Menjelang
berakhirnya kontrak PT Total E&P Indonesia (korporasi asing asal Prancis)
dalam pengelolaan ladang migas Blok Mahakam di Kaltim, yang jatuh tempo pada
tahun 2017, sebuah tantangan besar mengemuka. Tantangan tersebut adalah
bagaimana penguasaan ladang terbesar migas di dalam negeri itu kelak bisa
beralih ke tangan perusahaan nasional.
Disebut tantangan
besar, karena penguasaan atas Blok Mahakam ini adalah soal nasionalisme.
Penguasaan Blok Mahakam oleh perusahaan nasional bisa menjadi simbol kembalinya
kedaulatan Indonesia atas sumber daya alam. Dengan cadangan tersisa
diperkirakan sebanyak 5,8 triliun kaki kubik gas plus 185 juta barel minyak,
bagaimanapun Blok Mahakam terlampau strategis bila tetap dikuasai perusahaan
asing.
Selain itu,
penguasaan atas Blok Mahakam juga bisa menjadi wujud pembuktian bahwa
perusahaan nasional pun sanggup mengelola ladang migas kelas jumbo. Bahwa
perusahaan nasional tak bisa lagi dipandang remeh menyangkut kemampuan teknis
maupun ekonomi dalam mengelola ladang migas ini.
Karena itu,
pemerintah wajib memiliki misi dan target yang jelas mengenai pengelolaan Blok
Mahakam ini usai berakhirnya kontrak Total pada tahun 2017. Pemerintah tak
boleh menafikan kemungkinan bagi perusahaan nasional menjadi penguasa baru
ladang migas tersebut.
Dengan kata lain,
pemerintah harus bisa memastikan bahwa kelak kontrak ladang migas itu dapat
berlanjut di tangan perusahaan nasional. Bahwa keterlibatan perusahaan nasional
dalam pengelolaan Blok Mahakam kelak bukan sekadar pelengkap atau penggembira,
melainkan sangat strategis: pengendali.
Untuk itu,
pemerintah harus memiliki kepercayaan diri tinggi. Pemerintah tak boleh begitu
saja terpengaruh atau apalagi ngeper oleh manuver pihak asing yang memberi
gambaran seolah-olah pengelolaan Blok Mahakam sekarang ini sangat berisiko:
produksi merosot signifikan dan tidak efisien, butuh investasi lanjutan super
jumbo, juga menuntut teknologi kelas wahid dan paling anyar.
Info semacam itu
boleh jadi menyesatkan. Paling tidak, info
itu bisa saja mengandung motif mereduksi peluang pihak lain, wabil
khusus perusahaan nasional, untuk menjadi penerus Total di Blok Mahakam.
Bukankah manuver apa saja bisa dilakukan orang -- termasuk merekayasa data dan
laporan -- semata untuk memenangi persaingan di dunia bisnis?
Masa empat tahun
ke depan, yang menjadi tenggat berakhirnya kontrak Total atas Blok Mahakam,
memang relatif tak lama. Meski begitu, masa empat tahun masih memadai bagi
pemerintah untuk mengkaji secara mendalam bahwa Blok Mahakam tetap prospektif
-- dalam arti diyakini mampu memberi kontribusi besar kepada pendapatan negara
-- jika dikuasai dan dikelola perusahaan nasional.
Masa empat tahun
juga relatif cukup untuk mempersiapkan perusahaan nasional agar benar-benar
siap dan memiliki kemampuan mumpuni sebagai pengganti Total di Blok Mahakam --
secara teknis-teknologis maupun permodalan. Adalah naif sekaligus menyesakkan
jika kelak Blok Mahakam bernasib seperti Blok Cepu di Jatim: tetap dikuasai asing
dengan alasan tak satu pun perusahaan nasional yang bisa diandalkan untuk itu.
Bagaimanapun,
ironi penentuan pengelola Blok Cepu, beberapa tahun lalu, tak boleh terulang
dalam kelanjutan kontrak Blok Mahakam sekarang ini. Cukup Blok Cepu yang
akhirnya kembali jatuh ke pangkuan korporasi asing.
Pengelolaan
ladang migas memang bukan masalah ecek-ecek, sehingga tak bisa sembarangan
perusahaan diberi kepercayaan. Terlebih untuk ladang migas sekelas Blok
Mahakam.
Meski begitu,
dengan komitmen keberpihakan berbingkai nasionalisme, plus dukungan total
pemerintah berdasarkan parameter-parameter terukur dan objektif, perusahaan
nasional mestinya bisa diandalkan menjadi penerus Total di ladang migas itu.***
Jakarta, 10 Maret
2013