14 Desember 2008

Minyak

Setelah BBM Diturunkan Lagi
Mulai Senin ini, harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi turun lagi. Harga premium turun Rp 500 menjadi Rp 5.000, dan solar turun Rp 700 menjadi Rp 4.800 per liter. Sementara harga minyak tanah, karena alasan beban subsidi yang telanjur besar, tidak ikut diturunkan. Jadi, harga minyak tanah tetap Rp 2.500 per liter.

Keputusan pemerintah menurunkan harga BBM bersubsidi ini merupakan kali kedua. Sebelum ini, pemerintah menurunkan harga premium Rp 500 dari semula Rp 6.000. Penurunan tersebut efektif berlaku per 1 Desember 2008.

Kita tidak tahu persis hitung-hitungan yang dilakukan pemerintah sehingga harga premium diturunkan lagi menjadi Rp 5.000 dan harga solar dipangkas menjadi Rp 4.800 per liter. Tapi menurut kalangan pengamat ekonomi, harga premium dan solar ini sebenarnya bisa diturunkan jauh lebih signifikan. Minimal harga kedua komoditas tersebut bisa kembali ke tingkat harga sebelum dinaikkan pada Mei lalu. Toh harga minyak mentah di pasar dunia kini sudah turun drastis.

April lalu, harga minyak mentah di pasar global mencapai tingkat tertinggi: 147 dolar AS per barel. Angka tersebut meningkat seratus persen lebih dibanding posisi awal tahun yang rata-rata masih berkisar 60 dolar AS per barel. Kini harga minyak mentah di pasar dunia hampir menyentuh level 40 dolar AS per barel. Artinya, dibanding posisi tertinggi pada April lalu, harga minyak mentah ini sudah turun 70 persen lebih.

Karena itu, masuk akal jika harga BBM bersubsidi di dalam negeri pun diturunkan lagi minimal ke level sebelum dinaikkan pada Mei lalu. Namun rupanya pemerintah punya hitung-hitungan sendiri. Termasuk tetap tidak menurunkan harga minyak tanah.

Tetapi bagaimanapun keputusan menurunkan harga BBM bersubsidi ini patut kita beri apresiasi. Paling tidak, beleid tersebut merupakan respons positif pemerintah terhadap aspirasi yang berkembang di masyarakat: bahwa harga BBM bersubsidi beralasan diturunkan karena harga minyak mentah di pasar dunia sudah turun signifikan.

Di sisi lain, juga karena daya beli masyarakat secara keseluruhan telanjur loyo didera kelesuan ekonomi secara global. Jadi, penurunan harga BBM bersubsidi diharapkan menjadi suntikan segar terhadap daya beli masyarakat.

Dengan kata lain, penurunan harga BBM bersubsidi memungkinkan beban sehari-hari masyarakat jadi berkurang. Selebihnya, kegiatan ekonomi di tengah masyarakat pun bisa diharapkan terkondisi lebih efisien -- dan karena itu bisa pula lebih produktif. Nelayan, misalnya, kini bisa melaut dengan ongkos yang relatif lebih murah.

Jadi, dari perspektif itu, penurunan harga BBM bersubsidi ini jelas positif. Terlebih lagi kalau ongkos angkutan umum juga ikut diturunkan. Sebab komponen ongkos angkutan terbilang relatif besar dalam keseluruhan biaya produksi aneka kegiatan ekonomi di masyarakat.

Karena itu pula, pemerintah bersama kalangan pengusaha bersangkutan yang tergabung dalam wadah-wadah asosiasi perlu segera duduk bersama merumuskan penurunan tarif angkutan ini. Kalangan pengusaha, khususnya, tak beralasan bersikap enggan sehingga lalu mencari-cari alasan sekadar untuk mempertahankan tarif angkutan yang sekarang berlaku. Bagaimanapun, mereka harus bersikap fair: setelah harga BBM bersubsidi turun, maka ongkos angkutan pun selayaknya segera turun pula. Apalagi secara keseluruhan penurunan harga BBM bersubsidi sudah terbilang lumayan besar juga.

Namun kita juga risau bahwa penurunan harga BBM bersubsidi menjadi faktor disinsentif terhadap gerakan hemat energi. Kita cemas bahwa konsumsi BBM bersubsidi serta-merta jadi meningkat. Kita juga khawatir kegiatan-kegiatan yang terbilang tidak produktif di masyarakat luas jadi lebih berkembang atau tak terkendali. Ini terutama terkait konsumsi BBM jenis premium oleh kendaraan pribadi.

Oleh sebab itu, kita mengimbau pemerintah agar tetap konsisten atau bahkan kian mengintensifkan program hemat energi. Pemerintah tak boleh terlena dan menganggap penurunan harga BBM bersubsidi sebagai hal yang tak berisiko.***

Jakarta, 14 Desember 2008

04 Desember 2008

Sekadar Pelipur Lara

Langkah Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan (BI Rate), kemarin, sekadar pelipur lara. Sekadar memberi kesan bahwa kondisi moneter dilongggarkan. Padahal pelonggaran itu relatif tak berarti dibanding tuntutan objektif menyelamatkan sektor riil.

Bagi kita, langkah BI itu bersifat setengah hati karena nyata-nyata minimalis. Penurunan BI Rate sebesar 25 basis poin masih kelewat jauh dari kebutuhan dan harapan. Penurunan itu sungguh sulit bisa serta-merta menjadi stimulus yang menghela sektor riil menjadi bergairah di tengah tekanan imbas krisis keuangan global sekarang ini.

Seperti desakan berbagai kalangan selama ini, penurunan BI Rate mestinya minimal sebesar 50 basis poin. Lebih bagus lagi, tentu, 100 basis poin. Bukan saja sejumlah negara lain juga sudah menempuh langkah berani seperti itu, yaitu dalam rangka mengamankan ekonomi masing-masing agar tidak terpuruk akibat imbasan krisis keuangan global, melainkan terutama karena sektor riil di dalam negeri telanjur megap-megap. Sektor riil kita sudah meranggas akibat kebijakan BI selama ini memperketat moneter lewat instrumen BI Rate yang ditempatkan di level tinggi, sehingga kebijakan tersebut sudah saatnya diakhiri. Sektor riil sudah sangat mendesak doberi injeksi menyegarkan berupa pelonggaran moneter dan likuiditas.

Tetapi BI tampaknya punya hitung-hitungan sendiri, sehingga penurunan BI Rate ini hanya sebesar 25 basis poin. Sayangnya hitung-hitungan itu tak sepenuhnya bisa kita pahami. Paling tidak, itu tadi, karena penurunan tersebut masih jauh dari harapan dan kebutuhan menyangkut stimulasi sektor riil supaya segera bergairah kembali. Penurunan BI Rate sebesar 25 basis poin justru lebih meneguhkan anomali: bahwa dalam menggariskan kebijakan moneter di tengah krisis keuangan global sekarang ini, BI melawan arus umum di tingkat internasional.

Jadi, meski BI Rate sudah turun, sektor riil tampaknya masih akan tetap megap-megap. Kredit perbankan bukan saja tetap seret, melainkan juga hampir pasti tetap ditandai suku bunga relatif tinggi. Kalaupun bunga kredit terdorong turun, sulit diharapkan penurunan tersebut terbilang signifikan. Itu pun nyaris musykil bisa terjadi dalam hari-hari mendatang ini. Kemungkinan besar perbankan baru menurunkan bunga pinjaman dalam dua-tiga bulan mendatang. Terlebih lagi perbankan nasional telanjur menanggung beban berat terkait biaya dana selama ini plus potensi kredit bermasalah sebagai dampak pengetatan moneter yang digariskan BI.

Karena itu pula, kita amat berharap penurunan BI sebesar 25 basis poin kali ini baru sekadar langkah pembuka. Artinya, di hari-hari mendatang langkah tersebut kembali diayunkan BI. Tentu saja, rentang waktunya jangan kelewat panjang supaya sektor riil bisa segera benar-benar bernapas lega.

Untuk itu, besaran penurunan BI Rate sendiri jangan lagi terkesan setengah hati alias tidak minimalis. Mengharapkan penurunan BI Rate menjadi stimulus yang serta-merta membangkitkan kegairahan sektor riil jelas menuntut langkah berani: penurunan itu dilakukan relatif signifikan. Artinya, BI Rate ditempatkan pada tingkat yang relatif rendah dan kondusif bagi sektor riil tanpa membahayakan kondisi moneter secara keseluruhan.

Memang, untuk bisa sampai ke sana bukan langkah semudah membalikkan tangan. Menempatkan BI Rate di tingkat yang kondusif bagi sektor riil tanpa membahayakan kondisi moneter
juga tak cukup sekadar berpijak pada keberanian. Langkah ke arah itu jelas menuntut perhitungan cermat dan akurat.

Namun sikap cermat bukan berarti kelewat konservatif atau bahkan seperti menutup mata dan telinga terhadap harapan masyarakat luas maupun terhadap arus yang berkembang dalam lingkup luas. ***

Jakarta, 04 Desember 2008

03 Desember 2008

Bunga Tak Boleh Jadi Pemicu Krisis

Bunga kredit pemilikan rumah (KPR) terus merangkak naik dalam beberapa bulan terakhir. Dibanding posisi pada awal tahun, kini bunga KPR sudah melambung 6-7 persen menjadi rata-rata 18 persen.

Tingkat bunga sebesar itu sulit dikatakan tidak mencekik leher. Mencekik, karena debitor menjadi amat kesulitan mengembalikan KPR. Kemampuan mereka mencicil kredit jadi melemah drastis. Padahal sejumlah faktor pada saat bersamaan juga menggerogoti kemampuan ekonomi masyarakat sebagaimana gamblang tecermin pada tingkat inflasi yang cenderung terus menapak di level tinggi.

Karena itu, sektor KPR kini pekat dibayangi risiko gagal bayar. Kenyataan tersebut sungguh membuat kita miris. Betapa tidak, karena risiko gagal bayar bisa berdampak serius dan berskala luas terhadap ekonomi nasional. Kita khawatir, jika tak segera ditangani secara sungguh-sungguh, masalah risiko gagal bayar di sektor KPR ini bisa menjadi bom yang memporakporandakan bangunan ekonomi kita secara keseluruhan.

Itu bisa terasa amat menyakitkan, karena pemerintah sendiri sejak jauh hari sudah menyiapkan fondasi untuk menghindarkan kehidupan ekonomi kita rontok disapu krisis keuangan global. Serangkaian kebijakan antisipatif sudah disiapkan pemerintah untuk itu. Nah, berbagai kebijakan antisipatif itu bisa-bisa tak bermanfaat jika ternyata masalah gagal bayar KPR -- notabene bermuara sebagai kredit macet di perbankan -- ternyata luput dan justru menjadi pemicu krisis ekonomi di dalam negeri.

Jadi, tingkat bunga KPR sekarang ini adalah sebuah masalah yang tak bisa dipandang enteng. Paling tidak, krisis keuangan di AS sekarang ini harus dijadikan pelajaran berharga. AS terjerembab ke kubangan krisis keuangan demikian parah -- sekaligus menyeret ekonomi global ikut-ikutan jadi terpuruk -- adalah akibat tumpukan kredit macet di sektor perumahan.

Memang, peta kredit perumahan di AS dan di negara kita tidak sama dan tidak pula sebangun. Tetapi bukan berarti risiko krisis mustahil terjadi di negara kita. Paling tidak, faktor bunga yang menjulang tinggi sungguh potensial melahirkan masalah kredit macet.

Jadi, bahaya KPR macet sungguh harus diawaspadai dan diantipasi. KPR macet bukan tidak mungkin menjadi faktor yang memicu krisis ekonomi di dalam negeri. Terlebih lagi kondisi ekonomi nasional sendiri -- akibat tekanan imbas kondisi keuangan global -- sekarang ini bisa dikatakan rentan tergelincir ke lubang krisis.

Karena itu, langkah pemecahan harus segara dilakukan. Dalam konteks ini, bunga KPR tak boleh dibiarkan terus membubung tinggi. Untuk itu, perbankan harus dikondisikan tergerak menahan syahwat mengerek bunga tinggi-tinggi.

Mungkin benar, bunga KPR -- seperti juga bunga kredit secara keseluruhan -- dalam beberapa bulan terakhir terus naik karena biaya dana tinggi dan likuiditas ketat atau bahkan seret. Jadi, bank-bank mengerek bunga kredit sebagai kompensasi atas mahalnya biaya dana dan ketatnya likuiditas.

Tetapi apakah benar bank-bank harus menanggung rugi jika bunga kredit sekarang ini tidak didongkrak ke level tinggi? Jangan-jangan bunga kredit dilambungkan karena industri perbankan kita belum juga efisien. Artinya, sedikit saja faktor biaya naik, serta-merta tingkat bunga pun dikerek naik pula.

Namun, memang, faktor biaya ini tidak sepenuhnya dalam kendali masing-masing bank. Bahkan faktor tersebut banyak ditentukan oleh kebijakan Bank Indonesia (BI) selaku institusi pengendali moneter di dalam negeri. Lewat instrumen BI Rate, terutama, BI begitu dominan sebagai penentu arah pergerakan bunga perbankan nasional.

Jadi, tingginya bunga kredit perbankan sekarang ini pun -- termasuk KPR -- tak lepas dari garis kebijakan BI. Karena itu, berharap bunga kredit perbankan turun -- agar risiko kredit macet bisa dihindari -- harus pula dialamatkan kepada BI. Dalam konteks ini, BI Rate sepatutnya diturunkan secara signifikan!***

Jakarta, 03 Desember 2008

21 November 2008

Skema Baru Harga Premium dan Solar

Harga premium dan solar bersubsidi tak akan lagi ajek pada tingkat tertentu yang dipatok pemerintah. Mulai tahun depan, harga premium dan solar bersubsidi turun-naik mengikuti perkembangan pasar. Mirip harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi selama ini, tapi dengan batasan tertinggi dan terendah.

Untuk itu, pemerintah sudah menyiapkan skema harga batas atas (ceiling price) dan harga batas bawah (floor price). Di antara kedua kutub itulah kelak harga premium dan solar bersubsidi bergerak naik-turun seiring fluktuasi harga minyak di pasar global.

Lalu manakala harga minyak di pasar dunia melonjak tinggi, harga premium dan solar bersubsidi di dalam negeri tak lantas terpaksa didongkrak pemerintah ke tingkat yang bisa membuat masyarakat megap-megap karena kelewat tinggi. Harga hanya bergerak naik maksimal hingga batas atas yang sudah ditetapkan pemerintah.

Begitu pula sebaliknya. Manakala harga minyak dunia terjun bebas, pemerintah juga tak lantas ditekan kiri-kanan agar terjun bebas pula melakukan penyesuaian. Harga premiun dan solar bersubsidi meluncur maksimal hingga batas bawah.

Skema itu tampaknya dilatari oleh keinginan pemerintah untuk menghindari keruwetan melakukan penghitungan ulang harga BBM bersubsidi, khususnya premium dan solar, manakala harga minyak di pasar dunia berubah amat signifikan. Jadi, dengan mematok harga batas atas dan harga batas bawah, pemerintah terbebas dari desakan banyak pihak agar melakukan penyesuaian.

Dengan itu pula, fluktuasi tajam harga minyak di pasar global tak membuat energi pemerintah banyak terkuras. Maklum karena penyesuaian harga BBM bersubsidi bukan saja ruwet secara ekonomi maupun politik, melainkan juga sangat melelahkan.

Bagi masyarakat sendiri, skema harga premium dan solar bersubsidi berdasar ceiling price dan floor price itu relatif menjanjikan kepastian. Manakala harga minyak dunia gonjang-ganjing, terutama, masyarakat tak lantas terdorong berspekulasi mengenai tindak penyesuaian pemerintah, termasuk soal besarannya. Itu positif, karena spekulasi hampir selalu tidak produktif terhadap kehidupan sosial-ekonomi atau bahkan politik.

Karena itu, rencana pemerintah menyangkut kebijakan harga premium dan solar bersubsidi ini patut kita dukung. Tapi, tentu, itu bukan tanpa syarat. Angka-angka yang menjadi harga batas atas dan harga batas bawah mesti benar-benar objektif dan rasional. Objektif, dalam arti bahwa angka-angka yang ditetapkan bebas dari beban inefisiensi dalam proses produksi dan pengolahan BBM di dalam negeri.

Juga mesti rasional, dalam arti rentang harga batas bawah dan batas atas mengindahkan daya beli masyarakat di satu sisi, serta tidak mengabaikan asas efisiensi pemakaian BBM di sisi lain. Selebihnya, terutama angka harga batas, faktor daya dukung keuangan pemerintah juga tidak boleh sampai terlampaui.

Itu berarti, hitung-hitungan mengenai angka harga batas atas dan harga batas bawah mesti jelas dan transparan. Jika tidak, skema baru harga premium dan solar bersubsidi ini niscaya membawa "cacat bawaan", terutama menyangkut efisiensi dalam proses produksi BBM di dalam negeri. Jika hitung-hitungan itu tidak jelas dan tidak pula transparan, skema baru harga premium dan solar bersubsidi jelas sekadar kosmetik yang melanggengkan praktik-praktik tidak sehat dalam industri perminyakan nasional.

Maka, untuk itu, peran lembaga legislatif sekali lagi amat diperlukan. Lembaga wakil rakyat dituntut optimal melakukan fungsi kontrol menyangkut hitung-hitungan tentang angka harga batas atas dan harha batas bawah premium dan solar bersubsidi ini.***

Jakarta, 21 November 2008

12 November 2008

Blanket Guarantee Sudah Mendesak

Penjaminan menyeluruh (blanket guarantee) atas kewajiban perbankan tampaknya mendesak dilakukan pemerintah. Mendesak, karena -- seperti diungkapkan Bank Indonesia (BI) -- belakangan ini makin menggejala tindak pengalihan dana dari perbankan nasional ke luar negeri.

Sangat boleh jadi, deposan tidak cukup merasa tenang untuk terus menyimpan dana mereka di perbankan nasional. Memang, pemerintah sudah menggelar program penjaminan atas dana masyarakat di perbankan nasional. Tetapi penjaminan itu bersifat terbatas, yakni hanya mencakup dana maksimal Rp 2 miliar. Dana di atas jumlah itu, sama sekali tak dijamin pemerintah.

Artinya, nasib dana di atas Rp 2 miliar bisa amblas tak karuan kalau saja bank yang menjadi tempat menyimpan dana itu mengalami kebangkrutan. Padahal, di tengah krisis keuangan global sekarang ini, risiko bangkrut atau tak mampu lagi memenuhi kewajiban begitu pekat membayangi perbankan di mana pun. Tak terkecuali di Indonesia.

Karena itu, gejala pengalihan dana dari perbankan nasional ke mancanegara belakangan ini, khususnya ke negara-negara yang sudah menerapkan blanket guarantee, sungguh tindakan rasional. Langkah tersebut jelas merupakan tindak pengamanan agar dana terbebas dari kemungkinan amblas bersama kebangkrutan bank yang bisa tiba-tiba terjadi.

Tapi gejala pengalihan dana ke luar negeri ini juga merisaukan karena niscaya berimplikasi negatif terhadap stabilitas ekonomi di dalam negeri. Yang sudah pasti saja, seperti sudah mulai terlihat, kurs rupiah tertekan.

Barangkali tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kurs rupiah sekarang ini benar-benar dalam pertaruhan. Betapa tidak, karena dana di perbankan nasional yang tidak tercakup program penjaminan bernilai sekitar Rp 590 triliun. Kalau saja dana tersebut terus mengalir deras ke luar negeri, bisa dipastikan kurs rupiah ambrol ke level terburuk.

Jadi, arus pengalihan dana dari perbankan nasional ke mancanegara ini harus segera dihentikan. Dalam konteks ini, penerapan blanket guarantee oleh pemerintah merupakan jawaban strategis. Dengan itu, deposan tak beralasan lagi waswas atas keselamatan dana mereka di perbankan nasional. Bahkan bukan tidak mungkin, dana yang telanjur dialihkan ke mancanegara pun menjadi mengalir balik masuk ke perbankan nasional. Jelas, karena itu, kurs rupiah pun bisa diharapkan menguat kembali. Paling tidak, kurs rupiah tidak terus melorot seperti gejala yang berlangsung selama beberapa pekan terakhir ini.

Di sisi lain, iklim perbankan nasional juga bisa kembali sehat. Program blanket guarantee -- notabene tidak sekadar menjamin dana masyarakat yang tersimpan di bank, melainkan juga menjamin semua kewajiban bank, seperti pembayaran ekspor-impor -- memungkinkan gejala tidak saling percaya yang kini melanda perbankan nasional menjadi pupus. Masing-masing tak bakalan saling menaruh prasangka bahwa pihak lain berisiko gagal memenuhi kewajiban antarbank. Dengan demikian, bunga fasilitas pinjaman antarbank untuk tempo semalam (over night) pun niscaya turun ke tingkat yang lebih rasional. Pada gilirannya, itu bisa diharapkan berimbas positif terhadap tingkat bunga pinjaman bank kepada masyarakat.

Karena itu, mestinya pemerintah tidak bersikap enggan ataupun lelet dalam menanggapi kebutuhan menyangkut penerapan program blanket guarantee ini. Sikap enggan maupun lelet sungguh berisiko. Sikap enggan sama saja membiarkan perbankan nasional dilanda krisis kepercayaan, dan karena itu bisa melahirkan risiko serius yang bersifat sistemik. Sikap lelet juga tidak bagus karena pengalihan dana dari perbankan nasional ke mancanegara terus berlangsung dengan tendensi yang cenderung membesar, sehingga stabilitas ekonomi-keuangan di dalam negeri berisiko telanjur rusak ketika blanket guarantee kelak diterapkan.

Walhasil, sekali lagi, program blanket guarantee kini sudah menjadi kebutuhan mendesak. Jadi, kenapa tidak?***

Jakarta, 12 November 2008

06 November 2008

Realistis terhadap Obama

Kemenangan Barack Obama dalam Pemilihan Presiden AS mendapat sambutan gegap-gempita. Bukan saja di dalam negeri AS sendiri, melainkan juga di berbagai penjuru dunia. Tak terkecuali di Indonesia. Bahkan dibanding bangsa-bangsa lain, ekspresi kita dalam menanggapi kemenangan Obama ini terkesan agak istimewa.

Kita sebagai warga Indonesia tak bisa menyembunyikan rasa suka-cita terhadap kemenangan Obama bukan semata karena Obama menampilkan citra pemimpin yang mempesona. Juga bukan lantaran kita sudah muak oleh gaya George W Bush selama memimpin AS yang lebih mirip koboi, sehingga Obama pun kita lihat sebagai sosok antitesis.

Di samping alasan-alasan itu, kita ikut bersuka-cita atas kemenangan Obama juga karena kita memiliki ikatan emosional dengan Obama. Masa kecil Obama yang selama beberapa tahun dihabiskan di Jakarta membuat kita merasa sebagai bagian dari keluarga besar Obama. Karena itu, kita merasa kemenangan Obama merebut posisi orang nomor satu di AS sebagai kemenangan kita juga.

Sikap seperti itu wajar-wajar saja. Tidak berlebihan. Larut dalam romantisme kadang memang sulit dihindari. Namun sungguh tidak boleh terjadi jika kita lantas berasumsi bahwa Obama sebagai pemimpin AS serta-merta akan memberi perhatian khusus kepada kita. Juga jangan sesekali bermimpi bahwa di bawah kepemimpinan Obama, pemerintah AS memberi perlakuan istimewa terhadap kita.

Perlu disadari bahwa di mana pun dan siapa pun, pimpinan sebuah negara niscaya sangat memprioritaskan kepentingan nasional masing-masing. Dia tak bakal mau mempertaruhkan posisinya sendiri demi alasan-alasan yang sama sekali tidak strategis bagi negaranya.

Begitu pula Obama. Dia baru mungkin memberi perhatian terhadap negara atau bangsa lain -- tak terkecuali terhadap kita, Indonesia -- semata jika negara atau bangsa itu memberi manfaat strategis terhadap kepentingan nasional AS. Jelas sungguh naif jika Obama serta-merta memperlakukan kita secara istimewa hanya karena alasan romantis: bahwa dia pernah tinggal di Jakarta selama beberapa tahun.

Jadi, sepanjang secara objektif dinilai tidak termasuk strategis -- dalam arti bisa memberikan banyak manfaat terhadap kepentingan nasional AS -- kita tetap tidak menjadi siapa-siapa bagi Obama sebagai Presiden AS.

Di samping itu, orientasi dan kebijakan politik luar negeri AS sendiri di bawah kepemimpinan Obama, tidak bisa tidak, mesti berada dalam bingkai atau koridor Partai Demokrat sebagai partai yang menaunginya. Mustahil Obama lepas dari paradigma ini, kecuali dia sudah tidak waras secara politik.

Partai Demokrat sendiri sangat sensitif terhadap isu-isu hak asasi manusia, lingkungan hidup, juga secara ekonomi sangat proteksionistis. Karakter ini sudah demikian kental, sehingga siapa pun tokoh Partai Demokrat yang menjadi orang nomor satu di AS niscaya sensitif pula terhadap isu-isu itu. Berbagai orientasi, strategi, ataupun kebijakan yang dia gariskan hampir selalu bertautan dengan isu-isu itu. Tak terkecuali dalam konteks kebijakan politik luar negeri. Saat posisi presiden diduduki tokoh Partai Demokrat, Bill Clinton (1993-2001), misalnya, kita mendapat tekanan politis pemerintahan AS terkait isu pelanggaran HAM di Timtim dan Irian Jaya (kini Papua).

Di bawah kepemimpinan Obama pun, bukan tidak mungkin sikap politik yang tidak menyenangkan itu kita alami lagi. Tentu itu kalau kita dinilai bermasalah dalam konteks isu-isu sensitif di mata Partai Demokrat.

Jadi, kita tak perlu berlebihan berharap kepada Obama setelah kelak dia resmi berperan sebagai Presiden AS. Bagaimanapun, sikap dan kebijakan AS terhadap kita di bawah kepemimpinan Obama ini belum tentu lebih baik daripada pemerintahan Bush selama ini.***

Jakarta, 6 November 2008

08 Oktober 2008

Suspensi Bursa Saham

Suspensi atau penghentian perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI), kemarin siang, sungguh mengejutkan. Bukan semata karena dilakukan mendadak, melainkan terutama karena tindakan tersebut tidak biasa. Padahal ketika krisis ekonomi-meneter mendera negeri kita dengan demikian hebat saja, persis sepuluh tahun lalu, perdagangan di bursa saham lokal ini tidak pernah dihentikan. Meski ketika itu krisis membuat harga saham remuk redam, perdagangan di pasar modal tidak dikenai suspensi.

Konon, otoritas bursa kemarin terpaksa melakukan suspensi perdagangan saham adalah dalam rangka meredakan kepanikan investor. Dalam pandangan mereka, jika perdagangan terus dilangsungkan, kepanikan bisa kian menjadi-jadi. Konsekuensinya, jelas, harga saham di bursa bisa jeblok tidak karuan.

Pada saat kemarin suspensi diberlakukan pada pukul 11.08 WIB, indeks harga saham gabungan (IHSG) sudah ambrol 168 poin atau 10,38 persen. Itu paling buruk dibanding kejatuhan indeks bursa lain di berbagai belahan dunia yang kemarin rata-rata mencatat kerontokan 4-5 persen. Angka koreksi 10,38 persen itu, setelah sederet koreksi lain belakangan ini, sekaligus mengantarkan IHSG ke posisi terendah sejak September 2006.

Jadi, suspensi juga dimaksudkan untuk mengamankan nilai saham yang diperdagangkan agar tidak semakin rontok. Karena itu pula, sejumlah pihak menyatakan setuju terhadap tindakan otoritas bursa melakukan suspensi ini -- meski mereka juga tidak yakin bahwa harga saham tidak makin tergerus manakala perdagangan nanti dibuka kembali.

Memang, sulit menjamin bahwa situasi di pasar modal pada hari-hari ini menjadi membaik. Kepanikan pemain pasar belakangan ini, bagaimanapun, bersifat sistemik. Kepanikan itu adalah imbas kondisi keuangan global yang kini tidak menentu sebagai dampak krisis finansial di AS.

Dalam konteks itu, otoritas bursa seharusnya tidak ikut-ikutan panik. Pertama, karena krisis keuangan global ini sebenarnya sudah diprediksi sejak jauh hari. Kedua, karena pasar modal kita sendiri telanjur mengalami penggelembungan (bubble) yang luar biasa. IHSG yang sempat menembus level 2000-an adalah bukti nyata dan tak terbantahkan mengenai fenomena bubble ini.

Secara kondisional, bubble di pasar modal kita memang sudah rentan meletus. Itu sangat mungkin terjadi setiap saat. Justru itu, kondisi rush seperti kemarin melanda mestinya dibaca sebagai fenomena letusan bubble ini.

Kalau saja fenomena itu sudah benar-benar diantisipasi, otoritas bursa tak perlu grogi ataupun panik. Suspensi perdagangan saham tak sampai perlu mereka lakukan. Pasar boleh gerah dan panik oleh perkembangan situasi keuangan global yang tidak menentu. Tapi kenyataan itu mestinya bisa disiasati otoritas bursa lewat aturan main yang sudah disiapkan sejak jauh hari, yang secara taktis-strategis memungkinkan penciutan bubble di pasar berlangsung smooth alias tidak menyerupai letusan yang merontokkan harga saham.

Tampaknya, antisipasi seperti itu gagal dilakukan otoritas bursa kita. Bahkan selama ini mereka seperti tak kunjung tergerak menyelesaikan masalah-masalah fundamental yang nyata-nyata potensial merusak pasar. Misalnya saja, seperti kata seorang analis di sebuah sekuritas, masalah short selling, praktik gadai-menggadai saham, juga penentuan margin trading.

Tak mengherankan, karena itu, otoritas bursa saham kita pun panik ketika pasar dilanda rush. Mereka terkesan tidak tahu harus berbuat apa untuk membendung aksi jual saham yang, seperti kemarin, semakin deras bak air bah. Bagi mereka, suspensi adalah pilihan paling mungkin untuk meredakan kepanikan pasar sekaligus untuk mengamankan nilai saham agar tidak rontok lebih dalam lagi.

Tapi setelah nanti suspensi dibuka lagi, mungkinkah rush di pasar benar-benar reda?
Jakarta, 08 Oktober 2008

28 Juli 2008

Putaran Doha Lagi-lagi Macet

Putaran Doha lagi-lagi macet. Lagi-lagi gagal membuahkan kesepakatan. Meski berlangsung selama enam hari penuh, sejak awal pekan lalu, pertemuan menteri-menteri perdagangan negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang berlangsung di Jenewa, Swis, itu kembali gagal menorehkan langkah maju.

Tak bisa tidak, Putaran Doha yang rutin digelar tiap tahun sejak tahun 2001 itu pun silam semakin tidak jelas. Semakin meredupkan harapan masyarakat dunia, khususnya negara-negara berkembang, menyangkut sistem perdagangan global yang menjamin situasi pasar berlangsung bebas, jujur, aman, dan fair.

Tapi sebenarnya itu tak terlampau mengejutkan. Sejak awal orang sudah bisa meraba bahwa Putaran Doha di Jenewa sekadar menjadi pengulangan pertemuan-pertemuan serupa di waktu lalu yang selalu berakhir tanpa kemajuan (deadlock). Orang juga telanjur skeptis atau bahkan pesimistis bahwa Putaran Doha di Jenewa mampu gilang-gemilang melebur perbedaan kepentingan antara dua kubu -- kelompok negara maju dan kelompok negara berkembang -- menjadi kesepakatan yang melegakan bagi perdagangan global.

Skeptisisme dan pesimisme itu tumbuh terutama akibat sikap kelompok negara maju yang amat terkesan berupaya memaksakan kepentingan mereka di satu sisi, dan di sisi lain amat pelit memberi konsesi terhadap kelompok negara berkembang. Mereka, kelompok negara maju, terus berkukuh menuntut negara-negara berkembang membuka akses pasar seluas-luasnya atas produk manufaktur, jasa, dan pertanian mereka. Tapi, pada saat bersamaan, mereka tetap tak beringsut atas tuntutan negara-negara berkembang untuk mengurangi subsidi di sektor pertanian.

Karena itu, komitmen politik pemimpin negara-negara maju mencairkan kebekuan perundingan tata perdagangan dunia ini, yang kerap mereka lontarkan, terbukti omong kosong. Fleksibilitas yang mereka janjikan di banyak kesempatan lagi-lagi terbukti cuma gombalan.

Ironisnya, Putaran Doha sendiri makin kritis. Pertama, karena batas waktu untuk mencapai kesepakatan sudah jauh terlewati, yaitu tahun 2004. Kedua, karena Kongres maupun pemerintahan di AS segera berubah. Bukan tidak mungkin perubahan itu mengubah pula komitmen yang sudah dicanangkan AS selama ini. Artinya, perundingan dalam Putaran Doha ke depan ini berisiko mengalami langkah mundur dengan segala konsekuensinya.

Ketiga, sekarang ini banyak negara sudah lelah berharap. Ini karena selama bertahun-tahun perundingan bergulir, toh Putaran Doha tetap saja tak kunjung mampu melahirkan kesepakatan. Terlebih lagi, sebelum itu Putaran Uruguay pun selama bertahun-tahun praktis gagal total melahirkan perjanjian sistem tarif dan perdagangan dunia.

Karena itu pula, boleh jadi, peserta Putaran Doha di Jenewa pun relatif sedikit. Dari 153 negara anggota WTO, hanya 35 negara yang mengambil bagian dalam pertemuan di Jenewa ini.

Kenyataan itu mencemaskan. Skeptisisme dan pesimisme banyak negara mengenai perundingan perdagangan global ini sungguh tidak sehat. Bagaimanapun, kesepakatan tentang sistem perdagangan dunia sungguh amat diperlukan. Tanpa kesepakatan, notabene di bawah payung WTO, sistem perdagangan dunia akan tetap saja diwarnai ketimpangan dan ketidakadilan. Tetap saja lebih menguntungkan negara-negara maju.

Jadi, harapan tentang manfaat Putaran Doha mestinya tak boleh redup. Masyarakat dunia harus bisa dicegah jangan sampai lelah berharap. Jangan sampai bosan bersikap optimistis.

Untuk itu, kelompok negara maju harus mau beringsut dari posisi mereka. Jika tidak, Putaran Doha tetap tak bisa diharapkan mencairkan kebekuan. Putaran Doha tetap sekadar menjadi ajang kongko-kongko tanpa arti.***
Jakarta, 27 Juli 2008

27 Juli 2008

Hemat Energi di Dunia Bisnis

Setelah industri, sektor bisnis segera menyusul menjadi sasaran program penghematan energi listrik. Soal itu akan diatur lewat surat keputusan bersama (SKB) Mendag dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. SKB tersebut kini sedang disiapkan dan tak lama lagi diluncurkan.

Dengan itu, pusat-pusat perbelanjaan, perhotelan, perkantoran swasta, juga papan reklame yang menghiasi berbagai pusat kegiatan sosial-ekonomi akan dikondisikan hemat menggunakan energi listrik. Intinya, mereka tak bisa lagi bersikap sesuka hati. Tak lagi bisa mentang-mentang sanggup bayar lantas jor-joran dalam mengonsumsi energi listrik.

Tapi belum jelas, bagaimana mekanisme pengawasan atas program hemat energi listrik di dunia bisnis ini. Yang pasti, program itu sendiri memberi kesan bahwa pemerintah memang serius ingin menghemat energi listrik. Pemerintah tak menghendaki defisit listrik sekarang ini mengakibatkan pemadaman bergilir. Bagaimanapun, pemadaman bergilir -- meski terkesan adil -- sungguh tidak elok sekaligus tidak nyaman.

Pemadaman bergilir sungguh tidak elok karena hanya menampakkan kelemahan atau bahkan kegagalan pemerintah dalam memilih strategi pembangunan energi listrik nasional selama ini. Pemadaman bergilir juga tidak nyaman karena jelas berakibat menganggu kelancaran aktivitas keseharian masyarakat. Juga tidak nyaman, karena pemadaman bergilir mengudang sinisme: bahwa pemerintah tidak becus mengatasi defisit listrik.

Namun dilihat dari perspektif lain, penerapan program hemat energi listrik di dunia bisnis ini juga menunjukkan kecenderungan tidak sehat di tengah masyarakat kita. Dunia bisnis nasional, khususnya, sejauh ini seolah tidak peduli terhadap masalah defisit listrik yang nyata-nyata sedang kita hadapi. Mereka seperti tak mau tahu dan terkesan menganggap bahwa masalah itu semata urusan pemerintah.

Dunia bisnis kita tidak terlihat tergerak melakukan langkah-langkah proaktif yang bermuara pada penghematan pemakaian energi listrik. Yang mereka pertontonkan secara gilang-gemilang justru sikap mental business as usual, lengkap dengan segala perilaku yang cenderung berlebihan -- termasuk dalam mengonsumsi energi listrik. Bagi mereka, segalanya sama sekali tanpa masalah alias oke-oke saja.

Karena itu, meski selama beberapa pekan terakhir wacana penghematan energi riuh-rendah mengisi ruang publik, dunia bisnis kita tenang-tenang saja. Mereka tampaknya tak menganggap masalah defisit energi sebagai masalah mereka juga.
Tengok saja pusat-pusat perbelanjaan: sama sekali tak terlihat berhemat dalam penggunaan energi listrik. Fasilitas pendingin udara, tangga berjalan, ataupun lampu penerang ruangan tetap saja difungsikan optimal seperti biasa.

Contoh lain: berbagai stasiun televisi kita, terutama yang berlingkup nasional, hampir tak terlihat mengurangi jam siaran. Masing-masing tetap saja mengudara dalam rentang panjang -- bahkan sebagian stasiun televisi terus tampil nonstop 24 jam. Padahal, dengan produk tayangan yang nyaris seragam serta dengan standar mutu sekadarnya, jam siaran televisi kita ini tak seluruhnya efektif dan produktif menunjang kehidupan sosial-ekonomi masyarakat.

Bahkan pada jam-jam tertentu, seperti selepas tengah malam hingga menjelang subuh, tayangan televisi kita nyaris mubazir. Tingkat terpaan (coverage) tayangan amat rendah.
Boleh diyakini, pada rentang waktu itu penonton relatif sangat sedikit.

Tapi lucunya, masing-masing stasiun televisi kita justru ikut gencar dan intens membahas krisis pasokan listrik sekarang ini yang notabene sudah sampai tahap menuntut berbagai pihak proaktif melakukan penghematan.

Jadi, SKB Mendag-Menteri ESDM tentang program hemat energi bagi dunia bisnis memang perlu. Mereka amat sulit diharapkan sadar sendiri melakukan langkah-langkah penghematan. Dunia bisnis kita sedikit sekali memiliki keprihatinan terhadap masalah defisit energi listrik. Dunia bisnis kita telanjur setia menerapkan prinsip business as usual.
Jakarta, 24 Juli 2008







23 Juli 2008

Hukuman Mati untuk Koruptor

Relevan dan urgenkah hukuman mati dikenakan terhadap terpidana kasus-kasus korupsi? Mengingat fenomena korupsi di negeri kita sudah demikian memprihatinkan, hukuman mati tampaknya memang merupakan pilihan. Sanksi hukuman mati terasa menjadi kebutuhan. Sanksi tersebut bisa diharapkan menjadi obat mujarab untuk memberantas korupsi secara tuntas.

Di beberapa negara, sanksi hukuman mati terbukti ampuh menurunkan praktik korupsi. Di China, misalnya, korupsi bisa ditekan secara signifikan sejak pemerintah negeri tirai bambu itu menerapkan sanksi hukuman mati secara konsisten dan konsekuen. Mereka yang terbukti di pengadilan melakukan korupsi, tanpa ampun digiring ke tiang gantungan. Bahkan shock theraphy juga digelar sejak proses pengadilan masih berlangsung. Selama persidangan, konon, peti mati sudah disiapkan untuk terpidana korupsi.

Di negeri kita sendiri, tindak korupsi sekarang ini sudah sampai tahap kronis. Praktik korupsi sudah menyebar ke mana-mana. Di pusat maupun di daerah sama saja. Sama-sama digerayangi korupsi.

Praktik korupsi juga sudah melibatkan siapa saja. Swasta ataupun pemerintah, pegawai rendahan maupun pejabat tinggi, sami mawon. Sama-sama banyak terlibat praktik korupsi.

Ibarat penyakit, korupsi di negeri kita bukan lagi sekadar menimbulkan borok bernanah, melainkan juga sudah mulai melumpuhkan sistem syaraf. Orang terkesan tak ragu dan tak malu lagi berbuat korupsi. Tindakan tersebut seolah sudah dianggap jamak atau lumrah. Bahkan korupsi seolah telah menjadi gaya hidup.

Jadi, hukuman mati amat relevan diterapkan terhadap kasus-kasus korupsi. Juga urgen, karena perbuatan korupsi amat destruktif. Negara maupun rakyat telak-telak dirugikan
oleh praktik korupsi ini. Korupsi bukan saja memanipulasi hitung-hitungan ekonomi, melainkan juga menjungkirbalikkan asas transparansi dan fairness.

Hukuman mati juga urgen diterapkan karena sanksi kurungan badan tak lagi menimbulkan efek jera. Orang sudah tidak miris lagi terhadap risiko masuk bui karena perkara korupsi. Ancaman kurungan badan sudah dianggap sepi. Dianggap angin lalu.

Ancaman penjara kini tak efektif berfungsi membendung orang berbuat korupsi. Orang terkesan beranggapan bahwa dipenjara karena perkara korupsi sekadar risiko sedang sial. Sial karena perbuatan korupsi yang mereka lakukan terbongkar. Juga sial karena majelis hakim gagal diyakinkan agar membebaskan mereka dari segala tuduhan korupsi.

Secara hukum, sanksi pidana mati terhadap pelaku kasus-kasus korupsi ini juga punya pijakan. Seperti kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Marwan Effendy, pijakan itu adalah pasal 2 ayat 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diganti menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal itu menyebutkan, hukuman mati dijatuhkan terhadap koruptor yang melakukan korupsi dalam keadaan tertentu. Yaitu mengorupsi dana untuk penanggulangan bencana nasional, penanganan akibat kerusuhan sosial, dan penanggulangan dampak krisis moneter.

Jadi, dari sisi pranata hukum, sanksi pidana mati bagi pelaku kasus-kasus korupsi sama sekali bukan masalah. Artinya, ihwal penerapan sanksi hukuman mati terhadap koruptor ini bukan lagi sekadar tema wacana. Sanksi tersebut jelas-jelas hanya tinggal diterapkan.

Bahwa lingkup hukuman mati tersebut amat terbatas -- tidak meliputi segala bentuk tindakan korupsi -- barangkali itu belum terlalu urgen. Jika sekadar berharap menumbuhkan efek jera, pasal tentang hukuman mati yang diatur UU Tindak Pidana Korupsi sudah cukup bisa diharapkan.

Tapi pasal itu niscaya hanya akan menjadi macan ompong jika sikap institusi pengadilan tidak berubah, yaitu cenderung lembek dalam menghukum koruptor sebagaimana hasil telaahan Indonesia Corruption Watch (ICW). Bahkan, menurut ICW, selama ini putusan-putusan pengadilan justru lebih mengutungkan koruptor!

Jadi, soal hukuman mati ini amat bergantung pada kemauan jaksa dan hakim. Adakah?
Jakarta, 23 Juli 2008

16 Juli 2008

Pansus Angket BBM Tak Boleh Macet

Kerja Pansus Angket BBM di DPR tak boleh sampai macet. Bahkan sekadar lelet juga harus dihindari. Kamacetan ataupun keleletan kerja Pansus bisa meruapkan kesan buruk. Mengundang syak wasangka. Bahwa DPR tidak serius atau setengah hati dalam membongkar praktik mafia perminyakan di dalam negeri. Atau lebih buruk lagi: DPR sesungguhnya memang tidak berniat memberantas praktik mafia itu.

Kesan atau syak wasangka seperti itu kini bahkan mulai tumbuh. Ini setelah Selasa lalu Pansus Angket BBM membatalkan pemanggilan sejumlah pejabat tinggi yang punya peran vital dalam urusan minyak di dalam negeri.

Mungkin benar, Pansus Angket BBM tak bisa langsung main panggil pejabat-pejabat pemerintah sebelum keberadaan Pansus sendiri tercatat resmi dalam Berita Negara sebagaimana diamanatkan UU Nomor 6/1954 tentang Penetapan Hak Angket DPR. Juga boleh jadi benar pula bahwa pemanggilan pejabat-pejabat itu bisa menjadi tindakan konyol jika Pansus sendiri belum benar-benar menguasai masalah.

Jadi, tertib administrasi harus dipenuhi dulu supaya kerja Pansus tidak cacat secara hukum. Juga Pansus harus siap dulu dengan segala "amunisi" yang diperlukan agar langkah membongkar mafia minyak ini tidak menjadi dagelan yang tidak lucu.

Tapi alasan apa pun yang dikemukakan, keputusan Pansus Angket BBM membatalkan pemanggilan sejumlah pejabat pemerintah itu serta-merta mengundang aneka spekulasi tidak sedap. Intinya, publik menganggap pembatalan itu sebagai bukti sikap main-main ataupun adanya intervensi kekuatan di luar Pansus.

Spekulasi-spekulasi itu tidak berlebihan. Maklum, karena pejabat-pejabat yang batal dipanggil itu merupakan figur kunci dalam urusan minyak di dalam negeri. Kalau saja bukan menyangkut figur-figur kunci, pembatalan pemanggilan itu mungkin tidak menjadi heboh. Tidak dicurigai sebagai sebuah tindakan by design.

Di sisi lain, pembatalan itu juga menyulut spekulasi negatif karena publik sejak awal mencurigai bahwa keputusan DPR menyetujui usul penggunaan hak angket tentang penaikan harga BBM sendiri dilakukan secara terpaksa. Bahwa penggunaan hak angket disetujui lebih karena tekanan massa mahasiswa lewat aksi aksi demo yang begitu heboh.

Tapi memang terasa janggal bahwa masalah tertib hukum bisa-bisanya terabaikan oleh Pansus Angket BBM ini. Mestinya Pansus tahu betul berbagai syarat maupun prasyarat legal yang harus lebih dulu dipenuhi sebelum mereka resmi bekerja.
Dengan demikian, kekonyolan -- pembatalan agenda kerja pertama, yaitu memanggil sejumlah pejabat pemerintahan -- tak harus terjadi.

Juga menjadi aneh jika semangat menggebu memanggil pejabat-pejabat penting dalam urusan minyak di dalam negeri ternyata tidak berlandaskan kesiapan yang memadai. Mestinya, semangat itu justru menjadi cerminan sekaligus jaminan bahwa Pansus sudah siap dengan segala data maupun fakta untuk membongkar praktik mafia perminyakan.

Keanehan dan kejanggalan seperti itu, jika terus berlanjut, jelas mencemaskan. Publik khawatir kerja Pansus Angket BBM jadi berlarut-larut atau bahkan akhirnya macet. Terlebih lagi waktu yang tersedia bagi Pansus untuk bekerja sekarang ini sudah sangat terbatas. Semua tahu, agenda Pemilu 2009 amat menuntut perhatian jajaran politisi, termasuk mereka yang kini duduk di Pansus BBM maupun anggota DPR secara keseluruhan. Sekarang ini saja kampanye pemilu sudah dimulai.

Jadi, hari-hari ke depan ini jelas bakal kian menyita waktu dan konsentrasi Pansus. Artinya, dari sisi waktu, kerja Pansus amat krusial. Kalau kerja Pansus sampai berlarut, pembongkaran mafia minyak di dalam negeri jelas cuma tinggal mimpi.

Karena itu, sekali lagi kerja Pansus Angket BBM tak boleh sampai macet. Untuk itu, prioritas dan skedul kerja harus benar-benar terpetakan.
Jakarta, 16/07/2008

15 Juli 2008

Penggeseran Hari Kerja Industri Bukan Solusi

Surat keputusan bersama (SKB) lima menteri tentang pengalihan hari kerja industri ke Sabtu-Minggu, yang diteken kelima menteri terkait, kemarin, sama sekali bukan solusi atas masalah defisit pasokan listrik. SKB tak serta-merta mengubah pasokan listrik menjadi tidak defisit lagi. Toh pasokan tetap saja jauh di bawah kebutuhan. SKB sendiri hanya mengurangi risiko defisit pada hari kerja Senin-Jumat yang selama ini terjadi, karena sebagian beban jadi digeser ke Sabtu Minggu.

Jadi, krisis listrik tetap saja tak terpecahkan. SKB lima menteri lebih merupakan pengakuan bahwa pemerintah sebagai instrumen negara untuk saat ini tidak mampu mengatasi krisis listrik yang notabene merupakan infrastruktur vital. SKB juga bisa dipandang sebagai bukti tak terbantahkan bahwa negara gagal memenuhi kebutuhan akan energi listrik.

Itu sungguh tidak elok. Krisis listrik amat tak patut masih terjadi di sebuah negara yang sudah menjalani kemerdekaan lebih dari setengah abad. Kalau saja negeri kita ini baru menghirup kemerdekaan selama satu-dua tahun, krisis listrik masih bisa dimaklumi.

Walhasil, krisis listrik yang masih terjadi ketika negara menginjak usia ke 63 tahun sekarang ini merupakan cerminan bahwa kita memang tidak becus mengelola masalah energi. Pertama, kita gagal mengantisipasi peningkatan kebutuhan akan energi listrik. Kedua, kita juga telah keliru merumuskan strategi pembangunan sumber energi.

Peningkatan kebutuhan akan energi listrik -- berapa pun besarnya -- seharusnya bisa diantisipasi. Toh peningkatan kebutuhan itu tidak terjadi dalam sekejap.

Artinya, peningkatan kebutuhan akan energi listrik seharusnya bisa dihitung dan diperhitungkan dalam skala-skala waktu tertentu. Tapi kita selama ini abai mengenai soal itu. Pembangunan pusat-pusat pembangkit listrik selama ini tidak benar-benar dilakukan dengan berpijak pada kebutuhan nyata di lapangan serta tidak pula berjangkauan ke depan. Proyek-proyek pembangkit listrik dibangun lebih dalam rangka memenuhi kepentingan sempit.

Akibatnya, kita keleleran dalam menghadapi peningkatan kebutuhan akan tenaga listrik ini. Kita terkaget-kaget, panik, dan tak berdaya. Langkah solusi yang ditempuh pun, seperti SKB lima menteri yang kemarin diteken, bersifat semu karena sama sekali tidak menyelesaikan substansi masalah.

Di sisi lain, kita juga telah gagal merumuskan strategi pembangunan energi sesuai potensi sumber daya alam yang kita miliki. Potensi energi angin, energi air, atau energi panas matahari telah kita sia-siakan. Padahal potensi-potensi tersebut demikian melimpah-ruah.

Selama ini kita cenderung terpaku membangun berbagai pembangkit tenaga listrik dengan berbasiskan bahan bakar minyak (BBM) ataupun batubara. Sekarang terbukti, strategi tersebut keliru karena BBM maupun batubara bukan saja amat mahal, melainkan juga tidak menjamin kesinambungan. BBM dan batubara bukan sumber energi terbarukan.

Kekeliruan itu, belakangan, memang mulai disadari. Tapi kesadaran tersebut sudah terlambat. Ibaratnya nasi sudah telanjur jadi bubur. Sekian banyak pembangkit yang berbasiskan BBM ataupun batubara tidak mungkin seketika disingkirkan dan diganti dengan pembangkit yang punya dukungan potensi sumber daya melimpah dan relatif murah.

Jadi, solusi yang mestinya dilakukan pemerintah untuk mengatasi krisis listrik bukan langkah instan dan gampangan. Langkah itu seharusnya adalah koreksi mendasar menyangkut strategi pembangunan energi maupun manajemen kelistrikan nasional. Tanpa itu, langkah apa pun yang ditempuh sulit bisa diharapkan mampu menjawab substansi masalah secara tuntas. Jelas itu memalukan sekaligus menjadi faktor yang terus-menerus menggerogoti daya saing ekonomi nasional.***
Jakarta, 14 Juli 2008

07 Juli 2008

Ngawur, Operasional Industri Dibatasi

Penghematan energi memang perlu, bahkan urgen digalakkan. Pertama, karena energi sekarang ini sedang krisis berat. Dari sisi harga, energi kini amat mahal sebagai dampak lonjakan harga minyak maupun bahan mineral di tingkat global.

Dari sisi produksi, energi juga bermasalah. Produksi listrik di dalam negeri, misalnya, terganggu akibat kendala pasokan bahan baku pembangkit. Faktor alam juga mengganggu. Musim kemarau sekarang ini mengakibatkan kekeringan hebat yang membuat pembangkit tenaga air tak bisa beroperasi.

Kedua, penghematan urgen digalakkan karena selama ini banyak pemakaian energi yang nyata-nyata boros, tidak perlu, atau tidak produktif.

Karena itu, kita setuju seratus persen terhadap program penghematan energi yang kini kembali digalakkan pemerintah. Langkah tersebut menunjukkan kesadaran sekaligus keinginan pemerintah untuk lebih sungguh-sungguh mengoreksi perilaku buruk kita dalam mengonsumsi energi. Tanda pemerintah ingin membuang sikap setengah hati dalam menggulirkan program penghematan.

Karena itu pula, program penghematan energi patut dan wajib kita dukung. Penghematan energi jelas berdampak positif. Paling tidak, energi menjadi benar-benar digunakan sesuai kebutuhan. Energi tidak lagi cenderung dihambur-hamburkan sesuka hati.

Tetapi program penghematan energi ini menjadi terasa aneh jika diterapkan pula terhadap sektor industri. Aneh, karena rencana pembatasan operasional industri yang dicanangkan pemerintah sungguh tidak proporsional. Rencana tersebut bukan saja sama sekali tidak relevan, melainkan juga tidak nalar alias ngawur.

Betapa tidak, karena bagaimanapun industri adalah sektor produktif. Adalah sangat aneh kegiatan yang nyata-nyata produktif malah dibatas-batasi. Di negeri mana pun, industri justru didorong agar tumbuh bergairah. Jika perlu, roda industri diberi insentif supaya tak pernah berhenti berputar.

Jadi, aneh sekali jika operasional industri malah dibatasi. Bahwa pasokan energi, khususnya listrik, tidak lagi sepenuhnya menunjang, itu sama sekali tak bisa dijadikan alasan. Dalam kondisi krisis pasokan listrik sekali pun, industri tak boleh sampai dikorbankan.

Artinya, industri harus diberi prioritas utama memperoleh pasokan energi. Industri tak boleh terganggu atau apalagi telantar. Roda industri harus bisa terus berputar.

Perputaran roda industri tak boleh terganggu karena amat strategis mengusung fungsi-fungsi produksi. Jika fungsi-fungsi tersebut terganggu, kerugian menjadi begitu niscaya.

Justru itu, pembatasan operasional industri bisa berdampak sangat luas. Dunia industri harus menanggung risiko rugi. Kontrak ekspor, misalnya, bisa sulit dipenuhi karena produksi jadi menurun. Pada gilirannya, kasus-kasus seperti itu bisa berdampak melunturkan kepercayaan dunia bisnis internasional terhadap industri di dalam negeri.

Dalam konteks itu pula, kita amat memahami sikap kalangan investor Jepang terhadap rencana pemerintah membatasi operasional industri ini. Mereka tegas-tegas mengancam membatalkan rencana investasi di negeri kita. Itu sungguh merupakan disinsentif terhadap upaya pemerintah sendiri menggairahkan kembali minat investor (asing) menabur modal di dalam negeri.

Walhasil, rencana pembatasan operasional industri sama sekali tidak produktif. Rencana tersebut merupakan langkah mundur karena membuat industri nasional tidak sehat dan tidak menarik.

Karena itu, lebih baik rencana pembatasan operasional industri dibatalkan saja. Masih banyak aspek lagi yang lebih relevan dan urgen disentuh dalam rangka melaksanakan program penghematan energi ini.***
Jakarta, 6 Juli 2008

03 Juli 2008

Awas Manuver Mafia Minyak!

Mafia minyak di negeri kita ibarat angin busuk. Amat terasa menyengat, tapi tak kelihatan wujud. Karena itu pula, antara lain, mafia minyak tak pernah bisa disentuh. Tak pernah bisa diberantas.

Upaya-upaya membasmi mafia minyak memang bukan tak pernah terbersit di kalangan penentu kebijakan. Sejumlah gagasan, kebijakan, atau bahkan tindakan tercatat pernah dicanangkan pemerintah. Toh setiap langkah itu selalu saja kandas. Selalu saja berakhir sekadar sebagai keinginan.

Praktik mafia dalam dunia perminyakan kita bukan gejala kemarin sore. Boleh jadi, mafia minyak sudah sama tuanya dengan sejarah perminyakan di negeri kita. Paling tidak, mafia minyak di negeri kita sontak tumbuh subur seiring booming perminyakan nasional pada dasawarsa 1970-an.

Booming itu, yang dipicu krisis harga minyak di pasar dunia, disadari ataupun tidak telah melahirkan moral hazard. Bukan saja oknum-oknum petugas lapangan, bahkan petinggi industri perminyakan kita ikut terjerembab dalam moral hazard beraroma praktik mafia ini. Sampai-sampai perusahaan negara yang mengurusi minyak pun secara teknis sempat mengalami bangkrut.

Jadi, mafia minyak ini sudah berurat dan berakar. Tak mengherankan kalau mereka sulit sekali bisa dibasmi. Rezim penguasa boleh berganti-ganti. Kebijakan juga boleh diubah-ubah untuk disempurnakan. Tetapi tetap saja mafia minyak sakti mandraguna: tak pernah bisa disentuh, apalagi diberantas. Praktik mafia terus saja menjadi hantu yang menyedot industri perminyakan kita menjadi amat tidak ekonomis.

Kerugian akibat sedotan hantu mafia minyak ini naudzubillah besar. Dalam setahun, nilai kerugian itu bukan lagi miliaran, tapi diyakini hingga triliunan rupiah. Ya, karena praktik mafia menggerogoti hampir setiap sendi industri perminyakan kita.

Justru itu pula, praktik mafia mengakibatkan negara menanggung kerugian. Rakyat juga dibuat sengsara karena harga BBM di dalam negeri menjadi jauh di atas semestinya. Bahkan, konon, di tengah lonjakan harga minyak di pasar internasional sekarang ini, harga BBM di dalam negeri tak mesti naik kalau saja industri perminyakan kita benar-benar bebas praktik mafia.

Tetapi, itu tadi, kiprah mafia minyak ini sekadar terasa sebagai angin busuk. Karena nyaris tak pernah berwujud, praktik mafia dengan segala kerugian yang diderita negara hanya bisa direka-reka. Sekadar dikira-kira.

Karena itu, kita amat berharap penggunaan hak angket DPR tidak ditujukan untuk soal lain kecuali untuk membongkar sekaligus membasmi praktik mafia ini. Justru lewat peran DPR melalui penggunaan hak konstitusional berupa angket maka praktik mafia bisa dibuktikan benar adanya -- bukan lagi sekadar ibarat hantu ataupun angin busuk.

Namun, tentu, itu bukan pekerjaan mudah. Paling tidak, mafia minyak sendiri jelas tak akan tinggal diam. Mereka tak bakal rela hati dibongkar dan kemudian dilumat bak kecoa. Seperti yang sudah-sudah, boleh diyakini bahwa mereka akan berupaya dengan berbagai cara menjegal setiap langkah ke arah tindakan yang menghancurkan kepentingan mereka sendiri.

Dengan kata lain, seiring proses angket di DPR, mafia minyak amat mungkin melakukan manuver. Itu bisa berupa akrobat politis, bisa pula tindakan ekonomis. Manuver ini, boleh jadi, pertama-tama dan terutama ditujukan terhadap Panitia Khusus (Pansus) Angket DPR sebagai institusi yang sengaja dibentuk untuk membongkar dan membasmi mafia minyak.

Jadi, seiring proses angket di tangan Pansus DPR, manuver mafia minyak ini sungguh perlu diwaspadai. Intinya, jangan sesekali lengah. Mafia bisa melakukan manuver dari delapan penjuru angin. Manuver juga bisa dilakukan dalam berbagai bentuk, termasuk yang tak pernah terpikirkan sekalipun.

Tentu, sungguh konyol dan kelewatan jika Pansus Angket DPR sendiri sampai tergoda bermain mata dengan mafia minyak ini. Bukan saja itu menjadi bukti bahwa penggunaan hak angket hanya main-main, melainkan juga berimplikasi kian merusak citra kelembagaan DPR. Publik akan beroleh kesan bahwa DPR sudah menjadi sarang korupsi.
Jakarta, 2 Juli 2008

24 Juni 2008

Struktur Ekspor Nasional Payah

Kinerja ekspor nonmigas cenderung melemah. Terutama dari sisi volume, ekspor kita terkondisi menurun. Pemerintah beralasan, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) merupakan faktor penyebab penurunan ekspor nonmigas ini.

Kenaikan harga BBM memang berdampak meningkatkan ongkos produksi. Implikasinya, harga jual produk jadi meningkat. Dengan harga jual yang meningkat, masuk akal jika daya serap pasar ekspor pun jadi menurun. Permintaan melemah.

Kecenderungan itu pula yang diperkirakan membuat target pertumbuhan ekspor kita secara keseluruhan sebesar 14,5 persen pada tahun ini sulit bisa dicapai. Ekspor kita kemungkinan hanya mampu tumbuh 12,5 persen.

Lepas dari apakah realistis atau tidak, angka proyeksi pertumbuhan ekspor sebesar 12,5 persen itu sendiri relatif tinggi. Terlebih jika mengingat bahwa pasar ekspor sendiri sedang tidak kondusif. Akibat krisis keuangan di AS dan gejolak harga minyak maupun harga komoditas pangan di pasar dunia, pasar ekspor kini condong lesu.

Jadi, kinerja ekspor kita yang cenderung melemah sekarang ini tak terlampau merisaukan. Tetapi tetap saja itu kembali menyadarkan kita tentang kelemahan struktur ekspor nonmigas nasional. Pertama, tujuan ekspor kita masih saja terpaku ke pasar AS, Uni Eropa, dan Jepang. Wilayah-wilayah ekonomi di luar itu nyaris tak menjadi orientasi ekspor kita.

Padahal, seiring dinamika bisnis global, wilayah-wilayah ekonomi di luar AS, Uni Eropa, dan Jepang makin menjanjikan sebagai alternatif pasar ekspor. Sebut saja kawasan Eropa Timur, Afrika, juga Timur Tengah.

Toh kita sedikit sekali tergerak menggarap pasar alternatif ekspor itu. Langkah ke arah diversifikasi pasar ekspor sedikit sekali kita lakukan. Padahal berbagai studi maupun eksebisi menyimpulkan betapa diversifikasi pasar ekspor ini amat memungkinkan kita lakukan.

Tak jelas, kenapa ekspor kita terus saja bergantung terhadap pasar AS, Uni Eropa, dan Jepang. Yang pasti, ketergantungan itu jelas berisiko. Seperti sekarang ini, kelesuan ekonomi yang melanda AS maupun Uni Eropa akibat gejolak harga minyak dan komoditas pangan serta-merta berimbas terhadap kinerja ekspor kita.

Kedua, ekspor kita relatif sedikit berbasis pada agroindustri. Ekspor nasional banyak bertumpu pada industri manufaktur yang justru amat mengandalkan bahan baku ataupun bahan penolong eks impor. Ini membuat geliat industri manufaktur nasional rentan terhadap gejolak kurs ataupun harga bahan baku/bahan penolong. Depresiasi dolar terhadap rupiah, misalnya, berdampak menciutkan nilai ekspor. Sebaliknya apresiasi dolar berakibat melambungkan impor bahan baku/bahan penolong.

Ketiga, ekspor komoditas pertanian/perkebunan maupun pertambangan cenderung dilakukan dalam bentuk bahan mentah ataupun bahan setengah jadi. Akibatnya, kita sedikit sekali bisa menikmati nilai tambah masing-masing komoditas. Padahal, makin jauh diolah, nilai tambah komoditas semakin tinggi. Artinya, devisa ekspor yang kita raup pun jelas jauh lebih besar.

Dalam konteks itu, dunia agroindustri kita cenderung berhenti pada simpul-simpul tertentu. Tidak sampai menyeruak jauh ke hilir. Hasil perkebunan kepala sawit, misalnya, cukup diekspor dalam bentuk minyak sawit mentah (CPO). Padahal CPO masih bisa diolah lebih jauh menjadi aneka produk turunan yang jauh memiliki nilai lebih.

Karena itu pula, gejolak harga sejumlah komoditas pertambangan/perkebunan sekarang ini relatif tak optimal menjadi berkah bagi ekonomi kita. Gejolak itu tidak menjadi sumber pemasukan devisa yang melimpah-ruah sebagaimana seharusnya kalau saja agroindustri kita jauh masuk ke hilir.

Berbagai kelemahan menyangkut ekspor nonmigas kita ini sebenarnya sudah diketahui sejak lama. Berbagai aspek kelemahan itu sudah gamblang kita kenali. Tetapi toh kita nyaris tak melakukan perbaikan. Sudah menjadi penyakit kita: tak pernah serius melakukan perubahan ke arah lebih baik!

Jadi, kapan kelemahan struktur ekspor nasional ini diperbaiki?
Jakarta, 24 Juni 2008

17 Juni 2008

Jangan Salahkan Kondisi Global

Realisasi proyek-proyek penanaman modal dalam negeri (PMDN) selama lima bulan terakhir turun amat signifikan. Menurut data yang dipublikasikan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dibanding periode Januari-Mei tahun lalu, penurunan itu mencapai 68,3 persen. Persisnya turun dari Rp 18,62 triliun menjadi Rp 5,91 triliun.

Di sisi lain, minat pemilik modal untuk berinvestasi di negeri kita juga cenderung menurun pula. Data BKPM memperlihatkan, selama periode Januari-Mei 2008, persetujuan atas proyek-proyek investasi baru -- khususnya penanaman modal asing (PMA) -- melorot 59,9 persen dibanding periode sama tahun lalu.

Kenyataan itu memprihatinkan. Pertama, karena penurunan minat berinvestasi maupun penurunan realisasi PMDN jelas merupakan pertanda bahwa iklim penanaman modal tidak menggairahkan. Pertanda kegiatan investasi dilanda kelesuan. Orang kurang tergerak menanam modal karena mereka tak melihat prospek menjanjikan. Orang juga menunda atau bahkan membatalkan rencana menggarap investasi karena dihadapkan pada kenyataan bahwa risiko rugi lebih besar ketimbang untung.

Kedua, penurunan realisasi proyek-proyek investasi juga punya implikasi serius dan sama sekali tak bisa dipandang remeh. Implikasi itu adalah lapangan kerja relatif sedikit tercipta. Padahal, kita tahu, pengangguran di negeri kita sudah krusial. Di satu sisi, jumlah pengangguran telanjur bejibun. Di sisi lain, pertumbuhan angkatan kerja juga nyata-nyata tinggi.

Jadi, karena lapangan kerja relatif sedikit tercipta, masalah pengangguran pun menjadi semakin kompleks. Semakin merisaukan. Lebih-lebih jika dikaitkan dengan problem kemiskinan. Masalah pengangguran yang semakin kompleks, tak bisa tidak, berimplikasi memperparah kemiskinan.

Karena itu, sungguh terasa aneh jika penurunan realisasi proyek-proyek investasi ini dihadapi pejabat pemerintahan kita dengan sikap tanpa beban. Seolah-olah masalah tersebut bukan sesuatu yang berimplikasi serius. Bukan sesuatu yang merisaukan.

Mungkin benar, penurunan realisasi proyek-proyek investasi ini terkait dengan kondisi global yang hampir setahun ini tidak menentu akibat gonjang-ganjing harga minyak, gejolak harga komoditas pangan, dan krisis finansial yang semakin melebar. Artinya, boleh jadi, penurunan itu tak hanya dialami negeri kita. Kelesuan investasi barangkali memang merebak pula di negara-negara lain.

Tetapi, bagaimanapun, kenyataan itu tak boleh dijadikan alasan untuk bersikap meremehkan masalah yang muncul di hadapan kita. Seolah-olah penurunan realisasi proyek-proyek investasi adalah sesuatu yang wajar dan patut kita terima apa adanya. Seolah-olah iklim investasi di negeri kita sudah tanpa masalah.

Sikap seperti itu sungguh berbahaya. Paling tidak, karena sikap itu bersifat fatalistik. Membunuh semangat melawan keadaan.

Penurunan minat berinvestasi maupun penurunan realisasi proyek-proyek penanaman modal mestinya diperlakukan sebagai penanda (alert) untuk segera bertindak memperbaiki kondisi. Segera melakukan langkah-langkah penanganan agar kegiatan investasi di negeri kita tetap bergairah.

Artinya, kondisi global boleh lesu atau tidak kondusif. Tapi kegiatan investasi di dalam negeri harus dikondisikan tetap bergelora. Pemilik modal harus bisa ditempatkan pada posisi yang membuat mereka tidak beralasan menunda ataupun membatalkan rencana pembangunan proyek investasi.

Untuk itu, iklim investasi di dalam negeri harus lebih dibenahi secara mendasar dan serius. Terlebih lagi, kalangan pemilik modal masih saja mengeluhkan betapa iklim investasi di negeri kita ini tidak membuat mereka merasa nyaman.***
Jakarta, 17 Juni 2008

Mengharap Bulog Jadi Stabilisator

Harga bahan pangan di dalam negeri terus saja cenderung bergejolak. Sama sekali tak terlihat tanda-tanda bahwa harga bahan pangan ini segera bergerak kembali mendekati titik awal sebelum bergejolak. Yang terjadi justru harga-harga terus saling susul menuju titik lebih tinggi. Kalau pun gejolak menunjukkan tanda mereda, itu sekadar gejala sementara. Sekadar jeda. Harga-harga pun hanya bertahan di level tinggi. Sampai saatnya kemudian bergejolak lagi.

Benar, kenyataan itu merupakan imbas gejolak serupa di tingkat global. Sebagai konsekuensi menganut rezim pasar, kita amat sulit menghindari imbas situasi harga di lingkup global. Artinya, imbasan itu demikian niscaya.

Di tingkat global sendiri, gejolak harga bahan pangan belum terlihat segera mereda. Kenapa? Entahlah. Tapi boleh jadi itu merupakan pertanda kegagalan mekanisme pasar. Toh berbagai kalangan menyatakan bahwa secara keseluruhan pasokan bahan pangan ke pasar relatif tidak bermasalah.

Mestinya, jika mengikuti logika pasar, harga tak bergejolak kalau pasokan barang tak bermasalah. Harga seharusnya anteng-anteng saja pada tingkat tertentu selama supply dan demand berkeseimbangan.

Tapi nyatanya sekarang ini harga bahan pangan terus bergejolak. Tidak reda-reda. Tak bisa lain, karena itu, gejolak tersebut tampaknya memang merupakan bukti kegagalan mekanisme pasar. Pasar sudah tak mampu menggendalikan situasi. Pasar sama sekali tak berdaya diobok-obok spekulasi.

Kenyataan itu, bagi kita khususnya, sungguh tidak menguntungkan. Bahkan berbahaya. Harga pangan yang terus bergejolak sebagai imbas perkembangan situasi global yang sudah tidak tunduk lagi pada hukum pasar, bagaimanapun, merupakan bara yang bisa mengoyak-ngoyak stabilitas sosial-politik.

Itu sungguh tak kita kehendaki. Sebab ongkos yang mesti kita tanggung pasti amat mahal. Paling tidak, seperti pernah kita alami, tingkat kehidupan sosial-politik kita menjadi mundur beberapa langkah.

Menimbang itu, benar juga pendapat yang menyebutkan bahwa kita mesti menegakkan kedaulatan di bidang pangan. Artinya, kita tak lagi bulat-bulat menyerahkan masalah pangan ini kepada mekanisme pasar. Untuk itu, semata demi kepentingan kita bersama, pemerintah harus tegas dan lugas mengatur masalah pangan senantiasa terjaga aman dari sisi ketersediaan dan terjangkau dari sisi harga.

Dalam konteks itu pula, mengembalikan fungsi Perum Bulog sebagai lembaga stabilisator harga bahan pangan pokok sungguh relevan. Seperti di masa lalu, Bulog perlu difungsikan lagi bak pemadam kebakaran. Setiap kali harga bahan pangan pokok bergejolak, Bulog serta-merta all out melakukan langkah penanganan. Sampai gejolak harga mereda dan stabil lagi pada tingkat yang tidak membuat rakyat kebanyakan megap-megap dan meradang.

Memang, mengembalikan fungsi Bulog seperti di masa lalu tak bisa semudah membalikkan tangan. Lagi pula iklim sudah berubah drastis. Dari segi pendanaan, misalnya, Bulog tak mungkin lagi bisa memperoleh fasilitas kredit murah-meriah ala Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) seperti di masa lalu. Lalu dari sisi kelembagaan, Bulog juga kini tak bisa leluasa bergerak. Dengan menyandang status perusahaan umum, ruang gerak Bulog tentu serba dibatasi.

Tapi mengharapkan Bulog kembali berfungsi sebagai stabilisator harga bahan pangan pokok seperti di masa lalu sama sekali bukan ilusi. Yang penting semua pihak memiliki political will ke arah itu. Dengan kemauan politik bersama, segalanya menjadi mungkin. Tidak mustahil. Jadi, mungkinkah Bulog dikembalikan berfungsi bak pemadam kebakaran?
Jakarta, 12 Juni 2008

28 Mei 2008

Berantas Pungli di Sektor Transportasi!

Seperti di bidang-bidang lain, jasa angkutan umum jalan raya sudah lama digayuti benalu. Benalu itu adalah pungli alias pungutan liar. Mulai pengurusan izin trayek sampai uji kelaikan jalan kendaraan, pungli selalu hadir. Selalu menerkam dan tak pernah bosan menghisap korban.

Belum lagi dalam operasional sehari-hari, pungli juga hadir di banyak sudut. Mulai pungli preman di terminal sampai pungli oknum petugas berseragam di jalan raya. Semua hadir begitu kasatmata, tanpa malu-malu, meski tak pernah diakui.

Namun diakui ataupun tidak, pungli sudah menjadi benalu dalam kegiatan jasa angkutan darat. Pungli boleh dikata telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam setiap geliat pengelolaan transportasi umum jalan raya. Orang boleh mengeluh dan mencaci-maki, tapi pungli tak pernah mati. Pungli terus saja menghisap korban. Di perkotaan maupun daerah pinggiran, sama saja. Pungli merajalela. Korban sungguh-sungguh tak berdaya. Korban telanjur tak punya pilihan kecuali terus menyetor dana pungli.

Jelas, pungli mengakibatkan penyelenggaraan jasa angkutan umum jalan raya tak pernah bisa efisien. Tak pernah bisa sehat. Sebab, setoran pungli sudah bukan lagi pengeluaran secuil dan tidak pula bersifat insidental. Setoran pungli praktis telah menjadi komponen pengeluaran tersendiri. Meski secara akuntansi tak pernah resmi menjadi pos tersendiri, pungli sudah merupakan sumber pengeluaran rutin dalam penyelenggaraan jasa angkutan umum kita. Artinya, jumlah dana yang digelontorkan sebagai setoran pungli tak tergolong kecil.

Justru itu, pungli sungguh merupakan salah satu sumber ekonomi biaya tinggi dalam penyelenggaraan jasa angkutan darat. Namun ini seolah tak pernah dianggap sebagai masalah serius. Paling tidak, karena sejauh ini pungli tak pernah sungguh-sungguh dibasmi. Tak pernah konsisten dan konsekuen diberantas.

Memang komitmen tentang pemberantasan pungli ini amat sering terlontar ke tengah publik. Tapi langkah pemerintah atau aparat berwenang ke arah itu cenderung sekadar gebrakan sesaat. Terkesan setengah hati. Hanya hangat-hangat tahi ayam. Sekadar mencari simpati publik. Sekadar ajang tebar pesona.

Akibatnya, itu tadi, penyelenggaraan jasa angkutan umum tak pernah efisien. Amat digayuti ekonomi biaya tinggi. Tak mengherankan, karena itu, sedikit saja keseimbangan terganggu, jasa angkutan umum serta-merta limbung. Langsung kelimpungan. Seperti dalam menghadapi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, yang pekan lalu diberlakukan pemerintah, pengelola jasa angkutan umum seketika menjerit. Mereka menjerit, karena beban pengeluaran bertambah berat. Terlebih lagi, amat mungkin kenaian harga BBM justru meningkatkan "tarif" pungli.

Kenyataan seperti itu mestinya tak terjadi kalau saja fenomena pungli bisa diberantas tuntas. Kenaikan harga BBM bersubsidi tak mesti membuat pengelola jasa angkutan umum seolah dilanda kiamat andai praktik pungli benar-benar dibasmi. Mereka tak harus sampai menggelar aksi menolak kenaikan harga BBM dengan menggelar mogok operasi. Juga mereka tak harus menuntut penyesuaian tarif yang nyata-nyata hanya berdampak menambah berat beban pengguna jasa.

Penghapusan praktik pungli memang bisa menjadi kompensasi kenaikan harga BBM. Tetapi bola tentang itu tidak berada di tangan pengelola jasa angkutan umum. Pemberantasan praktik pungli amat bergantung pada kemauan dan keseriusan pemerintah. Sebab, posisi tawar pengelola jasa angkutan umum sendiri terlalu lemah untuk memaksakan gerakan ke arah sana. Kekuatan memaksa itu lebih berada di tangan pemerintah selalu institusi pemegang kekuasaan.

Jadi, adakah kemauan pemerintah untuk sungguh-sungguh memberantas segala bentuk praktik pungli? Ini sebuah pernyataan klasik yang menuntut jawaban tidak klasik: bukan hanya gebrakan sesaat atau apalagi cuma jadi janji kosong.***
Jakarta, 28 Mei 2008

taman


Teteh Rara, 2008

26 Mei 2008

Harga-harga Wajib Disiasati

Pasar tidak pernah punya nurani. Juga tak pernah mengindahkan etika. Pasar hanya mengenal peluang dan kesempatan. Pasar hanya peduli terhadap keuntungan.

Karena itu, setelah harga bahan bakar minyak (BBM) naik terhitung sejak Sabtu dinihari pekan lalu, pasar langsung bereaksi. Harga-harga serentak naik. Tanpa dikomando, tanpa bisa dicegah. Tengok saja harga kebutuhan pokok pangan masyarakat. Menurut pemberitaan, harga kebutuhan pokok di berbagai daerah kembali meroket.

Padahal sebelum harga BBM resmi dinaikkan, harga kebutuhan pokok pangan ini sudah membuat masyarakat kebanyakan menjerit. Dipicu oleh pengumunan pemerintah, beberapa pekan lalu, harga kebutuhan pokok sontak melejit mendahului rencana pemerintah menaikkan harga BBM.

Padahal pula, tanpa lonjakan itu pun, harga kebutuhan pokok ketika itu sudah membuat masyarakat kelimpungan. Harga kebutuhan pokok saat itu sudah menjilat langit. Konon kondisi tersebut merupakan dampak atau pengaruh gejolak harga pangan di tingkat global.

Walhasil, kenaikan harga kebutuhan pokok kali ini sungguh sudah kelewatan. Dirunut setahun ke belakang, kenaikan itu paling tidak merupakan kali ketiga. Dengan tiga kali kenaikan itu, interval lompatan harga begitu signifikan. Karena itu, harga kebutuhan pokok kini sudah sungguh menyesakkan.

Jadi, amat beralasan masyarakat menjerit. Ibarat petinju, masyarakat sekarang ini benar-benar dilanda mabuk pukulan. Ditambah beban harga-harga barang lain maupun jasa yang juga tanpa kecuali tersulut melejit setelah harga BBM resmi dinaikkan, kondisi itu sungguh berdampak tidak menyehatkan kehidupan sosial. Daya beli yang semakin terkikis potensial melahirkan aneka bentuk penyakit kemasyarakatan, terutama tindak kriminalitas.

Tapi, itu tadi, pasar tidak pernah hirau. Pasar tidak punya nurani. Tidak pernah peduli terhadap sistem nilai sosial. Terhadap etika. Pasar hanya mengenal satu doktrin: peluang menguntungkan, betapa pun kecilnya, tak boleh dilewatkan.

Namun tak berarti pasar tak bisa diintervensi. Arah perkembangan pasar masih mungkin bisa dibelokkan atau bahkan direm. Pasar masih mungkin bisa ditaklukkan melalui campur tangan kekuasaan. Lewat kebijakan atau regulasi.

Ini berarti, pemerintah harus maju berperan. Pemerintah dituntut turun tangan. Pemerintah tak bisa membiarkan pasar bergerak menurut hukum, mekanisme, ataupun nilai-nilainya sendiri. Manakala pasar sudah nyata-nyata bergerak menyengsarakan rakyat, pemerintah wajib melakukan intervensi. Terlebih di negara yang mengagungkan keadilan sosial seperti Indonesia ini.

Mengintervensi pasar yang bergerak liar serta menyengsarakan rakyat merupakan salah satu tugas moral pemerintah selaku pemegang kewenangan yang dipercayakan rakyat. Adalah aneh jika pemerintah menghindari atau bahkan mengingkari tugas itu. Pemerintah tak cukup sekadar mengaku memiliki kesadaran, komitmen, atau apa pun namanya. Bagaimanapun, pemerintah juga harus bertindak. Harus melakukan action.

Pemerintah tak bisa berdalih bahwa pergerakan pasar sulit bisa dikendalikan karena faktor-faktor di luar jangkauan. Dalih demikian terkesan naif sekaligus menafikan kenyataan bahwa pemerintah dibentuk justru untuk menghadapi kondisi-kondisi seperti itu.

Untuk itu pula, maka pemerintah diberi kekuasaan. Jadi, dengan kekuasaan di tangan, mestinya tak ada hal-hal yang tak bisa dijangkau pemerintah. Apa pun, mestinya, bisa disentuh. Bisa ditangani.

Jadi, lonjakan harga barang dan jasa pascakenaikan harga BBM sekarang ini tak beralasan tak bisa ditangani. Masalah tersebut juga wajib disiasati. Adalah amat tidak patut jika pemerintah cenderung sekadar berharap pasar bergerak ramah alias tak membuat rakyat menjerit sengsara. Toh, mestinya, sudah disadari bahwa pasar tak pernah punya nurani.***
Jakarta, 25 Mei 2008

21 Mei 2008

jerapah



Ini karya anakku yang bungsu, Khalda Sami Hisanah. Umurnya kini 8,5 tahun. Kelas dua SD.

Tantangan buat Boediono

Memimpin Bank Indonesia (BI) sekarang ini pasti tidak mudah. Pasti berat. Tantangan yang terbentang begitu kompleks. Situasi dan kondisi yang harus dihadapi jelas-jelas tidak bersahabat. Jurus-jurus yang harus dipraktikkan pun tidak saja secara akademis mesti betul dan tepat, tapi secara psikologis juga harus smooth. Jurus-jurus itu tidak boleh menumbuhkan persepsi buruk khalayak luas -- seakan-akan BI grogi, panik, atau bahkan tidak becus mengendalikan keadaan.

Boediono, yang Kamis ini resmi dilantik menggantikan Burhanuddin Abdullah sebagai Gubernur BI, tentu mengerti betul tuntutan kondisional itu. Boediono pasti sadar bahwa menduduki kursi Gubernur BI saat sekarang ini tidak bakal nyaman. Tidak melenakan. Kursi Gubernur BI bukan sebuah singgasana, melainkan lebih menyerupai tungku dengan bara yang merah menyala.

Bara itu sendiri, antara lain, inflasi yang potensial membubung. Perkembangan selama beberapa bulan terakhir menunjukkan, inflasi cenderung menapak di level tinggi. Kini kecenderungan ke arah itu makin kuat. Inflasi potensial kian melangit berkaitan dengan dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang tinggal menunggu waktu resmi diumumkan pemerintah.

Ditambah situasi dan kondisi global yang cenderung bergejolak nyaris tak terkendali, kenyataan itu membuat pengelolaan moneter makin mahal. Menguras banyak anggaran. Selama tahun lalu saja, pengelolaan moneter ini membuat anggaran BI mengalami defisit.

Sekarang ini, perkembangan moneter kian krusial. Gejolak ekonomi global telah menggerus kepercayaan kalangan pemilik modal. Di mana-mana, orang cenderung enggan menabur modal di sektor ekonomi ataupun perdagangan riil. Mereka lebih memilih produk-produk perdagangan derivatif.

Kecenderungan itu membuat arus masuk modal global ke dalam negeri bukan hanya menjadi seret. Lebih dari itu, bukan tidak mungkin modal yang selama ini bersemayam di dalam negeri pun justru terdorong mengalir deras ke luar.

Itu sungguh amat riskan karena sektor finansial kita telanjur menggelembung (bubble). Justru itu, untuk mencegah bubble di sektor finansial kita meletus, pengelolaan moneter yang menjadi tanggung jawab BI semakin mahal lagi. Artinya, langkah-langkah operasional BI pun dituntut lebih efektif.

Untuk itu, ke dalam, BI dituntut tampil sebagai tim kerja yang solid. Tapi ini bisa tidak mudah. Sebagai sebuah tim, BI telanjur mengalami luka-luka akibat politisasi dalam rangka proses pemilihan Gubernur BI kemarin. Jadi, Boediono dituntut segera menyembuhkan luka-luka itu. Boediono harus mampu menumbuhkan kembali soliditas BI.

Ke luar, terutama ke jajaran pemerintahan, tantangan yang dihadapi Boediono sebagai pimpinan BI mungkin tak terlalu sulit. Pengalaman dan hubungan baik dengan eksekutif selama ini amat bisa diharapkan membuat Boediono mampu membawa BI malangkah harmonis dengan pemerintah.

Namun penyamaan persepsi BI dan pemerintah mengenai target maupun strategi kerja sama perlu dirumuskan kembali. Ini terutama terkait dengan persoalan banyaknya dana perbankan yang diparkir dalam instrumen Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Persoalan tersebut tidak sehat karena mengakibatkan sektor riil tak kunjung bergerak.

Walhasil, Boediono juga dituntut mampu merangkul pemerintah untuk merumuskan langkah bersama yang mampu menstimulasi dana perbankan mengalir ke sektor riil. Kita percaya, sebagai sosok yang selama ini mengkoordinasi tim ekonomi pemerintah, Boediono tak bakal kesulitan membawa BI menjadi mitra kerja pemerintah dalam rangka menumbuhkembangkan ekonomi nasional.

Jadi, tungku ataupun singgasana, kursi Gubernur BI sejatinya bukan untuk berleha-leha. Kursi itu adalah kepercayaan dan kesempatan untuk bekerja keras. Kita yakin, Boedional tak bakal menyia-nyiakan kepercayaan dan kesempatan itu.***
Jakarta, 21 Mei 2008

18 Mei 2008

Seabad Kebangkitan Nasional

Seabad Kebangkitan Nasional, yang genap jatuh pada Selasa besok, 20 Mei 2008, mestinya menjadi sebuah titik yang tegas menunjukkan bahwa kita sudah mencatat kemajuan dalam kehidupan berbangsa. Artinya, dibanding seabad silam, kehidupan kita dalam berbangsa sekarang ini mestinya jauh lebih baik. Jauh lebih berkualitas. Perjalanan panjang selama seratus tahun mestinya membuat kebangsaan kita benar-benar kokoh dan matang.

Tetapi apa yang kita lihat, kita dengar, kita rasakan, dan kita praktikkan sekarang ini justru lebih merupakan kemunduran. Semangat kebangsaan kita seolah luntur. Dalam hari-hari ini, setelah seratus tahun Kebangkitan Nasional, kehidupan keseharian kita cenderung terfragmentasi dalam kotak-kotak primordialisme. Kita seolah lupa atau tak hirau lagi terhadap spirit kebangkitan nasional kita.

Spirit itu adalah nasionalisme. Spirit kebangsaan ini, yang mula pertama dihembuskan pergerakan Budi Utomo sejak awal berdiri pada 209 Mei 1908, yang kemudian menginspirasi sekaligus menjadi roh perjuangan kita dalam mencapai kemerdekaan. Dengan spirit itu, kaum muda bisa mendeklarasikan Sumpah Pemuda 1928. Sebuah deklarasi yang sangat bermakna dalam perumusan sekaligus penyatuan visi kebangsaan nasional kita. Sebuah deklarasi yang kemudian menjadi fondasi dalam setiap tahapan perjuangan kemerdekaan kita.

Dengan semangat nasionalisme pula, kemerdekaan Indonesia bisa diproklamasikan dwi tunggal Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945 dengan dukungan penuh segenap komponen bangsa kala itu. Demikian juga dalam tahapan-tahapan upaya mempertahankan maupun mengisi kemerdekaan Indonesia: nasionalisme menjadi roh kehidupan kebangsaan kita. Menjadi spirit yang senantiasa berkobar-kobar.

Semangat nasionalisme kebangsaan kita juga menjadi inspirasi banyak bangsa lain dalam membebaskan diri dari belenggu penjajahan. Dari kungkungan keterbelakangan.

Namun sekarang ini justru kita yang harus banyak belajar kepada bangsa-bangsa lain mengenai kesadaran tentang nasionalisme kebangsaan ini. Kita perlu meneguhkan kembali kesadaran bahwa nasionalisme adalah fundamen berbangsa. Kita perlu menggelorakan kembali semangat nasionalisme sebagai roh kehidupan bersama kita sebagai sebuah bangsa.

Itu semua sungguh perlu karena kini kita cenderung memaknai nasionalisme dalam perspektif sempit. Dalam bingkai primordialisme. Dalam kepentingan-kepentingan dangkal dan sesaat. Kita seolah sudah kehilangan moralitas dalam melakoni berbagai aspek kehidupan berbangsa. Nilai-nilai luhur berbangsa, yang menjadi sumbu semangat nasionalisme, telah terdegradasi menjadi pragmatisme. Kegiatan pendidikan, misalnya, cenderung diperlakukan sebagai ajang bisnis. Pendidikan bukan lagi proses budaya yang menjadi hak bersama, melainkan seolah hanya proses pengasahan intelektual yang cuma bisa dinikmati kelompok berkemampuan secara ekonomi.

Begitu juga kegiatan politik. Kegiatan politik telah terdistorsi menjadi sekadar proses meraih dan mempertahankan kekuasaan. Politik bukan lagi proses mencapai tujuan bersama dalam bingkai nasionalisme kebangsaan.

Tapi kita tak selayaknya larut dalam sesal. Peringatan seabad Kebangkitan Nasional patut kita jadikan momentum untuk melakukan koreksi mendasar mengenai visi dan tujuan kebangsaan itu. Kita perlu meneguhkan kembali konsep nasionalisme sebagai spirit kebangsaan kita dalam menapaki hari-hari ke depan ini. Artinya, momentum seabad Kebangkitan Nasional patut kita jadikan sebagai tonggak Kebangkitan Nasional Kedua.

Tak perlu berkecil hati. Kita masih mungkin bisa bangkit kembali. Kita belum benar-benar bangkrut. Keprihatinan kita mengenai kondisi nasionalisme kebangsaan kita sekarang adalah modal berharga untuk itu. Yang penting, kesadaran ini harus kita wujudkan menjadi spirit dan komitmen bersama untuk bangkit meninggalkan segala kebobrokan.***
Jakarta, 18 Mei 2008

15 Mei 2008

Harga Pangan Stabil?

Pernyataan Menteri Perdagangan Mari Elka Pengestu bahwa harga pangan kini stabil mestinya melegakan. Melegakan, karena harga stabil merupakan pertanda bahwa gejolak pasar sudah mampu dikendalikan. Pertanda harga tidak melonjak-lonjak lagi.

Tapi pemerintah jangan menepuk dada dulu. Pertama, karena realitas di lapangan terkesan menunjukkan gambaran lain. Harga pangan masih saja cenderung bergejolak. Pasar, dalam kaitan ini, tampaknya terpengaruh rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).

Kalaupun benar harga pangan kini stabil, itu tak lantas berarti melegakan. Bagi masyarakat kebanyakan, harga pangan sekarang ini tetap saja sulit dijangkau. Harga pangan telanjur melejit dan tidak turun lagi. Jadi, bagaimana mungkin kenyataan tersebut bisa melegakan!

Kedua, kondisi stabil itu sendiri -- sekali lagi jika benar demikian -- boleh jadi hanya gejala sementara. Sekadar jeda sejenak sebelum akhirnya memperoleh momentum untuk bergejolak lagi. Momentum itu sendiri kini sudah di depan mata, yaitu pengumunan kenaikan harga BBM. Jadi, begitu pemerintah resmi mengumumkan kenaikan harga BBM, harga aneka barang dan jasa -- termasuk komoditas pangan -- niscaya terpicu melonjak lagi. Semakin membuat rakyat kebanyakan sulit menjangkau.

Kenyataan tersebut jelas memprihatinkan. Sangat mengiris hati. Bagaimanapun, bagi masyarakat kebanyakan -- terutama lapisan bawah -- akses terhadap pangan kini sudah menjadi pertaruhan hidup. Harga pangan yang semakin tak bisa dijangkau lagi serta-merta menghadapkan mereka pada kondisi menyesakkan. Kelaparan mendera. Bahkan, seperti sejumlah kasus yang terungkap ke permukaan, deraan perut lapar sampai membuat orang dijemput maut!

Secara keseluruhan, mereka yang rentan didera kelaparan ini sekarang sungguh berjibun. Sekitar 19,1 juta jiwa, sesuai program penyaluran beras untuk rakyat miskin (raskin) yang menjadi tanggung jawab Perum Bulog. Sangat boleh jadi, mereka yang patut tersentuh program raskin ini sekarang sudah jauh lebih banyak. Sebab angka 19,1 juta jiwa itu sendiri teridentifikasi sebelum harga pangan bergejolak hebat sejak beberapa bulan terakhir. Lalu, setelah harga BBM nanti resmi dinaikkan, angka tentang itu boleh diyakini semakin memprihatinkan lagi.

Karena itu, alokasi program rakin ke depan ini perlu ditingkatkan secara signifikan. Jika tidak, kasus-kasus kelaparan bisa bermunculan. Paling tidak, kian banyak saja orang terpaksa makan nasi aking.

Tapi kebutuhan pangan tak hanya meliputi beras. Justru itu, tantangan terpenting bagi pemerintah sekarang ini bukan sekadar memperbesar alokasi beras untuk program raskin. Juga bukan mampu meredakan gejolak harga pangan. Masalah yang jauh lebih penting dan mendasar adalah bagaimana pangan bisa mudah diperoleh rakyat. Artinya, dari sisi harga, pangan bisa tetap dijangkau. Dari sisi ketersediaan, pangan juga selalu terjamin alias tidak pernah kurang.

Itu berarti, ketahanan pangan di tingkat keluarga harus bisa dibangun. Tampaknya, masalah ini sudah sedikit terlupakan. Selama ini, pemerintah terkesan cenderung terpaku pada ketahanan di tingkat nasional ataupun regional. Itu juga tidak selalu dalam kondisi meyakinkan. Ketahanan pangan nasional bahkan acap terkesan rapuh. Gejolak harga maupun kelangkaan pasokan amat gampang terpicu dengan dampak yang sering menghebohkan. Krisis minyak goreng, gula pasir, beras, juga tepung terigu adalah beberapa contoh yang begitu gamblang memberi gambaran bahwa ketahanan pangan nasional kita tak hanya rapuh, melainkan juga semu. Itu, agaknya, karena ketahanan pangan di tingkat keluarga sudah tinggal sejarah.

Mungkin, karena itu, paradigma pembangunan ekonomi secara umum perlu diubah. Paradigma yang menempatkan mekaniske pasar sebagai panglima terbukti amat berisiko. Seperti gejala belakangan ini: harga pangan bergejolak hebat dan tak bisa reda di tingkat semula. Stabilitas harga yang terbentuk tak serta-merta melegakan alias tetap mencekik!***
Jakarta, 15 Mei 2008

12 Mei 2008

BLT Saja Tak Cukup

Bagi kaum miskin, kenaikan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi -- yang tak lama lagi dilakukan pemerintah -- adalah malapetaka. Pengalaman menunjukkan, kenaikan harga BBM selalu membuat harga aneka barang dan jasa ikut-ikutan terbang tinggi. Kenyataan tersebut sekarang ini bisa menjadi malapetaka karena jauh sebelum harga BBM naik, harga aneka barang dan jasa -- terutama komoditas pangan -- sudah lebih dulu menggapai langit.

Jadi, kenaikan harga BBM kali ini sungguh amat memukul
sekaligus menekan kaum miskin. Kehidupan mereka kian dalam tenggelam di kubang kemiskinan. Mereka semakin tak berdaya secara ekonomi.

Dari segi jumlah, mereka yang berkubang dalam kemiskinan itu juga semakin banyak. Sebuah perkiraan menyebutkan, kenaikan harga BBM kali ini berdampak menambah jumlah penduduk miskin sekitar 15 juta jiwa.

Menurut data Badan Pusat Statistik, tahun lalu jumlah penduduk miskin di negeri kita berjumlah sekitar 37,17 juta jiwa atau 16,58 persen dibanding total penduduk Indonesia. Jika perkiraan di atas dijadikan pegangan, berarti pascakenaikan harga BBM nanti total penduduk miskin di Indonesia ini melonjak menjadi 52 juta jiwa lebih.

Itu sungguh angka yang memprihatinkan. Dengan angka 52 juta, berarti hampir seperempat penduduk kita tergolong miskin. Itu amat tidak elok karena mendistorsi makna pembangunan ekonomi selama ini. Seolah-olah kegiatan pembangunan ekonomi tak berdampak mengangkat derajat kehidupan rakyat.

Karena itu, menyiapkan program kompensasi kenaikan harga BBM bagi warga miskin sungguh merupakan keharusan. Jika tidak, langkah pemerintah menaikkan harga BBM kali ini bisa menjadi tragedi kemanusiaan. Tragedi itu -- notabene sudah mulai menggejala -- bisa berupa bencana busung lapar, gizi buruk, stres atau gangguan jiwa, bahkan juga tindak bunuh diri. Belum lagi, secara sosial, tindak kriminalitas juga bisa semakin kental menggejala.

Namun justru mengingat kemungkinan itu pula, program kompensasi kenaikan harga BBM bagi kaum miskin tak cukup sekadar berupa pemberian bantuan langsung tunai (BLT) sebagaimana disiapkan pemerintah. Bahkan meski diembel-embeli plus pembagian catu bahan pangan, BLT sama sekali tak menyentuh akar masalah. BLT jelas bersifat sekadar wujud belas kasih. Cuma charity. BLT tak memberdayakan kaum miskin secara ekonomi. Apalagi BLT diberikan secara temporer, yaitu hanya selama setahun.

Jelas, karena itu, BLT sekadar pelipur lara bagi kaum miskin. BLT sekadar penghiburan agar mereka melupakan sejenak beban kehidupan yang semakin mencekik sebagai dampak kenaikan harga BBM.

Tapi itu tak berarti BLT sama sekali tak bermakna. Bagi kaum miskin, BLT tetap punya arti. Tetap bermanfaat. Namun jangan jadikan BLT sebagai satu-satunya bentuk kompensasi kenaikan harga BBM. Bentuk lain kompensasi itu, yang lebih bersifat mendasar dan strategis -- memberdayakan kaum miskin -- juga perlu disiapkan. Perlu segera dirumuskan.

Program pemberdayaan ekonomi bagi kaum miskin ini diperkukan bukan sebagai charity ataupun penghiburan. melainkan hak. Kaum miskin berhak diberdayakan secara ekonomi. Sebab kenaikan harga BBM begitu niscaya berdampak menghempaskan mereka ke lembah kesengsaraan yang makin dalam.

Itu perlu kita ingatkan karena kita khawatir pemerintah lupa. Atau tak menganggap urgen hanya karena merasa bahwa selama ini sudah menggulirkan sejumlah program pemberdayaan ekonomi, termasuk untuk kaum miskin.

Itu memang betul. Namun acap kali program-program pemberdayaan ekonomi itu tidak berkesinambungan. Juga tak terintegrasi sebagai satu kesatuan program yang saling melengkapi. Program-program itu lebih cenderung berjalan sendiri-sendiri dalam semangat ego sektoral.

Justru itu, efektivitas program-program pemberdayaan ekonomi ini sering-sering tidak jelas. Tidak terukur. Ditambah aspek akuntabilitas yang memprihatinkan, program-program itu hanya indah di atas kertas. Hanya sukses sebagai laporan normatif.

Jelas, yang kini dibutuhkan bukan program-program seperti itu. Yang dibutuhkan adalah program yang utuh terintegrasi serta terukur mampu segera memberi sumber penghidupan kepada kaum miskin secara berkelayakan.***
Jakarta, 12 Mei 2008

11 Mei 2008

Darurat, Masih Saja Berwacana!

Penimbunan bahan bakar minyak (BBM) dalam sepekan terakhir berlangsung marak. Di berbagai daerah, orang seolah berlomba melakukan tindakan tersebut. Salahkah?

Secara etis maupun ekonomis, tindakan itu jelas tak bisa dibenarkan. Secara etis, tindak penimbunan termasuk perilaku culas. Egoistis. Tindak penimbunan adalah wujud nyata perilaku aji mumpung. Memanfaatkan kesempatan dan kesempitan.

Karena itu, secara ekonomi, tindak penimbunan berimplikasi merugikan kepentingan orang banyak. Keseimbangan pasokan dan penyerapan barang terganggu. Bahkan kelangkaan jadi terpicu.

Alasan itu pula yang membuat aparat kepolisian tak bisa tinggal diam. Dengan atau tanpa pengaduan, mereka tergerak turun tangan melakukan penindakan. Seperti dalam kasus penimbunan BBM sekarang ini, sejumlah orang di sejumlah daerah, yang diduga kuat melakukan penimbunan, diamankan aparat.

Tapi apakah dengan demikian gejala penimbunan BBM ini segera berakhir? Tampaknya tidak. Malah, boleh jadi, fenomena tersebut bakal kian menjadi-jadi. Bakal semakin marak. Banyak orang tampaknya tetap tak takut melakukan tindak penimbunan, meski berisiko harus berurusan dengan polisi. Bagi mereka -- atau bahkan kita semua, sebenarnya -- menimbun BBM sekarang ini adalah tindakan taktis-ekonomis. Sebab, info sudah jelas dan gamblang. Bahwa tak lama lagi harga BBM naik. Kenaikan itu, sejauh keterangan kalangan pejabat, signifikan pula.

Jadi, menimbun BBM sekarang ini bukan lagi tindakan spekulasi. Bukan dalam rangka menyongsong keadaan tertentu yang bisa terjadi ataupun bisa pula tidak. Bukan pula sebagai tindakan rekayasa agar kondisi pasar terpengaruh dan berubah. Menimbun BBM sekarang ini sepenuhnya merupakan tindakan rasional, meski tak otomatis etis. Tindakan itu adalah dalam rangka menyongsong sesuatu yang sudah pasti segera terjadi, yaitu harga BBM menjadi lebih mahal setelah pemerintah resmi mengetuk palu kenaikan.

Walhasil, dalam perspektif itu, tindak penimbunan BBM pada hari-hari sekarang ini tidak bisa dikatakan salah. Yang salah bin keliru adalah pemerintah. Kenapa rencana menaikkan harga BBM diumbar-umbar -- notabene dengan tenggang waktu relatif panjang, sehingga membuka kesempatan bagi masyarakat untuk melakukan pengamanan?

Mungkin pemerintah tidak ingin membuat masyarakat dilanda kaget atau bahkan terguncang (shock) jika kenaikan harga BBM dilakukan tiba-tiba, tanpa pemberitahuan jauh sebelumnya. Mungkin pemerintah ingin tampil santun. Pemerintah tak mau terkesan bertindak semena-mena. Jadi, rencana kenaikan harga BBM diumumkan sejak jauh hari dianggap sebagai tindakan sosialisasi.

Namun mestinya disadari bahwa BBM adalah komoditas strategis, dan karena itu amat sensitif terhadap segala bentuk info, wacana, ataupun rumor. Jangankan info resmi, bahkan sekadar desas-desus saja amat gampang membuat masyarakat panik. Jadi, tindak penimbunan BBM sekarang ini pun adalah wujud kepanikan masyarakat yang justru disulut oleh info yang dilontarkan pemerintah sendiri.

Mestinya pemerintah sadar bahwa situasi dan kondisi yang berkaitan dengan masalah BBM sekarang ini sudah terbilang kritis. Artinya, yang dibutuhkan adalah tindakan darurat, bukan wacana yang justru menumbuhkan kepanikan masyarakat.

Berwacana memang baik dan sehat, karena berbagai pemikiran bisa dibenturkan secara sehat. Tapi wacana juga menjadi tidak sehat jika melahirkan kepanikan. Kepanikan sendiri berbahaya karena bisa mendorong orang melakukan tindakan apa pun.

Karena itu, mestinya rencana kenaikan BBM tidak diungkapkan kepada publik. Rencana tersebut seharusnya dipendam rapat-rapat. Sementara kenaikan itu sendiri begitu saja dilakukan sesuai perhitungan yang paling mungkin. Masyarakat sendiri tak akan terlalu shock. Toh mereka sudah tahu dan mengerti bahwa kenaikan BBM merupakan pilihan tak terhindarkan lagi.***
Jakarta, 11 Mei 2008

07 Mei 2008

Momok Inflasi

Inflasi niscaya menjadi momok pada hari-hari mendatang ini. Sebagai momok, inflasi kian menjadi sesuatu yang menggusarkan. Juga membangkitkan perasaan miris. Sumbernya adalah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang tak lama lagi dilakukan pemerintah.

Karena sudah menjadi keputusan pemerintah melalui sidang kabinet, Senin lalu, ihwal kenaikan harga BBM ini bukan lagi spekulasi ataupun rumors. Kenaikan tersebut berlaku efektif tinggal menunggu ketok palu. Bagi pemerintah, kenaikan harga BBM bersubsidi adalah pilihan tak terelakkan. Demi mengamankan APBN agar sehat dan produktif di tengah tekanan harga minyak dunia yang terus meroket.

Tapi justru itu yang membuat risiko inflasi di hari-hari mendatang ini begitu jelas membayang. Terlebih, meski kenaikan harga BBM ini belum berlaku efektif -- bahkan soal besaran kenaikan itu sendiri masih dalam bahasan -- harga sejumlah barang, khususnya komoditas kebutuhan pokok masyarakat, sudah langsung terkerek naik.

BBM sendiri, sebagai komoditas vital dan strategis, merupakan faktor yang berpengaruh besar terhadap laju inflasi. Tak terkecuali kali ini. Kenaikan harga BBM pasti melambungkan inflasi.

Cuma, kali ini dampak inflatoar kenaikan harga BBM ini menjadi momok karena laju inflasi sudah cenderung terus membubung. Sejak Januari, bahkan juga sepanjang tahun lalu, inflasi terus menggapai langit. April kemarin, misalnya, inflasi tahunan (year on year) mencapai 8,96 persen. Ini naik dibanding posisi Maret sebesar 8,17 persen, Februari 7,40 persen, dan Januari 7,36 persen. Sementara sepanjang tahun lalu, tingkat inflasi tahunan ini rata-rata di kisaran lima persen.

Dengan kecenderungan seperti itu, jelas inflasi pascakenaikan harga BBM nanti semakin melangit. Jika benar-benar tak terkendali, bukan tidak mungkin tingkat inflasi di hari-hari mendatang ini mencapai dua digit alias menembus 10 persen. Terlebih, harga komoditas pangan masih serius menjadi faktor pendorong lain.

Itu yang membuat gusar dan miris. Betapa tidak, karena inflasi berimplikasi menurunkan daya beli. Artinya, terutama bagi kelompok sosial di lapisan bawah, inflasi yang makin menggila adalah malapetaka. Derajat kesejahteraan kian terkikis. Semakin melorot.

Dengan perspektif itu, jelas tingkat kemiskinan potensial bertambah parah. Kemiskinan bukan saja bertambah dalam, melainkan juga semakin meluas. Mereka yang selama ini sudah berkubang dalam kemiskinan semakin megap-megap didera ketidakberdayaan faktor ekonomi. Sementara mereka yang semula dalam posisi masih relatif sejahtera jadi terperosok masuk kategori kelompok miskin.

Jadi, kenaikan harga BBM kali ini bukan lagi seolah pil pahit. Kalau saja tak benar-benar mampu dikendalikan, bisa-bisa dampak inflatoar kenaikan komoditas tersebut bak racun yang mematikan.

Itu berarti, pemerintah amat dituntut bekerja ekstra keras menjaga laju inflasi terkait kenaikan harga BBM nanti. Pemerintah harus benar-benar mampu mengendalikan laju inflasi tetap dalam batas-batas normal dan wajar. Artinya, dampak inflatoar kenaikan harga BBM ini mesti bisa dikendalikan secara cermat dan akurat. Dengan demikian, inflasi di hari-hari mendatang ini tidak lantas menjadi malapetaka yang membuat masyarakat kian sengsara dan melarat.

Untuk itu pula, jaring pengaman sosial memang mutlak perlu ditebarkan ke tengah masyarakat miskin. Cuma, bentuk dan metodenya mesti benar-benar dirumuskan sebagai katup penyelamat masyarakat miskin agar tidak jatuh ke lembah kemelaratan. Jaring pengaman sosial jangan sampai membuat kelompok sasaran terkondisi keenakan dan sama sekali tak terberdayakan.***
Jakarta, 07 Mei 2008