10 Maret 2013

Penerus di Blok Mahakam


Menjelang berakhirnya kontrak PT Total E&P Indonesia (korporasi asing asal Prancis) dalam pengelolaan ladang migas Blok Mahakam di Kaltim, yang jatuh tempo pada tahun 2017, sebuah tantangan besar mengemuka. Tantangan tersebut adalah bagaimana penguasaan ladang terbesar migas di dalam negeri itu kelak bisa beralih ke tangan perusahaan nasional.

Disebut tantangan besar, karena penguasaan atas Blok Mahakam ini adalah soal nasionalisme. Penguasaan Blok Mahakam oleh perusahaan nasional bisa menjadi simbol kembalinya kedaulatan Indonesia atas sumber daya alam. Dengan cadangan tersisa diperkirakan sebanyak 5,8 triliun kaki kubik gas plus 185 juta barel minyak, bagaimanapun Blok Mahakam terlampau strategis bila tetap dikuasai perusahaan asing.

Selain itu, penguasaan atas Blok Mahakam juga bisa menjadi wujud pembuktian bahwa perusahaan nasional pun sanggup mengelola ladang migas kelas jumbo. Bahwa perusahaan nasional tak bisa lagi dipandang remeh menyangkut kemampuan teknis maupun ekonomi dalam mengelola ladang migas ini.

Karena itu, pemerintah wajib memiliki misi dan target yang jelas mengenai pengelolaan Blok Mahakam ini usai berakhirnya kontrak Total pada tahun 2017. Pemerintah tak boleh menafikan kemungkinan bagi perusahaan nasional menjadi penguasa baru ladang migas tersebut.

Dengan kata lain, pemerintah harus bisa memastikan bahwa kelak kontrak ladang migas itu dapat berlanjut di tangan perusahaan nasional. Bahwa keterlibatan perusahaan nasional dalam pengelolaan Blok Mahakam kelak bukan sekadar pelengkap atau penggembira, melainkan sangat strategis: pengendali.

Untuk itu, pemerintah harus memiliki kepercayaan diri tinggi. Pemerintah tak boleh begitu saja terpengaruh atau apalagi ngeper oleh manuver pihak asing yang memberi gambaran seolah-olah pengelolaan Blok Mahakam sekarang ini sangat berisiko: produksi merosot signifikan dan tidak efisien, butuh investasi lanjutan super jumbo, juga menuntut teknologi kelas wahid dan paling anyar.

Info semacam itu boleh jadi menyesatkan. Paling tidak, info  itu bisa saja mengandung motif mereduksi peluang pihak lain, wabil khusus perusahaan nasional, untuk menjadi penerus Total di Blok Mahakam. Bukankah manuver apa saja bisa dilakukan orang -- termasuk merekayasa data dan laporan -- semata untuk memenangi persaingan di dunia bisnis?

Masa empat tahun ke depan, yang menjadi tenggat berakhirnya kontrak Total atas Blok Mahakam, memang relatif tak lama. Meski begitu, masa empat tahun masih memadai bagi pemerintah untuk mengkaji secara mendalam bahwa Blok Mahakam tetap prospektif -- dalam arti diyakini mampu memberi kontribusi besar kepada pendapatan negara -- jika dikuasai dan dikelola perusahaan nasional.

Masa empat tahun juga relatif cukup untuk mempersiapkan perusahaan nasional agar benar-benar siap dan memiliki kemampuan mumpuni sebagai pengganti Total di Blok Mahakam -- secara teknis-teknologis maupun permodalan. Adalah naif sekaligus menyesakkan jika kelak Blok Mahakam bernasib seperti Blok Cepu di Jatim: tetap dikuasai asing dengan alasan tak satu pun perusahaan nasional yang bisa diandalkan untuk itu.

Bagaimanapun, ironi penentuan pengelola Blok Cepu, beberapa tahun lalu, tak boleh terulang dalam kelanjutan kontrak Blok Mahakam sekarang ini. Cukup Blok Cepu yang akhirnya kembali jatuh ke pangkuan korporasi asing.

Pengelolaan ladang migas memang bukan masalah ecek-ecek, sehingga tak bisa sembarangan perusahaan diberi kepercayaan. Terlebih untuk ladang migas sekelas Blok Mahakam.

Meski begitu, dengan komitmen keberpihakan berbingkai nasionalisme, plus dukungan total pemerintah berdasarkan parameter-parameter terukur dan objektif, perusahaan nasional mestinya bisa diandalkan menjadi penerus Total di ladang migas itu.***

Jakarta, 10 Maret 2013

05 Maret 2013

Sinyal Buruk Ekonomi AS


Berbagai media global awal pekan ini menyajikan laporan yang mengundang miris: resesi ekonomi menghantui kembali ekonomi Amerika Serikat (AS). Ini merupakan risiko tak terhindarkan setelah Presiden Barack Obama menandatangani pengurangan anggaran pemerintah dalam jumlah sangat signifikan: 85 miliar dolar AS atau sekitar Rp 830 triliun.

Tanda tangan dibubuhkan Presiden Obama, menyusul kebuntuan negosiasi di Kongres menyangkut upaya untuk mempertahankan defisit anggaran yang diperlukan guna membuat ekonomi AS tidak melambat atau terseret ke arah resesi.

Memang, pemangkasan pengeluaran itu lebih banyak menyangkut sektor pertahanan dan militer AS. Meski begitu, ekonomi AS sangat mungkin menjadi makin buruk. Konsumsi masyarakat, misalnya, bisa kian melemah karena pemangkasan pengeluaran senilai 85 miliar dolar AS bisa berakibat setidaknya 700.000 warga AS kehilangan pekerjaan.

Di sisi lain, kegiatan investasi -- notabene mestinya menjadi motor penggerak ekonomi -- juga sangat mungkin melunglai. Padahal, dengan beban utang sebesar 16,4 triliun dolar AS, sebelum pemangkasan pengeluaran pemerintah saja kondisi ekonomi AS sudah jeblok. Karena itu pula, Standard & Poor's menurunkan peringkat utang AS dari AAA menjadi AA+.

Artinya, bagi kalangan pemilik modal, ekonomi AS tidak menjanjikan. Wajar jika kemudian mereka menahan diri menabur modal di AS. Sebagai akibatnya, tentu, ekonomi negara tersebut kehilangan daya penghela. Konsekuensinya, itu tadi: resesi ekonomi semakin pekat menyaput AS -- kecuali, barangkali, jika pintu negosiasi di Kongres terbuka kembali dan formula untuk mempertahankan defisit anggaran bisa disepakati.

Bagi Indonesia, kondisi ekonomi AS yang pekat dihantui resesi itu merupakan sinyal buruk. Kegiatan ekspor ke negara itu, terutama, niscaya semakin tidak bergairah. Pemintaan yang kian melemah bagaimanapun sulit membuat ekspor bisa berkibar-kibar.

Sinyal buruk itu sungguh patut ditanggapi pemerintah secara serius dengan melakukan langkah-langkah strategis-antisipatif. Jika tidak, ekonomi nasional niscaya bisa terkena imbas resesi AS seperti saat krisis surat berharga perumahan di AS meledak pada tahun 2008 silam. Maklum, karena selama ini AS telanjur menjadi mitra utama ekonomi Indonesia.

Langkah-langkah strategis di bidang ekonomi makin urgen dilakukan pemerintah karena kinerja ekspor Indonesia secara keseluruhan sekarang ini juga memprihatinkan. Tahun lalu, untuk kali pertama sejak beberapa dekade terakhir, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit. Artinya, ekspor lebih kecil ketimbang impor.

Defisit dalam neraca perdagangan bisa tertoreh terutama karena negara-negara mitra utama Indonesia -- acap disebut sebagai pasar tradisional ekspor -- masih dilanda kelesuan ekonomi. Dalam konteks ini, sejumlah komoditas andalan ekspor Indonesia rontok secara mengenaskan.

Defisit dalam neraca perdagangan tak boleh terus berlangsung. Di satu sisi, karena defisit itu bisa berisiko membuka jalan menuju kebangkrutan ekonomi nasional. Di sisi lain, karena ekonomi AS sebagai pasar tradisional ekspor Indonesia memperlihatkan sinyal buruk.

Untuk itu, diversifikasi pasar ekspor semakin urgen. Kesadaran pemerintah untuk memutus ketergantungan ekspor terhadap pasar tradisional seperti AS sudah saatnya diwujudkan dalam program aksi yang nyata. Sejalan dengan itu, ekspor nasional jangan lagi ditumpukan kepada komoditas primer. Mengingat manfaat ekonomi yang bersifat jamak, bagaimanapun produk-produk manufaktur harus bisa menjadi andalan baru ekspor. Tapi itu hanya mungkin jika daya saing produk ditingkatkan dan promosi digalakkan, terutama di pasar ekspor nontradisional.***

Jakarta, 5 Maret 2013

Sinyal Buruk Ekonomi AS


Berbagai media global awal pekan ini menyajikan laporan yang mengundang miris: resesi ekonomi menghantui kembali ekonomi Amerika Serikat (AS). Ini merupakan risiko tak terhindarkan setelah Presiden Barack Obama menandatangani pengurangan anggaran pemerintah dalam jumlah sangat signifikan: 85 miliar dolar AS atau sekitar Rp 830 triliun.

Tanda tangan dibubuhkan Presiden Obama, menyusul kebuntuan negosiasi di Kongres menyangkut upaya untuk mempertahankan defisit anggaran yang diperlukan guna membuat ekonomi AS tidak melambat atau terseret ke arah resesi.

Memang, pemangkasan pengeluaran itu lebih banyak menyangkut sektor pertahanan dan militer AS. Meski begitu, ekonomi AS sangat mungkin menjadi makin buruk. Konsumsi masyarakat, misalnya, bisa kian melemah karena pemangkasan pengeluaran senilai 85 miliar dolar AS bisa berakibat setidaknya 700.000 warga AS kehilangan pekerjaan.

Di sisi lain, kegiatan investasi -- notabene mestinya menjadi motor penggerak ekonomi -- juga sangat mungkin melunglai. Padahal, dengan beban utang sebesar 16,4 triliun dolar AS, sebelum pemangkasan pengeluaran pemerintah saja kondisi ekonomi AS sudah jeblok. Karena itu pula, Standard & Poor's menurunkan peringkat utang AS dari AAA menjadi AA+.

Artinya, bagi kalangan pemilik modal, ekonomi AS tidak menjanjikan. Wajar jika kemudian mereka menahan diri menabur modal di AS. Sebagai akibatnya, tentu, ekonomi negara tersebut kehilangan daya penghela. Konsekuensinya, itu tadi: resesi ekonomi semakin pekat menyaput AS -- kecuali, barangkali, jika pintu negosiasi di Kongres terbuka kembali dan formula untuk mempertahankan defisit anggaran bisa disepakati.

Bagi Indonesia, kondisi ekonomi AS yang pekat dihantui resesi itu merupakan sinyal buruk. Kegiatan ekspor ke negara itu, terutama, niscaya semakin tidak bergairah. Pemintaan yang kian melemah bagaimanapun sulit membuat ekspor bisa berkibar-kibar.

Sinyal buruk itu sungguh patut ditanggapi pemerintah secara serius dengan melakukan langkah-langkah strategis-antisipatif. Jika tidak, ekonomi nasional niscaya bisa terkena imbas resesi AS seperti saat krisis surat berharga perumahan di AS meledak pada tahun 2008 silam. Maklum, karena selama ini AS telanjur menjadi mitra utama ekonomi Indonesia.

Langkah-langkah strategis di bidang ekonomi makin urgen dilakukan pemerintah karena kinerja ekspor Indonesia secara keseluruhan sekarang ini juga memprihatinkan. Tahun lalu, untuk kali pertama sejak beberapa dekade terakhir, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit. Artinya, ekspor lebih kecil ketimbang impor.

Defisit dalam neraca perdagangan bisa tertoreh terutama karena negara-negara mitra utama Indonesia -- acap disebut sebagai pasar tradisional ekspor -- masih dilanda kelesuan ekonomi. Dalam konteks ini, sejumlah komoditas andalan ekspor Indonesia rontok secara mengenaskan.

Defisit dalam neraca perdagangan tak boleh terus berlangsung. Di satu sisi, karena defisit itu bisa berisiko membuka jalan menuju kebangkrutan ekonomi nasional. Di sisi lain, karena ekonomi AS sebagai pasar tradisional ekspor Indonesia memperlihatkan sinyal buruk.

Untuk itu, diversifikasi pasar ekspor semakin urgen. Kesadaran pemerintah untuk memutus ketergantungan ekspor terhadap pasar tradisional seperti AS sudah saatnya diwujudkan dalam program aksi yang nyata. Sejalan dengan itu, ekspor nasional jangan lagi ditumpukan kepada komoditas primer. Mengingat manfaat ekonomi yang bersifat jamak, bagaimanapun produk-produk manufaktur harus bisa menjadi andalan baru ekspor. Tapi itu hanya mungkin jika daya saing produk ditingkatkan dan promosi digalakkan, terutama di pasar ekspor nontradisional.***

Jakarta, 5 Maret 2013

Sinyal Buruk Ekonomi AS

Berbagai media global awal pekan ini menyajikan laporan yang mengundang miris: resesi ekonomi menghantui kembali ekonomi Amerika Serikat (AS). Ini merupakan risiko tak terhindarkan setelah Presiden Barack Obama menandatangani pengurangan anggaran pemerintah dalam jumlah sangat signifikan: 85 miliar dolar AS atau sekitar Rp 830 triliun.

Tanda tangan dibubuhkan Presiden Obama, menyusul kebuntuan negosiasi di Kongres menyangkut upaya untuk mempertahankan defisit anggaran yang diperlukan guna membuat ekonomi AS tidak melambat atau terseret ke arah resesi.

Memang, pemangkasan pengeluaran itu lebih banyak menyangkut sektor pertahanan dan militer AS. Meski begitu, ekonomi AS sangat mungkin menjadi makin buruk. Konsumsi masyarakat, misalnya, bisa kian melemah karena pemangkasan pengeluaran senilai 85 miliar dolar AS bisa berakibat setidaknya 700.000 warga AS kehilangan pekerjaan.

Di sisi lain, kegiatan investasi -- notabene mestinya menjadi motor penggerak ekonomi -- juga sangat mungkin melunglai. Padahal, dengan beban utang sebesar 16,4 triliun dolar AS, sebelum pemangkasan pengeluaran pemerintah saja kondisi ekonomi AS sudah jeblok. Karena itu pula, Standard & Poor's menurunkan peringkat utang AS dari AAA menjadi AA+.

Artinya, bagi kalangan pemilik modal, ekonomi AS tidak menjanjikan. Wajar jika kemudian mereka menahan diri menabur modal di AS. Sebagai akibatnya, tentu, ekonomi negara tersebut kehilangan daya penghela. Konsekuensinya, itu tadi: resesi ekonomi semakin pekat menyaput AS -- kecuali, barangkali, jika pintu negosiasi di Kongres terbuka kembali dan formula untuk mempertahankan defisit anggaran bisa disepakati.

Bagi Indonesia, kondisi ekonomi AS yang pekat dihantui resesi itu merupakan sinyal buruk. Kegiatan ekspor ke negara itu, terutama, niscaya semakin tidak bergairah. Pemintaan yang kian melemah bagaimanapun sulit membuat ekspor bisa berkibar-kibar.

Sinyal buruk itu sungguh patut ditanggapi pemerintah secara serius dengan melakukan langkah-langkah strategis-antisipatif. Jika tidak, ekonomi nasional niscaya bisa terkena imbas resesi AS seperti saat krisis surat berharga perumahan di AS meledak pada tahun 2008 silam. Maklum, karena selama ini AS telanjur menjadi mitra utama ekonomi Indonesia.

Langkah-langkah strategis di bidang ekonomi makin urgen dilakukan pemerintah karena kinerja ekspor Indonesia secara keseluruhan sekarang ini juga memprihatinkan. Tahun lalu, untuk kali pertama sejak beberapa dekade terakhir, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit. Artinya, ekspor lebih kecil ketimbang impor.

Defisit dalam neraca perdagangan bisa tertoreh terutama karena negara-negara mitra utama Indonesia -- acap disebut sebagai pasar tradisional ekspor -- masih dilanda kelesuan ekonomi. Dalam konteks ini, sejumlah komoditas andalan ekspor Indonesia rontok secara mengenaskan.

Defisit dalam neraca perdagangan tak boleh terus berlangsung. Di satu sisi, karena defisit itu bisa berisiko membuka jalan menuju kebangkrutan ekonomi nasional. Di sisi lain, karena ekonomi AS sebagai pasar tradisional ekspor Indonesia memperlihatkan sinyal buruk.

Untuk itu, diversifikasi pasar ekspor semakin urgen. Kesadaran pemerintah untuk memutus ketergantungan ekspor terhadap pasar tradisional seperti AS sudah saatnya diwujudkan dalam program aksi yang nyata. Sejalan dengan itu, ekspor nasional jangan lagi ditumpukan kepada komoditas primer. Mengingat manfaat ekonomi yang bersifat jamak, bagaimanapun produk-produk manufaktur harus bisa menjadi andalan baru ekspor. Tapi itu hanya mungkin jika daya saing produk ditingkatkan dan promosi digalakkan, terutama di pasar ekspor nontradisional.***

Jakarta, 5 Maret 2013

03 Maret 2013

Ancaman Gonjang-ganjing

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberi sinyal bahwa negara dan pemerintahan dalam ancaman bahaya. Menjelang bertolak ke Jerman dari Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, dalam rangka kunjungan kenegaraan, Minggu kemarin, Presiden menyatakan bahwa elite politik dan kelompok tertentu berencana membuat negara menjadi gonjang-ganjing.

Pernyataan itu sungguh terasa menyentak. Pertama, karena pernyataan tersebut dilontarkan oleh orang nomor satu di Indonesia. Artinya, pernyataan itu punya bobot dan kredibilitas tinggi. Terlebih, konon, pernyataan itu berdasarkan info intelijen.

Kedua, itu tadi, pernyataan Presiden juga bermakna negara dan pemerintahan dalam ancaman bahaya. Nah, sekecil apa pun, bahaya yang bersifat mengancam negara tak boleh dipandang remeh. Ancaman bahaya itu harus dimaknai bahwa negara sedang genting.

Karena itu, Presiden dituntut berdiri di barisan paling depan memimpin upaya-upaya penyelamatan negara. Sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara, Presiden tak bisa mengelaki tuntutan itu. Presiden wajib memimpin langsung langkah-langkah penyelamatan negara dengan nenumpas habis ancaman itu.

Namun, anehnya, Presiden nalah bertolak ke Jerman dalam rangka kunjungan kerja kenegaraan. Itu serta-merta menorehkan dua kesan yang saling bertolak belakang. Pertama, Presiden seperti tak hirau terhadap bahaya yang mengancam pemerintahan dan negara. Seolah-olah Presiden lepas tangan dari tuntutan untuk berdiri di barisan terdepan memimpin upaya-upaya penanganan ancaman itu.

Sikap seperti itu jelas tidak patut. Presiden sama sekali tak patut menunjukkan sikap meremehkan ancaman yang potensial membuat negara gonjang-ganjing. Artinya, Presiden tak boleh bersikap seolah berkunjung ke luar negeri jauh lebih penting dan lebih urgen ketimbang menyelamatkan negara dan pemerintahan dari ancaman bahaya.

Kesan kedua, ancaman manuver politik kelompok tertentu itu sebenarnya tak terbilang gawat, sehingga Presiden pun tak merasa risau bertolak ke luar negeri. Boleh jadi, ancaman itu sekadar riak-riak dinamika politik yang sama sekali tidak punya potensi membuat negara mengalami gonjang-ganjing. Artinya, negara sebenarnya sama sekali tidak dalam kondisi gawat bin genting.

Justru itu, pernyataan Presiden -- bahwa negara terancam manuver politik kelompok tertentu sehingga potensial mengalami gonjang-ganjing -- seketika menjadi kehilangan bobot dan kredibilitas. Presiden jadi seperti melebih-lebihkan persoalan alias -- meminjam istilah anak muda sekarang -- bersikap lebai.

Bukan sekali ini saja Presiden menunjukkan sikap itu. Dalam sejumlah kasus, Presiden terang-benderang terlihat lebai. Sekadar mengingatkan, Presiden antara lain pernah menyatakan menjadi target pembunuhan kelompok teroris. Dalam konferensi pers khusus, pernyataan itu bahkan dilengkapi dengan gambar kepala Presiden dalam lingkaran garis target penembakan.
    
Dalam kesempatan lain, Presiden juga pernah menyatakan bahwa kelompok teroris nyaris mengirim paket bom ke kediaman pribadinya di Cikeas, Bogor. Di kesempatan lain lagi, Presiden juga mengaku menerima banyak SMS yang berisi ancaman terhadap keselamatan dirinya beserta Ibu Negara Ani Yudhoyono.

Mungkin saja info-info seperti itu benar diterima Presiden. Tetapi jika info-info itu diobral ke tengah publik, maka kesan lebai menjadi tak terelakkan. Terlebih lagi obral info itu di tengah Presiden dalam situasi terpojok. Sama seperti sekarang ketika Presiden menghadapi peliknya prahara yang melanda Partai Demokrat.***

Jakarta, 3 Maret 2013