Instruksi
Presiden melarang kendaraan dinas pemerintah menggunakan BBM subsidi terancam
mandul alias tidak efektif mencapai sasaran yang dicanangkan: hemat energi.
Betapa tidak, karena program yang mulai diberlakukan sejak awal Juni itu
ternyata menyulitkan jajaran pemerintah daerah (pemda).
Pemda kesulitan
karena larangan kendaraan dinas menggunakan BBM subsidi punya implikasi tidak
ringan: anggaran operasional menjadi jebol di tengah jalan. Anggaran ambrol
karena keharusan kendaraan dinas menggunakan BBM nonsubsidi otomatis
membengkakkan pengeluaran untuk itu.
Konsekuensi
tersebut tak terhindarkan karena harga BBM nonsubsidi rata-rata dua kali lipat
harga BBM subsidi. Padahal anggaran konsumsi BBM kendaraan dinas telanjur
dipatok berdasarkan harga BBM subsidi.
Celakanya, pihak
pemda tak boleh menjadikan kesulitan itu sebagai alasan untuk merevisi
anggaran. Kemendagri, dalam kaitan ini, sejak dini sudah menyatakan melarang
pemda melakukan revisi anggaran sebagai tindak penyesuaian terhadap program
hemat energi. Kemendagri menggariskan, instruksi Presiden melarang kendaraan
dinas menggunakan BBM subsidi tak serta-merta berarti pemda boleh menambah
anggaran pembelian BBM.
Tak bisa tidak,
karena itu, jajaran pemda pun dibuat termehek-mehek. Tidak mengherankan
beberapa pemda lantas berani menyatakan menolak melaksanakan program hemat
energi, khususnya menyangkut penggunaan BBM subsidi. Pemkab Bogor, misalnya,
tanpa tedeng aling-aling mengaku tak akan menerapkan instruksi Presiden
melarang kendaraan dinas menggunakan BBM subsidi. Karena itu, mereka tak ikut
ambil bagian melakukan pemasangan stiker khusus penanda anti-BBM subsidi di
setiap kendaraan dinas.
Boleh jadi,
banyak pemda lain segera mengikuti langkah Pemkab Bogor. Paling tidak,
barangkali, mereka diam-diam membiarkan kendaraan dinas tetap menggunakan BBM
subsidi. Instruksi Presiden melarang kendaraan dinas mengonsumsi BBM subsidi
pun, karena itu, mereka perlakukan sekadar sebagai angin lalu.
Kemungkinan
seperti itu tak bisa disepelekan. Ya, karena pemda terkondisi tidak punya
pilihan lain. Bagi mereka,
menafikan
larangan penggunaan BBM subsidi untuk kendaraan dinas lebih "bijak"
dan realistis ketimbang mematuhi instruksi Presiden tapi dengan konsekuensi
anggaran menjadi babak-belur.
Karena itu,
sekali lagi, larangan penggunaan BBM subsidi untuk kendaraan dinas pemerintah
terancam mandul. Program tersebut sulit diharapkan efektif mencapai sasaran.
Apa mau dikata, karena program hemat energi ini memiliki semacam cacat bawaan.
Secara konseptual, program tersebut salah arah karena tidak mengubah pola
konsumsi energi menjadi non-BBM. Secara taktis, program tersebut juga kedodoran
karena menafikan kerumitan-kerumitan teknis di lapangan.***
Jakarta, 12 Juni
2012