06 Mei 2012

Senpi Bukan untuk Koboi


Sejatinya, senjata api (senpi) adalah perlengkapan alat negara yang mengemban fungsi menjaga pertahanan (TNI) dan ketertiban masyarakat (kepolisian). Karena itu, di luar alat negara, tidak ada pihak yang berhak menyandang atau apalagi menggunakan senpi.

Meski begitu, kalangan tertentu di luar TNI dan Polri bisa menikmati privelese. Dengan izin khusus pihak kepolisian, mereka boleh memiliki senpi. Mereka, menurut Skep Kapolri No 82/II/2004, antara lain pejabat tinggi negara seperti menteri, anggota DPR, atau gubernur; tokoh di dunia swasta seperti direksi atau komisaris sebuah perusahaan, pengacara, dokter, atlet petembak; juga purnawirawan perwira tinggi TNI.

Toh izin penggunaan senpi oleh pihak-pihak di luar TNI dan Polri ini amat dibatasi, sehingga mereka tak bisa berlagak bak koboi dalam film-film western. Mereka tak bisa memanfaatkan senpi untuk gagah-gagahan, untuk main gertak, atau bahkan untuk membela diri sekalipun. Hanya atlet petembak yang diberi izin menggunakan senpi ini. Itu pun sebatas untuk keperluan olahraga menembak.
    
Jadi, bagi pihak-pihak di luar TNI dan Polri, pemilikan senpi tampaknya sekadar untuk menumbuhkan efek psikologis berupa rasa aman plus -- barangkali -- status sosial. Dengan memiliki senjata api, kepercayaan diri mereka dalam mengarungi hidup di masyarakat menjadi lebih tebal. Juga gengsi sosial mereka terlambungkan. Karena tidak sembarang orang bisa memperoleh izin memiliki senpi, mereka merasa menjadi kaum elite.
    
Tetapi anggapan seperti itu kini tak lagi sepenuhnya benar. Paling tidak, karena pemilikan senpi sekarang ini tak benar-benar bersifat eksklusif di kalangan elite. Sejauh dekat dengan akses kekuasaan, juga punya cukup modal, tampaknya orang kini relatif gampang bisa memperoleh izin pemilikan senpi. Tidak mengherankan, karena itu, seorang komedian seperti Parto pun, misalnya, bisa menyandang senpi.
    
Boleh jadi, izin pemilikan senpi sekarang ini tidak kelewat ketat. Syarat-syarat dan prasyarat tertentu tampaknya sudah relatif longgar. Itu gamblang tecermin dari relatif banyaknya pemegang izin pemilikan senpi. Di wilayah hukum Polda Metro Jaya, misalnya, pemilikan senpi ini sekarang berjumlah sekitar 2.400-an.
    
Namun di luar angka resmi, pemilikan senpi di luar institusi TNI dan Poilri ini tampaknya jauh lebih banyak. Belum lagi senpi yang beredar secara ilegal alias tak berizin, termasuk senpi rakitan, yang juga tak kalak banyak. Indikasi itu tecermin dari aksi-aksi kriminalitas yang kian marak menggunakan senpi. Aksi-aksi bak koboi jalanan yang memanfaatkan senpi sebagai alat untuk gagah-gagahan juga makin memperkuat indikasi itu.
    
Ironinya, aksi-aksi bak koboi jalanan banyak dilakukan oleh mereka yang memiliki izin resmi memiliki ataupun sekadar izin menyandang senpi karena berstatus anggota TNI/Polri. Kenyataan tersebut lagi-lagi merupakan indikasi bahwa syarat dan prasyarat izin pemilikan maupun penggunaan senpi kini lebih longgar.
    
Karena itu, demi ketertiban dan ketenteraman masyarakat, izin pemilikan senpi bukan hanya beralasan diperketat, melainkan juga patut diciutkan. Lalu mereka yang diberi izin memiliki ataupun seperti anggota TNI/Polri boleh menyandang senpi pun harus benar-benar merupakan manusia pilihan. Mereka terutama wajib memenuhi syarat psikologis: tak gampang mencabut senpi bahkan sekadar untuk gagah-gagahan sekalipun. Ya, karena izin pemilikan dan penggunaan senpi sama sekali bukan untuk para koboi.***

Jakarta, 6 Mei 2012