23 Juni 2012

Gedung Baru KPK


Wacana aksi pengumpulan dana untuk membiayai pembangunan gedung baru Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapat dukungan banyak kalangan. Sejumlah pihak langsung berkomitmen memberi saweran.

Kenyataan itu melegakan: pertanda gerakan antikorupsi masih punya akar kuat di masyarakat. Pertanda KPK sebagai garda terdepan pemberantasan korupsi tetap mendapat sokongan kuat publik.

Dengan itu, keengganan DPR memberi restu terhadap kebutuhan KPK membangun gedung baru tak beralasan membuat institusi tersebut menjadi loyo dan layu. Bahkan sebaliknya: KPK harus semakin garang dalam melaksanakan peran dan fungsi memberantas korupsi. Bukan saja karena kebutuhan akan gedung baru bisa tetap terpenuhi, melainkan terutama karena terbukti bahwa khalayak luas tetap berdiri di belakang mereka.

Keengganan DPR sendiri memberi restu terhadap kebutuhan KPK membangun gedung baru ini sungguh sulit dipahami. Seolah-olah proyek gedung baru itu sesuatu yang kurang urgen atau bahkan mubazir. Padahal KPK sudah berulang kali memaparkan bahwa kebutuhan itu makin hari makin tak terhindarkan. Sering kian banyaknya kasus yang harus mereka tangani, kebutuhan akan ruang pun menjadi demikian mendesak. KPK makin sulit bertahan di gedung seadanya seperti sekarang.

Kebutuhan akan gedung baru ini konon sudah diajukan KPK sejak tahun 2008 silam. Toh DPR tak kunjung memberikan restu, sehingga anggaran untuk pembangunan gedung baru itu pun tak bisa dialokasikan. DPR beralasan, KPK tidak perlu membangun gedung baru karena lembaga tersebut tidak bersifat permanen.

Memang, KPK adalah lembaga ad hoc alias hanya sementara. Kiprah KPK dibutuhkan semata untuk menjawab kegentingan menyangkut praktik korupsi. Manakala praktik korupsi di Indonesia ini sudah jauh mereda alias tidak lagi merupakan "kanker" yang menggerogoti kehidupan berbangsa dan bernegara, riwayat KPK pun harus diakhiri.

Tetapi status itu sama sekali tak bisa dijadikan dalih bahwa gedung baru KPK -- yang bisa mewadahi seluruh aktivitas institusi tersebut dalam menjalankan pedan dan fungsi konstitusionalnya -- kelak menjadi mubazir. Dalih seperti itu sungguh mengada-ada.

Bagaimanapun, segala aset di tangan KPK adalah milik negara. Justru itu, manakala kelak keberadaan KPK sudah berakhir, aset-aset itu tentu dikembalikan kepada negara. Selanjutnya negara bisa memanfaatkan aset-aset itu untuk kepentingan lain. Jadi, sebagai aset negara, bagaimana mungkin gedung baru KPK bisa mubazir?

Karena itu, pernyataan bahwa gedung baru KPK merupakan proyek mubazir karena KPK merupakan institusi ad hod jelas naif. Pernyataan seperti itu lebih terkesan menyembunyikan kegusaran menyangkut sepak-terjang KPK sendiri. Ya, gusar karena fasilitas gedung baru jelas membuat gerak langkah KPK sebagai institusi pemberangus korupsi niscaya bisa jauh lebih mengesankan lagi dibanding selama ini. Tapi kenapa gusar?***

Jakarta, 23 Juni 2012