjur menganggap Polri sebagai salah satu institusi korup. Hasil survei yang baru-baru ini digelar KPK, misalnya, tegas menunjukkan anggapan itu.

Di mata publik, Polri memang telanjur dipandang sarat praktik beraroma korupsi. Kasus korupsi dalam proyek pengadaan simulator mengemudi di lingkungan Korps Lalu Lintas, yang melibatkan Irjen Djoko Susilo sebagai tokoh utama -- atau kasus rekening super gendut milik Aiptu Labora Sitorus -- tak pelak menjadi pembenaran atas pandangan itu.

Jadi, intinya, Sutarman mutlak harus mampu mengubah kinerja kepolisian menjadi benar-benar profesional. Untuk itu, prinsip-prinsip kerja profesional harus diterapkan secara terukur dan akuntabel. Dengan demikian, citra buruk Polri sebagai sarang korupsi dan sarat rekayasa bisa diharapkan perlahan-lahan pupus.

Dengan menerapkan prinsip kerja profesional pula, Sutarman dimungkinkan mampu memulihkan rasa aman di masyarakat. Patut disadari, rasa aman masyarakat sekarang ini telanjur terkoyak, menyusul berbagai kasus kriminalitas yang bahkan menelan korban aparat kepolisian sendiri.

Semua itu jelas bukan pekerjaan mudah. Tetapi Sutarman tak punya pilihan lain kecuali membuktikan diri bahwa dia bukan sekadar figur pilihan Presiden dan mendapat restu DPR, melainkan juga figur terbaik untuk menduduki kursi Kapolri ke depan ini.***

Jakarta, 22 Oktober 2013

21 Oktober 2013

Berharap Termehek-mehek


Tuntutan penjara 17 tahun plus 6 bulan membuat Ahmad Fathanah -- terdakwa kasus korupsi dan pencucian uang terkait impor daging sapi -- terkaget-kaget. Reaksi seperti itu wajar, karena bagaimanapun 17 tahun 6 bulan bukan rentang waktu pendek. Belum lagi Fathanah juga dituntut membayar denda dalam jumlah yang relatif besar pula.

Tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu sendiri bersifat kumulatif atas dua dakwaan. Untuk dakwaan korupsi, Fathanah dituntut 7 tahun 6 bulan penjara plus denda Rp 500 juta subsider 6 bulan penjara. Lalu untuk dakwaan tindak pencucian uang, tuntutan jaksa adalah 10 tahun penjara plus denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun 6 bulan kurungan.

Jadi, tuntutan hukuman terhadap Fathanah ini tak bisa dikatakan ringan. Karena itu, jaksa penuntut layak diberi apresiasi. Tuntutan jaksa sudah cukup mewakili rasa keadilan publik.

Jaksa menilai Fathanah terbukti menerima uang senilai total Rp 1,3 miliar dari Dirut PT Indoguna Utama, Maria Elizabeth Liman. Uang tersebut adalah bagian imbalan dari total keseluruhan yang dijanjikan PT Indoguna untuk pengurusan surat persetujuan kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian.

Namun, menjadi pertanyaan besar: mungkinkah vonis yang kelak dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang mengadili Fathanah ini juga bisa mewakili rasa keadilan di masyarakat? Mungkinkah putusan hakim sama berat dibanding tuntutan jaksa?

Pertanyaan itu mengemuka, karena selama ini sejumlah kasus menunjukkan bahwa vonis yang dijatuhkan hakim terhadap terdakwa koruptor justru lembek bin ringan sehingga mencederai rasa keadilan di masyarakat. Tentang itu, sebut saja vonis Pengadilan Tipikor Jakarta terhadap Irjen Pol Djoko Susilo selaku terpidana kasus korupsi pengadaan simulator alat mengemudi yang merugikan negara senilai Rp 121 miliar. Vonis 10 tahun penjara yang diputuskan hakim jauh di bawah tuntutan jaksa: kurungan selama 18 tahun.

Dalam praktik, hukuman yang dijalani terpidana koprupsi bahkan bisa lebih ringan lagi berkat diskon berupa remisi-remisi yang lazim diberikan pemerintah. Remisi diberikan setiap kali menyambut momen tertentu, seperti peringatan hari kemerdekaan RI tiap 17 Agustus atau hari besar keagamaan seperti Lebaran.

Jadi, becermin terhadap rentetan vonis untuk koruptor yang sama sekali tidak menimbulkan efek jera, wajar jika publik pun serta-merta bertanya-tanya tentang hukuman yang kelak dijatuhkan hakim terhadap Fathanah. Tentu, publik sangat berharap Fathanah diganjar hukuman berat -- minimal sesuai tuntutan jaksa.

Bagi publik, koruptor memang harus dihukum berat karena tindakan mereka nyata-nyata merampok hak ekonomi dan hak sosial masyarakat. Terlebih lagi praktik korupsi di negeri kita telanjur merajalela. Tanpa hukuman berat, praktik korupsi sulit diharapkan bisa surut.

Walhasil, sanksi hukum terhadap terdakwa kasus-kasus korupsi ini harus menimbulkan efek jera. Tuntutan jaksa ataupun vonis hakim tak boleh bersifat lembek. Bukan saja sanksi penjara harus maksimal, tetapi juga jika memungkinkan koruptor dimiskinkan pula lewat hukuman denda dan penyitaan harta kekayaan hasil korupsi.

Kalau saja hukuman seperti itu kelak dialami Fathanah, tentu dia bukan lagi sekadar terkaget-kaget. Boleh jadi, dia -- juga keluarganya -- termehek-mehek alias merana seumur-umur. ***

Jakarta, 21 Oktober 2013

17 Oktober 2013

Semangat Hari Pangan


Peringatan Hari Pangan Sedunia, kemarin, mestinya menjadi tonggak untuk mengevaluasi sistem ketahanan pangan nasional. Terlebih Hari Pangan 2013 mengusung tema "Sistem Pangan Berkelanjutan untuk Ketahanan Pangan dan Gizi".

Sistem ketahanan pangan nasional perlu dievaluasi karena sekarang ini begitu gamblang keropos. Harga beberapa komoditas pangan silih berganti mengalami krisis. Nyaris berurutan, mulai gula pasir, cabai merah, tepung teribu, bawang merah dan bawang putih, daging sapi, juga kacang kedelai gonjang-ganjing bergejolak. Pasokan mendadak menyusut drastis sehingga harga komoditas-komoditas tersebut melejit menyentuh langit.

Krisis itu sendiri tidak selalu bisa dijelaskan menurut perspektif ekonomi. Harga daging sapi, misalnya, tetap menjulang tinggi meski pasokan sudah digenjot lewat kegiatan impor. Begitu juga lonjakan harga kacang kedelai -- komoditas yang sangat bergantung kepada impor -- ternyata tak berbanding lurus dengan depresiasi rupiah. Kenaikan harga kedelai jauh lebih tinggi dibanding rata-rata pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dalam setahun terakhir.

Kenyataan itu merupakan petunjuk bahwa sistem ketahanan pangan kita tidak beres. Sistem tersebut tidak menjamin pasokan atau ketersediaan pangan bisa senantiasa terjaga aman. Di sisi lain, sistem itu juga masih tak mampu menangkal fenomena gizi buruk di lapisan bawah masyarakat.

Dalam perpektif produksi, sistem ketahanan pangan kita bukan cuma keteteran dalam memenuhi kebutuhan konsumsi, melainkan juga kurang mengindahkan asas keberlanjutan akibat penggunaan pupuk kimia yang begitu jor-joran. Sistem abai atau bahkan tutup mata terhadap cara produksi yang nyaris tak menghiraukan lagi aturan dalam penggunaan zat-zat hara kimiawi ini.

Sistem juga absen dalam menjaga kelangsungan ekosistem, sehingga -- seperti dalam kasus pembangunan perkebunan kelapa sawit -- berjuta hektar hamparan lahan di banyak lokasi menjadi bersifat monokultur. Padahal, berbagai buku teks sejak lama sudah mengingatkan, tanaman monokultur sangat berisiko: menurunkan kualitas lahan, memicu erosi, juga rentan terhadap serangan hama dan penyakit tanaman. 

Hari Pangan sendiri tahun ini membawa pesan sangat menyentuh: rakyat sehat tergantung sistem pangan yang sehat. Justru itu, sistem ketahanan pangan nasional harus dievaluasi atau tepatnya dikoreksi -- karena tidak menjamin sistem pangan yang sehat.

Untuk itu, di sisi produksi, berbagai kemandirian pangan -- melalui program swasembada -- harus benar-benar bisa ditegakkan. Dalam konteks ini, program swasembada jangan lagi ibarat pepesan kosong. Swasembada pangan harus dilaksanakan secara terpadu, terarah, dan terukur -- menurut dimensi waktu maupun satuan produksi -- serta mengusung asas manfaat yang sehat dan berkelanjutan.

Dalam konteks itu, bias-bias kepentingan -- entah sektoral maupun komunal -- harus disingkirkan. Kegiatan impor, misalnya, lebih diperlakukan sebagai kegiatan sementara -- untuk menjamin ketersediaan dan keterjangkauan pangan bagi rakyat tanpa merugikan petani lokal -- sampai swasembada pangan bisa ditegakkan. Impor komoditas pangan jangan seolah untuk melanggengkan kepentingan pengusaha maupun oknum pejabat pemerintahan lewat praktik patgulipat menangguk rente secara tidak fair.

Untuk itu semua, kemauan politik pemerintah selaku motor pembangunan menjadi keniscayaan. Tanpa itu, peringatan Hari Pangan tak menorehkan makna apa-apa kecuali sekadar seremoni tahunan.***

Jakarta, 17 Oktober 2013