Pengetatan impor
buah-buahan mestinya dilakukan sejak lama. Yaitu tatkala buah-buahan impor
sudah begitu nyata membanjiri pasar dalam negeri, sehingga menjadi disinsentif
terhadap produksi dan pemasaran buah-buahan lokal.
Idealnya, impor
memacu daya saing buah-buahan lokal. Tapi apa yang selama ini terjadi, impor
justru pelan-pelan menghancurkan agribisnis buah-buahan lokal. Buah-buahan
dalam negeri bukan hanya menjadi sulit berkembang -- kuantitatif maupun
kualitatif --, melainkan juga kehilangan pasar di negerinya sendiri.
Perlahan tapi
pasti, buah-buahan lokal semakin tersisihkan produk impor. Konsumen makin lama
makin tidak menyukai buah-buahan lokal. Konsumen lebih menggandrungi
buah-buahan impor karena penampilan lebih menarik, rasa relatif lebih maknyus,
dan terutama harga lebih murah.
Maka, setelah
berjalan sekian lama, jeruk garut ataupun jeruk pontianak kini nyaris tinggal
cerita. Apel malang juga tak kurang bernasib malang: kalah bersaing oleh apel
impor eks China ataupun Amerika. Sedangkan aneka duren lokal, meski relatif tak
kehilangan pasar, kalah pamor oleh duren monthong asal Thailand. Sementara itu,
sederet buah-buahan lokal lain -- seperti manggis, jambu, atau kedondong --
praktis sudah tak punya tempat lagi dalam peta pasar buah-buahan dalam negeri.
Secara umum,
buah-buahan impor memang sudah benar-benar menguasai pasar dalam negeri.
Lapak-lapak di kakilima hingga gerai-gerai di supermarket sarat dipenuhi aneka
buah impor. Buah-buahan lokal sendiri sekadar menjadi pemain penggembira di
pinggiran kota.
Kenyataan itu
menunjukkan pemerintah tak cukup punya kemauan baik dalam membangun agribisnis
buah-buahan lokal. Pemerintah selama ini seolah tutup mata terhadap kenyataan
betapa kebijakan impor yang super longgar sudah menghancurkan agribisnis
buah-buahan di dalam negeri. Padahal jika ditangani secara serius, termasuk
dukungan kebijakan yang bersifat memihak, buah-buahan lokal punya potensi besar
menjadi agribisnis penuh daya saing.
Dengan keunggulan
spesifik seperti dimiliki salak pondoh, nanas subang, ataupun mangga indramayu,
Indonesia sejatinya bisa menjadi pemain garda depan dalam peta agribisnis
buah-buahan. Persoalannya hanya bagaimana keunggulan-keunggulan spesifik itu
diolah menjadi kekuatan lewat konsep agribisnis modern.
Kesadaran seperti
itu kini mulai tumbuh. Pengetatan impor buah-buahan bisa diartikan sebagai
koreksi terhadap kekeliruan pemerintah selama ini menyangkut pembangunan
agribisnis buah-buahan di dalam negeri.
Tetapi koreksi
itu tak cukup sekadar ditandai oleh pengetatan impor. Bagaimanapun kebijakan
tersebut mutlak harus dibarengi rangkaian kebijakan lain yang bersifat terpadu
sejak hulu hingga hilir, sehingga agribisnis buah-buahan di dalam negeri bisa
tumbuh secara subur dan sehat.
Jadi, tanpa
dibarengi langkah strategis ke arah pembangunan agribisnis yang sehat,
pengetatan impor buah-buahan niscaya tak punya banyak arti. Konsumen, dalam
konteks ini, menjadi kesulitan memperoleh buah-buahan yang berkualitas dan
relatif murah. Sementara buah-buahan lokal sendiri tetap saja "pahit"
-- bagi petani, pedagang, maupun konsumen.***
Jakarta, 25 Mei
2012