11 Juni 2012

Seabrek Wakil Menteri


Jelas sudah. Tak ada yang berubah dengan wakil-wakil menteri. Menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi terkait pengujian UU Nomor 38 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, Presiden mengeluarkan keppres yang memutuskan bahwa semua wakil menteri dipertahankan di posisi masing-masing, kecuali Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Widjajono Partiwidagdo yang meninggal dunia.

Meski begitu, legalitas makil menteri ini masih mengundang perdebatan. Paling tidak, itu tecermin dari tekad Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi (GNPK) untuk mengajukan uji materi keppres terbaru itu ke Mahkamah Agung. Bagi GNPK, keppres terbaru tentang pengangkatan wakil menteri bertentangan dengan UU Kementerian Negara. Bertentangan, karena undang-undang tersebut tidak memberi tempat untuk posisi wakil menteri.

Di sisi lain, keputusan tentang pengangkatan wakil menteri juga menunjukkan bahwa Presiden tidak mengindahkan masukan sejumlah kalangan. Padahal, menurut banyak pihak, tidak semua kementerian memiliki urgensi untuk posisi wakil menteri. Hanya kementerian-kementerian tertentu yang memiliki urgensi itu karena punya beban kerja khusus yang membutuhkan tenaga dan perhatian khusus pula.

Karena itu, mestinya, Presiden tidak perlu mengangkat wakil menteri hingga belasan. Jika benar-benar mempertimbangkan masalah urgensinya, barangkali mereka yang diangkat menjadi wakil menteri ini cukup dua atau tiga orang. Selebihnya, kementerian-kementerian melulu dipimpin menteri.

Kenyataan bahwa semua menteri tetap dipertahankan di posisi masing-masing seolah menjadi pembenaran bahwa pengangkatan mereka sekadar kamuflase politik. Pengangkatan wakil-wakil menteri sekadar merupakan pembagian hadiah politik karena mereka dinilai punya jasa terhadap SBY.

Asumai seperti itu kian kental jika pengangkatan wakil-wakil menteri ini tetap sama sekali tanpa reasoning menyangkut spesifikasi maupun beban kerja. Padahal itu sungguh penting karena punya konsekuensi tertentu yang tidak enteng.

Secara ekonomi, pengangkatan wakil menteri niscaya menambah beban anggaran. Karena itu, keberadaan wakil menteri yang seabrek tanpa urgensi dan reasoning fungsional jelas tak sejalan dengan semangat efisiensi anggaran yang notabene kerap didengungkan Presiden.

Di sisi lain, secara politik, pengangkatan wakil menteri juga bisa melahirkan fenomena "matahari kembar". Ini terutama bisa terjadi jika sang wakil menteri merasa memiliki hubungan lebih lebih istimewa dengan SBY. Konsekuensinya, kinerja kementerian bersangkutan bisa menjadi tidak optimal. Artinya, rakyat juga yang dirugikan.

Meski begitu, toh keputusan tentang pengangkatan wakil-wakil menteri ini sudah dibuat Presiden. Justru itu, publik pun kini sekadar bisa berharap agar Presiden memberi penjelasan mengenai urgensi wakil menteri tetap dipertahankan seabrek. Publik juga menantikan jaminan Presiden bahwa dengan mengangkat wakil menteri, kinerja kementerian bersangkutan bisa benar-benar optimal dan kinclong. Dengan demikian, Presiden pun tak perlu lagi mengeluhkan soal kinerja kementerian-kementerian.***

Jakarta, 11 Juni 2012