25 Mei 2012

Pahitnya Buah Lokal


Pengetatan impor buah-buahan mestinya dilakukan sejak lama. Yaitu tatkala buah-buahan impor sudah begitu nyata membanjiri pasar dalam negeri, sehingga menjadi disinsentif terhadap produksi dan pemasaran buah-buahan lokal.

Idealnya, impor memacu daya saing buah-buahan lokal. Tapi apa yang selama ini terjadi, impor justru pelan-pelan menghancurkan agribisnis buah-buahan lokal. Buah-buahan dalam negeri bukan hanya menjadi sulit berkembang -- kuantitatif maupun kualitatif --, melainkan juga kehilangan pasar di negerinya sendiri.

Perlahan tapi pasti, buah-buahan lokal semakin tersisihkan produk impor. Konsumen makin lama makin tidak menyukai buah-buahan lokal. Konsumen lebih menggandrungi buah-buahan impor karena penampilan lebih menarik, rasa relatif lebih maknyus, dan terutama harga lebih murah.

Maka, setelah berjalan sekian lama, jeruk garut ataupun jeruk pontianak kini nyaris tinggal cerita. Apel malang juga tak kurang bernasib malang: kalah bersaing oleh apel impor eks China ataupun Amerika. Sedangkan aneka duren lokal, meski relatif tak kehilangan pasar, kalah pamor oleh duren monthong asal Thailand. Sementara itu, sederet buah-buahan lokal lain -- seperti manggis, jambu, atau kedondong -- praktis sudah tak punya tempat lagi dalam peta pasar buah-buahan dalam negeri.

Secara umum, buah-buahan impor memang sudah benar-benar menguasai pasar dalam negeri. Lapak-lapak di kakilima hingga gerai-gerai di supermarket sarat dipenuhi aneka buah impor. Buah-buahan lokal sendiri sekadar menjadi pemain penggembira di pinggiran kota.

Kenyataan itu menunjukkan pemerintah tak cukup punya kemauan baik dalam membangun agribisnis buah-buahan lokal. Pemerintah selama ini seolah tutup mata terhadap kenyataan betapa kebijakan impor yang super longgar sudah menghancurkan agribisnis buah-buahan di dalam negeri. Padahal jika ditangani secara serius, termasuk dukungan kebijakan yang bersifat memihak, buah-buahan lokal punya potensi besar menjadi agribisnis penuh daya saing.

Dengan keunggulan spesifik seperti dimiliki salak pondoh, nanas subang, ataupun mangga indramayu, Indonesia sejatinya bisa menjadi pemain garda depan dalam peta agribisnis buah-buahan. Persoalannya hanya bagaimana keunggulan-keunggulan spesifik itu diolah menjadi kekuatan lewat konsep agribisnis modern.

Kesadaran seperti itu kini mulai tumbuh. Pengetatan impor buah-buahan bisa diartikan sebagai koreksi terhadap kekeliruan pemerintah selama ini menyangkut pembangunan agribisnis buah-buahan di dalam negeri.

Tetapi koreksi itu tak cukup sekadar ditandai oleh pengetatan impor. Bagaimanapun kebijakan tersebut mutlak harus dibarengi rangkaian kebijakan lain yang bersifat terpadu sejak hulu hingga hilir, sehingga agribisnis buah-buahan di dalam negeri bisa tumbuh secara subur dan sehat.

Jadi, tanpa dibarengi langkah strategis ke arah pembangunan agribisnis yang sehat, pengetatan impor buah-buahan niscaya tak punya banyak arti. Konsumen, dalam konteks ini, menjadi kesulitan memperoleh buah-buahan yang berkualitas dan relatif murah. Sementara buah-buahan lokal sendiri tetap saja "pahit" -- bagi petani, pedagang, maupun konsumen.***

Jakarta, 25 Mei 2012