21 Desember 2004

Kenapa Elpiji Naik?

Dari sisi konsumen, sangat wajar kenaikan harga elpiji serta Pertamax dan Pertamax Plus serta-merta mengundang reaksi keras. Ihwal kenaikannya itu sendiri, barangkali, tak terlampau mengejutkan. Maklum karena selama dua-tiga bulan belakangan ini pemerintah sudah gembar-gembor menggelindingkan rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

Dalam konteks itu, agaknya, masyarakat pun sudah sedikit bisa memahami rencana tersebut -- yakni karena pemerintah tak mungkin mampu memikul subsidi BBM yang menjadi amat besar terkait kenaikan harga minyak mentak di pasar dunia.

Tetapi masyarakat sungguh dibuat terpana: ternyata kenaikan harga elpiji mencapai 41 persen, sementara harga Pertamax dan Pertamax Plus naik 60 persen lebih. Jika semula harga elpiji adalah Rp 3.000, kini naik menjadi Rp 4.250 per kilogram. Sedangkan Pertamax dan Pertamax Plus kini masing-masing berharga Rp 4.000 (semula Rp 2.450) per liter dan Rp 4.200 (semula Rp 2.750) per liter.

Angka kenaikan ketiga komoditas itu jelas amat terasa menohok. Bahkan mungkin sama sekali di luar perkiraan masyarakat. Itu pula yang serta-merta mengundang publik melontarkan kecaman: bahwa kenaikan harga ketiga komoditas itu sungguh kelewatan.

Bagi masyarakat konsumen, mestinya langkah tersebut dilakukan bertahap hingga tak terasa menohok. Itu makin beralasan karena dalam waktu dekat pemerintah hampir pasti menyusul menaikkan harga beberapa jenis BBM lain yang selama ini memeroleh subsidi. Padahal langkah itu pun niscaya melahirkan efek ikutan yang tak terhindarkan lagi: harga aneka barang dan jasa naik pula.

Tetapi dari sisi produsen, kenaikan harga elpiji serta Pertamax dan Pertamax Plus ini jelas bukan tanpa alasan rasional. Pertama, sesuai amanat UU No 22/2001 tentang Migas, karena ketiga komoditas itu merupakan bisnis non-BBM Pertamina yang tak lagi diatur-atur pemerintah. Karena itu pula, kenaikan harga ketiga komoditas tersebut bukan merupakan keputusan pemerintah, melainkan murni hasil pertimbangan Pertamina sendiri.

Kedua, kenaikan harga elpiji dan Pertamax serta Pertamax Plus itu sendiri memang sungguh relevan dan urgen: agar Pertamina tidak menanggung rugi, bahkan mampu menuai untung. Jika harga ketiga komoditas itu tak dinaikkan, sementara harga minyak mentah di pasar dunia telanjur membumbung, Pertamina niscaya harus menombok sebagaimana terjadi selama ini.

Tentu, itu tak sejalan dengan prinsip yang melekat pada Pertamina sendiri sebagai badan usaha yang harus mampu menangguk keuntungan. Terlebih lagi, bagi Pertamina, bisnis ketiga komoditas itu bukan dalam rangka melaksanakan penugasan pemerintah alias murni bisnis.

Kita tidak tahu bagaimana hitung-hitungannya hingga kenaikan harga elpiji berserta Pertamax dan Pertamax Plus ini demikian signifikan. Yang pasti, dengan kenaikan itu Pertamina tak lagi menanggung rugi alias pasti bisa menuai untung. Besaran keuntungannya itu sendiri, jelas hanya Pertamina sendiri yang tahu persis.

Namun justru itu letak masalah yang membuat kenaikan harga elpiji dan Pertamax serta Pertamax Plus pun jadi agak resisten. Khalayak luas mengira bahwa dengan kenaikan yang demikian signifikan, Pertamina pasti menangguk untung amat besar. Itu pula yang membuat masyarakat menilai Pertamina telah bertindak kebangetan. Mereka menilai Pertamina sewenang-wenang hanya karena kemaruk ingin meraup untung besar.

Asumsi atau keyakinan seperti itu jelas harus bisa diredam. Jika tidak, ibarat bola salju, resistensi masyarakat mengenai kenaikan harga elpiji dan Pertamax berserta Pertamax Plus ini akan terus meluas dan membesar. Terlebih lagi, seperti sudah disinggung, secara psikologis masyarakat juga sudah telanjur down oleh risiko ekonomi yang niscaya muncul manakala pemerintah jadi menaikkan harga BBM dalam waktu dekat ini.

Itu berarti, Pertamina harus bisa menjelaskan lebih dalam duduk soal bisnis non-BBM yang tak lagi diatur-atur pemerintah ini. Pertamina juga harus bisa meyakinkan publik bahwa kenaikan harga ketiga komoditas tadi sungguh sulit bisa dihindari -- termasuk kenapa besaran kenaikan itu sendiri demikian signifikan.

Dalam konteks itu, publik juga harus bisa dibuat percaya dan yakin bahwa operasional Pertamina sudah semakin efisien. Artinya, Pertamina dituntut mampu memberikan penjelasan meyakinkan bahwa kenaikan harga ketiga komoditas itu bukan merupakan beban tambahan yang dilimpahkan kepada konsumen terkait inefisiensi di berbagai lini.

Sejalan dengan itu, Pertamina dituntut pula mampu memberi garansi bahwa kenaikan harga ketiga komoditas tadi akan diikuti dengan peningkatan mutu layanan. Kalangan rumah tangga yang notabene merupakan konsumen elpiji, misalnya, harus bisa diyakinkan bahwa mereka tak bakalan lagi menerima produk yang tak sesuai berat timbangan.

Tetapi bagaimana jika ternyata Mahkamah Konstitusi memutuskan membatalkan UU No 22/2001 tentang Migas? Tidakkah kenaikan harga elpiji dan Pertamax serta Pertamax Plus pun dengan sendirinya batal pula?***
Jakarta, 21 Desember 2004

17 Desember 2004

Gombalnya Perbankan Kita

Wajar jika orang kini memelesetkan Bank Global menjadi Bank Gombal. Bagaimanapun, memang, sanksi pembekuan kegiatan usaha oleh Bank Indonesia jelas merupakan bukti tak terbantahkan tentang kegombalan Bank Global ini. Sanksi itu dijatuhkan otoritas perbankan karena kondisi keuangan Bank Global terus memburuk. Terakhir, rasio kecukupan modal (CAR) bank tersebut tercatat minus 39 persen.

Angka itu jauh di bawah CAR minimal yang dipatok Bank Indonesia sendiri sebesar 8 persen. Justru itu pula, berarti keuangan Bank Global memang amat buruk. Parah. Padahal laporan keuangan yang diterbitkan per September 2004 menunjukkan bahwa kondisi Bank Global masih sehat. Bahkan, kala itu, CAR mereka terbilang kuat -- yakni sebesar 44,84 persen alias jauh di atas CAR minimal yang disyaratkan Bank Indonesia.

Jadi, hanya dalam tempo sekitar dua bulan, kondisi keuangan yang begitu kuat itu berubah total menjadi buruk sekali. Jika karena faktor rasional-obyektif, perubahan drastis itu tak akan terlalu membuat kita terpana. Tapi karena ternyata bukan karena faktor-faktor obyektif menurut kaidah akuntansi, kondisi keuangan yang berubah menjadi buruk dalam tempo relatif singkat itu sungguh sulit dipahami.

Dalam konteks itu, pasti ada sesuatu yang tidak beres. Belakangan terungkap bahwa sesuatu yang tidak beres itu adalah surat berharga (reksadana) fiktif dan kredit fiktif. Keduanya pula yang serta-merta menguak kenyataan bahwa CAR Bank Global sebenarnya minus 39 persen.

Dengan kata lain, kondisi keuangan bank Global yang per September lalu terkesan sehat dan kuat itu tak lebih merupakan kegombalan. Pada saat itu, sesungguhnya, keuangan bank tersebut sudah berdarah-darah.

Justru itu, mestinya, mustahil Bank Indonesia selaku otoritas perbankan kita sampai luput mengetahui sejak dini kondisi keuangan Bank Global ini. Adalah naif jika Bank Indonesia sampai terkecoh oleh kegombalan yang dibuat manajemen Bank Global mengenai kondisi keuangan bank tersebut.

Karena itu, seperti kata kalangan pengamat perbankan, tindak pembekuan kegiatan usaha Bank Global ini memang terasa terlambat. Mestinya tindakan tersebut sudah dijatuhkan Bank Indonesia sejak jauh hari. Dengan demikian, kebokbrokan manajemen Bank Global tak harus sampai memakan korban lebih banyak, di samping pihak yang harus bertanggung jawab juga tak mesti sampai bisa lolos kabur ke luar negeri.

Menurut kabar yang santer beredar, Bank Indonesia sejak beberapa bulan silam sebenarnya sudah mengetahui bahwa kondisi keuangan Bank Global sudah memburuk. Dalam konteks ini, tim pemeriksa Bank Indonesia disebut-sebut memang sudah mengetahui berbagai kejanggalan di Bank Global sejak pertengahan tahun ini.

Kalau benar demikian, kenapa Bank Indonesia tak segera melakukan tindakan sejak dini? Juga, seperti kata Ketua Masyarakat profesional Madani Ismed Hasan Putro, kenapa Bapepam sempat beberapa kali menyatakan bahwa produk reksadana yang dijual Bank Global tidak bermasalah? Tidakkah itu mengondisikan investor di pasar modal jadi terjebak membeli barang "busuk" -- notabene tak dilindungi program penjaminan pemerintah seperti produk simpanan di bank (tabungan dan deposito)?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu jelas membutuhkan jawaban gamblang, terbuka, dan obyektif. Jika tidak, kita khawatir kita terkondisi tak pernah mau belajar pada pengalaman sehingga kasus serupa lagi-lagi terulang di masa depan.

Kemungkinan ke arah itu bahkan sudah terasa menggejala. Buktinya, sebelum kasus Bank Global sekarang ini pun, dunia perbankan nasional sudah diguncang beberapa kasus serupa. Tahun ini saja, kita sempat dibuat gempar oleh kasus Bank Asiatic dan Bank Dagang Bali.

Kedua bank itu dilikuidasi karena melakukan transaksi tidak jujur dan merugikan publik. Bank Asiatic divonis melakukan transaksi surat berharga (obligasi dan saham) melalui sebuah perusahaan efek. Namun efek yang ditransaksikan disimpan di sebuah kustodian yang belakangan ketahuan tidak terdaftar di Bapepam. Bahkan kustodian itu pun diduga fiktif.

Di lain pihak, Bank Dagang Bali juga melakukan modus hampir serupa melalui perusahaan sebuah efek lain lagi. Padahal menurut Bapepam, operasional perusahaan efek itu dalam status dihentikan sementara sejak Januari 2003.

Sementara itu, seperti kata Gubernur Bank Indonesia sendiri, beberapa bank kecil sekarang ini juga dililit masalah serius berupa kinerja yang tidak sehat. Kalau masalah tersebut tak segera dicarikan jalan keluar, kita khawatir mereka pun tergerak coba-coba melakukan kegombalan yang mengecoh dan merugikan khalayak. Jika masalah yang membelit bank-bank itu sudah terbilang gawat, tindakan tegas hendaknya segera dijatuhkan. Dengan demikian, mereka tak harus ambruk dengan menelan korban banyak dengan nilai tidak kecil pula.***
Jakarta, 17 Desember 2004

14 Desember 2004

Kinerja Perpajakan

Pajak sejatinya merupakan tulang punggung ekonomi negara. Hasil penerimaan pajak idealnya menjadi sumber utama pengeluaran negara -- untuk belanja rutin maupun belanja pembangunan. Dengan demikian, pajak menjadi wahana partisipasi nyata rakyat dalam pengelolaan dan pembangunan negara. Melalui pembayaran pajak, rakyat terkondisikan ikut ambil bagian dalam penyelenggaraan negara.

Tetapi di negara kita, pajak belum tampil menjadi sumber utama pembiayaan negara. Bahkan sejak awal kemerdekaan, fungsi pajak di negeri kita lebih sekadar menjadi sumber pelengkap penerimaan negara. Karena tax ratio relatif masih rendah -- di bawah 20 persen --, sumber penerimaan sekaligus sumber pembiayaan negara kita selama ini lebih banyak bertumpu pada pinjaman -- entah pinjaman dalam negeri maupun pinjaman luar negeri.

Sikap-tindak kita selama ini yang keasyikan mengandalkan sumber penerimaan pada dana hasil utangan tak pelak lagi membuat kita sekarang harus menanggung beban utang demikian besar. Terlebih karena dana pinjaman itu banyak dikorupsi, sehingga akumulasi beban utang pun membuat kita kian megap-megap.

Tumpukan utang kita sudah demikian menggunung -- bahkan hingga melampaui kemampuan kita mengembalikannya. Dalam konteks ini, kita sudah sampai pada tahap membayar utang dengan hasil pinjaman baru. Seperti kata orang, kita sudah terjerembab pada pola hidup "gali lubang tutup lubang".

Dalam situasi seperti itu pula, banyak pihak belakangan ini kian tergerak menoleh pada pajak sebagai instrumen yang harus didayagunakan. Menurut mereka, pajak harus ditempatkan pada peran dan fungsi idealnya. Dengan kata lain, sudah saatnya pajak menjadi tulang punggung ekonomi negara.

Tetapi apa mau dikata: ketentuan perundangan, kebijakan, sistem, ataupun mekanisme perpajakan di negeri kita dinilai tidak mendukung keinginan itu. Di tengah harapan atau tuntutan mendesak agar sumber pembiayaan negara kita tak lagi bertumpu pada dana hasil berutang, kinerja perpajakan justru dinilai tak cukup bisa diandalkan.

Itu, antara lain, karena tingkat kebocoran atas penerimaan pajak masih terbilang tinggi. Lembaga Transparency International Indonesia (TII), misalnya, menyebutkan bahwa kebocoran atas penerimaan perpajakan ini mencapai 40 persen. Bahkan lembaga swadaya lain, seperti Masyarakat Profesional Madani menyatakan bahwa angka tersebut mencapai 50 persen. Lalu, di lain pihak, mantan Menneg Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Kwik Kian Gie pernah pula menyebutkan bahwa pada tahun anggaran 2003 saja nilai kebocoran pajak ini mencapai sekitar Rp 215 triliun.

Pernyataan-pernyataan seperti itu jelas tidak asal nyeplak alias punya argumentasi dan data yang bisa dipertanggungjawabkan. Ditjen Pajak sendiri secara tidak langsung seperti membenarkan masalah tersebut. Dalam suatu kesempatan, Dirjen Pajak Hadi Purnomo mengungkapkan bahwa potensi kehilangan penerimaan pajak sekarang ini bernilai sekitar Rp 675 triliun.

Justru itu, mestinya, penerimaan pajak kita sudah cukup bisa diandalkan -- paling tidak mampu mengurangi tekanan yang membuat pemerintah harus terus mengambil pinjaman baru dalam jumlah tidak kecil. Kalau saja potensi kehilangan penerimaan pajak seperti disebutkan Hadi Purnomo tadi bisa diselamatkan, misalnya, itu niscaya memberi dampak luar biasa bagi keuangan negara. Angka itu bahkan sekitar dua kali lipat target penerimaan pajak pada tahun ini sebesar Rp 283 triliun!

Memang mengherankan bahwa kinerja perpajakan ini masih menorehkan banyak kebocoran. Terlebih karena kebocoran itu, seperti menurut telusuran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terjadi antara lain karena praktik tawar-menawar antara oknum aparat pajak dan wajib pajak mengenai jumlah kewajiban pajak yang seharusnya masuk ke kas negara.

Kenyataan seperti itu mengherankan karena sistem perpajakan kita, sejak reformasi pada 1983, menganut asas self assessment. Dengan itu, mestinya, wajib pajak dan aparat pajak tak harus bertemu muka -- hingga membuka kemungkinan saling "main mata".

Namun, memang, aturan atau mekanisme apa pun selalu bisa diakali. Sepanjang niat tidak baik telanjur tertanam -- entah di pihak wajib pajak ataupun di kalangan petugas pajak --, aturan dan mekanisme sehabat apa pun selalu bisa ditelikung.

Itu pula yang membuat Ditjen Pajak selama ini terus melakukan pembenahan. Bahkan sanksi pemecatan terhadap oknum petugas pajak yang terbukti nakal pun saban tahun tak segan dijatuhkan.

Tetapi langkah-langkah itu terkesan tak terukur. Paling tidak, memang, karena langkah-langkah itu tidak berangkat dari satuan target yang disepakati secara terbuka. Karena itu, kontrak kinerja yang diteken Dirjen Pajak terasa menjadi beralasan. Dengan itu, berbagai pihak lebih gampang mengontrol dan menilai langkah Ditjen Pajak. Dengan itu pula, kelak kinerja perpajakan tak lagi terkesan sekadar klaim sepihak Dirjen Pajak ataupun penilaian sepihak lembaga pemantau.***
Jakarta, 14 Jakarta 2004

10 Desember 2004

Pemberantasan Korupsi

Pencanangan tahun 2005 sebagai Tahun Pemberantasan Korupsi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono -- notabene ditandai dengan penerbitan Inpres No 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi --, kemarin, sungguh terasa mengundang greget.

Langkah tersebut sekali lagi serta-merta menumbuhkan harapan: bahwa korupsi sudah tak punya ruang berpijak di negeri kita. Bagaimanapun, langkah itu menunjukkan semangat dan tekad pemerintah menjadikan korupsi sebagai penyakit yang harus segera diberantas tuntas.

Korupsi di negeri kita memang sudah menjadi penyakit akut. Korupsi telanjur mewabah di mana-mana. Korupsi nyaris terjadi dalam setiap kesempatan dan dalam tiap tingkatan. Juga, korupsi tampil dalam aneka ragam bentuk. Pokoknya, dalam setiap urusan yang bersinggungan dengan kepentingan publik, hampir pasti di situ mewabah korupsi.

Karena itu, pencanangan tahun 2005 sebagai Tahun Pemberantasan Korupsi serta-merta ibarat tetesan air di tengah dahaga hebat. Dengan itu, kita seketika disadarkan bahwa pemerintah masih memiliki tekad dan semangat memberangus korupsi.

Tentu, kita amat berharap agar tekad dan semangat itu tidak berhenti sekadar di tahap pencanangan. Langkah pemberantasan korupsi jangan lagi sekadar retorika. Jangan seperti di masa lalu: langkah pemberantasan korupsi ternyata hanya gerakan "hangat-hangat tahi ayam" dan penuh kepura-puraan.

Memang, sebenarnya, tekad dan semangat memberantas tuntas korupsi ini bukan baru kali pertama ini ditunjukkan pemerintah. Bahkan di awal pemerintahan Orde Baru pun -- ketika fenomena korupsi di negeri kita belum sedahsyat sekarang ini -- tekad dan semangat itu sempat mencuat dengan gegap-gempita.

Tetapi berbagai langkah ke arah itu, termasuk pada pemerintahan-pemerintahan pasca-Orde Baru, akhirnya tak pernah jelas. Langkah-langkah pemberantasan korupsi selalu saja kandas begitu saja tanpa sebab-sebab pasti -- juga tanpa pernah ada penjelasan, sehingga terkesankan bahwa pemerintah tidak siap bersikap konsisten dan konsekuen.

Karena itu pula, fenomena korupsi di negeri kita terus berurat-berakar. Korupsi semakin menggurita ke mana-mana dalam berbagai skala maupun ruang dan waktu. Seolah membenarkan pendapat sang Proklamator Bung Hatta, yang pada zamannya mengundang kecaman berbagai pihak, korupsi di negeri kita semakin lama semakin pasti menjadi sebuah "budaya". Sampai-sampai ada sebuah anekdot: jika di masa lalu korupsi di negeri kita dilakukan di bawah meja, belakangan tindakan tersebut dilakukan terang-terangan di atas meja. Lalu, pada era sekarang, tindak korupsi ini bahkan sudah sampai pada tahap menilap mejanya sekalian!

Mampukah pemerintahan Presiden Yudhoyono memberantas korupsi yang telanjur membudaya ini? Tentu, soal tersebut amat bergantung pada kesungguhan pemerintah sendiri. Sepanjang faktor kesungguhan tersebut ternyata hanya basa-basi, pemerintahan Yudhoyono pun niscaya hanya mengulang "sejarah": korupsi gagal diberantas.

Justru itu, dalam rangka memberantas korupsi ini, segenap jajaran pemerintahan Yudhoyono -- dari tingkat pusat hingga ke daerah-daerah -- mutlak dituntut memiliki keberanian bertindak. Tanpa keberanian, pemberantasan korupsi tak akan pernah dilakukan sungguh-sungguh -- bahkan menjadi sekadar sandiwara.

Tindakan ke arah pemberantasan korupsi itu sendiri, sesuai semangat Inpres No 5/2004, jelas tak bisa lagi berpijak pada semboyan alon-alon asal kelakon. Bagaimanapun, langkah ke arah itu dituntut dilakukan serba gesit dan tanpa pandang bulu -- meski tak harus berarti grasa-grusu dan sembrono.

Untuk itu, tiap instansi pemerintahan mesti membuat program aksi yang jelas, tajam-terarah, terukur, dan terutama konsisten serta konsekuen dilaksanakan. Jika tidak, langkah pemberantasan korupsi ini bisa-bisa lebih merupakan sekadar seremoni tanpa akhir.

Bagi instansi-instansi tertentu, terutama instansi penegak hukum, gerak cepat pemberatasan korupsi ini niscaya sudah bisa langsung dilakukan. Toh instansi seperti kejaksaan, kepolisian, atau pengadilan sudah menggenggam setumpuk kasus.

Tentu, dalam kaitan itu, kita berharap agar kasus-kasus kakap dan amat merugikan negara beroleh prioritas utama dengan tetap tak memberi toleransi terhadap korupsi kelas recehan. Tentu pula, kita memimpikan agar sanksi hukum terhadap mereka yang terbukti berbuat korupsi ini benar-benar maksimal dan cepat final hingga bisa segera dieksekusi.

Namun pemberantasan korupsi ini tak cukup hanya dilakukan pemerintah. Bagaimanapun, efektivitas gerakan tersebut menuntut partisipasi dan langkah proaktif pihak-pihak di luar lingkungan pemerintahan. Dunia usaha nasional, misalnya, sepatutnya bisa memanfaatkan momentum yang digulirkan Presiden Yudhoyono ini dengan menunjukkan sikap-tindak yang selaras dengan semangat pemberantasan korupsi. Dunia usaha jangan lagi bersikap mendua: di satu sisi mengecam habis korupsi, tapi di sisi lain tetap saja kasak-kusuk menabur suap kepada oknum birokrasi dan pejabat pemerintahan.***
Jakarta, 10 Desember 2004

07 Desember 2004

Sampai Kapan Tak Serius?

Kita tak pernah bersungguh-sungguh memberantas tindak pencucian uang (money laundering). Sikap-tindak kita mengenai pembangunan rezim antipencucian uang tidak lebih sekadar kosmetik atau basa-basi.

Buktinya, berbagai kasus tindak pencucian uang yang dilaporkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) ke pihak kepolisian dan kejaksaan seolah menguap begitu saja. Seperti kata Ketua PPATK Yunus Husein di depan Komisi III DPR, kemarin, pihak kepolisian dan kejaksaan tak kunjung menindaklanjuti laporan PPATK tentang kasus tindak pencucian uang ini.

Akibatnya, jelas, UU Tindak Pidana Pencucian Uang menjadi mandul. Undang-undang tersebut menjadi sama sekali tak berarti, kecuali sekadar jadi pajangan di instansi-instansi resmi. Padahal secara substantif, undang-undang tersebut cukup bisa diandalkan dalam menangkal dan menekan tindak pencucian uang.

Maklum, memang, karena materi undang-undang tersebut secara umum merupakan wujud "kepatuhan" kita terhadap tekanan dunia internasional, khususnya Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering yang memasukkan kita sebagai negara tidak kooperatif (NCCT's) dalam konteks pembangunan rezim antipencucian uang.

Tetapi, rupanya, sejak awal pembuatan UU Tindak Pidana Pencucian Uang ini tidak dimaksudkan untuk memberantas tuntas berbagai bentuk tindak pencucian uang. Undang-undang tersebut sekadar dimaksudkan sebagai kosmetik dalam berhadapan dengan dunia internasional -- bahwa kita memiliki perangkat rezim antipencucian uang.

Maka tak heran jika undang-undang itu pun terkesan dirumuskan asal-asalan. Dunia internasional, dalam kaitan ini, menilai bahwa berbagai ketentuan dalam undang-undang itu tak cukup menunjukkan keseriusan pemerintah dalam membangun rezim antipencucian uang sebagaimana tuntutan FATF.

Itu pula yang membuat FATF bersama berbagai negara yang menjadi anggotanya kemudian menuntut kita merevisi UU Tindak Pidana Pancucian Uang ini. Bahkan, dalam rangka itu, mereka sampai menyodorkan daftar masalah yang harus dimasukkan sebagai bahan revisi.

Karena berharap segera dikeluarkan dari daftar NCCT's -- notabene mengandung konsekuensi-konsekuensi serius bagi kita dalam tata pergaulan dunia internasional, khususnya di bidang keuangan dan bisnis -- lagi-lagi kita pun mematuhi tuntutan itu.

Maka UU Tindak Pidana Pencucian Uang hasil revisi pun menjadi produk "sempurna": bukan saja secara politis mengakomodasi aspirasi dunia internasional, melainkan juga secara substansial merupakan perangkat yang bisa diandalkan efektif memberantas tindak pencucian uang.

Tetapi karena sejak awal dimaksudkan sekadar sebagai pajangan atau kosmetik, UU Tindak Pidana Pencucian Uang ini terbukti mandul -- karena memang tak kunjung diterapkan pihak-pihak yang menjadi aparat penegak hukum. Menurut Yunus Husein, PPATK sudah mengajukan laporan tindak pencucian uang ini sebanyak 231 kasus kepada kepolisian dan kejaksaan. Tetapi, ujarnya, sejauh ini tak satu pun kasus itu yang ditindaklanjuti kepolisian maupun kejaksaan.

Entah apa yang menjadi alasan kepolisian dan kejaksaan sampai tak kunjung menindaklanjuti laporan PPATK mengenai kasus pencucian uang ini. Yang pasti, keengganan kedua instansi tersebut menegakkan hukum dalam konteks pembangunan rezim antipencucian uang ini niscaya menjadi lahan subur bagi berbagai tindak kejahatan di bidang keuangan. Orang menjadi sama sekali tidak ragu dan tak takut melakukan berbagai tindak yang merugikan orang banyak: korupsi, menyelundup, memanipulasi pajak, dan lain-lain. Orang menjadi tetap nyaman melakukan tindakan-tindakan ilegal itu karena mereka tak pernah beroleh efek kejut (shock therapy): bahwa hasil yang mereka peroleh atas kegiatan ilegal itu bakal mengantarkan dijatuhi sanksi pidana.

Di sisi lain, keengganan aparat menegakkan hukum dalam konteks rezim antipencucian uang ini juga membuat kita tetap sulit berharap bisa lepas dari daftar NCCT's yang dibuat FATF. Tak heran, kendati kita sudah membuat UU Tindak Pidana Pencucian Uang sesuai "petunjuk" FATF, kita terus saja masuk klasifikasi negara tak kooperatif dalam konteks pembangunan rezim antipencucian uang.

Padahal status NCCT's ini sudah kita sandang sejak tahun 2001 silam. Dalam setiap sidang FATF yang digelar tiap tahun, yang mengevaluasi posisi masing-masing negara, kita terus diputuskan tetap bercokol dalam klasifikasi NCCT's.

Sekali lagi, itu pertanda atau bukti bahwa kita tak sungguh-sungguh memberantas tindak pencucian uang. Padahal status NCCT's yang kita sandang sungguh merisaukan. Status tersebut bisa membuat negara lain -- sendiri-sendiri maupun serentak bersamaan -- secara sepihak mengucilkan kita dari tata pergaulan dunia bisnis dan keuangan internasional. Terlebih jika FATF kemudian memutuskan kita sebagai negara yang harus diisolasi: niscaya kita harus menanggung kesulitan-kesulitan keuangan yang musykil terpecahkan. Berbagai transaksi bisnis dan keuangan kita di dunia internasional
bisa benar-benar macet.

Jadi, sampai kapan kita tak serius membangun rezim antipencucian uang? Atau, haruskah kita benar-benar diisolasi dari pergaulan bisnis dan keuangan internasional?***
Jakarta, 07 Desember 2004

03 Desember 2004

Rasa Percaya Diri Kita

Dalam forum Pertemuan Puncak ASEAN di Vientiane (Laos), enam pemimpin negara anggota ASEAN -- Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Pilipina, dan Brunei Darussalam -- menyepakati percepatan penghapusan tarif bea masuk atas 11 komoditas.

Jika semula penghapusan tarif bea masuk di ASEAN ini direncanakan dimulai sejak tahun 2010, dengan kesepakatan itu liberalisasi perdagangan 11 sektor dipercepat menjadi tahun 2007. Sementara empat negara lain anggota ASEAN -- Laos, Kamboja, Myanmar, dan Vietnam -- baru melakukan penghapusan tarif bea masuk ini mulai tahun 2012.

Kesebelas sektor itu sendiri meliputi kayu, perikanan, perawatan kesehatan, karet, turisme, e-commerce, tekstil dan pakaian jadi, penerbangan, pertanian, otomotif, dan elektronik. Tarif bea masuk untuk sebagian dari 11 sektor itu maksimum hanya boleh 5 persen, dan sebagian lagi menjadi antara 0-2 persen saja.

Lalu apa arti kesepakatan itu bagi kita? Menurut perspektif pemerintah, kesepakatan itu menunjukkan rasa percaya diri kita begitu tinggi. Yaitu bahwa produk-produk kita yang tercakup dalam kesebelas sektor tadi siap bersaing di pasar ASEAN.

Selama ini, hambatan tarif membuat produk-produk kita relatif sulit bisa masuk menembus pasar di negara-negara ASEAN. Demikian juga sebaliknya, hambatan tarif membuat pasar kita tak leluasa direcoki berbagai produk negara-negara mitra kita di ASEAN.

Tetapi kelak mulai tahun 2007, pasar di enam negara ASEAN jadi lebih longgar. Di satu sisi, produk-produk negara-negara mitra kita di ASEAN bisa leluasa mengalir masuk dan membanjiri pasar lokal kita. Tapi di sisi lain, produk-produk kita pun bisa leluasa dilempar ke pasar enam negara itu. Kenyataan tersebut bahkan kemudian menjadi lebih luas lagi -- meliputi seluruh negara ASEAN -- mulai tahun 2012.

Kita tidak tahu landasan apa yang membuat pemerintah begitu yakin akan daya saing produk-produk kita dalam konteks liberalisasi 11 sektor di ASEAN ini -- juga terkait komitmen kita ke arah pembentukan Pakta Perdagangan Bebas Cina-ASEAN (CAFTA) yang tertoreh dalam pertemuan para pemimpin ASEAN-Cina di Laos. Yang pasti, keyakinan seperti itu bukan kali pertama ini ditunjukkan pemerintah. Hampir dalam setiap forum perundingan liberalisasi perdagangan internasional, kita selalu menunjukkan rasa percaya diri begitu kuat.

Kalau saja kenyataan di lapangan benar-benar obyektif, barangkali, itu tak jadi soal. Tapi bila dunia usaha kita masih sarat digayuti inefisiensi -- notabene juga berarti kurang berdaya saing -- rasa percaya diri itu sungguh menyesatkan. Itu juga bisa berbahaya karena arus masuk produk-produk luar niscaya malah mematikan industri kita dengan segala konsekuensinya.

Karena itu, dunia usaha nasional menunjukkan sikap risau oleh kesepakatan yang tertoreh dalam Pertemuan Puncak ASEAN di Laos ini. Memang, bagi dunia usaha, dengan atau tanpa kesepakatan globalisasi pun, persaingan bisnis harus selalu siap dihadapi. Tetapi itu bukan tanpa prasyarat. Jika daya saing yang dimiliki tak memadai, globalisasi niscaya hanya melahirkan mudharat.

Faktanya, memang, dunia usaha nasional kita tak bisa dibilang sehat. Dalam konteks keuangan, misalnya, dunia usaha kita masih terbebani suku bunga pinjaman yang terbilang relatif tinggi dibanding di sejumlah negara lain di ASEAN.
Jadi, dengan dukungan pembiayaan yang tidak murah, bagaimana bisa industri kita mampu menghasilkan produk berdaya saing tinggi. Belum lagi kalau mengingat kualitas sumberdaya manusia kita juga relatif masih tertinggal dibanding negara-negara lain di ASEAN. Begitu pula produktivitas sumberdaya manusia kita ini: relatif rendah dibanding di kebanyakan negara ASEAN.

Padahal di luar kelemahan-kelemahan itu, dunia usaha nasional juga masih digayuti sejumlah masalah lain seperti perizinan yang tidak murah, kebijakan pusat dan daerah yang acar tidak sinkron, ketentuan perpajakan yang jlimet dan tidak ringan, atau pungutan liar yang merajalela. Semua itu jelas mengondisikan dunia usaha kita terbebani ekonomi biaya tinggi.

Atas dasar itu, bagaimana kita memahami sikap percaya diri yang begitu tinggi diperlihatkan pemerintah dalam konteks perjanjian globalisasi perdagangan, khususnya liberasasi 11 sektor di ASEAN? Barangkali, sikap tersebut kali ini harus kita baca sebagai isyarat pemerintahan sekarang untuk melakukan pembenahan mendasar dalam sektor ekonomi secara serius, konsisten, dan konsekuen.

Mengingat waktu yang tersedia praktis tinggi dua tahun sebelum penghapusan bea masuk 11 sektor di ASEAN efektif dimulai sejak tahun 2007, langkah ke arah itu jelas harus dituangkan dalam program aksi yang benar-benar komprehensif dan tajam terarah. Jika tidak, sikap percaya diri yang ditunjukkan pemerintah terkait komitmen ke arah globalisasi perdagangan ini sama sekali tidak masuk akal -- dan karena itu membahayakan kepentingan nasional.***
Jakarta, 03 Desember 2004

30 November 2004

Melawan Penebangan Liar

Perang dimulai. Menhut MS Kaban memastikan bahwa mulai pekan ini pemerintah menggelar operasi besar-besaran terhadap tindak penebangan liar (illegal logging). Dilakukan terkoordinasi dengan berbagai instansi penegak hukum, operasi tersebut merupakan salah satu program Kabinet Indonesia Bersatu dalam 100 hari pertama kerja.

Kita tidak meragukan keinginan baik pemerintah menangani masalah penebangan liar dengan menggelar operasi besar-besaran ini. Cuma, apakah operasi tersebut benar-benar efektif memberantas tindak penebangan liar, itu masih sebuah pertanyaan besar. Bahkan sekadar memberikan terapi kejut (shock therapy) sekalipun, jujur saja kita belum punya kepastian.

Dengan kata lain, efektivitas operasi besar-besaran dalam menangani tindak penebangan liar ini baru ketahuan nanti setelah 100 hari kerja pertama Kabinet Indonesia Bersatu berakhir. Ketika itu, kita bisa beroleh kesimpulan apakah operasi tersebut sukses ataukah tak memberi dampak signifikan terhadap masalah penebangan liar yang saban tahun menorehkan kerugian negara senilai Rp 30,4 triliun di luar kerugian ekologi itu.

Karena itu, operasi besar-besaran terhadap penebangan liar ini sungguh merupakan pertaruhan bagi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kalau operasi tersebut sukses -- antara lain mereka yang selama ini bertindak sebagai cukong maupun beking kegiatan ilegal itu diseret ke muka pengadilan dan dijatuhi hukuman amat maksimal -- niscaya pemerintahan Yudhoyono beroleh poin bagus di mata publik.

Tapi jika operasi tersebut ternyata tak menorehkan "kejutan", publik hampir pasti serta-merta mencibir. Bagi mereka, dalam konteks penanganan masalah penebangan liar ini pemerintahan Yudhoyono sekadar menabur harapan.

Dalam kaitan itu pula, publik niscaya menyalahkan Menhut Kaban yang tidak bersedia meneruskan proses penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Penebangan Liar yang sudah dirintis pendahulunya Menhut M Prakosa. Itu beralasan karena publik telanjur meyakini bahwa perangkat perppu sungguh merupakan jurus pamungkas yang mampu mengakhiri riwayat tindak penebangan liar.

Memang, menurut rancangan perppu yang terakhir tersangkut di Kantor Setneg, hukum acara untuk menangani kasus penebangan liar amat singkat dan langsung di bawah koordinasi Menhut. Sementara jika menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), proses yang harus dilalui terbilang lama dan acap tidak dapat diandalkan menjaring otak pelaku tindak penebangan liar.

Dengan perppu, informasi intelijen dapat dijadikan dasar untuk menangkap tersangka pelaku penebangan liar tanpa perlu bukti-bukti kepolisian. Lalu asas yang diberlakukan adalah pembuktian terbalik. Sementara sanksi hukum bagi mereka yang terlibat tindak penebangan liar -- langsung ataupun tidak -- amat berat, yaitu penjara minimal 10 tahun dan maksimal hukuman mati.

Justru itu, bagi publik, strategi yang dipilih Kaban dalam menangani masalah penebangan liar ini -- menggalang langkah terkoordinasi dengan berbagai instansi penegak hukum -- tak cukup bisa diandalkan. Publik meragukan bahwa strategi pilihan Kaban bisa sukses dan ampuh seperti keyakinan mereka tentang efektivitas perppu.

Keraguan itu sungguh tidak mengada-ada. Maklum karena selama ini strategi serupa sudah ditunjukkan pemerintah -- dan terbukti tidak efektif. Bahkan sejak era kepemimpinan Menhut Djamaludin Suryohadikusumo, langkah koordinatif penanganan atas tidak penebangan liar ini sudah diayunkan.

Namun selalu terbukti bahwa strategi tersebut sekadar elok di atas kertas. Strategi itu lebih banyak sekadar merupakan komitmen petinggi instansi-instansi terkait di pusat. Sementara di lapangan, strategi itu sama sekali tak bergigi -- karena mengalami banyak deviasi akibat tarikan kepentingan oknum-oknum pelaksana.

Dalam kaitan itu, aturan hukum yang tersedia tidak mampu menjerat dan menghukum para pelaku -- dan karena itu tindak penebangan liar terus berlangsung, bahkan semakin marak. Maklum saja karena proses peradilan sering meloloskan hukuman atas kasus-kasus yang ditangani. Kalaupun pengadilan menjatuhkan putusan, hukuman yang dijatuhkan sangat ringan dan tidak sepadan.

Kenyataan itu pula, sebenarnya, yang mendorong Menhut M Prakosa menyiapkan perppu. Hanya, sayangnya, langkah tersebut kandas. Kekuasaan Prakosa keburu berakhir ketika proses penerbitan perppu baru sampai di Kantor Setneg. Sementara penerus Prakosa, yakni Menhut Kaban, sejak awal menepis melanjutkan proses penerbitan perppu tersebut. Dia meyakini bahwa konsolidasi dan koordinasi dengan instansi-instansi penegak hukum masih bisa diandalkan mampu menangani masalah penebangan liar.

Dengan keyakinan itu pula, Kaban mantap melangkah memulai perang melawan tindak penebangan liar ini. Tentu saja kita berharap langkah tersebut bisa menuai sukses. Tetapi, sekali lagi, bagaimanapun itu menjadi pertaruhan bagi citra pemerintahan Presiden Yudhoyono atau paling tidak bagi Menhut Kaban sendiri.***
Jakarta, 30 November 2004

26 November 2004

Program Penyehatan BUMN

Sebanyak 47 BUMN masih saja merugi. Paling tidak, seperti diungkapkan Menneg BUMN Sugiharto dalam forum rapat kerja dengan Komisi VI DPR-RI, beberapa hari lalu, itu tertoreh berdasar kinerja masing-masing selama tahun 2003. Ini berarti, sekitar sepertiga BUMN kita -- dari total 157 unit -- belum juga sehat alias masih harus dibenahi.

Namun kerugian itu sendiri tak seluruhnya merupakan nista -- karena memang tak semua BUMN, sejatinya, harus berorientasi menguber keuntungan (profit oriented). Bagi BUMN yang mengemban fungsi agen pembangunan (agent of development), atau BUMN yang dibebani berperan sebagai public service obligation, kerugian itu mungkin sulit sekali dihindari -- dan karena itu kita pun bisa maklumi. Terlebih jika situasi dan kondisi yang dihadapi berubah drastis.

Karena itu, kita bisa memaklumi bahwa PT Pelni pada tahun lalu mengalami kerugian senilai Rp 382,446 miliar. Kita memaklumi kerugian tersebut karena belakangan ini terjadi perubahan drastis menyangkut permintaan (demand) akan jasa angkutan laut. Kita tahu, berbagai maskapai penerbangan nasional menggelar perang tarif yang membuat tarif jasa angkutan udara menjadi relatif murah. Itu tak pelak lagi memukul kepentingan moda an gkutan laut: pemintaan menyusut drastis.

Tetapi bagi BUMN lain -- terlebih BUMN yang jelas-jelas tidak dibebani tugas mengemban fungsi agen pembangunan ataupun public service obligation -- masih tetap tertorehnya kerugian itu sungguh terasa mengundang sesal. Betapa tidak, karena kerugian itu jelas menunjukkan bahwa BUMN bersangkutan belum juga dikelola secara sehat sesuai prinsip good corporate governance. Bagaimanapun, kerugian itu menunjukkan bahwa BUMN bersangkutan masih digerogoti "ketidakberesan".

PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang membukukan kerugian senilai Rp 3,558 triliun, misalnya, jelas merupakan perusahaan yang belum masih digerogoti "ketidakberesan" ini. Persisnya, BUMN tersebut tidak efisien. Pihak manajemen boleh saja berdalih bahwa kerugian itu karena tarif dasar listrik (TDL) belum mencapai tingkat keekonomian.

Tapi jangan lupa bahwa TDL yang berlaku sekarang ini sudah jauh di atas rata-rata TDL di negara tetangga. Jadi, jika dengan TDL yang sudah mahal tapi PLN masih saja merugi, tak bisa lain kecuali bahwa perusahaan tersebut inefisien.

Boleh jadi juga, kerugian yang masih saja menggelayuti BUMN ini karena manajemen bersangkutan kurang becus. BUMN perkebunan yang mengelola komoditas ekspor, misalnya, seharusnya mampu membukukan keuntungan besar terutama manakala rupiah terdepresiasi -- karena mereka diuntungkan oleh keunggulan komparatif yang menjadi melambung tinggi.

Namun pengalaman selama krisis ekonomi justru menunjukkan kenyataan yang menyesakkan dada. Kalaupun ada BUMN yang mampu mencetak laba, itu relatif tak seberapa dibanding potensi yang seharusnya bisa dicapai. Tak heran jika dalam kondisi kurs yang sekarang ini sudah terbilang stabil dan normal, BUMN seperti PTPN I pada tahun lalu membukukan kerugian senilai Rp 8,27 triliun.

Tetapi kita tidak menutup kemungkinan bahwa inefisiensi yang menggerogoti potensi atau kemampuan BUMN meraup keuntungan itu tidak melulu terkait alasan teknis manajemen. Dalam sejumlah kasus, amat mungkin inefiensi itu lebih merupakan "ongkos politis" yang memang masih sulit dihindari. Persisnya, seperti di masa lalu, BUMN bersangkutan barangkali masih saja diperlakukan sebagai "sapi perahan" pihak-pihak yang memiliki power.

Jika benar begitu, berarti program penyehatan BUMN yang selama ini dilakukan pemerintah belum bisa dikatakan berhasil. Dalam sejumlah kasus, mungkin program tersebut belum benar-benar fokus dan konsisten mengondisikan BUMN menerapkan prinsip good corporate governance. Bahkan kalaupun manajemen BUMN sudah menunjukkan langkah ke arah itu, tarikan kepentingan tertentu dalam skala makro di luar atmosfir BUMN bersangkutan mungkin saja malah menarik surut langkah tersebut.

Karena itu, menjadi tantangan bagi Kementerian BUMN sekarang ini untuk menelaah sekaligus merumuskan ulang strategi maupun konsep penyehatan BUMN ini. Sejalan dengan itu, prinsip good corporate governance juga seyogyanya bisa diterapkan secara konsisten dan konsekuen oleh semua BUMN. Intervensi kekuasaan, yang memungkinkan BUMN terpaksa mengabaikan prinsip itu, sejauh mungkin dihindari atau bahkan sama sekali diharamkan sesuai semangat dan prinsip good corporate governance itu sendiri.

Mungkin langkah ke arah itu sudah mulai diayunkan oleh Menneg BUMN Sugiharto. Paling tidak, cetak biru (blue print) Kementerian BUMN untuk setahun ke depan, yang belum lama ini dia umumkan, tampaknya berada dalam kerangka dan semangat ke arah sana.

Namun seyogyanya program penyehatan BUMN ini tidak mengondisikan semua BUMN menjadi "binatang ekonomi". Bagaimanapun, jika itu yang terjadi, rakyat niscaya menjadi korban. Padahal sejak awal, BUMN dibangun bukan semata untuk mengeduk keuntungan an sich, melainkan terutama untuk kesejahteraan rakyat.***
Jakarta, 26 November 2004

23 November 2004

Prakarsa Santiago

Deklarasi Prakarsa Santiago menjadi penanda akhir Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) di Santiago, Chile, Minggu waktu setempat. Lewat Prakarsa Santiago ini, para pemimpin ekonomi di kawasan Asia-Pasifik komit memertinggi upaya peningkatan liberalisasi serta memfasilitasi perdagangan dan investasi.

Untuk itu, para pemimpin ekonomi di kawasan Asia-Pasifik ini antara lain menyepakati perlunya pembicaraan tentang program-program liberalisasi perdagangan di bawah Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Di samping itu, mereka juga mendukung penuh persetujuan tentang kerangka kerja pembicaraan liberalisasi perdagangan multilateral melalui WTO.

Walhasil, dengan Prakarsa Santiago ini, para pemimpin ekonomi di kawasan Asia-Pasifik seolah ingin menegaskan kembali komitmen mereka terhadap semangat awal APEC: mendorong peningkatan liberalisasi dan perdagangan di kawasan itu. Maklum, memang, karena selama beberapa tahun terakhir APEC amat terasa seperti kehilangan roh. Komitmen-komitmen mereka menyangkut berbagai langkah ke arah peningkatan liberalisasi perdagangan dan investasi terkondisi berhenti sekadar sebagai retorika atau basa-basi dalam setiap akhir KTT APEC. Karena itu pula, KTT APEC yang saban tahun digelar terkesan sekadar arena kongkow-kongkow para pemimpin ekonomi di Asia-Pasifik.

Tapi barangkali itu memang risiko. Maklum, karena berbagai komitmen yang tertoreh dalam forum APEC mengusung prinsip non-binding alias tidak mengikat. Berbeda dengan perundingan dalam forum multilateral seperti WTO, kesepakatan-kesepakatan yang tertoreh dalam setiap KTT APEC tidak otomatis mutlak harus dilaksanakan. Implementasi berbagai kesepakatan dalam forum APEC ini lebih banyak sebagai moral obligation.

Justru itu, kalaupun berbagai kesepakatan dalam forum APEC ini sama sekali tidak dilaksanakan, pihak-pihak bersangkutan tak harus menghadapi konsekuensi-konsekuensi tertentu -- kecuali sekadar menanggung beban moral. Mereka tak harus menanggung sanksi atau finalti semisal tak mematuhi ketentuan yang disepakati dalam kerangka WTO.

Lalu, apakah Prakarsa Santiago bisa kita harapkan efektif menggulirkan langkah-langkah pasti menuju liberalisasi perdagangan dan investasi sebagaimana misi dan cita-cita awal APEC? Jujur saja, soal itu tetap merupakan sebuah tanda tanya besar. Sepanjang masing-masing ekonomi di kawasan Asia-Pasifik ini benar-benar memiliki kesadaran moral dan ketulusan memenuhi komitmen mereka dalam forum APEC, jelas Prakarsa Santiago tidak akan menjadi sekadar monumen -- dan karena itu pula KTT APEC pun bukan lagi cuma jadi arena kongkow-kongkow tahunan.

Sebaliknya jika kesadaran moral dan ketulusan masing-masing ekonomi di kawasan Asia-Pasifik masih merupakan barang langka seperti selama ini, Prakarsa Santiago niscaya tak akan memberi banyak arti terhadap gerakan menuju liberalisasi perdagangan dan investasi di kawasan tersebut. Dalam konteks itu, forum APEC pun akan tetap saja mandul alias tidak menjadi elan vital bagi masing-masing ekonomi di kawasan Asia-Pasifik mengayun langkah-langkah nyata ke arah liberalisasi perdagangan dan investasi.

Kalau begitu, adakah masing-masing ekonomi di kawasan Asia-Pasifik ini memiliki kesadaran moral dan ketulusan mengimplementasikan berbagai kesepakatan dalam forum APEC? Terus-terang, kita meragukan soal itu. Selama ini faktor kesadaran moral dan ketulusan yang menjadi prasyarat bagi gerakan ke arah liberalisasi perdagangan dan investasi ini acap dicederai oleh praktik perdagangan tidak fair -- notabene lebih ditunjukkan oleh negara-negara maju.

Itu pula yang membuat berbagai putaran perundingan perdagangan multilateral dalam kerangka WTO tak kunjung membuahkan hasil final. Setiap kali perundingan WTO digelar, selalu saja kesepakatan begitu alot bisa dilahirkan. Berbagai pihak yang terlibat -- khususnya kelompok negara berkembang di satu pihak dan kelompok negara maju di lain pihak -- malah lebih menunjukkan sikap saling curiga. Kelompok negara maju, misalnya, menilai negara-negara berkembang tak memiliki kesungguhan. Sementara kelompok negara berkembang merasakan bahwa negara-negara maju berupaya memaksakan kehendak dan kepentingan mereka sendiri.

Kecenderungan itu pula yang membuat perjanjian tentang liberalisasi perdagangan dan investasi belakangan ini banyak tertoreh lewat kesepakatan bilateral, trilateral, atau regional. Kelompok negara ASEAN, misalnya, kian niscaya menggulirkan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN (AFTA). Bahkan ASEAN juga secara prinsip sudah sepakat menggelar perdagangan bebas dengan Cina di satu pihak dan dengan Jepang di lain pihak. Contoh lain, Singapura merasa nyaman menjalin kesepakatan bilateral dengan AS menyangkut perdagangan bebas kedua negara.

Dalam konteks itu, forum APEC pun tak bisa lain kecuali hanya menjadi wahana basa-basi. Karena itu, bukan tidak mungkin APEC ini kelak kian dirasa tidak perlu lagi. Terlebih setelah di Santiago ini AS sukses memaksakan agenda nonekonomi yang membuat prospek APEC tidak fokus lagi.***
Jakarta, 23 November 2004

05 November 2004

Penyelamatan Industri Pupuk

Kita layak bernapas lega: pabrik pupuk PT Asean Aceh Fertilizer (AAF) di Nanggroe Aceh Darussalam tak jadi ditutup. Keputusan tentang itu, yang dibuat pemerintahan terdahulu, dibatalkan pemerintahan Presiden Yudhoyono. Dalam konteks ini, pemerintahan Yudhoyono berpandangan bahwa penutupan pabrik pupuk AAF merupakan langkah mundur. Ya, karena langkah tersebut niscaya menggusur dukungan riil terhadap pembangunan sektor pertanian. Padahal justru dukungan itu yang menjadi dasar pemikiran pemerintah dulu mendirikan pabrik pupuk di dalam negeri, termasuk pabrik AAF.

Sejak awal kita sendiri sudah tidak setuju terhadap keputusan pemerintah menutup pabrik pupuk AAF ini. Ketidaksetujuan kita bukan semata karena langkah penutupan pabrik AAF menggusur dukungan terhadap pembangunan sektor pertanian, melainkan terutama karena keputusan tentang itu tak cukup urgen. Soal mesin-mesin di pabrik AAF yang dikatakan sudah terbilang uzur, misalnya. Kita menilai bahwa alasan tersebut amat mengada-ada karena (mantan) Menperindag Rini Soewandi sendiri menyatakan bahwa pabrik AAF masih laik operasi. Artinya, kinerja mesin-mesin di pabrik AAF masih bisa diandalkan.

Juga alasan lain -- bahwa pasokan bahan baku gas sulit diperoleh -- sungguh tak cukup layak jadi pijakan bagi tindak penutupan pabrik pupuk AAF ini. Bagaimanapun, bagi kita, soal kesulitan pasokan bahan baku gas adalah wujud konkret kekeliruan kebijakan pemerintah di masa lalu. Yakni kurang memberi prioritas terhadap pasokan gas di dalam negeri. Karena itu, adalah tidak bijak jika kepentingan nasional -- terutama keberadaan industri pupuk kita -- lantas begitu saja dikorbankan.

Kenyataan itu juga menjadi ironis karena kita adalah produsen terbesar gas alam di dunia. Justru itu, adalah sungguh menggelikan bahwa industri di dalam negeri sendiri malah megap-megap kesulitan memeroleh pasokan gas. Itu seperti kata pepatah: ayam mati di lumbung padi!

Karena itu pula, solusi pemerintah dalam rangka menyelamatkan keberadaan pabrik pupuk AAF ini -- mengondisikan pasokan gas untuk kebutuhan di dalam negeri -- sungguh tepat dan langsung tertuju ke pokok masalah. Kita amat menghargai keputusan tersebut karena menunjukkan sikap dan pandangan pemerintah yang lebih mementingkan kepentingan nasional.

Memang, solusi itu mengandung risiko tidak kecil. Yang sudah pasti saja, kita kehilangan sekian banyak devisa karena ekspor gas alam cair (LNG) ke Jepang dan Korsel jadi berkurang. Lalu, masih terkait dengan itu, kita juga mungkin harus menanggung komplen pembeli gas di luar negeri -- karena volume pengiriman tak sesuai lagi dengan kontrak.

Tetapi kita yakin, kesulitan-kesulitan itu tetap bisa kita atasi. Sejauh kita pandai meyakinkan, pembeli gas di luar negeri boleh kita harapkan bisa memahami kesulitan-kesulitan kita. Untuk itu, kita sungguh dituntut berrsikap gigih. Kita tak boleh pesimistis atau sudah menyerah justru sebelum mengayun langkah.

Bagi kalangan produsen gas di dalam negeri, solusi yang ditempuh pemerintah dalam rangka menyelamatkan keberadaan pabrik AAF ini -- termasuk pula pabrik-pabrik pupuk lain -- juga tak membuat mereka harus bersungut-sungut. Maklum, konon, karena mereka tetap bisa menjual produk mereka sesuai harga di pasar internasional. Jadi, bagi mereka, menjual produk ke pasar ekspor ataupun di dalam negeri sama saja.

Memang, kalau saja tidak mengacu pada harga komersial sesuai perkembangan pasar gas alam dunia, solusi penyelamatan industri pupuk ini sulit diharapkan bisa efektif. Kalangan industri pupuk tetap saja tak beroleh jaminan soal pasokan bahan baku gas. Jika harga gas di pasar internasional lebih menguntungkan secara komersial, tentu kalangan produsen gas tak punya alasan untuk tidak mendahulukan ekspor.

Jadi, sekali lagi, kita menilai solusi yang ditempuh pemerintah dalam menyelamatkan industri pupuk di dalam negeri ini -- khususnya pabrik AAF di Nanggroe Aceh Darussalam -- sudah di jalur yang benar. Tinggal kini sikap-tindak kalangan industri pupuk sendiri. Kita menuntut mereka bisa bekerja lebih efisien lagi dan benar-benar komit terhadap pembangunan sektor pertanian nasional.

Soal itu layak kita garis bawahi karena selama ini kita beroleh kesan bahwa mereka -- industri pupuk di dalam negeri -- acap mengabaikan kepentingan nasional. Buktinya, pasokan pupuk hampir selalu hilang manakala musim panen tiba. Kuat dugaan bahwa itu terjadi karena mereka lebih mendahulukan pasar ekspor ketimbang pasar lokal, sehingga kepentingan petani di dalam negeri pun lantas menjadi korban.

Itu sungguh menyakitkan. Bagi kita, sikap-tindak industri pupuk yang mengabaikan kepentingan petani lokal itu sudah merupakan pengkhianatan. Betapa tidak, karena dalam memroduksi pupuk, mereka justru memeroleh subsidi harga gas!***
Jakarta, 05 November 2004

25 Oktober 2004

Release and Discharge

Adalah wajar pernyataan Menko Perekonomian Aburizal (Ical) Bakrie -- bahwa pemerintahan Presiden Yudhoyono tidak akan mencabut pemberian surat keterangan lunas oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) kepada sejumlah pengutang kakap alias konglomerat -- serta-merta memeroleh reaksi keras. Bagaimanapun, memang, pernyataan tersebut terasa seketika membuyarkan harapan besar publik terhadap pemerintahan baru menyangkut perlakuan bagi kalangan konglomerat yang telah banyak merugikan keuangan negara.

Memang benar, penerbitan surat keterangan lunas -- notabene menjadi pijakan bagi konglomerat bersangkutan memeroleh pembebasan dari segala tuntutan hukum (release and discharge) -- merupakan kebijakan pemerintahan terdahulu. Persisnya, kebijakan tersebut tertuang dalam Inpres No 8/2002 yang menggariskan bahwa para debitur kakap yang telah menyelesaikan kewajiban kepada negara harus memeroleh jaminan kepastian hukum dalam bentuk surat tanda bukti penyelesaian. Sementara bagi debitur yang tidak menyelesaikan utang akan diserahkan ke kejaksaan dan kepolisian untuk diproses secara hukum.

Tapi sungguh tidak bijak bila pemerintahan sekarang ini beranggapan bahwa -- seperti disiratkan Ical -- mereka sama sekali tak mewarisi masalah yang ditinggalkan pemerintahan lama, dan karena itu ihwal surat keterangan lunas pun dipandang sudah final hingga tak beralasan dicabut.

Padahal masalah surat keterangan lunas itu, sejak awal sudah kontroversial -- terutama karena amat menggugah rasa keadilan di kalangan khalayak luas. Bayangkan, dengan secarik surat keterangan lunas, dosa konglomerat -- merugikan keuangan negara dalam jumlah demikian besar -- sama sekali tak diungkit-ungkit. Seolah-olah mereka sama sekali tak bersalah.

Bagi kita, kebijakan release and discharge itu terlampau benderang menafikan kenyataan bahwa kalangan konglomerat harus bertanggung jawab secara hukum atas berbagai indikasi penyelewengan uang negara, yaitu kucuran bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang mereka terima di awal krisis ekonomi (1997-1998). Berbagai kalangan sejak jauh hari sudah menangkap indikasi kuat bahwa pengucuran BLBI kepada bank-bank milik konglomerat itu sebagian digunakan untuk membiayai bisnis kelompok usaha mereka sendiri hingga tertoreh bahwa bank mereka melanggar batas maksimal pemberian kredit (BMPK).

Karena itu pula, sejak awal kita tak pernah bisa mengerti oleh kebijakan pemerintah, khususnya Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), menyangkut penerbitan release and discharge yang semata berpijak pada surat keterangan lunas ini. Bahkan jujur saja bahwa kita menaruh syakwasangka mengenai soal itu. Jangan-jangan gagasan tentang release and discharge ini merupakan hasil tawar-menawar antara kalangan konglomerat pengutang kakap dan pihak pengambil kebijakan di BPPN dulu.

Jadi, amat beralasan jika penerbitan release and discharge ini -- notabene sudah diberikan kepada 21 konglomerat, antara lain Sudono Salim, Sjamsul Nursalim, juga Bob Hasan -- tetap dimasalahkan alias tak bisa dipandang sudah final. Lebih-lebih lagi nilai utang beberapa konglomerat, yang sudah dinyatakan lunas, masih perlu diklarifikasi. Itu karena nilai utang yang dilunasi terindikasi kuat sudah jauh berkurang dibanding nilai awal, yakni saat aset-aset diserahkan ke BPPN.

Tentang itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) menghitung bahwa tingkat pengembalian (recovery rate) aset yang diserahkan para konglomerat hanya sekitar 20 persen nilai sebenarnya. Ini tak lain akibat mark-up nilai aset, Aset Salim Group yang dihimpun Holdiko Perkasa, misalnya, ternyata hanya bisa melego BPPN seharga Rp 16,2 triliun. Padahal utang Salim Group total bernilai Rp 52,7 triliun.

Begitu juga aset Sjamsul Nursalim: saat diserahkan ke BPPN dihitung bernilai Rp 27,4 triliun, sementara nilai riilnya ternyata hanya sekitar Rp 6 triliun. Itu pula yang membuat mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Satrio Boedihadjo Joedono pernah menyatakan bahwa pihaknya akan mengaudit proses pemberian surat keterangan lunas bagi 21 konglomerat ini.

Jadi, kenapa pemerintahan Yudhoyono secara dini menyatakan bahwa penerbitan surat keterangan lunas bagi sejumlah konglomerat ini tak akan dicabut dengan alasan bahwa kebijakan tersebut merupakan keputusan pemerintahan lama? Ataukah sikap tersebut memang menafikan ketidakadilan yang dirasakan khalayak luas?

Jika benar itu yang sesungguhnya terjadi, maka pendapat ekonom Faisal Basri benar sekali: pemerintahan sekarang pun memberikan perlindungan terhadap konglomerat hitam. Ini sungguh menyakitkan karena serta-merta membuyarkan harapan besar publik terhadap pemerintahan baru ini: bahwa konglomerat pengutang kakap tak otomatis dianggap tak berdosa semata karena mereka telah melunasi utang. Publik sangat berharap kesalahan mereka menyelewengkan uang negara tetap diproses di muka hukum -- karena jelas merupakan tindak kriminal.***
Jakarta, 25 Oktober 2004

22 Oktober 2004

Tim Ekonomi Kabinet

Jujur saja, tim ekonomi dalam Kabinet Indonesia Bersatu bukan the dream team. Maklum, memang, karena tim ini bukan sepenuhnya diisi oleh figur-figur profesional. Beberapa nama ditempatkan di tim ekonomi ini, tampaknya, bukan terutama karena kapabilitas mereka, melainkan lebih karena pertimbangkan politis. Persisnya dalam rangka mengakomodasi titipan partai politik terkait persoalan balas jasa.

Tapi tak apa. Itu soal lumrah -- dan nyatanya masih bisa ditoleransi. Lagi pula, kalau saja benar-benar murni diisi oleh figur-figur profesional, tim ekonomi ini belum tentu mampu tampil sebagai tim yang solid dan kompak. Bisa kita bayangkan andai Rizal Ramli, misalnya, masuk menjadi tim ekonomi (sebut saja sebagai Menteri Keuangan sebagaimana bisik-bisik yang sempat beredar), sementara di sisi lain di kabinet terdapat pula Sri Mulyani yang menempati pos Menneg Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas.

Jika itu terjadi, amat boleh jadi, sejak awal tim ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu ini sulit bisa akur. Justru itu, secara keseluruhan kinerja kabinet pun mungkin tidak tajam terfokus dan tak optimal. Maklum karena pandangan atau prinsip ekonomi yang dianut Rizal Ramli dan Sri Mulyani saling bertentangan dan tampaknya sulit dikompromikan. Apalagi jika perbedaan prinsip itu juga berkait dengan masalah ego dan reputasi pribadi masing-masing.

Jadi, the dream team belum tentu menjadi jaminan. Sementara formasi tim ekonomi yang kini dikomandani Aburizal (Ical) Bakrie sendiri relatif bisa diandalkan mampu menggulirkan perbaikan kehidupan ekonomi nasional. Melihat figur-figurnya, anatomi tim ekonomi ini terbilang lumayan bagus.

Ical sendiri bukan figur asing. Dia adalah tokoh pengusaha nasional papan atas yang menggenggam kelompok usaha Bakrie. Lepas dari track record-nya dalam mengayuh bisnis yang tidak sepenuhnya cemerlang -- antara lain kita tahu bahwa sejumlah unit usaha Grup Bakrie pernah sempat harus dirawat di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) --, Ical niscaya mengetahui betul tantangan nyata yang dihadapi ekonomi nasional maupun aspirasi yang berkembang di dunia usaha kita.

Terlebih lagi Ical selama 10 tahun memimpin organisasi Kadin Indonesia yang memungkinkannya tidak saja bergaul intens dengan berbagai lapisan dunia usaha, melainkan juga terkondisi membuat dia memiliki perspektif ekonomi lebih luas dalam konteks ekonomi nasional maupun global. Justru itu, Ical amat bisa diharapkan mampu mengarahkan kebijakan-kebijakan ekonomi yang lebih market friendly alias produnia usaha.

Di lain pihak, kapabilitas Jusuf Anwar yang dipercaya menjabat pos Menteri Keuangan juga tak cukup beralasan diragukan. Dia adalah birokrat tulen yang terus meniti karier di lingkungan keuangan. Dia antara lain pernah menjadi Kepala Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). Sementara selama beberapa tahun terakhir dia menjadi Direktur Eksekutif Bank Pembangunan Asia (ADB). Bekal pengalaman itu tentu menjadi modal berharga bagi Jusuf dalam mengomandani Lapangan Banteng. Selebihnya, karena jadi nakhoda di kapal sendiri, dia niscaya bisa langsung tancap gas.

Andung Nitimiharja juga bukan figur asing bagi lingkungan pos Menteri Perindustrian. Meski selama beberapa tahun terakhir berkiprah di Kantor Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dia sejatinya adalah orang dalam Departemen Perindustrian. Dia memang meniti karier di departemen tersebut.

Walhasil, Andung juga sudah tahu persis apa yang harus diperbuat selaku orang nomor satu di Departemen Perindustrian ini. Bahkan pengalamannya selama beberapa tahun berkiprah di BKPM, niscaya menjadi nilai lebih bagi dia dalam menghadapi tantangan ke depan ini.

Akan halnya Marie Pengesti, yang dipasang Presiden Yudhoyono sebagai Menteri Perdagangan, memang figur baru dalam dunia birokrasi. Tapi dia adalah pakar masalah perdagangan internasional. Itu jelas merupakan bekal tak ternilai bagi dia dalam memimpin Departemen Perdagangan. Sebaliknya bagi Departemen Perdagangan sendiri, Marie adalah figur yang selama ini dicari.

Kapabilitas seorang Marie Pangestu memang amat dibutuhkan. Ini bukan cuma lantaran ada pos baru yang harus diisi, menyusul keputusan Presiden Yudhoyono memisahkan kembali Departemen Perdagangan dari Departemen Perindustrian. Lebih dari itu, kapabilitas Marie sendiri -- di tengah arus era perdagangan bebas sekarang ini -- memang cocok menempati pos itu. Lewat kiprah dia ke depan ini, kita bisa berharap kegiatan perdagangan kita dalam lingkup global tak lagi keteteran oleh aneka perjanjian dagang internasional yang tak jarang menjebak dan memenjara kita.

Beberapa figur lain dalam tim ekonomi ini juga tak layak kita anggap remeh. Paling tidak jika melihat latar belakang pendidikan, mereka juga bisa cukup mumpuni di bidang masing-masing. Anton Apriantono, misalnya. Sebagai sarjana pertanian, dia tentu bisa diharapkan berbuat nyata sebagai Menteri Pertanian.

Tetapi, bagaimanapun tim ekonomi ini takkan bisa berbuat seperti pesulap. Dalam menghadapi tantangan, terutama dalam masa 100 hari pertama berkuasa, mereka tak bisa cukup berucap "sim salabim". Artinya, kita jangan berharap terlalu muluk. Kita harus realistis bahwa dalam 100 hari pertama, mereka tak serta-merta bisa tuntas menyelesaikan semua masalah.***
Jakarta, 22/10/2004

15 Oktober 2004

Efisiensi PLN

Bahan bakar minyak (BBM) memang merupakan komponen produksi tenaga listrik. Tetapi relevankah tarif dasar listrik otomatis harus dinaikkan jika pemerintah memutuskan menaikkan harga BBM di dalam negeri?

Bahwa harga BBM di dalam negeri harus dinaikkan, tampaknya, memang sulit dihindari pemerintahan baru pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono. Jika tidak, pemerintahan Yudhoyono niscaya harus menanggung risiko serius: APBN babak-belur terkait pemberian subsidi harga BBM. Kenaikan harga minyak mentah di pasar dunia yang melambung jauh di atas patokan APBN, memang niscaya membuat subsidi BBM yang dikucurkan pemerintah jadi ikut-ikutan melonjak.

Risiko itu sulit dihindari karena kita sekarang ini sudah termasuk net importer minyak. Artinya, produksi minyak yang kita hasilkan sudah tak seimbang lagi dengan tingkat konsumsi BBM di dalam negeri -- dan karena itu kita terpaksa mengimpor kekurangannya. Jadi, sekali lagi, pemerintahan Yudhoyono yang segera terbentuk tampaknya memang sungguh sulit tidak menaikkan harga BBM.

Tetapi apakah betul jika harga BBM naik, maka PLN pun sulit pula tidak ikut-ikutan menaikkan tarif dasar litrik? Sepintas, jika melihat kenyataan bahwa BBM termasuk salah satu komponen produksi tenaga listrik, kenaikan harga BBM memang membuat PLN sulit tidak menaikkan pula tarif dasar listrik. Itu juga yang membuat Dirut PLN Eddie Widiono begitu mantap menyatakan bahwa jika harga BBM naik, maka tarif dasar listrik pun otomatis naik pula.

Tetapi asumsi itu bisa menyesatkan. Kenaikan harga BBM seharusnya tidak selalu otomatis membuat tarif dasar listrik ikut dinaikkan pula. Bisa saja terjadi, tarif dasar listrik sama sekali tidak berubah, meski harga BBM naik. Jika kenaikan harga BBM relatif tak signifikan, penyesuaian tarif dasar listrik bisa dihindari.

Bahkan kalau kenaikan harga BBM terbilang signifikan pun, seharusnya penyesuaian tarif dasar listrik tidak menjadi langkah yang niscaya. Artinya, kenaikan tarif dasar listrik tetap bisa dihindari. Dalam konteks ini, beban yang tertoreh sebagai dampak kenaikan harga BBM bisa dikompensasi oleh efisiensi proses produksi tenaga listrik.

Justru itu, pernyataan Dirut PLN Eddie Widiono -- bahwa jika harga BBM naik, maka tarif dasar listrik pun otomatis ikut naik -- secara tidak langsung gamblang membukakan kenyataan bahwa kegiatan operasional PLN belum juga efisien. Jadi, rupanya selama ini PLN belum kunjung mampu berbenah diri sehingga berbagai inefisiensi tetap saja masih tertoreh.

Kita tidak tahu persis seberapa dalam atau seberapa parah inefisiensi dalam kegiatan operasional PLN ini. Yang pasti, secara ekonomi soal itu menorehkan kerugian tidak kecil. Maka tak heran jika kinerja PLN pun sejauh ini tergolong tidak sehat. Saban tahun PLN terus saja membukukan kerugian.

Itu pula yang membuat kenaikan harga BBM pun menjadi faktor yang begitu niscaya berdampak terhadap tarif dasar listrik. PLN sepertinya benar-benar tak bisa menghindari pilihan menyesuaikan tarif dasar listrik jika pemerintah berkuputusan menaikkan harga BBM.

Ihwal inefisiensi sendiri, sebagai salah satu faktor yang membuat PLN terus merugi, boleh dikatakan sudah menjadi rahasia umum. Sebut saja soal pencurian tenaga listrik. Masalah ini sudah menggejala atau dikeluhkan manajemen PLN sejak lama. Tapi PLN tak pernah bisa menangani masalah ini hingga tuntas. Bahkan, tampaknya, masalah pencurian tenaga listrik ini kian menggila -- dalam arti semakin menyebar dan masif. Gambaran tentang itu, seperti pernah diberitakan, tercermin dalam nilai kerugian yang terus menanjak dalam bilangan triliunan rupiah.

Dalam konteks itu, kita menangkap kesan bahwa PLN kurang berdaya. Tentu itu bukan tanpa sebab. Mungkin strategi penanganan masalah pencurian tenaga listrik ini kurang berdaya guna. Mungkin juga tenaga petugas yang dikonsentrasikan menangani masalah itu amat terbatas.

Tapi boleh jadi pula, sikap mental petugas sendiri turut mengondisikan tindak pencurian tenaga listrik tak pernah reda. Kita sering mendengar bahwa oknum petugas PLN gampang diajak kompromi manakala mereka menemukan kasus pencurian tenaga listrik. Bahkan, konon, tak jarang justru mereka pula yang secara teknis membuat instalasi listrik bisa diakali menjadi tidak berfungsi sebagaimana mestinya: bukan saja daya listrik jadi tak terbatas, bahkan kinerja meteran juga tidak prima.

Kenyataan seperti itu menunjukkan bahwa PLN tak kunjung mampu berbenah diri. Tak heran jika inefisiensi pun terus menggelayuti operasional PLN.

Namun justru itu, sungguh tidak fair jika ketidakmampuan PLN menangani inefisiensi lantas dibebankan kepada konsumen dalam bentuk penyesuaian tarif dasar listrik setiap kali faktor dependen seperti harga BBM berubah naik. Kita sulit menerima beban kerugian yang membengkak dijadikan alasan kenaikan tarif dasar listrik selama inefisiensi dalam operasional PLN terus menggejala dalam skala masif.***
Jakarta, 15 Oktober 2004

24 September 2004

Subsidi BBM

Ada wacana baru yang digulirkan pemerintah dalam beberapa hari belakangan ini. Itulah: bahwa harga jual bahan bakar minyak (BBM) untuk konsumsi dalam negeri perlu dinaikkan. Jika tidak, subsidi BBM dalam tahun 2004 niscaya membengkak signifikan. Maklum, memang, karena harga minyak di pasar dunia ternyata jauh lebih tinggi ketimbang patokan yang disepakati pemerintah dalam APBN.

Kali pertama, wacana itu dilontarkan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Purnomo Yusgiantoro, Selasa lalu. Wacana tersebut kemudian ditegaskan Presiden Megawati Soekarnoputri di depan sidang tahunan MPR, kemarin.

Wacana itu menarik karena menunjukkan kesadaran pemerintah bahwa subsidi BBM yang membengkak, akibat lonjakan harga minyak di pasar internasional, sama sekali tidak produktif. Padahal dana yang dialokasikan untuk itu jelas akan jauh lebih memberi manfaat dan memberi nilai tambah jika disalurkan ke sektor-sektor lain semisal sektor pendidikan, kesehatan, atau infrastruktur ekonomi.

Sebenarnya, kesadaran itu bukan baru tertoreh kemarin sore. Paling tidak, ketika harga minyak ternyata melambung jauh di atas harga patokan APBN pada paro kedua tahun ini, pemerintah sudah menyadari betul bahwa subsidi BBM makin membenahi. Karena itu, pemerintah dihadapkan pada opsi menempuh kebijakan tidak populer: mencabut subsidi BBM -- paling tidak untuk beberapa jenis BBM yang nyata-nyata lebih banyak dikonsumsi masyarakat lapisan menengah atas.

Tetapi pemerintah tak berani menempuh kebijakan itu. Pemerintah lebih memilih menggelar kebijakan populis -- kendati harus menanggung risiko pembengkakan subsidi BBM. Kita menduga, itu terkait dengan kepentingan politis menjelang pemilihan presiden. Sebagai calon presiden yang kebetulan sedang berkuasa, Megawati jelas menghindari kebijakan-kebijakan yang tidak populer -- karena bisa kontraproduktif terhadap kepentingannya memenangi pemilihan presiden.

Karena itu pula kita bisa pahami kenapa sekarang tiba-tiba pemerintah melontarkan wacana tentang penyesuaian harga BBM. Sebagai pihak yang hampir pasti gagal memertahankan kekuasaan, Megawati memang kini tak lagi memiliki beban untuk memasalahkan subsidi BBM yang makin membebani ini.

Tetapi itu tetap positif. Dengan melontarkan wacana itu, pemerintahan Megawati secara tidak langsung mengingatkan penggantinya agar tidak meneruskan "kekeliruan" selama ini. Mereka tersirat menekankan bahwa pemerintahan baru harus berani menempuh kebijakan tidak populer: mengurangi subsidi BBM, khususnya pada jenis-jenis BBM yang relatif tak banyak dinikmati rakyat kecil seperti bensin dan solar. Jika tidak, pemerintahan baru harus siap menanggung beban subsidi yang demikian menggunung. Risiko itu bukan saja harus ditanggung pada saat sekarang ini, melainkan juga pada tahun-tahun ke depan -- karena harga minyak dunia tampaknya cenderung terus menapak pada level tinggi.

Khusus BBM jenis minyak tanah yang diperuntukkan bagi lapisan masyarakat paling bawah (kelompok rumah tangga dan usaha kecil), harga eceran yang ditetapkan pemerintah (Rp 700 per liter) jauh di bawah harga patokan maupun harga batas atas (ceiling price). Sebelum harga minyak mentah melonjak hebat saja, harga patokan minyak tanah ini adalah Rp 2.400 per liter, sementara harga batas atas Rp 2.200 per liter. Lalu untuk BBM jenis solar, sejak Januari 2003 pemerintah menetapkan harga sebesar Rp 1.650 per liter. Ini juga jauh di bawah harga patokan sebesar Rp 2.400 per liter maupun harga batas atas sebesar Rp 2.100 per liter.

Walhasil, untuk setiap liter minyak tanah bagi kelompok konsumen rumah tangga dan usaha kecil, pemerintah memberi subsidi sebesar Rp 1.700. Sedangkan terhadap BBM jenis minyak solar sekitar Rp 750 per liter. Ironisnya, untuk BBM jenis bensin yang diperuntukkan terutama bagi transportasi mobil pribadi atau kelompok masyarakat yang relatif mampu, pemerintah masih juga memberikan subsidi sekitar Rp 600 per liter.

Angka-angka subsidi itu berdasar perhitungan tatkala harga minyak dalam APBN 2004 diasumsikan sebesar 22 dolar AS per barel. Sekarang, asumsi harga minyak dalam APBN ini sudah direvisi menjadi 36 dolar AS per barel. Justru itu, jelas, nilai subsidi dalam setiap liter minyak tanah untuk kelompok rumah tangga dan usaha kecil maupun dalam setiap liter solar dan bensin jauh lebih besar lagi dibanding angka-angka yang disebutkan di muka. Tak heran jika jumlah subsidi BBM dalam APBN Perubahan 2004 pun membengkak menjadi Rp 63 triliun.

Namun dalam laporan Panja Rapat Panitia Anggaran DPR dan dengan pemerintah cq Menteri Keuangan, Rabu malam lalu, disebutkan bahwa realisasi subsidi BBM dalam tahun 2004 disepakati lebih rendah Rp 3,904 triliun menjadi Rp 59,179 triliun.

Namun angka itu tetap saja amat membebani. Bayangkan saja, angka itu empat kali lipat lebih dibanding alokasi semula sebesar Rp 14,5 triliun. Jadi, memang, subsidi BBM -- khususnya jenis bensin, solar, dan minyak tanah untuk industri -- beralasan dikurangi atau bahkan dihapuskan. Artinya, harga masing-masing jenis BBM tersebut perlu dinaikkan.

Beranikah pemerintahan baru menjawab tantangan itu? Tidak populer, memang. Tapi ibarat obat, itu menyehatkan.***
Jakarta, 24 September 2004

11 September 2004

Dampak Teror Bom

Mungkin benar bahwa dampak teror bom yang berdebam di depan Kedubes Australia di kawasan Kuningan Jakarta, Kamis lalu, terhadap kehidupan ekonomi nasional tak perlu terlampau dirisaukan. Seperti kata Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, dampak tersebut kemungkinan hanya bersifat sementara dalam rentang relatif pendek. Bercermin pada pengalaman serupa -- tragedi bom Bali maupun bom JW Marriott --, kehidupan ekonomi nasional pascatragedi bom Kuningan mungkin bisa diharapkan segera pulih kembali.

Tetapi kita khawatir bahwa kenyataan itu hanya tercermin di pasar modal dan pasar uang. Sesaat setelah bom meledak di depan Kedubes Australia, pelaku pasar modal maupun pasar uang memang dilanda panik. Maka Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta (BEJ) pun segera anjlok sebesar 31,857 poin ke level 757,278. Kalangan investor, dalam kaitan ini, melakukan aksi buang terhadap hampir seluruh saham yang diperdagangkan di BEJ.

Namun kepanikan itu hanya berlangsung sesaat. Perlahan-lahan pasar kembali pulih hingga IHSG pun kemudian ditutup di level 782,650 atau hanya terkoreksi 6,485 poin dibanding akhir perdagangan Rabu silam. Pemulihan itu bahkan berlanjut saat perdagangan mulai dibuka kembali pada Jumat pagi kemarin.

Begitu juga kurs rupiah. Meski sesaat setelah bom meledak rupiah terhempas ke level Rp 9.350 per dolar AS, di akhir penutupan pasar spot antarbank Jakarta, Kamis itu, rupiah terkunci di posisi sama seperti sat penutupan perdagangan Rabu, yakni Rp 9.300 per dolar AS. Jumat kemarin pun pergerakan rupiah ini menunjukkan kecenderungan stabil.

Tetapi secara keseluruhan, tampaknya, dampak teror bom Kuningan ini terhadap ekonomi nasional sungguh tak bisa dipandang enteng. Bahkan Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah, misalnya, terus-terang amat merisaukan soal itu. Menurut dia, aksi pemboman di depan Kedubes Australia niscaya membawa dampak besar terhadap ekonomi nasional -- karena peristiwa tersebut memiliki magnitude hebat.

Sebenarnya, dampak tragedi bom Bali dan bom Marriott sendiri terhadap kehidupan ekonomi nasional ini belum sepenuhnya sirna. Paling tidak, itu nyata tercermin dalam kegiatan investasi langsung (direct invesment) yang tak kunjung bergeliat signifikan. Kalangan pemilik modal, dalam konteks ini, amat terlihat enggan masuk. Bahkan mereka yang sejak lama berusaha di negeri kita pun, satu demi satu terus menutup dan memindahkan proyek mereka ke negeri lain.

Justru itu, setelah teror bom kembali mencuat, amat boleh jadi kalangan investor makin enggan menanam modal di negeri kita. Kita bisa menduga bahwa bagi mereka, menanam modal di Indonesia sekarang ini amat berisiko. Maklum, memang, karena faktor keamanan menempati urutan teratas dalam persepsi pemilik modal sebelum mereka memutuskan menambur investasi di suatu negeri.

Walhasil, menyusul tragedi bom Kuningan ini, profil risiko negeri kita (country risk) di mata kalangan investor pun niscaya kembali melorot. Padahal perbaikan profil country risk ini sungguh tidak mudah: dunia internasional harus benar-benar yakin bahwa keamanan di negeri kita tak perlu dirisaukan.

Untuk itu, jelas dibutuhkan proses dan waktu. Kita harus menunjukkan bahwa kita serius dan mampu memerangi segala macam teror. Dunia harus diyakinkan bahwa kita tak sedikit pun berkompromi terhadap segala bentuk gangguan keamanan.

Celakanya, itu tidak cukup sekadar ditunjukkan lewat pernyataan. Dunia internasional, terutama, tidak bakal bisa merasa yakin bahwa negeri kita aman selama teror terus pekat membayang. Bagaimanapun, keseriusan dan kemampuan kita memerangi teror ini amat menuntut bukti-bukti nyata.

Dalam konteks itu, sekarang ini aparat keamanan niscaya sangat dituntut mampu kembali menunjukkan kecemerlangan kerja seperti dalam mengungkap dan menangani kasus bom Bali maupun bom Marriott. Jika tragedi bom Kuningan tak bisa diungkap dan ditangani tuntas dalam tempo relatif singkat, kecermerlangan yang telah terukir itu bisa sia-sia. Masyarakat akan pekat dibayangi waswas mengenai kemungkinan munculnya lagi aksi teror. Terlebih lagi, gembong teror yang amat meresahkan -- Dr Azahari dan Nurdin M Top -- belum juga berhasil dibekuk.

Di kaitkan dengan kehidupan ekonomi, bayangan teror itu sungguh tidak menguntungkan. Itu tadi, paling tidak, country risk kita di mata investor akan terus menapak di level rendah. Tak bisa tidak, karena itu, kegiatan investasi langsung pun menjadi makin tidak bergairah. Itu bukan hanya berimbas terhadap masalah ketenagakerjaan, melainkan juga menahan laju ekonomi secara keseluruhan.

Jadi, dampak tragedi bom Kuningan sungguh tak bisa dipandang remeh. Pernyataan Menko Perekonomian tadi -- bahwa dampak teror bom itu tak perlu terlalu dirisaukan -- barangkali sekadar ungkapan menghibur agar kita tak panik.***
Jakarta, 11 September 2004

16 Agustus 2004

Divestasi Permata

Jelas sudah, siapa saja yang segera saling bersaing dalam tender penjualan 51 persen saham pemerintah di Bank Permata. PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) akhir pekan lalu resmi meloloskan sepuluh penawar (bidder) dalam divestasi Bank Permata melalui penjualan berpola aliansi strategis (strategic sale) ini. Kesepuluh calon investor itu lolos dalam pengajuan minat awal (indicative interest).

Menurut rencana, calon-calon investor itu disaring lagi untuk masuk daftar penawar terbatas (short listed bidder), Selasa besok. Pemenang tender penjualan saham Bank Permata ini kemudian diumumkan pada November mendatang.

Kesepuluh bidder itu sendiri terdiri atas Konsorsium Barclays Bank-Rabobank-Danamon; Bumiputera Commerce Bank; Bank Mandiri-Bank Buana; Konsorsium Bank Panin-ANZ Group Ltd; Stanchart-Astra International; Swissfirst; Wachofia; Maybank-Jamsostek; BRI-Hong Leong Bank; dan UOB. Mereka telah memeroleh letter of procedure dan information memorandum yang diperlukan dalam rangka memersiapkan indicatice interest pada Senin ini.

Terus-terang, kita sulit memerkirakan konsorsium mana yang kelak keluar sebagai pemenang tender penjualan 51 persen saham pemerintah di Bank Permata ini. Yang pasti, kita agak tergelitik oleh pertanyaan berikut: mungkinkah investor lokal mengalahkan pihak asing?

Pertanyaan itu menggelitik karena selama ini selalu saja investor asing yang tampil sebagai pemenang dalam berbagai divestasi aset negara kita. Temasek (Singapura), misalnya, sukses menguasai Bank Danamon. Lalu Commerce Asset Berhad (Malaysia) memenangi tender penjualan saham pemerintah di Bank Niaga. Sementara Swissglobal berhasil menjadi pemilik baru Bank Lippo, lalu konsorsium investor Singapura dan Korsel menguasai Bank Internasional Indonesia. Di lain pihak, Konsorsium Faralon sukses mengambil-alih Bank BCA.

Di sisi lain, investor asing juga terbukti tidak lebih becus dalam mengelola bank. Kajian Institute for Development of Economics and Finance (Indef) yang diumumkan pekan lalu mengungkapkan, bank-bank nasional yang mayoritas sahamnya kini dikuasai asing melalui divestasi tidak menunjukkan peningkatan kinerja mengesankan. Profitabilitas, produktivitas, efisiensi, ataupun margin usaha bank-bank tersebut tidak lebih baik dibanding bank hasil divestasi yang kini dikendalikan pemodal domestik.

Karena itu, tidak berlebihan kalau kita amat berharap agar pemenang tender penjualan saham Bank Permata adalah investor lokal. Ini bukan semata semangat nasionalisme, melainkan terutama karena investor lokal lebih bisa diharapkan memiliki komitmen besar memfungsikan bank sebagai motor pembangunan nasional.

Melihat komposisi peserta tender penjualan saham Bank Permata sendiri, sebenarnya antara sosok asing dan lokal bisa dikatakan berimbang. Apalagi kebanyakan konsorsium merupakan perpaduan asing dan lokal. Sementara sosok yang sepenuhnya asing -- dalam arti tidak menggandeng investor lokal -- kali ini diwakili oleh Swissfirst, Wachofia, dan UOB. Tapi karena sosok lokal murni sendiri hanya terdiri atas Bank Mandiri-Bank Buana, agaknya sosok asing dalam divestasi Bank Permata ini pun masih bisa dikatakan relatif mendominasi. Justru itu, jika semata menimbang sosok peserta, jelas probabilitas asing memenangi tender penjualan saham Bank Permata lebih tinggi.

Namun, tentu, peluang investor lokal sendiri tetap tidak bisa dibilang kecil. Probabilitas mereka tampil sebagai pemilik baru Bank Permata sama seperti peluang asing ataupun gabungan asing dan lokal. Toh pemenang tender penjualan saham Bank Permata ini bukan ditentukan oleh soal faktor sosok asing ataupun lokal. Bagaimanapun, faktor penentu kemenangan adalah harga penawaran tertinggi plus rencana bisnis serta aspek kelayakan dan kepatutan (fit and proper) calon investor.

Kita sendiri berharap, di samping mengalirkan pemasukan ke kas negara, divestasi Bank Permata ini menghasilkan makna strategis terhadap industri perbankan serta kehidupan ekonomi nasional. Divestasi Bank Permata jangan lagi seperti divestasi bank-bank terdahulu: sekadar memindahkan kepemilikan.

Terus-terang, kita menginginkan agar divestasi kali ini menjadi wahana ke arah penguatan kelembagaan dan skala usaha perbankan nasional sesuai Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang digariskan Bank Indonesia. Itu berarti, kita berharap pemenang tender kelak tidak memerlakukan Bank Permata sebagai unit usaha yang tetap berdiri sendiri, melainkan dilebur ke tubuh institusi perbankan mereka sendiri hingga kemudian lahir bank yang lebih besar dan kuat dalam segala aspek.

Untuk itu, mudah-mudahan pemenang tender penjualan Bank Permata ini adalah investor lokal. Kita percaya, investor lokal lebih memiliki keinginan besar segera memenuhi API, di samping memiliki komitmen lebih mendorong pembangunan ekonomi nasional.***
Jakarta, 16 Agustus 2004

14 Agustus 2004

Kebijakan Alternatif

Pemerintah sudah memastikan bahwa subsidi pupuk belum akan dihapus. Kebijakan tersebut tetap akan digelar. Paling tidak, hingga tahun depan subsidi yang dalam praktik diberikan melalui subsidi harga gas bagi produsen pupuk itu, teroritis, masih bisa dinikmati petani. Jumlahnya juga tetap Rp 1,3 triliun.

Untuk itu, pemerintah berjanji memerbaiki sistem atau mekanisme produksi maupun distribusi pupuk bersubsidi hingga bisa tepat waktu dan tepat jumlah. Dengan demikian, krisis pupuk pada musim tanam tak lagi tertoreh seperti selama ini.

Sejauh terbukti efektif, barangkali itu lebih baik ketimbang menerapkan mekanisme penyanggaan harga gabah petani sebagaimana wacana yang sempat berkembang terkait dengan subsidi pupuk ini. Terlebih lagi, kita belum beroleh gambaran bahwa mekanisme penyanggaan harga gabah di tingkat petani bisa benar-benar efektif.

Patut diakui, memang, selama ini subsidi pupuk terasa mubazir. Betapa tidak, karena krisis pupuk hampir selalu terjadi saat musim tanam tiba. Kalangan petani padi kesulitan memeroleh pupuk. Sarana produksi tani tersebut hilang begitu saja dari pasar justru ketika mereka amat membutuhkan.

Kalaupun bisa diperoleh, harga pupuk melambung jauh di atas patokan harga eceran tertinggi yang digariskan pemerintah. Tak pelak lagi, bagi petani, kebijakan subsidi pupuk ini jadi terasa nyaris tak berguna.

Kuat dugaan, subsidi pupuk ini justru lebih banyak dinikmati pihak pabrikan dan distributor. Karena subsidi pupuk ini disalurkan dalam bentuk subsidi gas kepada pabrik pupuk, maka pihak terakhir itu kemudian bisa menghasilkan pupuk yang relatif lebih murah dari segi ongkos produksi dibanding di mancanegara. Ini yang kemudian menimbulkan moral hazard di kalangan pabrik pupuk dengan menjual produk mereka ke pasar ekspor. Dengan begitu, mereka bisa memeroleh untung jauh lebih besar. Tapi akibatnya, pasokan untuk petani padi -- notabene adalah sasaran pemberian subsidi pupuk -- menjadi berkurang.

Kenyataan itu diperparah oleh penyimpangan di tingkat distribusi. Disparitas harga pupuk untuk petani padi (bersubsidi) dan pupuk untuk perkebunan (tidak bersubsidi) lagi-lagi melahirkan moral hazard. Distribusi pupuk bersubsidi diselewengkan distributor atau pengecer ke sektor perkebunan. Maka, pasokan pupuk (bersubsidi) untuk petani padi pun jadi morat-marit. Ketika musim tanam tiba, krisis pupuk nyaris tak terhindarkan lagi.

Karena itu, kita bisa memahami pemikiran untuk mengalihkan subsidi pupuk ini langsung kepada petani. Subsidi tak lagi diberikan dalam bentuk pupuk, melainkan dialokasikan untuk pembelian gabah petani.

Memang, pengalihan subsidi niscaya membuat harga pupuk melambung sesuai harga pasar. Tapi, boleh jadi, itu bagi petani tak terlalu jadi soal. Toh selama ini pun pemberian subsidi pupuk acap tak efektif hingga mereka terpaksa membeli pupuk dengan harga mendekati pasar. Justru itu pula, pengalihan subsidi barangkali malah lebih baik karena petani tak berisiko kesulitan memeroleh pupuk saat musim tanam tiba.

Di sisi lain, pengalihan dana subsidi pupuk menjadi subsidi langsung kepada petani juga menjanjikan kemungkinan bahwa harga gabah di musim panen raya tidak jeblok lagi. Dengan memindahkan alokasi dana subsidi pupuk menjadi dana pembelian gabah, pemerintah bisa menyerap gabah pada tingkat harga tertentu yang relatif memberi keuntungan bagi petani.

Tetapi, bagaimanapun, itu masih teoritis. Perlu kita sadari pula bahwa kenyataan yang terjadi bisa lain. Belum ada jaminan bahwa harga gabah di tingkat petani pada musim panen raya tidak jeblok.

Memang, di masa lalu, Bulog pernah berperan sebagai institusi penyangga harga gabah petani ini. Terutama manakala terindikasi harga gabah petani melorot, Bulog kala itu segera turun melakukan penyerapan melalui satgas-satgas dan jajaran Dolog di berbagai daerah. Secara umum, peran tersebut acap berhasil: harga gabah di tingkat petani bisa ternagkat kembali -- minimal di sekitar harga patokan pemberlian yang dipatok pemerintah.

Apakah dalam rangka pengalihan subsidi pupuk ini Bulog perlu ditunjuk kembali melakukan fungsi penyanggaan harga gabah? Jika semata menimbang kelengkapan infrastruktur, Bulog memang paling bisa diandalkan mengemban peran itu. Dengan jaringan organisasi yang tersebar demikian luas hingga jauh ke pelosok-pelosok -- termasuk kelengkapan pergudangan -- Bulog memang amat strategis difungsikan lagi sebagai institusi penyenggaan harga gabah petani ini.

Tetapi soalnya, kelembagaan Bulog sendiri sudah berubah. Bulog bukan lagi seperti dulu yang setiap saat siap terjun melakukan penyerapan gabah petani tanpa memertimbangkan faktor untung-rugi. Karena sudah berstatus sebagai perusahaan umum, bagaimanapun kini Bulog sulit bisa diharapkan mampu optimal mengemban peran itu. Sedikit atau banyak, mereka tentu harus berhitung dalam mengemban peran penyanggaan harga gabah ini. Jika lebih banyak menorehkan kerugian, tentu mereka keberatan.

Kalaupun ditunjuk lembaga lain yang berfungsi mengemban peran itu, terus-terang kita ragu bahwa maksud tujuan utama pengalihan subsidi pupuk bisa efektif tercapai. Bukan saja peran tersebut menuntut kemampuan manajerial tersendiri, melainkan juga membutuhkan kelengkapan infrastruktur. Tanpa kedua prasyarat itu, fungsi penyanggaan harga gabah sulit diharap bisa berhasil.

Pemerintah sendiri, tampaknya, sudah melakukan langkah penjajakan menyangkut peran dan fungsi yang dulu pernah diemban Bulog. Dalam rangka mengamankan harga gabah di tingkat petani, pemerintah menunjuk sebuah BUMN -- PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) -- melakukan peran dan fungsi itu. Namun sejauh ini PPI terbukti kedodoran. Bekal pengalaman maupun kelengkapan infrastruktur mereka, tampaknya, amat tidak memadai.

Karena itu pula, keputusan pemerintah tetap menggelar kebijakan subsidi pupuk -- sepanjang konsisten diikuti dengan pembenahan mekanisme produksi dan distribusi pupuk bersubsidi -- barangkali memang lebih baik. Jika langkah tersebut sama sekali tak mengubah kecenderungan selama ini -- terjadi krisis pupuk saat musim tanam tiba -- subsidi pupuk amat beralasan dihapuskan.

Dana subsidi pupuk sendiri lebih baik dialihkan utuk perbaikan infrastruktur pertanian yang memungkinkan produktivitas dan efisiensi budidaya padi meningkat drastis, serta di sisi lain kualitas gabah yang dihasilkan pun membaik pula. Dengan demikian, harga gabah di tingkat petani bisa diharapkan tak lagi tertekan seperti selama ini.***
Jakarta, 14 September 2004

13 Agustus 2004

Asumsi Harga

Subsidi bahan bakar minyak (BBM) dalam RAPBN 2005 dialokasikan sebesar Rp 21 triliun. Sangat boleh jadi, dalam tahap realisasi nanti, nilai subsidi BBM yang harus dikucurkan pemerintah malah lebih besar lagi. Maklum karena harga minyak mentah di pasar dunia cenderung tetap tinggi. Sekarang ini saja, harga minyak mentah ini sudah hampir menyentuh 50 dolar AS per barel. Di bursa berjangka New York Merchantile, akhir pekan lalu, harga minyak untuk kontrak September mencapai rekor baru sepanjang sejarah: 48,88 dolar AS per barel. Begitu juga di pasar Asia, harga minyak mentah ini semakin mendekati level 50 dolar AS per barel.

Menurut kalangan analis dan pengamat masalah perminyakan, harga minyak mentah di pasar internasional kemungkinan besar tetap bertahan di atas 45 dolar AS per barel. Mereka menunjuk beberapa faktor yang cenderung kuat melahirkan kondisi seperti itu. Antara lain kemampuan Organisasi Negara Perngekspor Minyak (OPEC) semakin kendor. Juga konsumsi minyak di Cina dan India melonjak hebat. Belum lagi raksasa produsen minyak Rusia, Yukos, terancam bangkrut. Di lain pihak, kondisi Irak tak kunjung stabil hingga berpengaruh terhadap kinerja mereka dalam memproduksi minyak. tak kunjung stabil.

Di tengah kondisi harga minyak mentah yang cenderung terkondisi tingggi itu, asumsi harga BBM dalam RAPBN justru lebih rendah. Presiden Megawati Soekarnoputri, saat menyampaikan nota keuangan dan RAPBN 2005 di hadapan sidang pleno DPR, beberapa waktu lalu, memang tak eksplisit menyebut angka tentang itu. Tapi dalam kesempatan terpisah, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro mengungkapkan bahwa patokan harga BBM dalam RAPBN 2005 adalah Rp 24 dolar AS per barel.

Angka itu jelas terlampau jauh di bawah tingkat harga minyak mentah di pasar internasional sekarang ini. Selisih harga yang tertoreh mencapai 20 dolar AS lebih. Ini amat riskan karena menyimpan bom waktu. Seperti kalangan analis dan pengamat, harga minyak di luar negeri tidak mungkin turun amat drastis. Harga minyak mentah tidak mungkin mengalami crash. Meski asumsi harga minyak dalam RAPBN adalah harga rata-rata setahun, mustahil harga 24 dolar AS per barel bisa tercapai.

Kalaupun tahun depan harga minyak mentah dunia mengalami penurunan signifikan sekalipun, itu paling-paling hanya menyentuh sampai level 35-40 dolar AS per barel. Andai benar itu yang terjadi, antara harga patokan dalam RAPBN 2005 dan harga riil di pasar menorehkan selisih tetap besar. Selisih tersebut adalah "bom" yang serta-merta meledakkan nilai subsidi BBM.

Dengan kata lain, asumsi pemerintah tentang harga minyak kemungkinan besar meleset jauh. Implikasinya pun amat serius: subsidi BBM niscaya membengkak hebat. RAPBN 2005 pun, tak bisa tidak, pasti babak-belur.

Tentang itu, Dirjen Lembaga Keuangan (Depkeu) Darmin Nasution pernah membeberkan bahwa setiap satu dolar selisih harga BBM dibanding rata-rata harga minyak mentah di pasar dunia membuat APBN tekor sekitar Rp 950 miliar. Atas dasar itu, kalau selisih harga patokan BBM dalam APBN dan harga minyak mentah dunia mencapai 20 dolar saja per barel, berarti risiko tekor yang harus ditanggung APBN bernilai sekitar Rp 19 triliun.

Itu, sekali lagi, merupakan angka tertoreh berdasar perkiraan konservatif. Justru itu, bisa dibayangkan betapa tingginya pembengkakan subsidi BBM dalam tahun anggaran mendatang ini jika harga minyak mentah ternyata terus berkibar jauh di atas 45 dolar AS.

Justru itu, langkah-langkah antisipatif mutlak harus dilakukan pemerintah. RAPBN 2005 harus dirombak. Patokan harga BBM, dalam kaitan ini, perlu diubah ke tingkat yang lebih realistis sesuai perkembangan pasar. Alokasi subsidi BBM -- jika kebijakan tersebut masih akan dipertahankan -- juga tak terkecuali harus disesuaikan.

Tentu, itu melahirkan implikasi-implikasi terhadap ekonomi nasional secara keseluruhan. Dunia usaha nasional, terutama, akan amat merasakan implikasi-implikasi tersebut. Ongkos produksi mereka niscaya membengkak. Itu, pada gilirannya berimbas terhadap daya saing produk yang mereka hasilkan. Justru itu, kinerja ekspor nasional pun hampir pasti melemah. Terlebih pasar internasional sendiri, akibat krisis harga minyak mentah ini, tak terkecuali ikut-ikutan jadi lesu darah. Karena itu, risiko kebangkrutan mungkin harus ditanggung banyak pelaku industri.

Maka tak ada pilihan lain, langkah antisipasi memang harus dilakukan komprehensif. Langkah tersebut tak cukup hanya diayunkan pemerintah. Bagaimanapun, dunia usaha nasional harus pula dilibatkan. Dengan begitu, barangkali, dampak krisis harga minyak dunia saat ini bisa diharapkan bisa dieliminasi.***
Jakarta, 13 Agustus 2004

10 Agustus 2004

Sense of Crisis

Lonjakan harga minyak mentah di pasar dunia bukan lagi berkah bagi kita. Lonjakan tersebut, yang kini sudah mencapai di atas 44 dolar AS per barel, bahkan menjadi malapetaka. Bayangkan, kenaikan harga minyak mentah ini sudah mencapai lebih dua kali lipat dibanding patokan APBN 2004 sebesar 22 dolar AS per barel.

Kalangan pengamat maupun analis berkeyakinan bahwa harga minyak mentah ini sulit diharapkan segera turun kembali. Bahkan menurut mereka, paling tidak hingga akhir tahun, harga minyak mentah justru masih terus cenderung naik. Berbagai faktor mengondisikan kecenderungan itu. Antara lain, bangkrutnya raksasa perusahaan minyak Rusia serta berlipatnya konsumsi minyak dunia sekarang ini.

Walhasil, bagi kita, kenaikan harga minyak mentah sekarang ini serta-merta menjadi malapetaka. Itu tak lain karena sekarang ini kita bukan lagi eksportir minyak. Sejak beberapa tahun terakhir, kita sudah menjadi net importer karena volume bahan bakar minyak yang harus kita impor jauh lebih tinggi daripada minyak yang kita ekspor.

Itu bisa terjadi karena tingkat konsumsi energi kita terus meningkat, sementara minyak yang kita hasilkan justru cenderung turun. Pada tahun 1999, misalnya, produksi minyak mentah kita masih berkisar antara 1,4 juta hingga 1,5 juta barel per hari. Tetapi sekarang ini, akibat investasi baru nyaris mandek, produksi minyak mentah nasional rata-rata hanya sekitar 970 ribu barel per hari -- sampai-sampai kuota yang diberikan OPEC sebesar 1,2 juta barel per hari pun tak bisa kita penuhi.

Justru itu, tak seperti di masa lalu, lonjakan harga minyak mentah di pasar dunia pun bukannya mendatangkan rezeki nomplok (windfall profit) berupa tambahan penerimaan negara. Apa yang terjadi sekarang, kita malah mengalami shutfall profit: lonjakan harga minyak mentah membuat keuangan negara jadi tekor. Itu bisa terjadi karena subsidi bahan bakar minyak dalam APBN jadi membengkak.

Pemerintah sendiri, sebagaimana diungkapkan Menteri Energi dan Suberdaya Mineral Purnomo Yusgiantoro, pekan lalu, subsidi BBM tahun ini diperkirakan membengkak menjadi Rp 35 triliun hingga Rp 40 triliun. Padahal alokasi subsidi BBM yang ditetapkan pemerintah di dalam APBN 2004 hanya Rp 14,5 triliun.

Karena itu, sulit kita pahami jika pemerintah masih saja bersikap adem-ayem -- dalam arti cenderung menganggap sepi lonjakan harga minyak mentah ini. Padahal masalah yang dihadapi amat serius. Bagaimanapun, subsidi BBM yang jadi membengkak lebih dari dua kali lipat jelas mempunyai implikasi serius terhadap keuangan negara. Persisnya, defisit APBN niscaya semakin hebat. Selama semester I/2004 saja, defisit APBN ini sudah bernilai sekitar Rp 18,55 triliun.

Defisit APBN 2004 sendiri ditargetkan sebesar Rp 24,4 triliun atau 1,2 persen produk domestik bruto (PDB). Melihat tingginya lonjakan harga minyak mentah saat ini, juga kecenderungan pergerakan komoditas tersebut hingga akhir tahun, amat boleh jadi defisit APBN 2004 ini jauh terlampaui. Terlebih jika memperhitungkan kurs rupiah yang sudah terdepresiasi cukup dalam dibanding patokan APBN 2004. Saat ini, kurs rupiah sudah berkisar di atas Rp 9.000 per dolar AS. Sementara dalam APBN 2004, patokan kurs rupiah ini sebesar Rp 6.600 per dolar AS.

Jadi, lonjakan harga minyak mentah jelas punya implikasi amat serius terhadap APBN. Paling tidak, defisit yang menjadi kian menganga lebar niscaya berpengaruh besar terhadap kemampuan pemerintah mengelola kesejahteraan rakyat. Justru itu, seharusnya, pemerintah tidak bersikap adem-ayem saja menghadapi lonjakan harga minyak mentah ini. Kita menilai, harga minyak mentah yang benar-benar menggila adalah krisis -- dan karena itu sepatutnya dihadapi dengan sikap-tindak antisipatif. Dengan demikian, krisis harga minyak bisa dihindari tak sampai melahirkan krisis keuangan pemerintah dengan segala implikasinya.

Dengan kata lain, kita amat mengharapkan pemerintah menunjukkan sense of crisis dalam menghadapi lonjakan harga minyak mentah ini. Sikap yang cenderung menganggap enteng persoalan bukan saja menggusarkan, melainkan juga menyimpan bom waktu.

Kita sendiri sama sekali bukan meragukan kemampuan pemerintah dalam menghadapi masalah. Cuma, beberapa pernyataan kalangan pejabat terkait lonjakan harga minyak sekarang ini terkesan menyederhanakan masalah. Argumen-argumen yang mereka utarakan tak cukup menenteramkan. Kita tak cukup yakin bahwa APBN akan tetap bisa terkendali, sementara kita tidak memperoleh keterangan dan penjelasan soal langkah darurat sebagai pengamanan atas dampak kenaikan abnormal harga minyak mentah dunia sekarang ini.***
Jakarta, 10 Agustus 2004