09 September 2003

Menyikapi Laporan Unctad

Laporan United Nations Conference on Trade and Development (Unctad) mengenai investasi dunia 2003 memang terasa menohok kita. Betapa tidak, karena laporan tersebut gamblang memerlihatkan bahwa daya saing kita dalam menarik investasi langsung oleh perusahaan asing (foreign direct investment) sungguh telah terpuruk habis. Menurut laporan itu, kinerja Indonesia dalam menarik investasi langsung oleh asing ini -- berdasar data selama periode 1999-2001 -- berada di posisi 138 dari 140 negara. Jadi, posisi kita adalah nomor 3 dari level terbawah dalam daftar negara yang dinilai Unctad. Posisi kita hanya lebih baik dibanding Gabon dan Suriname.

Meski terasa menohok, kenyataan itu mestinya menggugah kesadaran kita untuk segera berbenah dan memacu diri memoles iklim investasi kita menjadi menarik dan menggairahkan lagi. Bagaimanapun, investasi langsung sungguh teramat fundamental bagi kegiatan ekonomi kita sekarang ini di tengah tantangan mendesak yang kian terasa mencemaskan: angka pengangguran kian membengkak. Investasi langsung -- bukan investasi dalam fortofolio saham atau surat berharga -- adalah motor yang niscaya membuat ekonomi bergerak hingga mampu menyerap banyak tenaga kerja.

Tapi apa yang ditunjukkan pemerintah justru ibarat orang kebakaran jenggot. Menko Perekonomian, dalam kaitan ini, serta-merta sibuk membuat sanggahan bahwa laporan Unctad tadi kurang valid. Pertama, laporan itu menggunakan data periode 1999-2001 hingga tidak memberikan gambaran nyata kegiatan investasi di Indonesia hingga saat ini.

Kedua, laporan itu juga tidak mencakup investasi dalam portofolio saham ataupun surat berharga -- termasuk investasi asing melalui program privatisasi BUMN ataupun divestasi aset-aset di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Di samping itu, karena kealpaan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), investasi di sektor migas dan perbankan tak ikut masuk hitungan. Demikian juga investasi yang dilakukan oleh perusahaan asing melalui laba yang ditahan (retained earning) maupun investasi yang tak memerlukan perizinan baru.

Dengan itu semua, pemerintah terkesan berupaya meyakinkan publik bahwa laporan Unctad tadi keliru atau bahkan menyesatkan. Dengan kata lain, bagi pemerintah, gambaran investasi di Indonesia sebenarnya tak seburuk laporan Unctad. Di mata pemerintah, secara keseluruhan iklim investasi di Indonesia relatif masih baik -- antara lain karena investasi dalam fortofolio saham dan surat berharga tetap mengesankan, atau bahkan kini menunjukkan grafik yang cenderung terus menanjak.

Kita mengakui bahwa -- karena kelemahan sistem pencatatan di BKPM selama ini -- data investasi kita tidak lengkap. Karena itu, kita juga tidak mengingkari bahwa laporan Unctad tadi tidak mencerminkan gambaran sebenarnya kegiatan investasi di negeri kita.

Tetapi, bagaimanapun, laporan Unctad tetap tidak menutupi kenyataan yang sudah demikian kasat mata: daya saing investasi langsung di negeri kita sudah terpuruk jauh. Jangankan di tingkat realisasi proyek, bahkan baru sekadar di tahap persetujuan pun, gambaran kegiatan di negeri kita sungguh buram. Sejak beberapa tahun terakhir, angka persetujuan maupun realisasi investasi di negeri kita cenderung terus memburuk.

Pada tahun lalu, misalnya, nilai bersih investasi langsung oleh asing di Indonesia tercatat minus 0,8 miliar dolar AS. Artinya, devisa yang ditaburkan investor asing di berbagai proyek di negeri kita lebih sedikit dibanding devisa yang dikirimkan jajaran PMA ke luar negeri dalam rangka pembayaran kembali pokok pinjaman (debt repayment) mereka kepada perusahaan induk di mancanegara.

Dengan kenyataan serupa itu pula, dibanding negara-negara lain, daya saing iklim investasi kita sudah jeblok. Bahkan dibanding sejumlah negara yang satu dekade lalu masih merupakan "anak bawang" dalam peta kegiatan investasi internasional ini -- seperti Vietnam atau bahkan Kamboja --, kinerja investasi kita kini sudah bukan apa-apa lagi. Kita sudah kalah. Kepercayaan dan gairah asing menanam investasi langsung di negeri kita sudah nyaris luntur.

Dalam konteks itu, kita tak bisa menghibur diri oleh angka-angka investasi dalam fortofolio saham dan surat berharga. Kita tahu, di samping tidak memiliki dampak langsung terhadap kegiatan ekonomi sektor riil -- notabene, sekali lagi, amat membantu mengatasi masalah pengangguran -- volatilitas investasi dalam fortofolio ini juga amat tinggi. Berbeda dengan investasi langsung, dana investasi dalam bentuk fortofilio amat mudah ditarik atau dipindahkan seketika.

Dengan kata lain, angka investasi dalam fortofolio saham dan surat berharga cenderung semu -- dan karena itu bisa mengecoh. Justru itu, angka mengesankan tentang investasi dalam fortofolio ini tak selayaknya menjadi ukuran bahwa iklim investasi kita sudah benar-benar oke.

Itu berarti, laporan Unctad tadi tak sepatutnya membuat kita bak orang kebakaran jenggot. Laporan tersebut justru amat beralasan kita tanggapi serius sebagai pijakan untuk melakukan pembenahan mendasar terhadap iklim investasi langsung, terutama oleh asing, di negeri kita.***
Jakarta. 9 September 2003

Tidak ada komentar: