Sejatinya,
senjata api (senpi) adalah perlengkapan alat negara yang mengemban fungsi
menjaga pertahanan (TNI) dan ketertiban masyarakat (kepolisian). Karena itu, di
luar alat negara, tidak ada pihak yang berhak menyandang atau apalagi
menggunakan senpi.
Meski begitu,
kalangan tertentu di luar TNI dan Polri bisa menikmati privelese. Dengan izin
khusus pihak kepolisian, mereka boleh memiliki senpi. Mereka, menurut Skep
Kapolri No 82/II/2004, antara lain pejabat tinggi negara seperti menteri,
anggota DPR, atau gubernur; tokoh di dunia swasta seperti direksi atau
komisaris sebuah perusahaan, pengacara, dokter, atlet petembak; juga
purnawirawan perwira tinggi TNI.
Toh izin
penggunaan senpi oleh pihak-pihak di luar TNI dan Polri ini amat dibatasi,
sehingga mereka tak bisa berlagak bak koboi dalam film-film western. Mereka tak
bisa memanfaatkan senpi untuk gagah-gagahan, untuk main gertak, atau bahkan
untuk membela diri sekalipun. Hanya atlet petembak yang diberi izin menggunakan
senpi ini. Itu pun sebatas untuk keperluan olahraga menembak.
Jadi, bagi
pihak-pihak di luar TNI dan Polri, pemilikan senpi tampaknya sekadar untuk
menumbuhkan efek psikologis berupa rasa aman plus -- barangkali -- status
sosial. Dengan memiliki senjata api, kepercayaan diri mereka dalam mengarungi
hidup di masyarakat menjadi lebih tebal. Juga gengsi sosial mereka
terlambungkan. Karena tidak sembarang orang bisa memperoleh izin memiliki
senpi, mereka merasa menjadi kaum elite.
Tetapi anggapan
seperti itu kini tak lagi sepenuhnya benar. Paling tidak, karena pemilikan
senpi sekarang ini tak benar-benar bersifat eksklusif di kalangan elite. Sejauh
dekat dengan akses kekuasaan, juga punya cukup modal, tampaknya orang kini
relatif gampang bisa memperoleh izin pemilikan senpi. Tidak mengherankan,
karena itu, seorang komedian seperti Parto pun, misalnya, bisa menyandang
senpi.
Boleh jadi, izin
pemilikan senpi sekarang ini tidak kelewat ketat. Syarat-syarat dan prasyarat
tertentu tampaknya sudah relatif longgar. Itu gamblang tecermin dari relatif
banyaknya pemegang izin pemilikan senpi. Di wilayah hukum Polda Metro Jaya,
misalnya, pemilikan senpi ini sekarang berjumlah sekitar 2.400-an.
Namun di luar
angka resmi, pemilikan senpi di luar institusi TNI dan Poilri ini tampaknya
jauh lebih banyak. Belum lagi senpi yang beredar secara ilegal alias tak
berizin, termasuk senpi rakitan, yang juga tak kalak banyak. Indikasi itu
tecermin dari aksi-aksi kriminalitas yang kian marak menggunakan senpi.
Aksi-aksi bak koboi jalanan yang memanfaatkan senpi sebagai alat untuk
gagah-gagahan juga makin memperkuat indikasi itu.
Ironinya,
aksi-aksi bak koboi jalanan banyak dilakukan oleh mereka yang memiliki izin
resmi memiliki ataupun sekadar izin menyandang senpi karena berstatus anggota
TNI/Polri. Kenyataan tersebut lagi-lagi merupakan indikasi bahwa syarat dan
prasyarat izin pemilikan maupun penggunaan senpi kini lebih longgar.
Karena itu, demi
ketertiban dan ketenteraman masyarakat, izin pemilikan senpi bukan hanya
beralasan diperketat, melainkan juga patut diciutkan. Lalu mereka yang diberi
izin memiliki ataupun seperti anggota TNI/Polri boleh menyandang senpi pun
harus benar-benar merupakan manusia pilihan. Mereka terutama wajib memenuhi
syarat psikologis: tak gampang mencabut senpi bahkan sekadar untuk
gagah-gagahan sekalipun. Ya, karena izin pemilikan dan penggunaan senpi sama
sekali bukan untuk para koboi.***
Jakarta, 6 Mei
2012